(Masalah): Jika seseorang berkata: al-Imâm asy-Syafi’i telah berkata: “Seorang manusia bila bertemu dengan Allah (artinya meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa Ilmu Kalam”, bukankah ini artinya bahwa al-Imâm asy-Syafi’i membenci dan bahkan mencaci Ilmu Kalam?!
(Jawab): Statemen seperti itu tidak benar sebagai ungkapan al-Imâm Syafi’i, dan tidak ada riwayat dengan sanad yang benar bahwa beliau telah berkata demikian. Adapun pernyataan yang benar dari ucapan beliau dengan sanad yang shahih adalah: “Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa al-Ahwâ’”[1].



Baca juga: Urgensi Ilmu Kalam Ahlussunnah Wal Jama’ah
Kata al-Ahwâ’ adalah jamak dari kata al-Hawâ, artinya sesuatu yang diyakini oleh para ahli bid’ah yang berada di luar jalur ulama Salaf. Maka pengertian al-Hawâ di sini adalah keyakinan-keyakinan yang yakini oleh golongan-golongan sesat, seperti keyakinan Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Najjariyyah, dan berbagai kelompok lainnya; yang telah disebutkan dalam hadits nabi sebanyak tujuh puluh dua golongan. Dalam sebuah hadits mashur Rasulullah bersabda:
وَإنّ هَذِهِ الْمِلّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ (رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد)
“Dan sesungguhnya -umat- agama ini akan pecah kepada tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu di surga; dan dia adalah kelompok mayoritas”. (HR. Abu Dawud)[2].
Dengan demikian yang dicaci oleh al-Imâm asy-Syafi’i bukan mutlak keseluruhan Ilmu Kalam, tapi yang dimaksud adalah Ilmu Kalam tercela; yaitu yang digeluti oleh para ahli bid’ah di atas. Adapun Ilmu Kalam yang digeluti Ahlussunnah yang berdasar kepada al-Qur’an dan Sunnah maka ini adalah Ilmu Kalam terpuji, dan sama sekali tidak pernah dicaci oleh al-Imâm asy-Syafi’i. Sebaliknya beliau adalah seorang yang sangat kompeten dan terkemuka dalam Ilmu Kalam ini. Karenannya argumen beliau telah mematahkan pendapat Bisyr al-Marisi dan Hafsh al-Fard; di antara pemuka kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk dan bahwa Allah tidak memiliki sifat Kalam.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam karya yang beliau tulis sebagai pembelaan terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari berjudul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari menuliskan sebagai berikut:
“Ilmu Kalam yang tercela adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh Ahl al-Ahwâ’ dan yang diyakini oleh para ahli bid’ah. Adapun Ilmu Kalam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah yang dibahas untuk menetapkan dasar-dasar akidah yang benar dan untuk memerangi fitnah Ahl al-Ahwâ’ maka ia telah disepakati ulama sebagai Ilmu Kalam terpuji. Dalam Ilmu Kalam terpuji inilah al-Imâm asy-Syafi’i adalah di antara ulama besar yang sangat kompeten. Dalam berbagai kesempatan beliau telah banyak membantah orang-orang ahli bid’ah dengan argumen-argumen kuatnya hingga mereka terpecahkan”[3].
Dalam karyanya tersebut Ibn Asakir kemudian mengutip salah satu kasus yang terjadi dengan al-Imâm asy-Syafi’i dengan sanad-nya dari ar-Rabi’ ibn Sulaiman, bahwa ia (ar-Rabi’ ibn Sulaiman) berkata:
Baca juga: Dalil Sifat Kalam Allah Bukan Huruf Suara dan Bahasa
“Ketika aku berada di majelis asy-Syafi’i, Abu Sa’id A’lam memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika datang Abdullah ibn Abd al-Hakam, Yusuf ibn Amr ibn Zaid, dan Hafsh al-Fard. Orang yang terakhir ini oleh asy-Syafi’i disebut dengan al-Munfarid (yang berpaham ekstrim). Kemudian Hafsh al-Fard bertanya kepada Abdullah ibn Abd al-Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?” Namun Abdullah ibn Abd al-Hakam enggan menjawab. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf ibn Amr. Namun ia juga enggan menjawab. Keduanya lalu berisyarat untuk bertanya kepada asy-Syafi’i. Kemudian Hafsh bertanya kepada asy-Syafi’i, dan asy-Syafi’i memberikan dalil kuat atas Hafsh.
Namun kemudian antara keduanya terjadi perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya asy-Syafi’i dengan argumennya yang sangat kuat mengalahkan Hafsh dan menetapkan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Kemudian asy-Syafi’i mengkafirkan Hafsh. (Ar-Rabi’ ibn Sulaiman berkata): “Beberapa saat kemudian di masjid aku bertemu dengan Hafsh, ia berkata kepadaku bahwa asy-Syafi’i hendak memenggal leherku”[4].
_________________
[1] Ibn Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 337 dengan berbagai jalur sanad.
[2] Kajian konprehensif tentang firqah-firqah dalam Islam lihat al-Farq Bayn al-Firaq karya Abu Manshur al-Baghdadi (w 429 H), al-Milal Wa an-Nihal karya Abu al-Fath asy-Syahrastani (w 548 H), at-Tabshîr Fî ad-Dîn karya Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini (w 471 H), dan lainnya
[3] Tabyîn Kadzib al-Mutftarî, h. 339
[4] Manâqib asy-Syâfi’i karya ar-Razi, h. 194-195. Lihat juga al-Asmâ’ Wa ash-Shifât karya al-Bayhaqi, h. 252