Al-Qur’an Makhluk Atau Bukan Makhluk?
Pertanyaan semacam itu sering kita dengar. Kita jawab; Jika yang dimaksud dengan Al-Qur’an adalah dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal maka ia adalah makhluk. Karena Al-Qur’an dalam makna ini adalah berupa huruf-huruf, bahasa Arab, ditulis di atas kertas, ditulis dengan tinta, dan dibaca dengan lidah. Maka Al-Qur’an dalam makna al-Lafzh al-Munazzal ini maka jelas ia makhluk. Huruf-huruf makhluk, bahasa Arab makhluk, kertas makhluk, dan seterusnya.
Adapun jika yang dimaksud Al-Qur’an adalah dalam pengertian yang al-Kalam adz-Dzati, artinya sifat Kalam Allah; maka jelas ia bukan makhluk. Karena Kalam Dzat Allah, atau sifat Kalam-Nya adalah sebagaimana sifat-sifat Allah yang lainnya; itu semua tidak menyerupai sifat-sifat benda. Kalam Dzat Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.
Namun demikian, penyebutan Al-Qur’an atau Kalam Allah, baik dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal maupun dalam pengertian al-Kalam adz-Dzati; keduanya sama-sama disebut “Kalam Allah”. Demikian pula dengan kitab-kitab Samawi lainnya, yang terdahulu dan yang asli; Taurat, Injil, Zabur, dan lainnya; semua itu disebut dengan Kalam Allah.
Dengan demikian, kesimpulannya, kita tidak boleh mengucapkan secara mutlak; “Al-Qur’an Makhluk”. Tetapi dengan dirinci; Al-Qur’an atau Kalam Allah dalam makna al-Lafzh al-Munazzal maka ia makhluk, dan jika yang dimaksud dalam makna al-Kalam adz-Dzati maka ia bukan makhluk. Sebab pengertian Al-Qur’an atau Kalam Allah memiliki dua makna seperti yang telah kita jelaskan di atas.
Syekh Abu Muhammad Hakim bin Mashduqi bin Sulaiman al-Lasemi, Jawa Tengah dalam bukunya berjudul ad-Dakha-ir al-Mufidah Fi Syarh al-‘Aqidah, berkata:
ومع كون هذه الألفاظ التي نقرؤها حادثة لا يجوز أن يقال القرءان حادث إلا في مقام التعليم لأنه يطلق على الصفة القائمة بذاته تعالى أيضا فربما يتوهم من إطلاق أن القرءان حادث أن الصفة القائمة بذاته تعالى حادثة. اهـ[1]
“Dan walaupun adanya ini lafazh-lafazh yang kita membacanya itu baharu; namun demikian tidak boleh dikatakan “Al-Qur’an makhluk”; kecuali di tempat pengajaran (maqam ta’lim). Oleh karena makna “Kalam Allah” kadang dimaksudkan pula dengannya adalah sifat yang tetap dengan Dzat Allah ta’ala, sehingga bisa jadi dari mengatakan “Al-Qur’an baharu” dipahami darinya bahwa sifat Kalam yang tetap dengan Dzat Allah adalah baharu [dan ini adalah kesesatan]”.
Baca buku: Bukan Huruf Bukan Suara Bukan Bahasa
Al-‘Allamah Al-Muhaddits Abul Mahasin al-Quwuqji menuliskan:
لكن يجوز القول بأن القرءان بمعنى اللفظ المنزل في مقام التعليم إنه حادث مخلوق أما في غير ذلك لا يقال لإيهامه حدوث الكلام القائم بذات الله، أما في مقام التعليم فلا بد من تعليم ذلك لئلا يعتقد أن اللفظ أزلي أبدي وذلك مكابرة للعيان، ولا يجوز أن يعتقد أن الله يقرأ ألفاظ القرءان كما نحن نقرأ، ولو كانت تجوز عليه القراءة كما نحن نقرأ لكان مشابهًا لنا. اهـ[2]
“Tetapi boleh di tempat pembelajaran untuk dikatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna al-Lafzh al-Munazzal adalah baharu makhluk. Adapun di tempat yang bukan pembelajaran maka tidak boleh dikatakan Al-Qur’an makhluk, karena dapat memprasangkakan bahwa sifat Kalam Allah yang tetap dengan Dzat-Nya adalah makhluk. Adapun di tempat pembelajaran maka mestilah dari mengajarkan demikian itu (bahwa al-Lafzh al-Munazzal makhluk) supaya diyakini bahwa lafazh-lafazh (huruf-huruf dan suara) adalah sesuatu yang Azali. Karena demikian itu jelas menyalahi kenyataan yang ada di hadapan mata. Maka itu, tidak boleh diyakini bahwa Allah membacakan Al-Qur’an sebagaimana kita membacanya, karena bila boleh bagi-Nya membaca seperti bacaan kita maka berarti Dia serupa bagi kita”.
Al-Imam al-Muhaddits Abdullah al-Harari dalam kitab asy-Syarh al-Qawim menuliskan:
فان قصد بها الكلام الذاتي فهو أزلي ليس بحرف ولا صوت وان قصد بها وبسائر الكتب السماوية اللفظ المنزل فمنه ما هو باللغة العبرية ومنه ما هو باللغة السريانية وهذه اللغات وغيرها من اللغات لم تكن موجوده في الأزل فخلقها الله تعالى فصارت موجوده، والله تعالى كان قبل كل شىء وكان متكلما قبلها ولم يزل متكلما وكلامه الذي هو صفته أزلي أبدي وهو كلام واحد وهذه الكتب المنزلة كلها عبارات عن ذلك الكلام الذاتي الأزلي الأبدي ، ولا يلزم من كون العبارة حادثا ألا ترى أننا اذا كتبنا على لوح أو جدار (الله) فقيل هذا الله فهل معنى هذا أن أشكال الحروف المرسومة هي ذات الله لا يتوهم هذا عاقل انما يفهم من ذلك أن هذه الحروف عبارة عن الاله الذي هو موجود معبود خالق لكل شىء. اهـ[3]
“Maka apabila yang dimaksud Al-Qur’an adalah al-Kalam adz-Dzati (Kalam Allah yang merupakan Sifat Kalam-Nya) maka ia adalah Azali, bukan huruf dan bukan suara. Apabila yang dimaksud dengan Al-Qur’an dan seluruh kitab-kitab Samawi lainnya adalah lafazh yang diturunkan maka di antaranya ada yang berbahasa Ibrani dan ada yang berbahasa Suryani. Bahasa-bahasa tersebut dan bahasa-bahasa lainnya semua itu baharu (ada dari tidak ada). Allah yang menciptakan bahasa-bahasa tersebut dari tidak ada menjadi ada. Allah ada (tanpa permulaan) sebelum segala sesuatu. Allah maha berbicara (memiliki sifat Kalam) sebelum adanya segala bahasa. Kalam Allah yang merupakan sifat-Nya adalah Azali (tanpa permulaan) dan abadi (tanpa penghabisan). Kalam Allah satu (tidak terbagi-bagi, bukan seperti kalam pada makhluk). Adapun kitab-kitab yang diturunkan ini seluruhnya adalah ‘ibarah (ungkapan) dari al-Kalam adz-Dzati yang Azali dan abadi. Ketika ditegaskan bahwa ‘ibarah (ungkapan yang dalam bentuk huruf-huruf dan bahasa) adalah baharu (Hadits) maka itu tidak mengharuskan adanya al-mu’abbar ‘anhu (sesuatu yang diungkapkan) juga baharu. Tidakah anda melihat bahwa ketika kita menulis di atas papan tulis atau tembok kata “Allah”, lalu kita katakan; “Ini adalah Allah”, apakah makna perkataan ini bahwa bentuk huruf-huruf yang tertulis itu adalah Dzat Allah?! Tentu demikian itu tidak akan dipahami oleh orang memiliki akal sehat. Sesungguhnya yang dipahami dari perkataan itu tidak lain adalah bahwa huruf-huruf (yang ditulis, yaitu lafazh “Allah”) tersebut merupakan ungkapan tentang adanya Tuhan yang berhak disembah sebagai Pencipta bagi segala sesuatu”.
Baca juga: Dua Pengertian Al-Qur’an Di Sebut Kalam Allah
Demikian penjelasan para Ulama kita dalam menjawab apakah Al-Qur’an makhluk atau tidak makhluk? Dan apa yang kita kutip di atas hanya sedikit saja dari tulisan para Ulama kita. Semoga dapat mewakili. Karena jika hendak dikutip semua catatan mereka sangat banyak. Semua Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah memiliki pendapat yang sama dalam masalah ini seperti yang telah kita jelaskan.
____________________
[1] Hakim bin Masduki, ad-Dakha-ir al-Mufidah, h 42
[2] Al-Qawuqji, al-I’timad Fi al-‘I’tiqad, h. 7
[3] Al-Habasyi, asy-Syarh al-Qawim, h. 190