Beberapa Kaedah Dalam Istinbath Dan Istidlal
Kaedah Pertama: Masalah at-Tark
Masalah: “Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan: “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab: Ketika Nabi tidak melakukan suatu hal –dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut at-tark– mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Rasulullah tidak melakukan suatu perkara hanya karena beliau tidak terbiasa dengannya[1], atau bisa karena lupa[2], atau bisa jadi karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau[3], atau bisa karena takut perkara tersebut di-fardlu-kan atas umatnya sehingga akan memberatkan mereka[4], atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits, atau kemungkinan-kemungkinan yang lain[5]. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena sangat sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi, bila hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan; ini adalah istinbath yang keliru.
Demikian juga ketika para ulama Salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh, atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal, dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaedah mengatakan:
مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ
“Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)”.
Oleh karena itu al–Imam asy-Syafi’i mengatakan:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ
“Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara’ bukanlah bid’ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama Salaf”.
Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaedah Ushul Fiqh:
تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ
“Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang”.
Baca juga: Bacaan al-Qur’an Bermanfaat Untuk Mayit. Benarkah?
At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau Salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau ke-makruhannya. Jadi at-tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al–matruk (yang ditinggalkan) dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja.
Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada Nahy (larangan), atau lafazh tahrim, atau dicela dan diancam pelakunya dengan dosa atau siksa. Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا (سورة الحشر: 7)
“Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. al–Hasyr: 7)
Allah tidak menyatakan:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ
“Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah”.
Al–Imam Abu Sa’id ibn Lubb mengatakan:
فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ. اهـ
“Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apapun terhadap al–Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al–Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al–Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara’; seperti doa misalnya”.
Al-Imam al–Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari Syarh al–Bukhari menuliskan:
قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ. اهـ
“Ibnu Baththal mengatakan: Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah lain –demikian pula tark-nya– tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman”.[6]
Jadi perkataan al–Hafizh Ibnu Hajar “Wa kadza tarkuhu” menunjukkan bahwa at-tark saja (Mujarrad at-tark) tidak menunjukkan pengharaman.
Kaedah Ke Dua: Keumuman Dalil-dalil
Masalah: “Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan: “Ini tidak ada dalilnya!!”, dengan maksud tidak ada ayat al-Qur’an atau hadits Nabi khusus yang berbicara tentang masalah tersebut”. Sehingga, orang seperti ini dalam segala sesuatu menuntut adanya dalil, dari al-Qur’an atau dari hadits”.
Jawab: Dalam Ushul Fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru’. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar’i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (سورة الحـجّ: 77)
“Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)
Jadi, dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaedah mengatakan:
العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ
“Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)”.
Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil, mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru’ (di-syari’at-kan) dan supaya tidak disebut sebagai bid’ah; harus ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman al-Qur’an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar’i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari’at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari’at, padahal jelas penghinaan terhadap syari’at merupakan kekufuran yang sangat nyata.
Kaedah Ke Tiga: Tidak Ada Keharusan Banyak Dalil
Dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja misalnya dan para Mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.
Kaedah Ke Empat: Kebebasan Mengikuti Imam Mujtahid
Dalam praktek istidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan ke-hujjah-annya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama Mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah.
Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Bayhaqi, an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, Hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi Shihhatihi[7].
Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya.
Kaedah Ke Lima: Kaedah Dari Kitab al–Faqih Wal Mutafaqqih
Ada sebuah kaedah yang sangat penting dalam praktek istidlal, orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al–Hafizh al–Faqih al-Khathib al-Baghdadi menyebutkan kaedah tersebut dalam kitab al–Faqih Wal Mutafaqqih:
وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ” ثُمَّ قَالَ: “وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ” ا.هـ.
“Jika seorang perawi yang tsiqah ma’mun (terpercaya dan memegang amanah) meriwayatkan hadits yang bersambung sanad-nya bisa tertolak karena beberapa hal”. Kemudian beliau mengatakan: “Kedua: Jika hadits tersebut menyalahi nash al-Qur’an, atau menyalahi hadits mutawatir, maka dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: Jika hadits tersebut menyalahi Ijma’, maka itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu ummat sepakat untuk menyalahinya”.[8]
Baca juga: Memahami Makna Bid’ah Secara Komprehensif
Seorang yang tidak mengetahui kaedah ini akan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah. Seperti orang yang bernama Nashiruddin al-Albani; yang seakan mendudukan dirinya sebagai seorang “Mujtahid zaman sekarang”; ia mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al–Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya[9]. Pengharamannya ini dikarenakan ia menemukan beberapa hadits sahih menurutnya mengharamkan perhiasan emas tersebut.
Padahal hadits-hadits tersebut telah di-naskh. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
الحريرُ وَالذّهبُ حرَامٌ عَلى ذكُورِ أمّتي حِلٌّ لإنَاثِهمْ (رواهُ البيهَقِيّ وغيرُه)
“Sutra dan emas adalah haram bagi kaum laki-laki dari umatku, dan halal bagi kaum perempuan mereka”. (HR. al-Bayhaqi dan lainnya).
Para Ulama sepakat membolehkan perhiasan emas bagi kaum perempuan, sebagaimana Ijma’ ini telah dikutip oleh al-Hafizh al-Bayhaqi, al-Hafizh an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dan lainnya. Dan karena itu, maka hadits-hadits yang mengharamkan perhiasan emas bagi perempuan telah menyalahi Ijma’, sehingga diketahuilah bahwa hadits-hadits tersebut telah di-nasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al–Hafizh al-Bayhaqi mengatakan:
فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً. ا.هـ.
“Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya Ijma’ atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh”.[10]
Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam al-Albani ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat kelompoknya sendiri; maka dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau hanya khusus –menurut mereka– berlaku bagi Nabi saja, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah tersebut. Sementara dalam perkara yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh; mereka malah tidak mau mengikutinya sambil berlagak/berkedok menegakkan dan membela sunnah Nabi?!!. Hasbunallah.
Kedah Ke Enam: Masalah Perkara Mukhtalaf Fih
Para ulama Mujtahid dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari mereka mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selain dirinya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada Mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka; “Anda sesat dan haram orang mengikuti anda”. Umar ibn al-Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada ‘Ali ibn Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada ‘Umar.
Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Imam Ibnu al-Mundzir, al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dan para Imam Mujtahid lainnya. Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua ummat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi, dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaedah yang disepakati[11]:
لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para Mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama Mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi)”.
Maksud dari kaedah ini bahwa jika para ulama Mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda.
_______________________
[1] Seperti dalam sebuah hadits saat Rasulullah disuguhi makanan dari daging biawak (adl-dlabb). Setelah menjulurkan tangan hendak mengambilnya, Rasulullah menarik kembali tangannya. Dikatakan kepadanya itu adalah daging biawak. Rasulullah ditanya: “Apakah itu haram?” Rasululah menjawab: “Tidak, tetapi itu adalah binatang yang tidak ada di tanah kaumku, sehingga aku tidak biasa memakannya”. Kemudian Khalid ibn al-Walid makan daging tersebut. Hadits sahih diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan lainnya.
[2] Lupa yang boleh terjadi adalah seperti dalam hadits sahih riwayat al-Imam Muslim bahwa Rasulullah salam setelah dua raka’at dari shalat Asar. Ketika Rasulullah ditanya: “Adakah ada sesuatu yang baru dalam shalat?”. Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya aku adalah manusia, dapat lupa seperti kalian lupa. Maka jika aku lupa hendaklah kalian mengingatkanku”.
(Catatan Penting): Lupa tidak terjadi sedikitpun terhadap Rasulullah pada perkara yang diperintah untuk disampaikan dari al-Qur’an sebelum disampaikan kepada manusia. Adapun setelah disampaikan boleh terjadi lupa sesaat (sesaat saja, bukan seterusnya), dan kemudian beliau mengingatnya kembali. Lihat al-Muhaddits Abdullah al-Ghumari dalam risalah berjudul Husn at-Tafahhum wa ad-Darak Li Mas-alah at-Tark. h. 137. Lihat pula Tarek Najib Lahham, Qashash La Taliq Bi al-Anbiya’, h. 55
[3] Seperti ketika Rasulullah dalam khutbah jum’at berpegang/bersandar kepada batang kayu dari pohon kurma. Tidak terfikirkan oleh beliau untuk khutbah di atas kursi/mimbar, hingga kemudian ide pembuatan mimbar tersebut muncul dari beberapa orang sahabatnya. Rasulullah menyetujui ide tersebut, karena dengan demikian khutbah beliau lebih banyak terdengar dan terlihat oleh para sahabatnya.
[4] Seperti peristiwa Qiyam Ramadhan. Hanya beberapa malam saja Rasulullah salat dengan beberapa orang sahabatnya. Di malam ke tiga Rasulullah tidak keluar dari kamarnya, sementara jumlah para sahabatnya semakin banyak karena ingin ikut shalat bersamanya. Keesokan harinya, ketika Rasulullah ditanya mengapa tidak keluar, beliau menjawab: “Aku khawatir diwajibkan atas kalian”.
[5] Seperti shalat Dluha, dan berbagai amal saleh lainnya. Karena amal saleh itu sangat banyak macamnya, sehingga tidak harus satu per satu disebutkan namanya dan dalil-dalinya. Karena semua itu masuk dalam keumuman teks-teks Syara’, seperti firman Allah: “Dan kerjakanlah oleh kalian akan kebaikan-kebaikan supaya kalian menjadi orang-orang yang beruntung” (QS. al-Hajj: 77). Lebih luas terkait poin-poin bahasan ini dengan contoh-contohnya dengan detail lihat al-Muhaddits Abdullah al-Ghumari dalam risalah berjudul Husn at-Tafahhum wa ad-Darak Li Mas-alah at-Tark. h. 137
[6] Ibnu Hajar, Fath al-Bari, j. 9, h. 14
[7] Lihat as-Suyuthi, al–Hawi li al–Fataawi, j. 2, h. 210, dalam risalah Bulugh al–Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul.
[8] Al-Khathib al-Baghdadi, al-Faqih Wa al-Mutafaqqih, h. 132
[9] Lihat al-Albani, Adab az-Zafaf, h. 132
[10] Lengkap lihat Abdullah al-Harari, Sharih al–Bayan, j. 2, h. 20-22.
[11] Lihat as-Suyuthi, al Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al-Fadani, al–Fawa-id al–Janiyyah, h. 579-584.