Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di antara mukjizat Rasulullah adalah beberapa perkara atau peristiwa yang beliau ungkapkan dalam hadits-haditsnya, baik peristiwa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Juga sebagaimana telah kita ketahui bahwa seluruh ucapan Rasulullah adalah wahyu dari Allah, artinya segala kalimat yang keluar dari mulut mulia beliau bukan semata-mata timbul dari hawa nafsu. Dalam pada ini Allah berfirman:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى (سورة النجم: 3-4)
“Dan tidaklah dia –Nabi Muhammad– berkata-kata [berasal] dari hawa nafsunya, sesungguhnya tidak lain kata-katanya tersebut adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS. An-Najm: 3-4)
Di antara pemberitaan Rasulullah yang merupakan salah satu mukjizat beliau adalah sebuah hadits yang beliau sabdakan bahwa kelak dari keturunan Quraisy akan datang seorang alim besar yang ilmu-ilmunya akan tersebar diberbagai pelosok dunia, beliau bersabda:
لاَ تَسُبُّوْا قُرَيْشًا فَإنّ عَالِمَهَا يَمْلَأُ طِبَاقَ الأرْضِ عِلْمًا (رواه أبو نعيم، والطيالسي، والعقيلي وغيرهم)
“Janganlah kalian mencaci Quraisy karena sesungguhnya -akan datang- seorang alim dari keturunan Quraisy yang ilmunya akan memenuhi seluruh pelosok bumi” (HR. Abu Nu’aim, Thayalisi, dan al-‘Uqayli)[1].
Terkait dengan sabda ini para ulama kemudian mencari siapakah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam haditsnya tersebut? Para Imam madzhab terkemuka yang ilmunya dan para muridnya serta para pengikutnya banyak tersebur paling tidak ada empat orang; al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik, al-Imâm asy-Syafi’i, dan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal. Dari keempat Imam yang agung ini para ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadits Rasulullah di atas adalah al-Imâm asy-Syafi’i, sebab hanya beliau yang berasal dari keturunan Quraisy. Tentunya kesimpulan ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa madzhab al-Imâm asy-Syafi’i telah benar-benar tersebar di berbagai belahan dunia Islam hingga sekarang ini.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:
يُوْشِكُ أنْ يَضْرِبَ النّاسُ ءَابَاطَ الإبِلِ فَلاَ يَجِدُوْنَ عَالِمًا أعْلَمُ مِنْ عَالِمِ الْمَدِيْنَة (رواه أحمد والترمذي والنسائي)
“Hampir-hampir seluruh orang akan memukul punuk-punuk unta (artinya mengadakan perjalan mencari seorang yang alim untuk belajar kepadanya), dan ternyata mereka tidak mendapati seorangpun yang alim yang lebih alim dari orang alim yang berada di Madinah”. (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)[2].
Baca juga: Ahlussunnah Wal Jama’ah Adalah Kelompok Mayoritas
Para ulama menyimpulkan bahwa yang maksud oleh Rasulullah dalam haditsnya ini tidak lain adalah al-Imâm Malik ibn Anas, perintis Madzhab Maliki; salah seorang guru al-Imâm asy-Syafi’i. Itu karena hanya al-Imâm Malik dari Imam madzhab yang empat yang menetap di Madinah, yang oleh karenanya beliau digelari dengan Imâm Dâr al-Hijrah (Imam Kota Madinah). Kapasitas keilmuan beliau tentu tidak disangsikan lagi, terbukti dengan eksisnya ajaran madzhab yang beliau rintis hingga sekarang ini.
Tentang al-Imâm Abu Hanifah, demikian pula terdapat dalil tekstual yang menurut sebagian ulama menunjukan bahwa beliau adalah sosok yang dimaksud oleh Rasulullah dalam sebuah haditsnya, bahwa Rasulullah bersabda:
لَوْ كَانَ الْعِلْمُ مُعَلَّقًا بِالثّريَّا لَتَنَاولَهُ أبْنَاءُ فَارِسٍ (رَوَاهُ البخاري ومسلم والترمذي والنسائي وأحْمَدُ)
“Seandainya ilmu itu tergantung di atas bintang-bintang Tsurayya maka benar-benar ia akan diraih oleh orang-orang dari keturunan Persia” (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ahmad)[3].
Sebagian ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah al-Imâm Abu Hanifah, oleh karena hanya beliau di antara Imam mujtahid yang empat yang berasal dari daratan Persia. Al-Imâm Abu Hanifah telah belajar langsung kepada tujuh orang sahabat Rasulullah dan kepada sembilan puluh tiga ulama terkemuka dari kalangan tabi’in. Tujuh orang sahabat Rasulullah tersebut adalah; Abu ath-Thufail Amir ibn Watsilah al-Kinani, Anas ibn Malik al-Anshari, Harmas ibn Ziyad al-Bahili, Mahmud ibn Rabi’ al-Anshari, Mahmud ibn Labid al-Asyhali, Abdullah ibn Busyr al-Mazini, dan Abdullah ibn Abi al-Awfa al-Aslami.
Demikian pula dengan al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari, para ulama kita menetapkan bahwa terdapat beberapa dalil tekstual yang menunjukan kebenaran akidah Asy’ariyyah. Ini menunjukan bahwa rumusan akidah yang telah dibukukan oleh al-Imâm Abul Hasan sebagai akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; adalah keyakinan mayoritas umat Nabi Muhammad sebagai al-Firqah an-Nâjiyah; kelompok yang kelak di akhirat akan selamat kelak.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Mufatrî menuliskan satu bab yang ia namakan: “Bab beberapa riwayat dari Rasulullah tentang kabar gembira dengan kedatangan Abu Musa al-Asy’ari dan para penduduk Yaman yang merupakan isyarat dari Rasulullah secara langsung akan kedudukan ilmu Abul Hasan al-Asy’ari”. Bahkan kabar gembira tentang kebenaran akidah Asy’ariyyah ini tidak hanya dalam beberapa hadits saja, tapi juga terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian hal ini merupakan bukti nyata sekaligus sebagai kabar gembira dari Rasulullah langsung bagi orang-orang pengikut al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari.
Kita mulai bahasan materi ini dengan mengenal keutamaan sahabat Abu Musa al-Asy’ari yang merupakan moyang dari al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari. Bahwa terdapat banyak sekali hadits-hadits Rasulullah yang menceritakan keutamaan sahabat Abu Musa al-Asy’ari ini, beliau adalah salah seorang Ahl ash-Shuffah dari para sahabat Muhajirin yang mendedikasikan seluruh waktunya hanya untuk menegakan ajaran Rasulullah. Sebelum kita membicarakan keutamaan-keutamaan sahabat mulia ini ada beberapa catatan penting yang handak penulis ungkapkan dalam permulaan bahasan ini; adalah sebagai berikut:
(Satu): Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî mengutip hadits mauqûf dengan sanad dari sahabat Hudzaifah ibn al-Yaman, bahwa ia (Hudzaifah) berkata:
صَلاَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تُدْرِكُ الرَّجُلَ وَوَلَدَهُ وَوَلَدَ وَلَدِهِ وَلِعَقِبِهِ (رواه ابن عساكر)
“Sesungguhnya keberkahan doa Rasulullah yang beliau peruntukan bagi seseorang tidak hanya mengenai orang tersebut saja, tapi juga mengenai anak-anak orang itu, cucu-cucunya, dan bahkan seluruh orang dari keturunannya”. (HR. Ibnu Asakir)[4]
Pernyataan sahabat Hudzaifah ini benar adanya, setidaknya al-Hâfizh Ibn Asakir mengutip hadits sahabat Hudzaifah ini dengan tiga jalur sanad yang berbeda. Sanad–sanad hadits tersebut menguatkan satu atas yang lainnya[5].
Baca juga: Memahami Ijtihad Dan Taqlid
(Dua): Sejalan dengan hadits mauqûf di atas terdapat sebuah hadits marfû’; artinya hadits yang langsung berasal dari pernyataan Rasulullah sendiri, yaitu hadits dari sahabat Abdullah ibn Abbas, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ لَيَرْفَعُ ذُرّيَّةَ الْمُؤْمِنِ إِلَيْهِ حَتَّى يُلْحِقَهُمْ بِهِ وَإِنْ كَانُوْا دُوْنَهُ فِي اْلعَمَلِ لِيَقِرَّ بِهِمْ عَيْنُهُ (رواه البزار والهيثمي وابن عساكر)
“Sesungguhnya Allah benar-benar akan mengangkat derajat keturunan-keturunan seorang mukmin hingga semua keturunan orang tersebut bertemu dengan orang itu sendiri. Sekalipun orang-orang keturunannya tersebut dari segi amalan jauh berada di bawah orang itu (moyang mereka), agar supaya orang itu merasa gembira dengan keturunan-keturunannya tersebut” (HR. Al-Bazzar, al-Haytsami, dan Ibnu ‘Asakir)[6]
Setelah menyampaikan hadits ini kemudian Rasulullah membacakan firman Allah dalam QS. ath-Thur: 21:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ (سورة الطور: 21)
”Sesungguhnya mereka yang beriman dan seluruh keturunan mereka yang mengikutinya dalam keimanan akan kami Kami (Allah) pertemukan mereka itu (moyang-moyangnya) dengan seluruh keturunannya” (QS. Ath-Thur: 21).
Hadits ini diriwayatkan oleh Huffâzh al-Hadîts, di antaranya selain oleh Ibn Asakir sendiri dengan sanad-nya dari sahabat Abdullah ibn Abbas, demikian pula diriwayatkan oleh al-Imâm Sufyan ats-Tsauri dari Amr ibn Murrah, hanya saja hadits dengan jalur sanad dari al-Imâm Sufyan ats-Tsauri tentang ini adalah mauqûf dari sahabat Abdullah ibn Abbas. Dalam pada ini, lanjutan firman Allah dalam QS. ath-Thur: 21 di atas “… Wa Mâ Alatnâhum”, ditafsirkan oleh Ibn Abbas; “Wa Mâ Naqashnâhum”, artinya tidak akan dikurangi dari mereka suatu apapun, atau bahwa mereka semua; antara moyang dan keturunan-keturunannya akan disejajarkan[7].
(Tiga): Diriwayatkan pula dari sahabat Abdullah ibn Abbas tentang firman Allah: ”Wa An Laysa Lil-Insân Illâ Mâ Sa’â” (QS. An-Najm: 39), artinya bahwa tidak ada apapun bagi seorang manusia untuk ia miliki dari kebaikan kecuali apa yang telah ia usahakannya sendiri. Setelah datang ayat ini kemudian turun firman Allah: ”Alhaqnâ Bihim Dzurriyatahum Bi-Imân” (QS. Ath-Thur: 21), artinya bahwa orang-orang mukmin terdahulu akan dipertemukan oleh Allah dengan keturunan-keturunan mereka karena dasar keimanan. Dalam menafsirkan ayat ini sahabat Abdullah ibn Abbas berkata: “Kelak Allah akan memasukan anak-anak ke dalam surga karena kesalehan ayah-ayah mereka”[8].
(Empat): Terkait dengan firman Allah: ”Alhaqnâ Bihim Dzurriyatahum Bi-Imân” (QS. Ath-Thur: 21) diriwayatkan pula dari al-Imâm Mujahid; salah seorang pakar tafsir murid sahabat Abdullah ibn Abbas, bahwa dalam menafsirkan firman Allah tersebut beliau berkata: “Sesungguhnya karena kebaikan dan kesalehan seorang ayah maka Allah akan memperbaiki dan menjadikan saleh anak-anak dan cucu-cucu (keturunan) orang tersebut”[9].
Dari beberapa bukti tekstual di atas dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya kesalehan, keilmuan, keberanian, kezuhudan, dan berbagai sifat terpuji lainnya yang ada pada sosok al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari adalah sifat-sifat yang memang secara turun-temurun beliau warisi dari kakek-kekeknya terdahulu. Dalam hal ini termasuk salah seorang moyang terkemuka beliau yang paling ”berperan penting” adalah sahabat dekat Rasulullah; yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Ini semua tentunya ditambah lagi dengan kepribadian-kepribadian saleh dari kakek-kakek beliau lainnya.
Berikut ini akan kita kupas satu persatu beberapa bukti tekstual yang menunjukan keutamaan sahabat Abu Musa al-Asy’ari, yang hal ini sekaligus memberikan petunjuk tentang keutamaan al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari. Beberapa hadits terkait dengan keutamaan (fadlâ-il) sahabat Abu Musa al-Asy’ari telah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa hal itu memberikan isyarat akan keutamaan (fadlâ-il) al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari dan menunjukan bagi kebenaran akidah yang telah beliau rumuskan, yaitu akidah Asy’ariyyah yang notabene akidah Ahlussunnah; akidah yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Di antaranya sebagai berikut:
Firman Allah QS. Al Ma’idah: 54
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (سورة المائدة: 54)
“Wahai sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”. (QS. Al-Ma’idah: 54).
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah memberitakannya sambil menepuk pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya bersabda: “Mereka (kaum tersebut) adalah kaum orang ini!!”[10]. Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah, karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari, sebagaimana telah kita tulis secara lengkap dalam penulisan biografi al-Imâm Abul Hasan sendiri.
Dalam menafsirkan firman Allah di atas: “Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah….” (QS. Al-Ma’idah: 54), al-Imâm Mujahid berkata: “Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”. Kemudian al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: “Dan orang-orang Asy’ariyyah adalah kaum yang berasal dari negeri Saba’”[11].
Baca juga: Metode Yang Benar Dalam Meraih Ilmu Agama
Penafsiran ayat di atas bahwa kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah tersebut adalah kaum Asy’ariyyah telah dinyatakan pula oleh para ulama terkemuka dari para ahli hadits. Lebih dari cukup bagi kita bahwa hal itu telah dinyatakan oleh orang sekelas al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî. Beliau adalah seorang ahli hadits terkemuka (Afdlal al-Muhaditsîn) di seluruh daratan Syam pada masanya. Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan:
قال فيه الشيخ محيى الدين النووى، ومن خطه نقلت، حافظ الشام، بل هو حافظ الدنيا، الإمام مطلقا، الثقة الثبت. اهـ
“Syekh Muhyiddin an-Nawawi berkata tentang Ibnu ‘Asakir, -aku kutip redaksi tulisan beliau sendiri-; Beliau adalah hafizh daratan Syam (Siria dan sekitarnya), bahkan beliau adalah hafizh dunia, seorang Imam secara mutlak, seorang yang sangat terpercaya dan sandaran (tsiqat tsabat)”.[12]
Tajuddin As-Subki juga berkata:
“Ibn Asakir adalah termasuk orang-orang pilihan dari umat ini, baik dalam ilmunya, agamanya, maupun dalam hafalannya. Setelah al-Imâm ad-Daraquthni tidak ada lagi orang yang sangat kuat dalam hafalan selain Ibn Asakir. Semua orang sepakat dalam hal ini, baik mereka yang sejalan dengan Ibn Asakir sendiri, atau mereka yang memusuhinya”[13].
Lebih dari pada itu Ibn Asakir sendiri dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî telah mengutip pernyataan para ulama hadits terkemuka (Huffâzh al-Hadîts) sebelumnya yang telah menafsirkan ayat tersebut demikian, di antaranya ahli hadits terkemuka al-Imâm al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi penulis kitab Sunan al-Bayhaqi dan berbagai karya besar lainnya. Al-Hâfizh Ibn Asakir mengutip perkataan al-Imâm al-Bayhaqi, bahwa ia berkata:
فإن بعض أئمة الأشعريين رضي اللَّه عنهم ذاكرني بمتن الحديث عن عِيَاضٍ الأَشْعَرِيِّ قَالَ : لَمَّا نَزَلَتْ : فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ سورة المائدة آية 54 ، أَوْمَأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَبِي مُوسَى ، فَقَالَ : هُمْ قَوْمُ هَذَا.
“Sesungguhnya sebagian para Imam kaum Asy’ariyyah -semoga Allah merahmati mereka- mengingatkanku dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari, bahwa ketika turun firman Allah: (Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54, Rasulullah kemudian berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Mereka adalah kaum orang ini”[14].
Al-Bayhaqi menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat isyarat akan keutamaan dan derajat mulia bagi al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari, karena tidak lain beliau adalah berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Mereka adalah kaum yang diberi karunia ilmu dan pemahaman yang benar. Lebih khusus lagi mereka adalah kaum yang memiliki kekuatan dalam membela sunah-sunnah Rasulullah dan memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka memiliki dalil-dalil yang kuat dalam memerangi bebagai kebatilan dan kesesatan. Dengan demikian pujian dalam ayat di atas terhadap kaum Asy’ariyyah, bahwa mereka kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah, adalah karena telah terbukti bahwa akidah yang mereka yakini sebagai akidah yang hak, dan bahwa ajaran agama yang mereka bawa sebagai ajaran yang benar, serta terbukti bahwa mereka adalah kaum yang memiliki kayakinan yang sangat kuat. Maka siapapun yang di dalam akidahnya mengikuti ajaran-ajaran mereka, artinya dalam konsep meniadakan keserupaan Allah dengan segala makhluk-Nya, dan dalam metode memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dan sejalan dengan faham-faham Asy’ariyyah maka ia berarti termasuk dari golongan mereka”[15].
Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengomentari pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi di atas, berkata:
ونحن نقول، ولا نقطع على رسول اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يشبه أن يكون نبي اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنما ضرب على ظهر أَبِي موسى رضي اللَّه عنه فِي الحديث الذي قدمناه، للإشارة والبشارة بما يخرج من ذلك الظهر فِي تاسع بطن، وهو الشيخ أَبُو الْحَسَن، فقد كانت للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إشارات لا يفهمها إلا الموفقون المؤيدون بنور من اللَّه، الراسخون فِي العلم ذوو البصائر المشرقة : وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ (سورة النور آية 40). اهـ
“Kita katakan; -tanpa kita memastikan bahwa ini benar-benar maksud Rasulullah-, bahwa ketika Rasulullah menepuk punggung sahabat Abu Musa al-Asy’ari, sebagaimana dalam hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan akan adanya kabar gembira bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke sembilan al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam setiap ucapannya terdapat berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang mendapat karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam ilmu (ar-Râsikhûn Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati yang cerah. Firman Allah: “Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk baginya, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk” (QS. An-Nur: 40)”[16].
Hadits Sahih Riwayat al-Imâm Muslim Dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari
Dalam sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Burdah dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari bahwa beliau (Abu Musa) berkata:
خَرَجْنَا مع رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ في غَزَاةٍ وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ بيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ، قالَ: فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا، فَنَقِبَتْ قَدَمَايَ، وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي، فَكُنَّا نَلُفُّ علَى أَرْجُلِنَا الخِرَقَ، فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ لِما كُنَّا نُعَصِّبُ علَى أَرْجُلِنَا مِنَ الخِرَقِ (رواه مسلم وابن حبان وغيرهما)
“Suatu ketika kami keluar bersama Rasulullah dalam peperangan. Saat itu kami berjumlah enam orang. Di antara kami terdapat satu ekor unta yang kami ikuti dari arah belakangnya. Maka kedua kakiku sampai terluka parah. Dan kuku-kukunya pun terkelupas. Karena itulah perang ini dinamakan dengan perang Dzatur-Riqa’, karena kami mengikat kaki-kaki kami dengan helai kain” (HR. Muslim, Ibnu Hibban dan lainnya)[17].
Abu burdah (yang merupakan anak dari Abu Musa sendiri) mengatakan bahwa setelah selesai menceritakan peristiwa tersebut terlihat sahabat Abu Musa seakan menyesali ucapannya itu. Setelah menceritakan peristiwa tersebut Abu Musa berkata: “Sama sekali saya tidak berkehendak mengungkapkan peristiwa ini”. Artinya bahwa sahabat Abu Musa sedikitpun tidak bertujuan terhadap apa yang telah ia ungkapkannya tersebut supaya tersebar dan didengar oleh orang lain. Sebaliknya, beliau sangat mengkhawatirkan kejadian tersebut bila didengar oleh orang lain akan menimbulkan takabur pada dirinya. Kualitas hadits ini sahih, telah diriwayatkan oleh para ulama hadits, di antaranya oleh al-Imâm Muslim dalam kitab Shahîh dan al-Imâm Ibn Hibban.
Dalam hadits lain, juga dari Abu Burdah berkata: Ayahku (Abu Musa al-Asy’ari) berkata:
لو شَهِدتَنا ونحن مع نَبيِّنا صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، إذا أصابَتْنا السَّماءُ حَسِبتَ أنَّ ريحَنا رِيحُ الضَّأنِ، إنَّما لِباسُنا الصُّوفُ (رواه أبو داود والترمذي وغيرهما)
“Seandainya engkau melihat keadaan kami di saat kami bersama Rasulullah, di mana bila air hujan menimpa kami, aku kira bahwa bau-bau dari tubuh kami seperti bau kambing, karena pakaian kami yang berasal dari kain wol (yang kasar)”[18].
Hadits Sahih Riwayat al-Bukhari dan Muslim Lainnya Dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari
Dalam sebuah hadits dari Abu Burdah dari Abu Musa al-Asy’ari berkata:
Setelah Rasulullah pulang dari perang Hunain beliau mengutus Abu Amir dengan sekelompok bala tentara menuju Authas. Di sana Abu Amir duel melawan Duraid ibn ash-Shamat (pemimpin orang-orang kafir) hingga Allah membinasakan Duraid dan bala tentaranya. Setelah itu saya (Abu Musa) dan Abu Amir diutus Rasulullah ke suatu tempat. Ternyata di sana Abu Amir terkena anak panah musuh pada lututunya. Panah tersebut berasal dari seseorang dari Bani Jasym. Kemudian aku mendekati Abu Amir dan bertanya siapakah yang telah memanahnya. Lalu ia menunjuk seseorang dari Bani Jasym. Kemudian aku datangi orang tersebut, aku berkata kepadanya: “Tidakkah engkau merasa malu?! Bukankah engkau seorang Arab?!”. Maka terjadi adu pukul antara aku dengan dia, yang kemudian aku pukul ia dengan pedangku hingga ia terbunuh. Setelah itu aku kembali kepada Abu Amir, aku katakan kepadanya: “Allah telah membunuh orang yang hendak membunuhmu”. Abu Amir berkata: “Sekarang lepaskanalah anak panah ini!”. Kemudian aku lepaskan anak panah tersebut dari Abu Amir, namun ternyata banyak darah yang keluar darinya. Abu Amir berkata kepadaku: “Wahai saudaraku, pergilah menghadap Rasulullah, sampaikan salamku kepadanya, dan katakan kepadanya agar dia memintakan ampun kepada Allah bagi diriku”. Abu Amir kemudian menyerahkan kepemimpinan kepadaku terhadap orang-orang yang bersama kami saat itu. Tidak berapa lama setelah itu kemudian Abu Amir meninggal dunia.
Baca juga: Dalil Sifat Kalam Allah Bukan Huruf Suara dan Bahasa
Setelah aku sampai menghadap Rasulullah, aku masuk ke rumahnya. Saat itu Rasulullah sedang berada di atas ranjang dari pasir yang dilapisi dengan semacam kain. Pasir-pasir dari ranjang tersebut membekas pada punggung dan bahu beliau. Kemudian aku sampaikan kepadanya segala peristiwa yang menimpa kami, termasuk peristiwa yang menimpa Abu Amir. Aku sampaikan pula pesan Abu Amir untuk Rasulullah dan aku katakan kepadanya bahwa Abu Amir meminta agar Rasulullah memintakan ampunan kepada Allah bagi dirinya. Kemudian Rasulullah meminta air, lalu beliau berwudlu, dan kemudian berdoa: “Ya Allah ampunilah segala dosa-dosa Abu Amir”. Aku melihat Rasulullah berdoa hingga aku dapat melihat ketiak putih beliau yang mulia. Dalam doanya tersebut Rasulullah berkata pula: “Ya Allah jadikanlah ia di hari kiamat nanti bersama derajat yang tinggi di atas para makhluk-Mu”. Kemudian aku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah doakan pula bagi diriku ini!”. Lalu Rasulullah memintakan ampun bagi diriku. Dalam doanya Rasulullah berkata: “Ya Allah ampuni segala dosa Abdullah ibn Qais (Abu Musa) dan masukanlah ia di hari kiamat nanti pada tempat yang mulia”.[19]
Abu Burdah berkata bahwa doa Rasulullah ini jelas hanya diperuntukkan bagi doa orang sahabatnya tersebut saja, yaitu sahabat Abu Amir al-Asy’ari dan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Kualitas hadits ini adalah shahih, telah diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, di antaranya oleh al-Imâm Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahîh masing-masing.
Doa Rasulullah ini walaupun dalam penyebutannya hanya diperuntukan bagi dua orang saja, namun keberkahan doa tersebut tetap terpelihara secara turun-temurun bagi generasi kedua orang sahabat tersebut. Hal ini sebagaimana telah kita kutip bukti-bukti tekstual pada permulaan sub judul ini bahwa doa Rasulullah tidak hanya terbatas bagi orang yang ia tuju saja, namun tetap membekas terwarisi turun-temurun antar genarasi ke genarasi. Dengan demikian maka doa Rasulullah ini merupakan kabar gembira dan merupakan bukti keutamaan al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari karena mendapatkan “warisan berkah” dari doa Rasulullah bagi moyangnya, yaitu sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Tentang hal ini al-Hâfizh Ibn Asakir menuliskan bahwa hadits ini merupakan kabar gembira bagi Abul Hasan al-Asy’ari. Karena dengan demikian ia masuk dalam doa Rasulullah ini. Hadits ini, –juga beberapa hadits lainnya–, memberikan isyarat tentang kemuliaan Abul Hasan, yang hal ini adalah sesuatu yang nyata bagi orang-orang yang berakal. Karena sesungguhnya telah diriwayatkan dengan sanad-nya dari sahabat Hudzaifah bahwa ia berkata:
صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم تدرك الرجل وولده وولد ولده ولعقبه. اهـ
“Sesungguhnya doa Rasulullah yang diperuntukan bagi seseorang pasti mengenai orang tersebut, juga akan mengenai anak-anak dan cucu-cucunya”[20].
Hadits Sahih Riwayat Ibn ‘Asakir Dari Sahabat Buraidah
Diriwayatkan dari sahabat Buraidah, berkata:
“Suatu malam aku keluar rumah menuju masjid. Setelah sampai tiba-tiba aku melihat Rasulullah sedang berdiri di depan pintu masjid. Saat itu beliau sedang memperhatikan seseorang yang sedang shalat di dalam masjid tersebut. Rasulullah berkata kepadaku: “Wahai Buraidah, apakah engkau melihat orang itu shalat untuk tujuan sombong?”. Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasulullah berkata: “Sesungguhnya dia adalah seorang mukmin Munîb yang sedang mengadu kepada Allah”. Aku memperhatikan orang tersebut shalat hingga menyelesaikannya. Setelah selesai dalam posisi duduknya orang tersebut berdoa mengatakan:
اللّهُمّ إِنّي أَسْألُكَ أَنِّي أشْهَدُ بِأنّكَ أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ إِلهَ إلاّ أنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ الأحَدُ الْفَرْدُ الصّمَدُ الّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أحَد
(Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan kesaksianku bahwa Engkau adalah Allah yang tidak ada Tuhan -yang berhak disembah- kecuali hanya Engkau saja, tidak ada sekutu bagi-Mu, Engkau maha Esa tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Mu, Engkau maha kaya yang tidak membutuhkan kepada suatu apapun dan sebaliknya segala sesuatu membutuhkan kepada-Mu, Engkau yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Mu…).
Sampai pada bacaannya tersebut tiba-tiba Rasulullah berkata kepadaku: “Wahai Buraidah, demi Allah orang itu telah memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang agung. Dan siapapun yang meminta kepada Allah dengan nama-nama-Nya tersebut maka Allah akan memberi, dan siapapun yang berdoa dengan nama-nama-Nya tersebut maka Allah akan mengabulkannya”. Setelah orang tersebut selesai aku lihat dan ternyata orang itu adalah Abu Musa al-Asy’ari”[21].
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir mengatakan bahwa kualitas hadits ini adalah hasan shahih. Juga dinilai sahih oleh para huffazh lainnya. Dengan demikian tidak ada celah bagi kita untuk mempertanyakan kualitas hadits ini, karena salah seorang Hâfizh hadits, terlebih sekelas Ibn Asakir, telah menilai bahwa hadits ini adalah Hadits Sahih[22]. Tentu, tidak dibenarkan bagi orang-orang semacam kita yang sama sekali tidak memiliki otoritas dalam Tash-hih dan Tadl’îf hadits hendak menilai kualitas hadits-hadits Rasulullah. Karena bila dalam seluruh disiplin ilmu terdapat para ahlinya yang sangat sulit bagi orang-orang awam untuk bergelut di dalamnya, maka demikian pula dalam penilaian sahih atau tidaknya hadits-hadits Rasulullah (‘Amaliyyah at-Tash-hîh Wa at-Tadl’îf). Karena hal itu adalah tugas dari para ahli hadits itu sendiri yang dalam hal ini adalah Huffâzh al-Hadîts.
Ada beberapa intisari yang dapat kita petik dari hadits ini, di antaranya sebagai berikut:
(Satu): Bahwa kesalehan sahabat Abu Musa al-Asy’ari benar-benar nyata yang secara tekstual telah diyatakan dengan kesaksian Rasulullah sendiri. Pujian yang dilontarkan oleh Rasulullah adalah bukti nyata bagi hal itu. Anda renungkan hadits ini bagaimana Rasulullah memperhatikan shalat dan bahkan praktek ibadah lainnya dari seorang sahabat Abu Musa yang kemudian Rasulullah berkata: “Dia adalah seorang mukmin Munîb (seorang yang betul-betul berpasrah diri kepada Allah)”. Perhatikan, jika ada seorang pemuka yang sangat terhormat bersaksi di hadapan orang lain bahwa diri kita adalah seorang yang baik maka kita akan sangat tersanjung, lalu bagaimanakah jika yang bersaksi tersebut adalah Rasulullah?! Subhânallâh, sesungguhnya tidak ada kesaksian yang lebih berharga dari pada kesaksian Rasulullah.
(Dua): Teks-teks doa dan kandungan doa tersebut yang telah dibacakan oleh sahabat Abu Musa al-Asy’ari telah benar-benar didengar langsung oleh Rasulullah. Lalu Rasulullah menyebut doa tersebut dengan “ad-Du’â Bi al-Ism al-A’zham”, artinya doa dengan wasilah atau perantara nama-nama Allah yang Agung. Doa yang dibacakan oleh sahabat Abu Musa ini sangat “mujarab” dan ampuh, yang bahkan keampuhan doa ini telah mendapatkan kesaksian dari Rasulullah sendiri.
(Tiga): Di dalam doa sahabat Abu Musa tersebut di atas terdapat salah satu rahasiah besar; ialah bahwa doa tersebut mengandung ajaran-ajaran tauhid. Di dalam doa tersebut terdapat penetapan bagi beberapa sifat Allah sekaligus penjelasan kesucian sifat-sifat tersebut dari menyerupai segala sifat makhluk, artinya doa tersebut mengandung faham al-Itsbât Ma’a at-Tanzîh. Dan sesungguhnya dasar faham akidah inilah yang perjuangkan oleh al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari di kemudian hari. Beliau gigih memerangi faham-faham kaum Musyabbihah; kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya. Dan pada saat yang sama beliau juga gigih memerangi faham-faham Mu’aththilah atau faham Mu’tazilah; kaum yang menafikan sifat-sifat Allah. Metodologi yang diambil oleh al-Imâm Abul Hasan adalah faham moderat di antara faham Musyabbihah dan Mu’tazilah (al-Itsbât Ma’a at-Tanzîh). Karena itu dasar keyakinan yang telah dirumuskan oleh al-Imâm Abul Hasan ini dikenal sebagai faham Mu’tadil, atau Munshif, yang faham ini merupakan keyakinan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
(Empat): Kandungan doa yang dibacakan oleh sahabat Abu Musa al-Asy’ari ini di antaranya adalah petikan dari beberapa ayat al-Qur’an yaitu dari QS. al-Iklhas: 3 Firman Allah: “Lam Yalid Wa Lam Yûlad” yang berarti bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakan; memberikan pemhaman kepada kita bahwa istilah-istilah yang berkembang di dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam dalam bahasan sifat-sifat Allah memiliki dasar yang sangat kuat, firman Allah dalam QS. al-Ikhlas: 4 ini menunjukan pemahaman tersebut. Dengan demikian ketika kita mendapati dalam Ilmu Kalam bahasan bahwa Allah bukan benda (Jauhar), dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda (‘Aradl), atau kita mendapati istilah seperti Ittishâl, Infishâl, Dalîl at-Tamânu’, Wâjib ‘Aqly, Mustahîl ‘Aqly, dan lain sebagainya maka penjelasan itu semua memiliki dasar yang sangat kuat secara tekstual. Dan sesungguhnya metodologi inilah yang diwarisi al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari dari moyang-moyang beliau, termasuk warisan dari salah satu moyang terkemuka beliau, yaitu sahabat Abu al-Musa al-Asy’ari yang telah membacakan doa tersebut di atas.
Hadits Sahih Lainnya Riwayat al-Bukhari dan Muslim
Dalam sebuah Hadits Sahih diriwayatkan dengan sanad-nya dari Abu Musa al-Asy’ari berkata:
كُنْتُ عندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم نازلًا بالجِعْرانةِ بيْنَ مكَّةَ والمدينةِ ومعه بلالٌ فأتى رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم رجُلٌ أعرابيٌّ فقال: ألا تُنجِزُ لي يا محمَّدُ ما وعَدْتَني ؟ فقال له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ( أبشِرْ ) فقال له الأعرابيُّ: لقد أكثَرْتَ عليَّ مِن البُشرى قال: فأقبَل رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم على أبي موسى وبلالٍ كهيئةِ الغضبانِ فقال: (إنَّ هذا قد ردَّ البُشرى فاقبَلا أنتما)، فقالا: قبِلْنا يا رسولَ اللهِ قال: فدعا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بقَدَحٍ فيه ماءٌ ثمَّ قال لهما: ( اشرَبا منه وأفرِغا على وجوهِكما أو نُحورِكما ) فأخَذا القَدَحَ ففعَلا ما أمَرهما به رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فنادَتْنا أمُّ سلَمةَ مِن وراءِ السِّترِ أنْ أفضِلا لِأُمِّكما في إنائِكما (رواه البخاري ومسلم وغيرهما)
“Suatu ketika aku bersama Rasulullah berada di Ja’ranah, suatu wilayah antara Mekah dan Madinah. Tiba-tiba datang seorang baduy menghadap Rasulullah seraya berkata: “Wahai Muhammad, kapankah hendak engkau buktikan segala apa yang telah engkau janjikan kepadaku?”. Rasulullah berkata kepadanya: “Ambilah olehmu berita gembira yang aku sampaikah kepadamu!”. Orang baduy tersebut berkata: “Engkau telah banyak memberikan kabar gembira kepadaku”. Tiba-tiba Rasulullah menghadap kepadaku seperti dalam keadaan marah, beliau berkata: “Orang ini tidak mau menerima kabar gembira dariku, maka kalian berdua terimalah kabar gembira tersebut”. Kami menjawab: “Wahai Rasulullah kami menerimanya”. Kemudian Rasulullah meminta sebuah wadah berisi air, lalu beliau membasuh kedua tangannya dan wajahnya pada wadah tersebut, bahkan beliau mengaduk-aduk air tersebut, seraya berkata kepada kami: “Kalian berdua minumlah air ini, dan sisakanlah sedikit darinya untuk membasuh wajah dan leher kalian, dan terimalah kabar gembira dariku”. Kemudian kami berdua mengambil wadah tersebut dan melakukan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Tiba-tiba Ummu Salamah, dari balik tirai berkata: “Sisakanlah barang sedikit dari air itu untuk ibu kalian ini di dalam wadah kalian berdua” (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya).[23]
Baca buku: Membongkar Kesesatan Ahmad Ibnu Taimiyah
Sahabat yang saat itu bersama Abu Musa adalah Bilal. Kualitas hadits ini sahih, diriwayatkan di antaranya oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahîh masing-masing. Bahkan dalam kitab at-Târikh, al-Bukhari memiliki jalur sanad yang sangat banyak tentang hadits ini, sanad–sanad tersebut saling menguatkan satu sama lainnya dalam menetapkan kebenaran hadits ini.
Hadits Sahih Lainnya Riwayat al-Bukhari dan Muslim Dari Aisyah
Dalam sebuah Hadits Sahih dengan sanad dari Aisyah bahwa ia (Aisyah) berkata: “Suatu ketika Rasulullah mendengar suara bacaaan al-Qur’an dari Abu Musa al-Asy’ari di masjid, lalu Rasulullah bersabda:
لَقَدْ أوْتِيَ هَذَا مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيْرَ دَاوُدَ (رواه مسلم وغيره)
“Dia adalah seorang yang telah dikaruniai suara yang indah, seperti indahnya suara Dawud”. (HR. Muslim dan lainnya)[24].
Kualitas hadits ini sahih. Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menyebutnya dengan hadits Hasan Shahih. Hadits-hadits lainnya yang sejalan dengan hadits ini cukup banyak diriwayatkan oleh para ulama dengan berbagai jalur sanad yang saling menguatkan satu sama lainnya, di antaranya hadits yang telah diriwayatkan oleh al-Imâm Muslim dalam kitab Shahîh-nya.
Hadits Sahih Lainnya Riwayat al-Bukhari dan Muslim
Dalam sebuah Hadits Sahih diriwayatkan bahwa Rasulullah mengutus dua orang sahabatnya untuk berdakwah di wilayah Yaman. Kedua orang tersebut adalah Mu’adz ibn Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari. Rasulullah berwasiat kepada keduanya dalam haditsnya yang terkenal:
بَشِّرَا وَيَسِّرَا وَعَلِّمَا وَلاَ تُنَفِّرَا (رواه البخاري ومسلم)
“Sebarkanlah kabar gembira oleh kalian berdua, carilah kemudahan-kemudahan, ajarkanlah ilmu-ilmu, dan janganlah kalian berdua menjauhkan orang lain -dari kabar gembira ini-”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[25].
Al-Hâfizh ibn Asakir dalam meriwayatkan hadits ini mengatakan bahwa dalam riwayat lain terdapat tambahan sebagai lanjutan sabda Rasulullah tersebut, yaitu; “Wa Tathâwa’â”, artinya hendaklah kalian berdua saling berlaku taat satu terhadap lainnya, jangan saling mengasingkan diri. At-Tathâwu’ dalam bahasa Arab memiliki kandungan makna yang sangat mendalam, di antara maknanya adalah taat terhadap pendapat sesama teman, tidak merasa pendapat dirinya lebih utama dari pendapat temannya, tidak keras kapala, bersikap tawadlu’; merendahkan diri di hadapan orang lain dengan tanpa menghinakan diri sendiri, mudah menerima pendapat orang lain, menganggap pendapat orang lain lebih baik di banding pendapatnya sendiri, tidak mudah marah, dan selalu bersikap lemah lembut terhadap orang lain.
Wasiat Rasulullah ini telah benar-benar dilaksanakan sepenuhnya oleh dua sahabat mulia ini. Keduanya berdakwah menyebarkan Islam di wilayah Yaman sesuai dengan arahan Rasulullah. Daerah Yaman terbagi kepada dua bagian, wilayah Najd dan wilayah Taha-im. Dua orang sahabat ini mengambil masing-masing satu wilayah untuk ladang dakwahnya. Dua wilayah tersebut salah satunya adalah dataran tinggi, sementara yang lain dataran rendah. Dalam proses dakwahnya, dua orang sahabat ini selalu mengadakan pertemuan secara berkala untuk melakukan musyawarah hingga satu dengan yang lainnya saling mengambil manfa’at untuk keberlangsungan dakwah itu sendiri.
Di kemudian hari, dengan hanya dua orang sahabat ini ajaran Islam benar-benar telah menyebar di seluruh pelosok Yaman yang demikian luas. Rahasia agung yang dititipkan oleh Rasulullah kepada keduanya sebagai kunci bagi kesuksesan dakwah adalah sikap Tathâwu’, dan keduanya telah benar-benar melaksanakan wasiat Rasulullah tersebut. Pada diri kedua orang sahabat agung ini sama sekali tidak pernah timbul rasa bosan dalam berdakwah. Bila keduanya bertemu maka satu sama lainnya akan saling menyemangati, saling memberikan arahan, dan saling mengambil pelajaran.
Sikap Tathâwu’ ini dikemudian hari menjadi “perhiasan” dan “pakaian” bagi orang-orang keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Pakain Tathâwu’ inilah pula yang secara umum telah menghiasi kaum Asy’ariyyah; di mana mereka adalah orang-orang yang lemah lembut terhadap sesama muslim, bersikap tawadlu’ dan merendahkan diri di hadapan mereka. Namun demikian bagi orang-orang kafir kaum Asy’ariyyah ini adalah kaum yang sangat menakutkan, karena di samping kekuatan fisik yang mereka miliki, kaum Asy’ariyyah juga memiliki kekuatan dan kecerdasan akal yang istimewa. Karena itu mereka dikenal sebagai kaum yang memiliki argumen-argumen tajam dan dalil-dalil yang sangat kuat. Dalam berjihad menegakan agama Allah mereka adalah kaum yang sama sekali tidak takut terhadap segala macam bentuk cacian dan rintangan. Sifat-sifat inilah yang tersirat dalam firman Allah QS. al-Ma’idah: 54 tentang orang-orang dari keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari:
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ (المائدة: 54)
“Mereka adalah kaum yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, sangat keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah dan sedikitpun mereka tidak takut terehadap cacian orang yang mencaci” (QS. Al-Ma-idah: 54).
Al-Hâfizh ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî dalam mengutip hadits tentang diutusnya dua orang sahabat ini setidaknya meriwayatkan empat hadits dengan jalur sanad yang berbeda yang setiap jalur sanad ini saling menguatkan satu riwayat atas lainnya[26].
Hadits Dari Sahabat Ali ibn Abi Thalib
Dalam sebuah hadits dari al-A’masy dari Amr ibn Murrah dari Abu al-Bukhturi berkata:
أتَينا علِيًّا، فسَألْناه عن أصحابِ محمَّدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قال: عن أيِّهم؟ قُلْنا عن عبد الله؟ قال: علِمَ القُرآنَ والسُّنَّةَ ثُمَّ انتَهى وكَفى به عِلمًا، قُلْنا: أبو موسى؟ قال: صُبِغَ في العِلمِ صِبغةً ثُمَّ خرَجَ منه، قُلْنا: حُذَيفةُ؟ قال: أعلَمُ أصحابِ محمَّدٍ بالمُنافقينَ، قلنا: عمار؟ قال: مؤمن نسي إن ذكرته ذكر، قلنا: أبو ذَرٍّ؟ قال: وَعى عِلمًا عجَزَ عنه، قلنا: سَلمانُ؟ قال: أدرَكَ العِلمَ الأوَّلَ والعِلمَ الآخِرَ بَحرٌ لا يُدرَكُ قَعرُه، منَّا أهلَ البَيْتِ. قلنا: أخبرنا عن نفسك يا أمير المؤمنين؟ قال: كنتُ إذا سَألْتُ أُعطيتُ، وإذا سَكَتُّ ابتُديتُ (رواه أبو نعيم وغيره)
“Suatu ketika kami datang kepada Ali ibn Abi Thalib, kami bertanya kepadanya tentang kepribadian sahabat-sahabat Rasulullah. Ali ibn Abi Thalib berkata kepada kami: “Siapa yang hendak kalian tanyakan?”. Kami menjawab: “’Abdullah ibn Abbas”. Beliau menjawab: “Dia adalah orang yang telah menguasai seluruh ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah hingga telah mencapai puncaknya, dengan hanya pribadi dia saja seluruh ilmu telah terpenuhi”.
Kami berkata: “Bagaimana dengan Abu Musa al-Asy’ari?”. Beliau menjawab: “Dia adalah laksana orang yang telah disepuh dengan berbagai ilmu, dan dia telah keluar dari sepuhan ilmu-ilmu tersebut”.
Kami berkata: “Bagaimana dengan Hudzifah ibn al-Yaman?”. Beliau menjawab: “Dia adalah di antara para sahabat Rasulullah yang paling tahu tentang orang-orang munafik”.
Kami berkata: “Bagimana dengan Ammar ibn Yasir?”. Beliau menjawab: “Dia adalah seorang mukmin yang seakan-akan lupa, namun bila engkau bertanya kepadanya maka ia akan menjawab segala pertanyaanmu”.[27]
Pernyataan Para Ahli Hadits Terkemuka; Ali ibn al-Madini, asy-Sya’bi, dan lainnya
Diriwayatkan dari al-Hâfizh al-Imâm Ali ibn Abdullah al-Madini bahwa ia berkata:
قضاة هذه الأمة أربعة، عمر بن الخطاب وعلي بن أبي طالب وزيد بن ثابت وأبو موسى الأشعري رضي الله عنهم. اهـ
“Hakim terkemuka dari umat ini ada empat orang; Umar ibn al-Khaththab, Ali ibn Abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, dan Abu Musa al-Asy’ari”.[28]
Al-Imâm Ibn al-Madini juga berkata:
وكان الفتيا في أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم في ستة عمر وعلي وعبد الله وزيد وأبي موسى وأبي بن كعب رضي الله عنهم. اهـ
“Dan sesungguhnya para ahli fatwa di kalangan sahabat Rasulullah ada enam orang; Umar ibn al-Khaththab, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Ubay ibn Ka’ab”.[29]
Selain al-Imâm Ibn al-Madini, pernyataan terakhir ini persis sama juga telah diungkapkan oleh al-Imâm Masruq[30].
Demikian pula al-Imâm asy-Sya’bi mengungkapkan hal senada dengan pernyataan di atas, beliau berkata:
كان يؤخذ العلم عن ستة من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، فكان عمر وعبد الله وزيد يشبه علمهم بعضهم بعضا وكان يقتبس بعضهم من بعض، وكان علي وأبي والأشعري يشبه علمهم بعضهم بعضا وكان يقتبس بعضهم من بعض. اهـ
“Sesungguhnya ilmu itu diambil dari enam orang sahabat Rasulullah. Tiga orang pertama adalah; Umar ibn al-Khaththab, Abdullah ibn Abbas dan Zaid ibn Tsabit. Ilmu tiga orang ini satu sama lainnya saling menyerupai, dan ketiganya saling mengambil faedah satu sama lainnya. Sementara tiga lainnya adalah Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka’ab dan Abu Musa al-Asy’ari. Ilmu tiga orang ini satu sama lainnya saling menyerupai, dan ketiganya saling mengambil faedah satu sama lainnya”[31].
Diriwayatkan pula dari Shafwan ibn Sulaim, bahwa ia berkata:
لم يكن يفتي في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم غير هؤلاء القوم عمر وعلي ومعاذ وأبو موسى رضي الله عنهم. اهـ
“Tidak ada seorangpun memberikan fatwa di dalam masjid Rasulullah di masa Rasulullah masih hidup kecuali orang-orang tersebut. Mereka adalah Umar ibn al-Khaththab, Ali ibn Abi Thalib, Mu’adz ibn Jabal, dan Abu Musa al-Asy’ari”[32].
Hadits Sahih Lainnya Riwayat al-Bukhari Dan Muslim
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir meriwayatkan beberapa hadits dengan sanad-nya hingga Rasulullah bahwa beliau bersabda di hadapan para sahabatnya:
يقدمُ عليكم غدًا أقوامٌ هم أرَقُّ قلوبًا للإسلامِ منكم (رواه أبو داود وأحمد والنسائي وغيرهم)
“Akan datang kepada kalian suatu kaum di mana hati mereka lebih lembut dari pada hati kalian” (HR. Abu Dawud, Ahmad, an-Nasa-i dan lainnya).[33]
Ketika kaum ini telah dekat ke Madinah terdengar mereka mengumandangkan bait sya’ir “Ghadan Nalqâ al-Ahibbah, Muhammadan Wa Hizbah” (Kelak esok di hari kiamat kita akan bertemu dan berkumpul dengan para kekasih, yaitu Nabi Muhammad dan para pengikutnya). Lalu kaum ini masuk ke kota Madinah, dan ternyata mereka adalah kaum Asy’ariyyah di mana sahabat Abu Musa al-Asy’ari ada bersama mereka. Dan ketika sampai di Madinah maka mereka saling berjabat tangan, dan sesungguhnya praktek berjabat tangan yang pertama merintis adalah mereka[34].
Dalam hadits lain Rasulullah besabda di hadapan para sahabatnya:
أتَاكُمْ أهْلُ اليَمَن هُمْ أضْعَفُ قُلُوْبًا وأرَقُّ أفئِدَةً الإيْمَانُ يَمَانٌ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيّةٌ وَرَأْسُ الْكُفْرِ نَحْو الْمَشْرِق وَالفَخْرُ وَالْخُيَلاَء فِي الفَدادِيْن وَالْخُيَلاَء فِي أهْل الْخَيْلِ وَالإبِلِ وَالسّكِيْنَةُ فِي أهْلِ الْغَنَم (رواه البخاري ومسلم)
“Telah datang kepada kalian sekelompok orang dari Yaman, hati mereka adalah hati-hati paling lembut, dan nurani mereka adalah nurani yang paling halus, Iman dan hikmah itu berada di Yaman, pangkal kekufuran itu berada di arah timur, kemegahan dan kesombongan itu berada di kaum yang keras kepala, kesombongan itu berada di kaum yang memiliki kuda dan unta, sementara ketenangan dan kerendahan hati itu berada pada kaum yang memiliki kambing”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)[35]
Dalam hadits lain dari sahabat Abdullah ibn Abbas bahwa suatu ketika saat di Madinah tiba-tiba Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya: “Allâhu Akbar, telah datang pertolongan dari Allah, dan telah datang penyebaran Islam (al-Fath) serta telah datang para penduduk Yaman”[36].
Hadits Sahih Riwayat al-Baihaqi Tentang Kandungan Kalimat Hawqalah
Dalam sebuah hadits riwayat al-Bayhaqi dan lainnya diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah meletakan tangannya di pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata:
يا عبدَ اللهِ بنَ قيسٍ ألا أعلِّمُك كنزًا من كنوزِ الجنَّةِ لا حولَ ولا قوَّةَ إلَّا باللَّه
“Wahai Abdullah ibn Qais; Tidakkah aku ajarkan kepadamu tabungan (pembendaharaan) dari tabungan-tabungnan surga? [Ucapkanlah]: Lâ Hawla Wa Lâ Quwwata Illâ Billâh”.
Kemudian Abu Musa al-Asy’ari mengucapkan kalimat Hawqalah tersebut. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Engkau telah diberi pembendaharaan (al-Kanz) dari pembendaharaan-pembendaharaan surga”.[37]
Al-Kanz (pembendaharaan, tabungan) dalam pengertian bahasa adalah sesuatu yang memberikan manfa’at terus-menerus bagi seseorang sekalipun orang tersebut telah meninggal. Para ulama kita di kalangan Ahlussunnah memahami hadits ini sebagai salah satu bukti kebenaran akidah Asy’ariyyah, sebab kandungan yang tersirat dalam makna kalimat Hawqalah tersebut adalah sebagai bantahan kepada kaum Mu’tazilah dan kaum Jabriyyah sekaligus.
Kalimat Hauqalah dalam hadits tersebut mengandung dua makna, pertama: “Tidak ada usaha apapun dari seorang hamba untuk menghindarkan diri dari segala kemaksiatan kecuali semata karena pemeliharaan dan penjagaan dari Allah”, makna ke dua: “Tidak ada kekuatan apapun dari seorang hamba untuk melakukan keta’atan kepada Allah kecuali dengan pertolongan dan dengan taufik Allah”. Inilah makna kalimat Hawqalah yang dimaksud oleh hadits Nabi tersebut sebagaimana telah disepakati oleh para ulama Ahlussunnah. Lihat pemaknaan ini di antaranya dalam ungkapan al-Imâm Abu Ja’far ath-Thahawi dalam risalah akidah Ahlussunnah yang dikenal dengan al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah yang beliau kutip dari ungkapan-ungkapan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Abu Yusuf dan al-Imâm asy-Syaibani.
Faham Ahlussunnah ini berbeda dengan keyakinan kaum Qadariyyah (Mu’tazilah) yang mengatakan bahwa segala perbuatan hamba adalah ciptaan hamba itu sendiri. Dalam keyakinan Qadariyyah ini bahwa kehendak Allah sama sekali tidak terkait dengan segala usaha manusia. Artinya, menurut mereka Allah dalam hal ini sama sekali terlepas, tidak terikat dan terbebas dari segala apa yang dilakukan oleh seorang hamba. Kesimpulannya, menurut kaum Qadariyyah manusia adalah pencipta bagi segala perbuatan yang ia lakukannya sendiri, dan Allah tidak menentukan apapun bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukannya tersebut.
Adapun kaum Jabriyyah, yang juga berkayakinan ekstrim, berseberangan seratus delapan puluh derajat dengan kaum Qadariyyah. Kaum Jabriyyah mengatakan bahwa manusia dengan segala perbuatan yang ia lakukannya adalah laksana kapas ditiup angin, sama sekali tidak memiliki usaha dan ikhtiar. Dalam keyakinan mereka setiap hamba dipaksa (Majbûr) dalam segala perbuatan yang ia lakukannya. Kesimpulannya, menurut kaum Jabriyyah ini setiap manusia itu tidak memiliki usaha atau ikhtiar sama sekali dalam segala perbuatan yang ia lakukannya.
Dua faham sesat kaum Qadariyyah dan kaum Jabriyyah tersebut sama-sama ekstrim dan menyalahi akidah Ahlussunnah. Adapun keyakinan Ahlussunnah di tengah-tengah antara dua faham tersebut, yang karenanya Ahlussunnah dikenal sebagai kelompok moderat, atau dikenal dengan al-Firqah al-Mu’tadilah atau al-Firqah al-Munshifah. Ahlussunnah meyakini bahwa segala apapun pada alam ini, dari segala benda maupun sifat-sifat benda, terjadi dengan kehendak Allah, ilmu Allah, dan dengan penciptaan dari Allah, termasuk dalam hal ini kekufuran, kemaksiatan, kejahatan, keburukan, keimanan, kebaikan, ketaatan, dan segala apapun dari perbuatan-perbuatan manusia. Namun demikian manusia memiliki ikhtiar dan usaha dalam segala perbuatan yang ia lakukannya tersebut. Usaha atau ikhtiar inilah yang disebut dengan al-Kasb.
Al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari berasal dari keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Sebagaimana diketahui bahwa beliau adalah Imam Ahlussunnah yang sangat gigih dalam memerangi akidah kaum Qadariyyah atau Mu’tazilah dan akidah kaum Jabriyyah. Rumusan-rumusan akidah yang telah beliau formulasikan bahwa segala perbuatan hamba adalah ciptaan Allah (Khalq Af’âl al-Ibâd) telah benar-benar membungkam faham Qadariyyah dan faham Jabriyyah sekaligus. Para ulama kita di kalangan Ahlussunnah mengatakan bahwa ketika Rasulullah memberikan pembendaharaan surga kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, yaitu kalimat Hawqalah, yang dimaksud adalah sebagai bukti kebenaran akidah yang telah dirumuskan oleh al-Imâm Abu Musa al-Asy’ari. Benar, akidah inilah yang kemudian diyakini mayoritas umat Muhammad dari masa ke masa, antar genarasi ke genarasi. Dengan demikian hadits ini merupakan salah satu mu’jizat Rasulullah, di mana beliau memberikan petunjuk tentang akidah yang benar bagi umatnya.
Tentang hadits ini al-Imâm Badruddin az-Zarkasyi dalam kitab Tasynîf al-Masâmi’ Bi Syarh Jam’i al-Jawâmi’ menuliskan sebagai berikut:
ففهم من هذا الحديث الإشارة إلى ما خرج من ظهر أبي موسى وهو الإمام أبو الحسن يذب الفرق الضالة عن القدح في هذه الكلمة، لأن القدري يقول: تحولي إلى المعصية إلى الطاعة، والجبري يقول: قولكم إلا الله استثنيتم القوة بعد النفي فيه إثبات قوة للعبد وأنا لا أؤمن بذلك، فما آمن بالكلية على تحقيقها وعضدها إلا أبو الحسن ومن قال بقوله لا جبري ولا قدري.
“Hadits ini memberikan isyarat bahwa kelak dari keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari akan datang al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau (Abul Hasan) adalah seorang yang sangat gigih memerangi faham kelompok-kelompok sesat yang tidak sejalan dengan faham kalimat Hawqalah ini; mereka adalah kaum Qadariyyah yang mengatakan: “Saya membebaskan diri dari kemaksiatan kepada perbuatan taat adalah oleh usaha saya sendiri, (bukan oleh Allah)”, dan kaum Jabriyyah yang mengatakan: “Pernyataan kalian (wahai kaum Ahlussunnah) “Illâ Billâh” sama saja kalian manetapkan adanya kekuatan setelah kalian menafi-kan, dan itu artinya sama saja kalian menetapkan adanya kekuatan bagi seorang hamba, karena itu kami tidak percaya dengan pernyataan kalian”. Al-Imâm Abul Hasan adalah orang yang benar-benar memahami maksud dan kandungan kalimat Hawqalah tersebut. Beliau adalah yang menetapkan adanya al-Kasb atau usaha bagi manusia. Artinya bahwa manusia dalam perbuatannya bukan seorang yang dipaksa, juga sama sekali tidak terbebas dari Allah”[38].
Masih dalam perkataan az-Zarkasyi, dalam kitab tersebut beliau juga menuliskan sebagai berikut:
وقد أفرد البيهقي فصلا في رسالة العميد بالثناء على الأشعري وبيان عقيدته وأنه اعتقاد أهل السنة من بين الطوائف وذكر غيره أنه إنما كان يقرر مذاهب السلف من أهل السنة، قال أبو الوليد الباجي؛ وقد ناظر ابن عمر منكر القدر واحتج عليهم بالحديث، وناظر ابن عباس الخوارج، وناظر عمر بن عبد العزيز وربيعة الرأي غيلان القدري في القدر، والشافعي حفص الفرد، وسائر الأئمة، وألف فيه مالك قبل أن يخلق الأشعري، وإنما بين الأشعري ومن بعده من أصحابهم منهاجهم ووسع أطناب الأصول التي أصلوها، فنسب المذهب بذلك إليه كما نسب مذهب الفقه على رأي أهل المدينة إلى مالك ورأي الكوفيين إلى أبي حنيفة لما كان هو الذي صحح من أقوالهم ما رضي به الناس. اهـ
“Dalam hal ini al-Bayhaqi telah membuat pasal tersendiri dalam risalah yang ia tulis kepada al-‘Amid. Di dalamnya al-Bayhaqi memuji al-Asy’ari dan menjelaskan kebenaran akidah Ahlussunnah di antara firqah-firqah lainnya. Selain al-Bayhaqi, juga banyak yang telah mengatakan bahwa al-Asy’ari adalah orang yang telah memformulasikan madzhab Salaf dari kalangan Ahlussunnah. Abu al-Walid al-Baji berkata: Abdullah ibn Umar dengan beberapa hadits Rasulullah telah membantah orang yang mengingkari Qadar (yaitu orang yang mengatakan bahwa Allah tidak menentukan apapun bagi perbuatan yang dilakukannya). Kemudian Abdullah ibn Abbas telah membantah kaum Khawarij. Lalu Umar ibn Abd al-Aziz dan Rabi’ah ar-Ra’yi telah membantah Ghaylan; salah seorang pemuka kaum Qadariyyah. Asy-Syafi’i telah membantah Hafsh al-Fard. Dan para ulama terkemuka lainnya banyak melakukan hal yang sama. Bahkan al-Imâm Malik telah menuliskan berbagai bantahan terhadapa mereka sebelum al-Asy’ari datang. Dengan demikian al-Asy’ari dan para pengikutnya bukan membawa ajaran yang baru, hanya saja memang mereka adalah orang yang telah merinci dan memformulasikan segala permasalahan-permasalahan yang berkembang dalam masalah ushul ini. Dengan begitu Ilmu Ushul ini lebih banyak dinisbatkan kepada beliau. Sebenarnya ini sama saja dengan penisbatan madzhab fiqih yang berkembang di Madinah kepada al-Imâm Malik, atau madzhab Fiqih yang berkembang di kalangan penduduk Kufah kepada al-Imâm Abu Hanifah. Karena kedua Imam ini telah merumuskan Fiqih yang berkembang di wilayah masing-masing saat itu yang rumusannya kemudian diterima oleh banyak orang”[39].
Hadits Sahih Riwayat Ahmad, Hakim, Dan Lainya
Dalam hadits riwayat al-Imâm Ahmad ibn Hanbal dan al-Imâm al-Hakim disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
لَتُفْتَحَنّ الْقِسْطَنْطِيْنِيّةُ فَلَنِعْمَ الْأمِيْرُ أمِيْرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذلِكَ الْجَيْشُ (رَوَاهُ البخاري وأحْمَد والطبراني وغيرهم)
“Kota Kostantinopel (Istanbul sekarang) benar-benar akan ditaklukan oleh seorang panglima. Panglima tersebut adalah sebaik-baiknya panglima dan sebaik-baiknya tentara” (HR. al-Bukhari, Ahmad, al-Hakim dan lainnya).[40]
Hadits ini menjadi sebuah kenyataan setelah sekitar 800 tahun kemudian. Ialah ketika kota Istanbul takluk di tangan sultan Muhammad al-Fatih. Sebelum beliau, telah banyak panglima yang berusaha untuk menaklukan kota tersebut, termasuk ayah dari sultan Muhammad al-Fatih sendiri, yaitu sultan Murad ats-Tsani. Tentu tujuan mereka semua berkeinginan sebagai yang dimaksud oleh Rasulullah dalam pujiannya dalam hadits di atas. Namun ternyata hanya sultan Muhammad al-Fatih yang dapat menaklukan kota Kostantinopel hingga jatuh secara penuh ke dalam kekuasaan orang-orang Islam.
Sejarah telah mencatat bahwa sultan Muhammad al-Fatih adalah seorang Asy’ari tulen. Dalam akidah, beliau sangat kuat memegang teguh Ahlussunnah Wal jama’ah di atas madzhab Asy’ariyyah. Beliau sangat mencintai para ulama dan kaum sufi. Dalam hampir segala keputusan yang beliau tetapkan adalah hasil dari pertimbangan-pertimbangan yang telah beliau musyawarahkan dengan para ulama dan kaum sufi terkemuka. Bahkan sebelum beliau memutuskan untuk turun menaklukan kota Kostantin beliau bermusyawarah dengan guru-guru spiritualnya tersebut. Musyawarah di sini tidak hanya terbatas untuk membentuk mental dan spirit semata, namun juga pembahasan tentang metode, alat-alat perang, perbekalan dan lain sebagainya.
Kemudian salah satu senjata terpenting yang tertancap kuat dalam keyakinan sultan Muhammad al-Fatih adalah kekuatan tawassul. Karena itu, sebelum turun ke medan perang beliau melakukan tawassul dengan Rasulullah. Artinya beliau meminta kepada Allah agar diluluskan cita-citanya dengan menjadikan Rasulullah sebagai wasilah atau perantara dalam doanya. Dengan demikian hadits di atas, secara tersirat, memberikan pelajaran penting kepada kita bahwa tawassul adalah sesuatu yang telah disyari’atkan dalam Islam.
Pujian Rasulullah terhadap panglima penakluk Kostantin dalam hadits di atas adalah salah satu bukti kuat tentang kebenaran akidah yang diyakini oleh panglima tersebut. Juga bukti kebenaran akidah dari bala tentara atau orang-orang yang saat itu bersamanya. Mereka itu semua adalah kaum Asy’ariyyah, kaum yang berkeyakinan akan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Mereka berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, bahwa Allah suci dari segala bentuk dan ukuran, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum yang berkeyakinan tentang disyari’atkannya tawassul, baik tawassul dengan para Nabi, maupun tawassul dengan para wali Allah atau orang-orang saleh lainnya. Karenanya, tidak sedikit dari bala tentara Sultan Muhammad al-Fatih saat itu adalah orang-orang yang berasal kalangan sufi dan para pengikut tarekat.
______________
[1] Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliya, j. 6, h. 259, ath-Thayalisi, Musnad, h. 307, al-‘Uqayli, adl-Dlu’afa al-Kabir, h. 4, h. 289
[2] Ahmad ibn Hanbal, Musnad, nomor hadits 7980, at-Tirmidzi, Sunan, nomor hadits 2680, an-Nasa-i, Sunan, nomor hadits 4291
[3] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, nomor hadits 4897, Muslim, Shahih Muslim, nomor hadits 2546, at-Tirmidzi, Sunan, nomor hadits 3261, an-Nasa-i, Sunan, nomor hadits 8278, Ahmad ibn Hanbal, Sunan, nomor hadits 8081
[4] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 73
[5] Lihat Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 73-74
[6] Al-Bazzar, al-Ahkâm asy-Syar’iyyah, 4/213, al-Haytsami, Majma’ az-Zawa-id, 7/117, Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 75
[7] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 73
[8] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 75
[9] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 75
[10] Al-Hakim berkata: “Ini hadits sahih di atas syarat Imam Muslim”. diriwayatkan pula oleh ath-Thabari dalam tafsirnya, ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Awsath, 2/103, al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id; dan berkata: “Para perawi hadits ini adalah para perawi sahih”. 7/19
[11] As-Subki, Thabaqât asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 364
[12] As-Subki, Thabaqât asy-Syafi’iyyah, j. 7, h. 219
[13] As-Subki, Thabaqât asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 364
[14] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Mufarî, h. 50
[15] Lihat Ibnu ‘Asakir Tabyîn Kadzib al-Mufarî, h. 49-50, mengutip dari perkataan al-Bayhaqi. Tulisan al-Bayhaqi ini dikutip juga oleh Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 362-363
[16] Tajuddin as-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 363
[17] Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 1816. Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, nomor hadits 4734
[18] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, nomor hadits 4033, at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, nomor hadits 2479. Lihat pula Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 72
[19] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, nomor hadits 4323, Muslim, Shahih Muslim, nomor hadits 2498, dan lainnya.
[20] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 73
[21] Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, hadits nomor 892. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadits nomor 1493, at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadits nomor 3475, an-Nasa-i, as-Sunan al-Kubra, hadits nomor 7666, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadits nomor 3757, Al-Haytsami, Majma’ az-Zawa-id, 9/361; dan seluruh parawinya adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya).
[22] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 76
[23] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 4328, Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 2497, Ibnu Hibban, Shahih Ibn Hibban, hadits nomor 558, dan lainnya.
[24] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 5048, Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 793, Ath-Thabarani, al-Mu’jam al-Awsath, 2/79, Ibnu Hibban, Shahih Ibn Hibban, hadits nomor 7195, an-Nasa-i, Sunan an-Nasa-i, 1020, Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, nomor hadits 24079, al-Haytsami, Majma’ az-Zawa-id, 9/362
[25] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 3038, Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 1733, Ibnu Hibban, Shahih Ibn Hibban, hadits nomor 5373, al-Haytsami, Majma’ az-Zawa-id, 5/260, ath-Thabarani, al-Mu’jam al-Awsath, 7/250,
[26] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 78
[27] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadits nomor 3729, an-Nasa-i, as-Sunan al-Kubra, hadits nomor 8504, Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliya’, 4/425, dan lainnya.
[28] Ali al-Madini, ‘Ilal al-Hadits Wa Ma’rifah ar-Rijar Wa at-Tarikh, h. 105. Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 80, Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqat al-Kubra, hadits nomor 2467,
[29] Ali al-Madini, ‘Ilal al-Hadits Wa Ma’rifah ar-Rijar Wa at-Tarikh, h. 107. Lihat pula Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 80
[30] Ali al-Madini, ‘Ilal al-Hadits Wa Ma’rifah ar-Rijar Wa at-Tarikh, h. 108. Lihat pula Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 80, Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqat al-Kubra, 2/351, al-Hakim, al-Mustadrak, 4/355, dan lainnya
[31] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 80
[32] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 81
[33] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadits nomor 5213, an-Nasa-i, as-Sunan al-Kubra, hadits nomor 8352, Ahmad, Musnad Ahmad, hadits nomor 12582, dan lainnya.
[34] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadits nomor 52 13, an-Nasa-i, as-Sunan al-Kubra, hadits nomor 8352, Ibnu Hibban, Shahih Ibn Hibban, hadits nomor 7193, Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 45, dan lainnya.
[35] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 4390, Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 52, at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadits nomor 3935, ath-Thabarani, al-Mu’jam al-Awsath, 2/203, dan lainnya.
[36] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 82
[37] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 2992, Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 2704, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadits nomor 1526, at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadits nomor 3374, an-Nasa-i, as-Sunan al-Kubra, hadits nomor 7679, dan lainnya.
[38] Az-Zarkasyi, Tasynîf al-Masâmi’ Bi Syarh Jam’il Jawâmi’, j. 2, h. 356
[39] Az-Zarkasyi, Tasynîf al-Masâmi’ Bi Syarh Jam’il Jawâmi’, j. 2, h. 357
[40] Al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir, 2/81, Ahmad, Musnad Ahmad, hadits nomor 18957, ath-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 1216, dan lainnya.