Minggu, September 24, 2023
spot_img

Cahaya di Kegelapan

Nasehat

” يا ولدي ، إذا تعلمت علما وسمعت نقلا حسنا فاعمل به ولا تكن من الذين يعلمون ولا يعملون “

Al Imam Ahmad ar-Rifa’i rahimahullah berkata: “Wahai anakku jika kalian telah belajar suatu ilmu dan mendengar suatu nukilan yang baik maka hendaklah kalian amalkan dan jangan menjadi orang yang mengetahui (berilmu) tapi tidak mau mengamalkan”.

 

بسم الله الرحمن الرحيم

Mukaddimah

الحمد لله الذي أنزل على عبده الكتاب ولم يجعل له عوجا قيما لينذر بأسا شديدا من لدنه ويبشرالمؤمنين الذين يعملون الصالحات أن لهم أجرا حسنا، والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه الطيبين الطاهرين وبعد.

Allah ta’ala berfirman :

فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك (سورة محمد : 19)

Maknanya : “Maka ketahuilah olehmu bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan mohon ampunlah atas dosa- dosamu ” (Q.S. Muhammad : 19)

Pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya (Ilmu Tauhid) adalah pengetahuan yang paling mulia, paling agung, paling utama dan yang paling wajib. Pengetahuan tentang hal ini disebut Ilmu Ushul atau Tauhid atau ‘Aqidah. Pada ayat yang telah disebutkan di atas didahulukan perintah untuk mengetahui tauhid sebelum perintah untuk ber-istighfar (meminta ampun dari dosa), karena tauhid ; mengesakan Allah berkaitan dengan ilmu ushul sedangkan istighfar berkaitan dengan ilmu furu’.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam sendiri telah mengkhususkan dirinya dengan pengetahuan tentang Allah tersebut dengan mengatakan:

أنا أعلمكم بالله وأخشاكم له

(“Aku adalah orang yang paling mengenal Allah di antara kalian dan yang paling takut kepada-Nya”).

Oleh karenanya, ilmu ini adalah ilmu yang paling penting untuk dipelajari dan yang paling utama untuk diagungkan. Ilmu tauhid ini adalah ilmu yang paling mulia karena dia merupakan pondasi Hukum Islam, yang bertujuan mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat, serta didasarkan atas dalil-dalil yang Qath’i (yang tak terbantahkan) yang kebanyakan diambil dari dalil sam’i (Naqli : al Qur’an dan hadits ).

Melihat pentingnya pengetahuan tentang tauhid ini, berikut ini adalah sebuah ringkasan tentang aqidah ahlussunnah waljama’ah yang diyakini oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam dan para sahabatnya yang mulia serta para pengikut mereka yang setia sampai pada zaman kita sekarang ini, mereka adalah mayoritas umat Muhammad di belahan Timur dan Barat dunia Islam.

Semoga ringkasan aqidah ini bermanfaat, Amin.

 

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Allah ta’ala berfirman :

ليس كمثله شىء (سورة الشورى : 11)

Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11)

Penjelasan:
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang berbicara tentang tanzih (mensucikan Allah dari menyerupai makhluk), at-Tanzih al Kulli; pensucian yang total dari menyerupai makhluk. Jadi maknanya sangat luas, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah maha suci dari berupa benda, dari berada pada satu arah atau banyak arah atau semua arah. Allah maha suci dari berada di atas ‘arsy, di bawah ‘arsy, sebelah kanan atau sebelah kiri ‘arsy. Allah juga maha suci dari sifat-sifat benda seperti bergerak, diam, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan sifat-sifat benda yang lain.

Al Imam Abu Hanifah berkata:

أنـى يشبه الخالق مخلوقـه

“Mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya”.

Jadi Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, dari satu segi maupun semua segi. Al Imam Malik berkata :

وكيف عنه مرفوع

“Kayfa ( bagaimana; sifat-sifat benda) itu mustahil bagi Allah”.

Perkataan al Imam Malik ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dengan sanad yang kuat. Maksud perkataan al Imam Malik ini adalah bahwa Allah maha suci dari al Kayf (sifat makhluk) sama sekali. Definisi al Kayf adalah segala sesuatu yang merupakan sifat makhluk seperti duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak dan lain–lain.

المحدود عند علماء التوحيد ما له حجم صغيرا كان أو كبيرا والحد عندهم هو الحجم إن كان صغيرا وإن كان كبيرا الذرة محدودة والعرش محدود والنور والظلام والريح كل محدود.

“Menurut ulama tauhid yang dimaksud dengan al mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran dan disebut Mahdud demikian juga ‘Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran dan disebut Mahdud”.

Penjelasan :
Allah ta’ala berfirman :

الحمد لله الذي خلق السموات و الأرض وجعل الظلمات و النور (سورة الأنعام : 1)

Maknanya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya” (Q.S. al An’am : 1).

Dalam ayat ini Allah ta’ala menyebutkan langit dan bumi, keduanya termasuk benda yang dapat dipegang oleh tangan (Katsif). Allah juga menyebutkan kegelapan dan cahaya, keduanya termasuk benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan (Lathif). Ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa pada Azal (keberadaan tanpa permulaan) tidak ada sesuatupun selain Allah, baik itu benda katsif maupun benda lathif. Dan ini berarti bahwa Allah tidak menyerupai benda lathif maupun benda katsif.

Allah ta’ala menciptakan alam ini terbagi menjadi dua bagian: benda dan sifat benda. Benda terbagi menjadi dua: Pertama : benda katsif yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti pohon, manusia, air dan api. Kedua : Benda Lathif, yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, kegelapan, ruh, udara.

Masing-masing benda memiliki batas, ukuran, dan bentuk. Allah ta’ala berfirman:

وكل شىء عنده بمقدار (سورة الرعد : 8)

Maknanya: “Segala sesuatu memiliki ukuran (yang telah ditentukan)” (Q.S. ar-Ra’d : 8)

Bahwa benda katsif memiliki ukuran adalah hal yang sudah jelas. Sedangkan mengenai bahwa benda lathif memiliki ukuran adalah sesuatu yang memerlukan pengamatan dan penelitian yang seksama. Cahaya misalnya memiliki tempat dan ruang kosong yang diisi olehnya, cahaya matahari menyebar ke areal/jarak yang sangat luas yang diketahui oleh Allah, ukurannya sangat luas. Sementara cahaya lilin ukurannya sangat kecil. Cahaya kunang–kunang yang berjalan di rerumputan di malam hari, Allah jadikan cahayanya sekecil itu. Cahaya yang paling luas adalah cahaya surga. Jadi masing-masing cahaya tersebut memiliki batas dan ukuran yang membatasinya. Kegelapan juga memiliki ukuran dan ruang kosong yang diisi olehnya. Kadang tempat kegelapan tersebut sempit dan kadang luas. Demikian juga angin memiliki tempat yang diisi olehnya. Para Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menimbangnya dan mengirimkannya sesuai dengan perintah dan ketentuan Allah. Ada angin yang dingin, angin yang panas. Ada angin yang Allah kirimkan untuk menghancurkan suatu kaum, begitu juga ada angin yang dikirimkan sebagai rahmat. Jadi masing-masing angin tersebut memiliki timbangan yang telah ditentukan oleh Allah. Demikian juga, roh memiliki ukuran. Ketika roh berada pada tubuh manusia, roh berukuran sama dengan badan orang tersebut dan ketika roh berpisah, meninggalkan badan seseorang ia bertempat di udara tanpa menyatu dengan jasadnya. Jadi kesimpulannya setiap makhluk pasti memiliki tempat, baik tempat yang besar maupun yang kecil.

Benda paling kecil yang diciptakan oleh Allah dan bisa dilihat oleh mata adalah haba’. Haba’ adalah sesuatu yang kecil yang terlihat apabila sinar matahari masuk ke dalam rumah dari jendela, nampak seperti debu yang kelihatan oleh mata, benda ini disebut haba’. Memang masih ada lagi benda yang lebih kecil dari haba’, yang bahkan tidak dapat dilihat oleh mata karena sangat kecilnya, walaupun demikian tetap saja benda tersebut memiliki bentuk yaitu bentuk yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah yang disebut dalam istilah tauhid al Jawhar al Fard; bagian yang tidak bisa dibagi– bagi lagi. Al Jawhar al Fard adalah benda yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah, al Jawhar al Fard adalah asal bagi semua benda.

Semua benda ini memilki batas dan ukuran dan karenanya membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, dan dengan begitu benda tidak sah menjadi tuhan. Ketuhanan hanya sah berlaku bagi yang tidak memiliki ukuran sama sekali, yaitu Allah yang maha suci dari status Mahdud (Allah tidak memiliki batas dan ukuran). Makna Mahdud di sini tidak hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki bentuk kecil saja akan tetapi sesuatu yang memiliki bentuk yang besar juga disebut Mahdud.

Sedangkan al A’radl adalah sifat benda seperti bergerak, diam, warna, rasa dan lain–lain. Jadi di antara sifat benda adalah bergerak dan diam, sebagian benda terus-menerus bergerak, yaitu bintang, bahkan an-Najm al Quthbi (bintang yang bisa menunjukkan arah kiblat) sekalipun bergerak, hanya saja gerakannya pelan dan bergerak di tempatnya. Sebagian benda lagi ada yang terus–menerus diam seperti tujuh langit yang ada. Sebagian benda lagi kadang diam dan kadang bergerak seperti manusia, malaikat, jin dan binatang.
Termasuk di antara sifat benda juga adalah berwarna kadang sesuatu berwarna putih, ada yang berwarna merah, kuning atau hijau. Matahari juga memiliki sifat, di antara sifatnya adalah panas. Angin juga memiliki sifat di antara sifatnya adalah dingin, panas, berhembus dengan kuat atau pelan.

Jadi Allah ta’ala yang menciptakan alam ini dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, maka Dia tidak menyerupainya, dari satu segi maupun semua segi. Allah ta’ala tidak menyerupai benda katsif maupun benda lathif dan juga tidak bersifat dengan sifat–sifat benda, Allah tidak menyerupai satupun dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, oleh karena itu Ahlussunnah mengatakan:

الله موجود بلا مكان ولا جهة

“Allah ada tanpa tempat dan arah”.

Allah menjadikan arah atas sebagai tempat bagi ‘arsy dan para Malaikat yang mengelilinginya dan juga sebagai tempat bagi al-Lauh al Mahfuzh dan lain-lain. Allah menjadikan manusia, binatang ternak, serangga dan lain-lain bertempat di arah bawah. Jadi Dzat yang menciptakan sebagian makhluk bertempat di arah ‘arsy dan sebagian yang lain di arah bawah mustahil bagi-Nya memiliki arah. Karena seandainya dikatakan dia berada di salah satu arah atau bertempat di semua arah niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta’ala telah berfirman :

ليس كمثله شىء

Maknanya: “Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya”.

Inilah aqidah yang diyakini oleh semua kaum muslimin di negara-negara muslim; Indonesia, Mesir, Irak, Turki, Maroko, Al Jazair, Tunisia, Yaman, Somalia dan daratan Syam, mereka semua dan yang lain di negara-negara lain semua mengajarkan keyakinan ini.
Sedangkan orang yang meyakini bahwa Allah adalah benda yang sama besarnya dengan ‘arsy, memenuhi ‘arsy atau separuh dari ‘arsy atau meyakini bahwa Allah lebih besar dari ‘arsy dari segala arah kecuali arah bawah atau bahwa Allah adalah cahaya yang bersinar gemerlapan atau bahwa Allah adalah benda yang besar dan tidak berpenghabisan atau berbentuk seorang yang muda atau remaja atau orang tua yang beruban, maka semua orang ini tidak mengenal Allah. Mereka tidak menyembah Allah, meskipun mereka mengira diri mereka muslim. Mereka bukanlah orang yang menyembah (beribadah) Allah, yang mereka sembah adalah sesuatu yang mereka bayangkan dan gambarkan dalam diri mereka, sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Musibah mereka yang paling besar adalah bahwa mereka tidak memahami adanya sesuatu yang bukan benda. Oleh karena itu mereka –dengan segenap upaya- berusaha menjadikan Allah benda yang bersifat dengan sifat-sifat benda pula, lalu bagaimana bisa mereka mengaku mengenal dan memahami firman Allah ( ليس كمثله شىء ) dan beriman kepadanya ?!!. Seandainya mereka benar-benar mengetahui ayat tersebut dan beriman dengannya niscaya mereka tidak akan menjadikan Allah sebagai benda, karena alam ini seluruhnya adalah benda dan sifat-sifat yang ada padanya.

Seandainya terjadi perdebatan antara orang-orang Musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti orang Wahhabi -yang meyakini bahwa Allah adalah benda, yang memiliki ukuran- dengan orang yang menyembah matahari. Orang Wahhabi akan mengatakan kepada penyembah matahari: Anda, wahai penyembah matahari, matahari yang engkau sembah ini tidak berhak untuk menjadi tuhan. Penyembah matahari akan menjawab dan berkata kepada orang Wahhabi: bagaimana mungkin matahari tidak berhak untuk disembah, padahal bentuknya indah, manfaatnya sangat besar, anda bisa melihatnya dan saya juga melihatnya dan semua orang melihatnya, semua orang mengetahui dengan baik manfaatnya. Bagaimana mungkin agama saya batil dan agamamu benar, sementara anda menyembah sesuatu yang anda bayangkan dalam diri anda, anda tidak melihatnya dan kami juga tidak melihatnya, anda mengatakan tuhan anda adalah bentuk yang besar yang duduk di atas ‘arsy ?!!.
Orang Wahhabi tidak akan memiliki dalil ‘aqli (argumen rasional), seandainya orang Wahhabi mengatakan : al Qur’an telah menegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam, Dia-lah yang berhak untuk disembah, tidak ada sesuatu selain-Nya yang berhak untuk disembah. Maka orang yang menyembah matahari tersebut akan mengatakan kepadanya: Saya tidak beriman dengan kitab suci anda, berikan kepada saya dalil ‘aqli bahwa matahari tidak berhak untuk dijadikan tuhan yang disembah dan bahwa apa yang anda sembah yang anda bayangkan (dalam benak anda) itu berhak untuk disembah !. Maka orang Wahabi akan terdiam dan membisu.

Sedangkan kita, Ahlussunnah memiliki jawaban yang rasional. Kita akan mengatakan kepada penyembah matahari : matahari yang anda sembah, yang mempunyai ukuran tertentu dan bentuk tertentu, pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran dan bentuk tersebut. Sedangkan tuhan kami, Ia adalah sesuatu yang ada tetapi tidak menyerupai segala sesuatu yang ada, tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, Dia tidak memiliki ukuran, tidak memiliki bentuk, tidak memiliki arah, tidak memilki tempat dan tidak memiliki permulaan. Inilah Dzat yang ada, yang kami sembah yang dinamakan Allah. Dialah yang berhak untuk disembah. Dia yang menciptakan matahari yang anda sembah, manusia dan segala sesuatu yang lain.

Seorang Sunni; penganut akidah Ahlussunnah ketika mengeluarkan hujjah ‘aqli ini tanpa mengatakan: Allah ta’ala berfirman demikian, telah mampu mengalahkan orang kafir yang menyembah matahari tersebut. Maka segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita petunjuk kepada keyakinan yang benar ini, kita tidak akan menemukan kebenaran dan petunjuk semacam ini seandainya tidak karena mendapat petunjuk Allah.

Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata:

من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود (رواه أبو نعيم)

Maknanya: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W. 430 H) dalam Hilyah al Auliya, juz I hal. 72).

Penjelasan :
Maksud dari perkataan sayyidina Ali ini adalah bahwa orang yang berkeyakinan atau beranggapan bahwa Allah adalah benda yang besar atau kecil maka dia adalah kafir, tidak mengenal Allah, seperti orang yang meyakini bahwa Allah menempati salah satu arah seperti arah atas. Karena dengan keyakinan seperti ini orang tersebut telah menjadikan Allah mahdud (memiliki ukuran), padahal setiap yang mahdud (berukuran besar atau kecil) pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, sementara yang membutuhkan itu lemah dan yang lemah mustahil menjadi tuhan.

Jadi dalam perkataan sayyidina ‘Ali radliyallahu ‘anhu terdapat dalil yang jelas bahwa Allah ta’ala maha suci dari hadd (ukuran) sama sekali. Maka barangsiapa yang menyandarkan kepada Allah sifat duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak maka sesungguhnya dia tidak mengenal Allah, dan barangsiapa yang tidak mengenal Allah maka ia sesungguhnya masih berstatus kafir.

Haba’ memiliki ukuran, semut memiliki ukuran, manusia memiliki ukuran, matahari memiliki ukuran, langit memiliki ukuran, ‘arsy memiliki ukuran. Jadi masing-masing yang disebutkan memiliki ukuran dan membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut.

Jadi, setiap sesuatu yang memiliki ukuran pasti dia adalah makhluk, yang membutuhkan (kepada selainnya) dan lemah maka tidaklah sah baginya sifat ketuhanan. Ketuhanan hanya sah bagi yang tidak memiliki ukuran sama sekali yaitu Allah subahanahu wata’ala, yang tidak membutuhkan kepada seluruh alam, yang tidak mempunyai bentuk dan ukuran.
Al-Imam al-Ghazali semoga Allah merahmatinya berkata:

لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود

Maknanya: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.

Jadi barangsiapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi mudah–mudahan Allah meridlainya ( 227-321 H) mengatakan :

“تعالـى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات”

“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.

Penjelasan :
Imam ath-Thahawi adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah, lahir tahun 227 H. Jadi beliau masuk dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam :

خيـر القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم (رواه الترمذي)

Maknanya : “Sebaik–baik abad adalah abad-ku, kemudian satu abad setelahnya, kemudian satu abad setelahnya” (H.R. at-Tirmidzi)

Beliau menyebutkan perkataan tersebut dalam kitab aqidahnya, yang merupakan penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dianggap baik oleh seluruh ummat dari generasi ke generasi.

Maksud dari Ta’ala (تعالـى ) adalah bahwa Allah maha suci. Allah maha suci dari Hudud (الحدود) maksudnya bahwa Allah maha suci dari Hadd sama sekali. Hadd adalah benda dan ukuran, besar maupun kecil. Suatu benda pasti berada pada suatu tempat dan arah. Sedangkan Allah maha suci dari berupa benda, berarti Allah ada tanpa tempat. Seandainya Allah adalah benda niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta’ala telah berfirman :

فلا تضربوا لله الأمثال (سورة النحل : 74)

Maknanya: “Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah “. (Q.S. an-Nahl : 74)
Jadi barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah memiliki hadd, kita tidak mengetahui hadd tersebut, Allah-lah yang mengetahuinya sungguh dia telah kafir.

Makna لا تحويه الجهات الست) ) bahwa Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah karena Allah ada tanpa tempat dan arah. Enam arah yang dimaksud adalah adalah atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang.

Maksud dari (كسائر المبتدعات ) adalah bahwa semua makhluk diliputi oleh arah, sedangkan Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dari satu segi maupun semua segi dan Allah tidak bisa digambaarkan dalam hati dan benak manusia. Al Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan:

“مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك” رواه أبو الفضل التميمي

Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu”. (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi).

Jika ditanyakan: Bagaimana hal demikian itu bisa terjadi (bahwa ada sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak)? Maka jawabannya adalah : Bahwa di antara makhluk ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi kita harus beriman dan meyakini adanya. Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan keduanya dulu tidak ada. Tidak ada satupun di antara kita yang bisa membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu waktu atau masa yang berlalu tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya ?!. Meski demikian kita wajib beriman dan meyakini bahwa telah ada suatu masa yang berlalu tanpa dibarengi dengan cahaya dan kegelapan, karena Allah ta’ala berfirman :

وجعل الظلمات والنور (سورةالأنعام : 1)

Maknanya: “… dan yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya” (Q.S. al An’am: 1)

yakni menjadikan kegelapan dan cahaya setelah sebelumnya tidak ada.

Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya tentang Allah Yang mengatakan tentang Dzat-Nya ليس كمثله شىء””, jadi Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi oleh akal, Allah ada, maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan arah.

Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:

ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر”

“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”.

Penjelasan :
Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir.
Sifat–sifat manusia banyak sekali. Sifat yang paling menonjol adalah baharu, yakni ada setelah sebelumnya tidak ada. Di antara sifat manusia juga adalah mati, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, bergerak, diam, infi’al (merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh), turun dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk, panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia telah kafir.

Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Mu-ayyad berkata:

وقال الإمام أحمد الرفاعي المتوفى سنة 578 هـ : “صونوا عقائدكم من التمسك بظاهر ما تشابه من الكتاب والسنة فإن ذلك من أصول الكفر”

“Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”.

Penjelasan :
Imam ar-Rifa’i hidup pada abad ke enam hijriyyah, beliau adalah seorang ahli hadits, ahli tafsir, pengikut al Imam al Asy’ari dalam rumusan aqidah dan pengikut madzhab Syafi’i dalam fiqih. Beliau adalah orang paling mulia dan paling alim di masanya. Beliau sangat menekankan tanzih (mensucikan Allah ta’ala dari menyerupai makhluk). Di antara perkataan beliau dalam masalah tanzih adalah perkataan yang beliau sebutkan dalam kitabnya “al Burhan al Muayyad” tersebut. Maksud perkataan beliau adalah bahwa orang yang mengambil zhahir sebagian ayat al Qur’an dan hadits Nabi, yang memberikan persangkaan bahwa Allah adalah benda yang bersemayam di atas ‘arsy atau bahwa Allah berada di arah bumi atau bahwa Allah mempunyai anggota badan, bergerak dan yang semacamnya maka orang tersebut telah kafir.

Seperti orang yang menafsirkan ayat :

الرحمن على العرش استوى (سورة طه: 5)

dengan duduk maka orang tersebut telah kafir. Karena mengatakan duduk bagi Allah adalah cacian terhadap-Nya sebab duduk adalah sifat malaikat, Jin, manusia, anjing, babi dan monyet. Makna ayat tersebut yang benar adalah bahwa Allah menundukkan dan menguasai ‘arsy. Makna ini layak bagi Allah karena Allah telah menamakan Dzat-Nya ( الله الواحد القهار ) Maknanya: “Allah maha esa lagi maha berkuasa”. Oleh karena itu kaum muslimin menamakan anak mereka Abdul Qahir dan Abdul Qahhar, tidak ada seorangpun yang menamakan anaknya Abdul Jalis atau Abdul Qa’id. Bahkan meskipun orang tersebut mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘arsy dengan ada jarak tanpa menyentuhnya tetap saja dia kafir. Karena setiap sesuatu yang berada di atas sesuatu yang lain pasti berkemungkinan berukuran sama dengan sesuatu tersebut atau lebih besar atau lebih kecil. Dan segala sesuatu yang menerima ukuran maka dia adalah makhluk, yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut.

Sedangkan pernyataan golongan Musyabbihah seperti orang-orang Wahhabi bahwa Allah bertempat di atas ‘arsy, di mana tidak ada tempat, pernyataan ini terbantah dengan hadits riwayat al Bukhari, al Bayhaqi dan lainnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :

إن الله لما قضى الخلق كتب في كتاب فهو موضوع عنده فوق العرش إن رحمتي غلبت غضبي

Maknanya: “Sesungguhnya Allah ketika menciptakan makhluk menciptakan kitab (tulisan) yang terletak di atas ‘arsy dan dimuliakan oleh Allah yang berbunyi sesungguhnya (tanda-tanda) rahmat-Ku lebih banyak dari (tanda-tanda) murka-Ku” (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan lainnya)

Dan dalam riwayat Ibnu Hibban:

“وهو مرفوع فوق العرش”

Maknanya: “Dan dia terangkat di atas ‘arsy”.

Jadi hadits ini adalah dalil bahwa di atas ‘arsy terdapat tempat, kalau tidak terdapat niscaya Rasulullah tidak mengatakan bahwasanya kitab tersebut diletakkan di atas ‘arsy.
Adapun makna kalimat ( عنده) adalah dimuliakan karena kalimat ( عند )mengandung makna untuk memuliakan sebagaimana firman Allah ta’ala tentang orang yang shalih :

( وإنهم عندنا لمن المصطفين الأخيار )

kalimat ( عندنا) mengandung arti untuk memuliakan bukan untuk menyatakan bahwa Allah bertetangga yang mengambil tempat yang mana dia juga mengambil tempat bagi Allah. Maka orang mutasyabbihah sesuai dengan keyakinan mereka, mereka telah menjadikan kitab dengan Allah keserupaan dan penyamaan bagi Allah maka dengan demikian mereka telah mendustakan firman Allah :

“ليس كمثله شيء”

artinya : ” tidak sesuatupun yang menyerupai Allah “

Demikian juga orang yang menafsirkan firman Allah :

إن ربكم الله الذي خلق السموات والأرض في ستة أيام ثم ا ستوى على العرش (سورة )

Dengan menafsirkan bahwa Allah berada pada arah bawah atau bumi kemudian naik ke langit lalu menciptakannya kemudian Dia naik ke langit lalu bersemayam, maka dia kafir. Adapun makna ayat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dan adalah Dia sebelum menciptakannya telah menguasai ‘arsy. Kalimat ( ثم) diartikan ( dan ) al Imam Abu Manshur al Maaturiidi mudah – mudahan Allah meridhoinya berkata :

“ثم استوى على العرش”

artinya adalah ” sungguh Allah telah menguasai ‘arsy ” .

Begitu juga orang yang menafsirkan ayat :

( فأينما تولوا فثم وجه الله )

diartikan dengan anggota tubuh atau bahwa Dia berada pada arah bumi maka dia kafir. Adapun maknanya adalah kiblat Allah , sebagaimana dikatakan oleh mujahid muridnya Abdu Allah ibn ‘Abbas mudah – mudahan Allah meridhoi mereka.

Begitu juga orang yang menafsirkan firman Allah :

” كل شيء هالك إلا وجهه “

dengan bahwa alam ini akan punah beitu juga Allah adalah sesuatu maka akan punah dan tidak ada yang kekal dari Allah kecuali bagian tersebut maka dia dihukumi kafir sebagaimana ditafsirkan oleh orang musyabbih seperti Bayan bin Sam’an at Tamimi. Adapun makna yang benar adalah kerajaan atau sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana ditakwilkan oleh Imam al Bukhari dan Sufyan ats Tsauri mudah – mudahan Allah meridhoi keduanya.

Demikian juga orang menafsirkan firman Allah :

” تجري بأعيننا “

dengan anggota tubuh maka dia kafir. Sesungguhnya makna yang sebenarnya adalah memlihara sebagaimana ditafsirkan oleh ahli tafsir. Begitu juga dengan firman Allah :

“يد الله فوق أايديهم”

dengan anggota tubuh maka dia kafir, adapun makna yang sesungguhnya adalah janji sebagaimana ditafsirkan oleh ahli ilmu.

Demikian pula orang yang menafsirkan firman Allah :

“وجاء ربك”

dengan bahwa Allah bergerakdan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain maka dia kafir. Adapun makna yang sebenarnya adalah datang kekuasaan Allah yaitu bekas dari kekuasaanNya, sebagaimana ditafsirkan oleh al Imam Ahmad bin Hanbal mudah – mudahan Allah meridhoinya, yang meriwatkan perkataan beliau adalah al Hafidz al Baihaqi dengan sanad yang kuat.

Demikian pula dengan orang yang menafsirkan ayat:

“أأمنتم من في السماء”

dengan bahwa Allah mengambil tempat dilangit maka dia kafir. Adapun makna yang sebenarnya adalah malaikat sebagaimana dikatakan oleh syaikh Huffadz Zainuddin ‘Abdu ar Rahim al ‘Iraqi mudah – mudahan Allah merahmatinya dalam kitabnya ” Amaaliyah al Mishriyah ” ketika beliau menafsirkan hadits :

” ارحموا من في الأرض يرحمكم في السماء “

artinya : ” sayangilah orang yang berada di bumi niscaya kamu akan disayangi oleh yang berada di langit ” dengan riwayat lain :

“ارحموا أهل الأرض يرحمكم أهل السماء”

artinya : ” sayangilah penduduk bumi niscaya kamu akan disayangi oleh penduduk langit “

Demikian juga orang yang menafsirkan hadits Jaariyah al Sauda’ yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim bahwa Allah mengambil tempat di arah atas maka dia kafir. Sesungguhnya hadits tersebuit sebagian para ulama tidak mengambilnya dan sebagian mereka mengatakan bahwa hadits tersebut adalah mutharib ma’luulan ( hadits yang memiliki banyak lafadz dan cacat ) telah menyalahi kaidah ushul ( keyakinan ) karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mustahil menghukumi seseorang muslim hanya karena hanya mengatakan : ” Allah di langit ” karena kalimat ini bergabung dengan oaring Yahudi dan Nasrani, bagaimana mungkin kalimat ini menjadi tanda – tanda keimanan?! . Sebagian ulama mengambilnya dan mentakwilkannya bahwa pertanyaan Nabi kepadanya maknanya adalah sejauh mana keagungganmu kepada Allah dan adapun arti dari perkataannya atau jawabannya adalah sangat tinggi derajatnya , berdasarkan dua pendapat tersebut maka tidak ada lagi bagi orang Wahabiy hujjah untuk membatahnya.

Begitu juga dengan orang yang menafsirkan hadits rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا خين يبقى ثلث اليل الآخر يقول من يدعوني فأستجيب له من يسألوني فأعطيه من يستغفرني فأغفر له

Dengan menafsirkan bahwa Allah bergerak dan turun dari atas ke langit dunia dan berdiam di sana sampai terbit fajar kemudian naik ke ‘arsy maka dia kafir. Maka yang lebih mengherankan lagi dari mereka sepoerti orang Wahabi yang mana mereka meyakini bahwa Allah sama besarnya dengan ‘arsy mereka mengatakan bahwa Dia turun benar – benar turun ke langit dunia dan mereka tahu bahwa langit dunia dibandingkan dengan ‘arsy seperti setetes air di laut yang luas, maka ini mrupakan dalil tentang kebodohan akal mereka. Dan mereka juga menetapkan bahwa Allah turun dan naik sehingga menyesuaikan diriNya dengan masing malam di bumi sementara malam itu berbeda – beda sesuai dengan Negara masig – masing, dan ini juga merupakan dalil atas kebodohan akal mereka.
Adapun makna hadits adalah bahwa malaikat turun dengan perintah Allah ke langit dunia lalu diam pada sepertiga akhir malam lalu mereka menyampaikan apa yang diperintahklan oleh Allah sehingga terbit fajar :

إن ربكم يقول من ذا الذي يسألوني فأعطيه، من ذا الذي يدعوني فأستجيب له، من ذا الذي يستغفرني فأغفر له.

Artinya : “ sesungguhnya tuhan kalian berkata barang siapa yang ingin meminta kepadaKu maka akan Aku beri, barangsiapa yang berdo’a kepadaKu maka akan Aku kabulkan, barangsiapa yang memohon ampun kepadaKu maka akan Aku ampni” sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Imam an – Nasai yang shahih :

إن الله يمهل حتى يمضي شطر اليل الأول فيأمر مناديا فينادي

Artinya: Sesungguhnya Allah membiarkan berlalu sehingga lewat sepertiga malam terakhir yang pertama lalu Dia menyuruh orang yang memangil lalu dia mmangilnya”. Akan tetapi sebagian hadits riwayat Bukhari yang dhabith dengan lafadz : إن الله ينزل كل ليلة إلى السماء الد نيا ” ” artinya : “ sesungguhnya Allah menurunkannya setiap malam ke langit dunia “ dengan mendhommahkan huruf “Ya” dengan arti menyuruh malaikat supaya turun. Maka orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya walaupun hanya dengan satu sifat saja dari sekian banyak sifatnya maka dia digolongkan musyabbih mujassim, dan mujassim kafir, sebagaimana dikatakan oleh imam as Syafi’i.

Adapun makna perkataan imam ar Rifa’i adalah bahwa orang yang berpegang pada kalimat dzohir yang terdapat dalam kitab dan hadits kebanyakan mereka jatuh dalam kekufuran karena mereka telah masuk dalam tasybih. Dan dia juga berkata :

” غاية المعرفة بالله الإيقان بوجوده تعالى بلا كيف ولا مكان “

artinya : “ puncak pengetahuan seseorang itu kepada Allah adalah meyakini bahwa Allah ta’ala ada tanpa kaifa ( sifat makhluk ) dan tanpa tempat “. Maksudnya adalah puncak yang bisa dilakukan oleh seorang hamba untuk mengenal Allah adalah meyakini akan adaNya tanpa meyakini meyerupai makhluk atau bersifat dengan sifat makhhluk dan tanpa tempat, dan adalah puncak pengetahuan para Nabi dan malaikat dan para wali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena mengenal Allah bukan dengan cara membayangkan bukan juga dengan cara mengira –gira dan juga bukan dengan cara menyerupakanNya karena Allah bukanlah benda dan Allah juga tidak mempunyai perumpaan sebagaimana yang digambarkan oleh manusia. Adapun sesuatu yang memiliki bentuk pasti bisa digambarkan adapun sesuatu yang tidak ada bentuk dan ukuran maka tidak bisa digambarkan, kita tidak bisa membayangkannya. MengenalNya cukup hanya dengan meyakiniNya bahwa Dia ada tanpa membayangkanNya bahwa Dia ada pada satu arah dari beberapa arah seperti arah atas.

Jika orang Wahabiy mengatakan : “ yang ada itu harus memiliki arah dari beberapa arah dan bagaimana kalian mengatakan bahwa Allah ada tanpa arah dan tempat, kita katakan kepadanya bahwa jika dikatakan Dia punya arah dan tempat niscaya Dia mempunyai keserupaan, kalau Dia memiliki arah niscaya ada bagiNya yang menjadikanNya pada arah tersebut, setiap yang dijadikan itu niscaya adalah makhluk dan makhluk tiidak bisa menjadi tuhan. Demikianlah makna perkataan imam ar Rifa’i beliau adalah orang yang mendalam ilmu aqidahnya. Dan dia telah mengatakan dalam kitabnya “ Haalatu Ahli Haqiqah Ma’a Allah “ 

” نعم لقد أسفر الصبح لذي عينين “

artinya : “ ya, sungguh suatu kebenaran itu telah jelas “

Sebagian ulama mengatakan :

عليك بطول الصمت يا صاحب الحجا * لتسلم في الدنيا و يوم القبامة

Artinya : “ Hendaklah anda memperpanjang diam wahai orang yang punya akal, agar selamat di dunia dan akhirat / kiamat.” Perkataan para ulama tersebut diambil dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar mudah – mudahan Allah meridhoinya : “

عليك بطول الصمت إلا من خير فإنه مطردة للشيطان عنك وعون لك عن أمر دينك (رواه ابن حبان)

Artinya: Hendaklah kamu memperpanjang diam kecuali kepada hal yang baik kaarena yang demikian itu dapat megalahkan syaitan dan menolong kamu dalam urusan agamamu“ (HR. Ibnu Hibban).

Maka orang memiliki akal yang cemerlang yaitu orang yang mau memikirkan tentang makna firman Allah :

(ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد)

artinya : tidaklah seseorang itu melafadzkan dari perkataannya kecuali dicatat oleh malaimat Raaqib dan ‘Atid “ maka dia tidak akan berkata kecuali kalau ada manfaatnya.

*********

Al Imam Ahmad ar-Rifa’i mengatakan:

” العجب ممن يعلم أنه يموت كيف ينسى الموت ، والعجب ممن يعلم أنه مفارق الدنيا كيف ينكب عليها ويقطع أيامه بمحبتها “

“Hal yang paling aneh adalah orang yang telah tahu bahwa kematian akan tiba tapi dia lupa akan kematian tersebut, dan telah tahu bahwa dia akan berpisah dengan dunia tapi dia tetap saja mencintainya”.

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

1 Comment

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments

×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku