(Satu): Hadits riwayat al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya:
إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ العَرَقُ نِصْفَ الأُذُنِ فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاريّ)
“Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat -kelak-, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka beristighatsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa, dan kemudian kepada Nabi Muhammad”. (HR. al-Bukhari).
(Faedah Hadits): Hadits ini adalah dalil tentang kebolehan meminta pertolongan kepada selain Allah, seperti kepada seorang Nabi atau wali Allah, dengan keyakinan bahwa Nabi atau wali tersebut adalah sebagai sebab. Terbukti, -sebagaimana disebutkan dalam hadits ini- bahwa ketika manusia di padang mahsyar kelak, mereka akan terkena panas sinar matahari, lalu pada saat itu mereka akan meminta pertolongan kepada para Nabi.
Kenapa mereka tidak berdoa langsung kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para Nabi tersebut?! Ini artinya, seandainya perbuatan Istighatsahsebagai perbuatan syirik, -seperti dalam keyakinan kaum Wahabiyyah-, niscaya umat manusia di padang mahsyar tersebut tidak akan melakukan hal itu! Karena jelas, tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik di dunia, sementara di akhirat tidak terhitung syirik. Perbuatan syirik adalah tetap perbuatan syirik, di dunia dan di akhirat. Dan sesuatu yang bukan syirik di dunia, tentu bukan syirik di akhirat.
(Dua): Hadits riwayat al-Baihaqi, Ibn Abi Syaibah dan lainnya.
عَنْ مَالِك الدَّار وَكانَ خَازِنَ عُمَرَ قال: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأُتِيَ الرَّجُلُ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: أَقْرِئْ عُمَرَ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّهُمْ يُسْقَوْنَ، وَقُلْ لَهُ عَلَيْكَ الكَيْسَ الكَيْسَ، فَأَتَى الرَّجُلُ عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ، فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ.
“Dari Malik ad-Dar, seorang penjaga gudang (kas negara) pada masa Khalifah ‘Umar, berkata: “Suatu ketika paceklik datang di masa ‘Umar, maka salah seorang sahabat (yaitu Bilal ibn al-Harits al Muzani) mendatangi makam Rasulullah, ia berkata:
“Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk ummat-mu, karena sungguh mereka benar-benar akan binasa”. Kemudian orang ini mimpi bertemu Rasulullah, berkata kepadanya:
“Sampaikan salamku kepada ‘Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “Bersungguh-sungguhlah dalam melayani ummat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada ‘Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Mendengar itu, ‘Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, Saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”.
Hadits ini berkualitas shahih seperti dinyatakan oleh al-Hafizh al-Baihaqi, Ibn Katsir, al-Hafizh Ibn Hajar dan lainnya.
(Faedah Hadits): Hadits ini menunjukkan kebolehan Istighatsahdengan para Nabi dan para wali yang sudah meninggal dengan mempergunakan redaksi Nida’ (memanggil), yaitu dengan mengatakan: “Ya Rasulullah…”. Dalam hadits di atas, ketika sahabat Bilal ibn al-Harits al-Muzani mengatakan: “Istasqi Li Ummatika…”, maknanya adalah: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk ummat-mu…!”, bukan maknanya: “Ciptakanlah hujan untuk ummatmu…!”.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa dibolehkan tawassul atau Istighatsah dengan mengatakan, -misalnya-:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ أَدْرِكْنِيْ أَوْ أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ
Makna kalimat ini adalah: “Wahai Rasulullah, tolonglah aku dengan doamu kepada Allah…!, Selamatkanlah aku dengan doamu kepada Allah…!. Dalam hal ini Rasulullah bukan pencipta manfa’at atau marabahaya, beliau hanya sebab bagi kita agar diberikan manfaat atau dijauhkan dari bahaya oleh Allah.
Rasulullah sendiri telah menyebut hujan sebagai mughits, artinya sebagai penolong dan penyelamat. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya, dengan sanad yang shahih, bahwa Rasulullah bersabda:
اللّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْئًا مَرِيْعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَآرٍّ عَاجِلاً غَيْرَ ءَاجِلٍ
Dalam hadits ini, Rasulullah menamakan hujan sebagai mughits, karena hujan dapat menyelamatkan dari kesusahan dengan izin dan kehendak Allah. Maka demikian pula seorang Nabi Allah atau seorang wali Allah, ia dapat menyelamatkan dari kesusahan dan kesulitan dengan izin dan kehendak Allah. Bahkan seorang Nabi atau seorang wali Allah jauh lebih mulia di banding hanya dengan hujan semata. Dengan demikian boleh bagi kita untuk melakukan tawassul dengan mengucapkan: “Aghitsni Ya Rasulullah…”, atau semacamnya. Karena dalam keyakinan kita ketika kita mengucapkan kalimat tersebut adalah bahwa seorang Nabi dan wali Allah (Mutawassal Bih) hanya sebagai sebab saja. Sedangkan pencipta manfaat dan yang menjauhkan marabahaya secara hakiki adalah Allah, bukan Nabi atau wali tersebut.
Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab mengetahui bahwa Bilal ibn al-Harits al-Muzani mendatangi makam Rasulullah. Beliau juga mengetahui bahwa Bilal ibn al-Haris melakukan tawassul dengan Rasulullah, dan beristighatsah dengannya, dengan mengatakan: “Ya Rasulallah Istasqi Li Ummatika…!”. Sebuah ungkapan yang mengandung an-Nida’ (panggilan), yaitu pada kata “Ya Rasulallah…”, dan mengandung ath-Thalab (permohonan dan harapan), yaitu pada kata “Istasqi…”. Namun demikian ‘Umar ibn al-Khaththab tidak mengkafirkan atau memusyrikkan sahabat Bilal ibn al-Harits al-Muzani ini. Sebaliknya, beliau menyetujui perbuatannya tersebut. Demikian pula dengan para sahabat yang lain, tidak ada seorang dari mereka yang mengingkarinya sahabat Bilal ibn al-Harits ini.
(Tiga): Ath-Thabarani meriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas, bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ للهِ مَلاَئِكَةً فِيْ الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ أَعِيْنُوْا عِبَادَ اللهِ (رواه الطّبَرَانِيّ وقال الحافظ الهيثميّ: رجاله ثقات ورواه أيضا البزّار وابن السُّنِّيِّ)
“Sesungguhnya Allah memiliki para Malaikat di bumi selain -para Malaikat- Hafazhah, mereka yang menulis daun-daun yang berguguran. Maka jika seorang dari kalian ditimpa kesulitan di suatu padang maka hendaklah menyeru: “Tolonglah aku, wahai para hamba Allah”. (HR. ath-Thabarani, dan al-Hafizh al-Haytsami berkata: Para perawinya terpercaya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Ibn as-Sunni)
(Faedah Hadits): Hadits ini menunjukkan kebolehan isti’anah dan Istighatsah dengan selain Allah. Isti’anah dan Istighatsah boleh dilakukan dengan orang-orang saleh dengan mempergunakan redaksi Nida’ (panggilan), meskipun tidak di hadapan mereka. Adapun hadits di atas berisi Istighatsahdan Isti’anah kepada para Malaikat Allah. An-Nawawi setelah menyebutkan riwayat Ibn as-Sunni dalam kitabnya al-Adzkar mengatakan:
“Sebagian dari guru-guruku yang sangat alim pernah menceritakan kepadaku, bahwa pada suatu ketika binatang tunggangannya terlepas. Binatang tersebut adalah seekor kuda. Guruku ini mengetahui tentang hadits ini. Maka lalu beliau mengucapkannya, dan seketika itu pula hewan tunggangan tersebut berhenti berlari. Demikian pula telah terjadi pada diri saya. Suatu ketika saya bersama sekelompok orang, tiba-tiba terlepaslah seekor binatang dari mereka, dan mereka dengan susah payah berusaha menangkapnya, namun tidak berhasil.
Kemudian saya mengucapkan apa yang tersebut dalam hadits ini, dan seketika binatang itu berhenti lari tanpa sebab, kecuali karena ucapan tersebut”[1].
Ini menunjukkan bahwa tawassul, Isti’anah, maupun Istighatsah adalah amalan yang selalu dipraktekan para ulama hadits dan para ulama lainnya.
(Empat): Hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad dengan sanad yang shahih dari ‘Abdurrahman ibn Sa’d. Bahwa ia (‘Abdurrahman ibn Sa’d) berkata: “Suatu ketika kaki ‘Abdullah ibn ‘Umar terkena semacam kelumpuhan (Khadar). Maka salah seorang yang hadir berkata: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai…!”. Lalu ‘Abdullah Ibn ‘Umar berseru: “Yaa Muhammad…!”. Seketika itu pula kaki beliau sembuh.
(Faedah Hadits): Hadits ini menunjukkan bahwa sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar melakukan Istighatsah, beliau memanggil Rasulullah dengan berkata: “Yaa Muhammad…!”. Makna kata “Yaa Muhammad” adalah “Adrikni Bi Du’aika Ila Allah”. Artinya: “Tolonglah aku dengan doamu -Wahai Muhammad- kepada Allah”. Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar melakukan Istighatsahini, setelah Rasulullah wafat. Hal ini menunjukkan bahwa istighatsah dan tawassul dengan Rasulullah boleh dilakukan setelah beliau wafat, walaupun dengan menggunakan redaksi Nida’. Karena Nida’ al-Mayyit (memanggil seorang Nabi dan wali Allah yang telah meninggal) bukan perbuatan syirik.
__________
[1] al-Adzkar, Bab Ma Yaqul Idza Infalatat Dabbatuh, h. 201