Minggu, September 24, 2023
spot_img
BerandaAllah Ada Tanpa TempatDi Atas Arsy Terdapat Tempat

Di Atas Arsy Terdapat Tempat

Kaum Musyabbihah ketika kita katakan kepada mereka bahwa Allah tidak membutuhkan kepada tempat dan arsy karena arsy adalah makhluk Allah dan Allah tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya sendiri; mereka tidak memiliki jawaban bagi kebenaran logika ini walaupun mereka tetap bersikukuh dengan aqidah tasybîh mereka, hanya saja sebagian mereka dengan alasan dan argumen yang dibuat-buat (Takalluf) mengatakan bahwa Allah di atas arsy dan bahwa di atas arsy itu tidak ada tempat. Kadang mereka mengatakan bahwa tempat itu hanya berada di bawah arsy saja, adapun di atas arsy tidak ada tempat. Ungkapan aneh ini seperti pernyataan salah seorang pimpinan mereka; Muhammad Nashiruddin al-Albani, dalam catatan tambahannya (Ta’lîq) atas Matan al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah menuliskan bahwa arsy itu berada di atas semua makhluk dan di atas arsy tersebut tidak ada makhluk apapun.

Kerancuan mereka ini kita jawab; “Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam al-Bukhari, Imam al-Bayhaqi dan lainnya, dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ لمَا قَضَى الْخَلقَ كَتَب في كِتَابٍ فَهُوَ مَوْضُوعٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إنّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي (رواه البخاري والبيهقي)

“Sesungguhnya setelah Allah menciptakan segala makhluk-Nya Dia menuliskan dalam satu kitab, yang kitab tersebut kemudian ditempatkan di atas arsy, tulisan tersebut ialah “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku”. (HR. al-Bukhari dan al-Bayhaqi)

Dengan demikian tidak dapat dipungkiri baik secara logika atau dalam tinjauan syari’at bahwa di atas arsy terdapat tempat. Karena seandainya di atas arsy tidak ada tempat maka tentunya Rasulullah tidak akan mengatakan “Kitab tersebut kemudian ditempatkan di atas arsy” (Fa Huwa Maudlû’ ‘Indahu Fawq al-arsy)” sebagaimana redaksi riwayat Imam al-Bukhari dalam kitab Shahîh-nya. Sebaliknya, teks hadits ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa di atas arsy tersebut terdapat tempat dengan bukti bahwa kitab tersebut berada di atasnya.

Jika ada kaum Musyabbihah mengatakan bahwa kata “fawqa” (di atas) dalam hadits ini dalam pengertian “dûna” (di bawah), kita jawab: “Pemaknaan semacam ini adalah takwil yang sama sekali tidak memiliki dasar. Metode takwil itu hanya diberlakukan ketika dibutuhkan untuk itu. Sementara dalam hadits ini sama sekali tidak ada kebutuhan untuk memberlakukan takwil tersebut”. Lalu kita katakan juga kepadanya: “Bukankah kalian anti terhadap takwil sehingga kalian memahami teks-teks mutasyâbihât dalam makna zahirnya?! Bukankah kalian mengklaim bahwa yang melakukan takwil adalah seorang mu’ththil (orang yang menfikan sifat-sifat Allah)?! Lantas mengapa kalian hendak memberlakukan takwil terhadap hadits ini?!”

Bahkan tidak hanya kitab bertuliskan “Inna Rahmatî Ghalabat Ghadlabî” saja yang berada di atas arsy, bahkan tentang al-Lauh al-Mahfuzh terdapat dua pendapat ulama terkait dengan tempatnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Lauh al-Mahfuzh berada di atas arsy, sebagian lainnya mengatakan berada di bawah arsy. Artinya posisi al-Lauh al-Mahfuzh ini dalam dua kemungkinan; ada kemungkinan di atas arsy, dan ada kemungkinan di bawah arsy. (Lihat al-Ihsân Bi Tartîb Shahîh Ibn Hibbân, j. 7, hlm. 5, lihat pula Fath al-Bâri, j. 13, hlm. 526). Hal ini karena tidak ada teks yang secara jelas menyebutkan posisi al-Lauh al-Mahfuzh tersebut apakah di atas arsy atau di bawah arsy?!

Dengan demikian, di atas dasar pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa al-Lauh al-Mahfuzh berada di atas asry berarti kaum Musyabbihah yang berkeyakinan Allah di atas arsy telah menempatkan Allah dalam posisi yang sama sejajar dengan makhluk-Nya sendiri, yaitu al-Lauh al-Mahfuzh. Dan bila demikian, di atas dasar keyakinan kaum Musyabbihah maka berarti sebagian dari arsy adalah tempat bagi Allah dan sebagian lainnya adalah tempat bagi al-Lauh al-Mahfuzh, dan sebagaian lainnya tempat bagi kitab yang bertuliskan “Inna Rahmatî Sabaqat Ghadlabî”. Na’ûdzu Billâh. Apakah ini dinamakan tauhid?! Adakah seorang ahli tauhid dapat menerima keyakinan buruk semacam ini?!

Di antara dalil yang dapat menguatkan bahwa kitab bertuliskan “Inna Rahmatî Sabaqat Ghadlabî” benar-benar berada di atas arsy selain hadits riwayat al-Bukhari dan al-Bayhaqi di atas adalah hadits riwayat Imam an-Nasa-i yang mempergunakan kata “’Alâ al-arsy”. Redaksi riwayat Imam an-Nasa-i ini dengan sangat jelas menyebutkan bahwa kitab tersebut berada di atas arsy. Kemudian hadits lainnya dalam riwayat ImamIbn Hibban mempergunakan redaksi “Marfû’ Fawq al-arsy”. Redaksi ini memberikan pemahaman nyata bahwa kitab tersebut berada di atas arsy. Dari sini apakah kaum Musyabbihah masih keras kepala mengatakan bahwa di atas arsy tidak ada tempat?! Adakah jalan bagi kaum Musyabbihah untuk tetap kabur?!

Dengan demikian pernyataan sebagian kaum Musyabbihah bahwa di atas arsy tidak ada tempat sama sekali tanpa dasar. Dan pentakwilan sebagian mereka terhadap kata “Fawqa” dengan makna “Dûna” adalah takwil yang batil. Karena sesungguhnya metode takwil itu hanya diberlakukan terhadap beberapa teks dalam kondisi tertentu yang menuntut keharusan untuk itu, seperti adanya tuntutan argumentasi logis (Dalîl ‘Aqliy), atau adanya tuntutan dalil tekstual (Dalîl Naqliy) terhadap keharusan takwil tersebut, sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh para ulama ushul fiqih. Karena apa bila pada setiap teks syari’at diberlakuakan takwil maka segala teks-teks tersebut akan menjadi kesia-siaan belaka yang tidak memiliki faedah. Padahal  seluruh teks syari’at baik teks al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah harus dihindarkan dari segala bentuk kesia-siaan.

Adapun makna “’Indahu” dalam hadits di atas bukan dalam pengertian di sisi atau di samping Allah. Penggunaan ’Inda di sini adalah untuk menunjukan pemuliaan (Li at-Tasyrîf). Artinya, bahwa kitab bertuliskan “Inna Rahmatî Sabaqat Ghadlabî” adalah kitab yang dimulikan oleh Allah, bukan artinya kitab ini bersampingan dengan Allah. Dalam bahasa Arab penggunaan kata ‘Inda tidak hanya berlaku bagi arah dan tempat saja, tapi juga sering digunakan pada yang bukan makna arah dan tempat sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para ulama bahasa sendiri, contoh ini adalah firman Allah tentang tempat para penduduk surga:

فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ  (القمر: 55)

Penggunaan kata ‘Inda dalam ayat ini bukan untuk memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat di surga bersampingan dengan orang-orang bertakwa, tapi dalam pengertian bahwa surga tersebut adalah tempat yang dimuliakan oleh Allah. Inilah yang dimaksud dengan ‘Indiyyah at-Tasyrîf.

Demikian pula dengan makna hadits di atas, penyebutan ‘inda di sana bukan berarti Allah bersampingan dengan kitab tersebut. Imam Badruddin al-Aini dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri dalam penjelasan hadits ini menuliskan bahwa penyebutan ‘Inda di sini bukan dalam pengertian tempat. Karena penggunaan ‘Inda tidak hanya diperuntukan bagi tempat saja. Contohnya dalam firman Allah tentang keadaan orang-orang pelaku dosa di akhirat:

وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُوا رُءُوسِهِمْ عِندَ رَبِّهِمْ (السجدة: 12)

Yang dimaksud ayat ini bukan berarti orang-orang berdosa itu menundukan kepalanya disisi Tuhannya dalam pengertian bersampingan dengan-Nya, tapi yang dimaksud ialah bahwa Allah mengkhabarkan kepada kita bahwa para pelaku dosa itu di kelak akan menundukan kepala, artinya mereka menjadi orang-orang yang sangat dihinakan oleh Allah.

Dari sini kita katakan kepada kaum Musyabbihah: Jika kalian bersikukuh memaknai ‘Indahu dalam hadits di atas secara makna zahirnya; yaitu dalam pengertian Allah bertempat di atas arsy dan bahwa kitab bertuliskan “Inna Rahmatî Sabaqat Ghadlabî” berada di samping Allah bersama-Nya, lantas bagaimanakah kalian memaknai firman Allah QS. As-Sajdah: 12 di atas?! Apakah kalian akan memaknai ayat ini secara zahirnya pula bahwa Allah ada bersampingan bersama orang-orang pelaku dosa tersebut di bumi?! Tapi jika kalian mentakwil ayat ini lantas mengapa kalian tidak mentakwil hadits di atas?! Kaum Musyabbihah tidak akan memiliki jawaban atas ini.

Kemudian kita bacakan pula firman Allah yang menceritakan tentang doa Asiyah:

إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ (التحريم: 11)

bahwa yang dimaksud ayat ini sama sekali bukan berarti Asiyah memohon dibangunkan rumah di surga yang rumah tersebut bersampingan dengan Allah, tapi yang dimaksud adalah rumah di surga yang dimuliakan oleh Allah.

Demikian pula dengan firman Allah tentang adzab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth:

وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ مُّسَوَّمَةً عِندَ رَبِّكَ (هود: 83- 82)

Makna ayat ini: “Kami (Allah) menghujani kaum Nabi Luth tersebut dengan bebatuan dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi yang bebatuan tersebut telah diberi tanda oleh Tuhanmu (wahai Muhammad), di mana peristiwa itu semua terjadi sesuai dengan kehendak dan ilmu Allah”. Bukan maknanya bahwa bebatuan yang dibakar tersebut berada di samping Allah. Apakah kaum Musyabbihah akan mengambil zahir ayat ini dengan mengatakan bahwa bebatuan yang dibakar tersebut berada di atas arsy di samping Allah, atau mereka memiliki pemahaman lain?! Jika mereka tidak memahaminya sesuai zahirnya kita katakan kepada mereka: “Itu adalah takwil, bukankah kalian anti takwil?!”

Kita lihat pula apa yang akan dikatakan oleh kaum Musyabbihah dalam memahami hadits Qudsi yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya, juga diriwayatkan oleh para Imam lainnya, bahwa Rasulullah bersabda: Allah berfirman:

يَا ابْنَ ءَادَم مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي، قَالَ: يَا رَبُّ كَيْفَ أعُوْدُكَ وأنْتَ رَبُّ العَالَمِين؟ قَالَ: أمَا عَلِمْتَ أنّ فُلانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ، أمَا عَلِمْتَ أنّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِيْ عِنْدَهُ. يَا ابْنَ ءَادَم اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي، قَالَ: يَا رَبُّ كَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأنْتَ رَبُّ العَالَمِيْن؟ قَال: أمَا عَلِمْتَ أنّهُ اسْتَطْعَمَكَ فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ، أمَا عَلِمْتَ أنّكَ لوْ أطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلكَ عِنْدِي. يَا ابْنَ ءَادَم اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِِنيْ، قَالَ: يَا رَبُّ كَيْفَ أسْقِيْكَ وَأنْتَ رَبُّ العَالَمِيْن؟ قَالَ اسْتَسْقَاكَ فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ، أمَا إنّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي (رواه مسلم)

Dengan alasan apapun redaksi hadits Qudsi ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya, karena orang yang memahami makna zhahirnya maka berarti ia mensifati Allah dengan sifat-sifat manusia. Sebab makna zahirnya menyebutkan seakan Allah sakit dan Dia berada di samping orang yang sedang sakit, seakan-akan Allah kelaparan dan Dia berada di samping orang yang sedang kelaparan, dan seakan-akan Allah kehausan dan bahwa Dia bersama orang yang tengah kehausan. Dengan demikian orang yang memahami makna zahir teks hadits Qudsi ini akan jatuh dalam faham tasybîh. Apa yang akan dikatakan oleh kaum Musyabbihah tentang makna hadits ini?! Kita dapat pastikan bahwa mereka tidak akan mengambil makna zahir redaksi hadits Qudsi ini. Dari sini kita katakan kepada mereka: “Pemahaman kalian terhadap hadits Qudsi ini dengan tidak mengambil makna zahirnya adalah takwil! Lantas dari manakah kalian mengatakan bahwa seorang Mu’awwil adalah seorang Mu’ath-thil?! Jika demikian maka berarti kalian telah mengklaim diri kalian sendiri sebagai Ahl at-Ta’thil…!”.

Imam an-Nawawi dalam kitab al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj, j. 16, h. 125, dalam menjelaskan hadits Qudsi di atas menuliskan sebagai berikut:

“Para ulama mengatakan bahwa penyandaran kata sakit dalam hadits Qudsi ini kepada Allah adalah dalam pengertian bahwa Allah memuliakan hamba-Nya yang sedang sakit, (bukan artinya Allah yang sakit). Kemudian pengertian “Wajadtanî ‘Indahu…”, bukan dalam pengertian bahwa Allah berada di samping orang yang sakit tersebut, tapi dalam makna bahwa jika kita menjenguk orang yang sakit maka kita akan mendapatkan pahala dan kemuliaan dari Allah”.

Imam al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab Idlâh ad-Dalîl, hlm. 198, dalam penjelasan hadits ini menuliskan sebagai berikut:

“Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam keharusan mentakwil hadits ini. Zahir teksnya mengungkapkan seakan-akan Allah sendiri yang sakit, minta makan dan minta minum. Tapi penyendaran hal-hal tersebut yang dimaksud bukan kepada Allah tetapi kepada seorang wali dari wali-wali-Nya. Hal ini seperti firman Allah: “In Tanshurullâh Yanshurkum” (QS. Muhammad: 7), juga seperti firman-Nya: “Innalladzina Yu’dzûnallâha Wa Rasûlulahu…” (QS. Al-Ahzab; 57), yang dimaksud kedua ayat ini bukan berarti Allah yang butuh kepada bantuan dan pembelaan, juga bukan berarti Allah yang disakiti atau diperangi, tapi yang dimaksud adalah agama Allah dan para wali-Nya.

Kemudian makna “Lawajadtanî ‘Indahu…” artinya jika engkau menjenguk hamba Allah yang sakit tersebut maka engkau akan mendapatkan rahmat, keridlaan dan kemuliaan dari Allah. Pemahaman ini seperti dalam firman Allah: “Wa Wajadallâha ‘Indahu…” (QS. An-Nur: 39), bukan artinya ia akan mendapati Allah tetapi dalam pengertian akan mendapati balasan dari Allah, karena itu lanjutan ayat tersebut adalah “Fa Waffâhu Hisâbah”, artinya Allah memenuhi segala perhitungan dari balasan siksa yang telah dijanjikan kepada orang yang kafir”.

Imam Ibn Jahbal dalam karya Risâlah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allâh menuliskan sebagai berikut:

“Penggunaan ‘Inda dapat bertujuan untuk menunjukan kemuliaan dan keluhuran derajat, contohnya dalam firman Allah tentang Nabi Dawud:

وَإِنَّ لَهُ عِندَنَا لَزُلْفَى وَحُسْنَ مَئَابٍ (ص: 25)

Artinya bahwa Nabi Dawud memiliki kemuliaan dan keluhuran derajat bagi Allah, dan memiliki tempat kembali yang mulia. Penggunaan ‘Inda dapat pula bukan untuk tujuan semacam itu, contohnya dalam sabda Rasulullah bahwa Allah berfirman (hadits Qudsi): “Anâ ‘Inda Zhanni ‘Abdî Bî…”, (artinya bukan berarti Allah berada di samping setiap orang)”.

Terdapat banyak sekali penggunaan kata ‘Inda dalam ayat-ayat al-Qur’an dan dalam hadits-hadits Rasulullah yang sama sekali bukan untuk pengertian tempat dan arah. Artinya bukan dalam pengertian “di sisi” atau “di samping”. Di antaranya firman Allah tentang beberapa Nabi-Nya:

وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ اْلأَخْيَارِ (ص: 47)

Makna ayat ini bukan berarti para Nabi yang merupakan orang-orang pilihan dan orang-orang baik tersebut berada di tempat di samping tempat Allah, tapi makna ‘Indanâ dalam ayat ini ialah bahwa para Nabi tersebut adalah orang-orang yang dimuliakan oleh Allah.

Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H) dalam kitab Fath al-Bâri, j. 13, hlm. 429,dalam penjelasan redaksi hadits “…‘Indahu ‘Alâ al-arsy”, menuliskan sebagai berikut:

“Adapun pemahaman kata “‘Indahu” telah dinyatakan oleh Ibn Baththal sebagai berikut: Kata ‘Inda dalam dasar penggunaan bahasa adalah untuk tempat, namun Allah maha suci dari berada pada tempat atau arah. Karena bertempat adalah sifat benda yang dapat punah, dan itu baharu. Sementara Allah maha suci dan tidak layak dari segala tanda kebaharuan. Karena itu, menurut satu pendapat, yang dimaksud hadits ini ialah bahwa Allah maha mengetahui dengan Ilmu-Nya yang Azaliy tentang orang-orang yang berbuat taat kepada-Nya hingga Allah memberikan balasan pahala bagi mereka, dan bahwa Allah maha mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali tentang orang-orang yang berbuat maksiat kepada-Nya hingga Allah menimpakan balasan siksa bagi mereka. Hal ini dikuatkan dengan lafazh hadits sesudahnya, yaitu “Ana ‘Inda Zhanni ‘Abdî Bî”. Hadits ini jelas bukan untuk memberikan paham tempat. Ar-Raghib al-Asbahani menuliskan bahwa kata ‘Inda dipergunakan dalam beberapa hal, di antaranya untuk pengertian tempat yang dekat, untuk mengungkapkan keyakinan; seperti bila dikatakan “’Indî Fî Kadzâ Kadzâ” maka artinya; “Menurut keyakinan saya tentang ini adalah begini…”. Kadang dipergunakan juga untuk mengungkapkan derajat yang luhur atu kemuliaan, seperti firman Allah tentang orang-orang yang mati syahid: “Ahyâ’un ‘Inda Rabbihim…” (QS. Ali ‘Imran: 169).

Adapun  firman Allah: “In Kâna Hâdzâ Huwa al-Haqq Min ‘Indika…” (QS. Al-Anfal: 32), yang dimaksud Min ‘Indika dalam ayat ini adalah Min Hukmika, artinya dari hukum-Mu dan ketentuan-Mu.

Kemudian Ibn at-Tin mengatakan bahwa penggunaan ‘Inda dalam hadits ini adalah untuk menetapkan bahwa kitab tersebut benar-benar berada di atas arsy. Sementara tulisan “Inna Rahmatî Sabaqat Ghadlabi” bukan untuk tujuan agar Allah tidak melupakannya, karena Dia maha suci dari sifat lupa dan tidak ada suatu apapun yang tersembunyi bagi Allah. Tulisan tersebut untuk tujuan memberitahukan kepada para Malaikat yang memiliki tugas menyertai setiap orang mukallaf (Artinya bahwa rahmat Allah sangat luas)”.

Pada j. 11, hlm. 505 dalam kitab yang sama dalam pembahasan sebuah hadits tentang Nabi Adam yang dapat mengalahkan argumen (Hujjah) Nabi Musa, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan sebuah bab dengan judul: “Bâb: Tahâjjâ Âdam Wa Musâ ‘Indallâh” (Bahwa kelak akan mengadu argumen (Hujjah) antara Nabi Adam dan Nabi Musa). Kemudian Ibn Hajar menuliskan: “Makna ‘Inda dalam hadits ini adalah dalam pengertian kekhususan dan kemuliaan, bukan dalam pengertian tempat”.

Imam al-Hâfizh al-Muhaddits Waliyuddin Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H) dalam karyanya berjudul Tharh at-Tatsrîb j. 8, hlm. 84, menuliskan sebagai berikut:

“Sabda Rasulullah “Fahuwa ‘Indahu Fawq al-arsy”, kata “’Indahu” adalah kata yang harus ditakwil. Karena makna zahirnya adalah pengertian tempat bagi sesuatu, sementara Allah maha suci dari tempat dan arah. Karena itu kata “’Inda” dalam hadits ini bukan dalam pengertian tempat, tetapi dalam pengertian “Pemuliaan”. Artinya bahwa kitab tersebut berada di tempat yang dimuliakan dan diagungkan oleh Allah”.

Kemudian Imam al-Hâfizh Ibn al-Jauwzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, hlm. 61dalam penjelasan makna “Indahu Fawq al-arsy” sebagai bantahan atas kaum Musyabbihah Mujassimah yang selalu berpegang teguh kepada makna-makna zahir menuliskan sebagai berikut:

al-Qâdlî Abu Ya’la (salah seorang pemuka kaum Musyabbihah) memahami kata ‘Indahu bahwa kitab bertuliskan “Inna Rahmatî Sabaqat Ghadlabî” tersebut dekat dengan Dzat-Nya. Ketahuilah, pengertian dekat dengan Allah itu bukan dalam makna jarak, karena jarak itu merupakan sifat benda. Dalam al-Qur’an tentang bebatuan yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth Allah berfirman: “Musawwamatan ‘Inda Rabbik” (QS. Hud: 82); apakah ini akan diambil makna zahirnya?!”.

 

Wa Allâh A’lam Bi ash-Shawâb.

Wa al-Hamdu Lillâh Rabb al-‘Âlamîn

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments

×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku