Dzunnun al-Mishri [1]. Beliau bernama Tsauban bin Ibrahim, dengan kunyah Abu al-Faidl. Beliau memiliki perawakan yang kurus dengan warna kulit sedikit kemerahan, sementara janggutnya sama sekali tidak memutih. Beliau adalah salah seorang sufi besar dan terkemuka pada masanya. Bahkan salah satu pimpinan kaum sufi dalam sikap zuhud, wara’, tawakal, tauhid, dan dalam takwa serta ibadah kepada Allah.
Diriwayatkan suatu ketika beliau berada di hadapan beberapa orang ulama, lalu berkata kepada mereka:
“Aku telah bertemu dan bergaul dengan para ulama saleh terdahulu. Setiap orang dari mereka apa bila bertambah ilmunya maka bertambah pula sikap zuhud dan kebenciannya terhadap dunia. Berbeda dengan masa kalian sekarang. Setiap orang dari kalian bila bertambah ilmunya maka bartambah pula kecintaan, kerakusannya, dan perburuan kepada dunia. Para ulama saleh dahulu mengeluarkan harta mereka untuk mendapatkan ilmu, sementara kalian mengeluarkan ilmu untuk mendapatkan harta[2].
Baca juga: Sayyidah Nafisah: “Bagaimana aku bisa kasihan kepada diriku ketika banyak siksaan dihadapan mata…”
Di antara nasehat-nasehat Dzunnun al-Mishri mengatakan: “Di antara tanda-tanda bahwa Allah membenci seorang hamba adalah apa bila hamba tersebut selalu dalam keadaan takut dari kefakiran”.
Juga berkata:
Pada masa sekarang para ahli ibadah, para ahli qira’at, dan para ulama telah dikalahkan oleh perasaan ringan terhadap dosa-dosa, hingga mereka terjerumus dalam syahwat perut dan kemaluannya, sementara mereka tidak mau melihat aib-aib yang ada pada diri mereka tersebut. Mereka adalah orang-orang yang telah celaka tanpa mereka sadari. Mereka meraih makanan-makanan yang haram dan meninggalkan makanan-makanan yang halal. Mereka ridla untuk dapat meraih keinginan-keinginan nafsu mereka dengan ilmu yang mereka miliki. Mereka malu untuk berkata tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui “Saya tidak tahu…”. Mereka adalah hamba-hamba yang tunduk kepada dunia, bukan ulama-ulama pengemban amanat syari’at. Karena jika benar mereka ulama syari’at maka mereka tidak akan menjerumuskan diri dalam keburukan-keburukan semacam ini. Apa bila mereka meminta maka mereka memaksa, namun apa bila mereka dipinta maka mereka adalah orang-orang yang pelit. Mereka memakai pakaian namun hati mereka adalah hati srigala. Masjid-masjid yang seharusnya dijadikan tempat untuk mengagungkan nama Allah mereka jadikan sebagai tempat untuk tertawa-tawa, bermain, mengadu mulut, dan menceritakan orang lain. Mereka manjadikan ilmu-ilmu mereka sebagai jala untuk maraih dunia. Handaklah kalian menghindari orang-orang semacam ini sejauh mungkin”[3].
Dalam kesempatan lain ketika Dzunnun al-Mishri di tanya tentang cara mudah dalam meraih sifat iklash, beliau berkata:
“Aku tidak melihat sesuatu yang lebih baik untuk menghadirkan keikhlasan dari pada menyendiri. Sebab bila seseorang dalam keadaan sendiri (‘uzlah) maka ia merasakan bahwa yang melihatnya hanya Allah. Dan jika ia merasa bahwa yang melihatnya hanya Allah maka ia tidak melakukan apapun kecuali karena Allah. Karenanya, siapa yang menyenangi khalwah maka ia telah memegang tiang keikhlasan dan telah mendekap erat bagian terbesar dalam sifat jujur”[4].
Baca juga: Mengenal Tasawuf Rasulullah
Dzunnun al-Mishri banyak memiliki karamah yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Di antaranya, diriwayatkan bahwa suatu hari datang kepadanya seorang perempuan mengadu bahwa anaknya telah ditelan buaya sungai Nil. Perempuan tersebut terlihat benar-benar meratapi dan menangisi kepergian anaknya. Kemudian Dzunnun mendatangi sungai Nil, lalu berkata: “Ya Allah tampakanlah buaya yang telah menelan anak perempuan ini…”. Tiba-tiba seekor buaya keluar. Lalu Dzunnun membelah perutnya dan mengeluarkan anak perempuan tersebut dalam keadaan sehat tanpa ada luka sedikitpun.
Al-Khathib al-Baghdadi dalam Târîkh Baghdâd dengan sanad-nya mengatakan bahwa Dzunnun al-Mishri meninggal tahun 245 Hijriah. Satu pendapat mengatakan tahun 248 Hijriah. Diriwayatkan bahwa di hari wafatnya ratusan ribu orang datang melayatnya hingga jembatan yang berada wilayah tersebut hendak roboh. Karena kekhawatiran terlalu banyaknya manusia, jasad beliau kemudian dibawa dengan perahu menyebrangi sungai hingga melewati wilyah al-Fusthath. Padahal beliau meninggal di daerah al-Jaizah; daerah yang cukup jauh dari wilayah al-Fusthath. Juga diriwayatkan ketika jenazah beliau diangkat, orang-orang saat itu melihat burung-burung berwarna hijau berterbangan di atasnya.
Amaddanâ Allah Min Amdâdih.
_______________
[1] Biografi Dzunnun al-Mishri lebih lengkap lihat asy-Sya’rani, ath-Thabaqât,j. 1, h. 121-124, as-Sulami, Thabaqât, h. 27-34, Abu Nu’aim, Hilyah,j. 9, h. 345, al-Khathib al-Baghdadi, Târikh, j. 8, h. 393, Bin Khallikan, Wafayât, h. 1, h. 315-318, Bin Katsir, al-Bidâyah, j. 10, h. 347, Bin ‘Imad, Syadzarât, j. 2, h 107, adz-Dzahabi, Siyar,j. 11, h. 532
[2] Lihat asy-Sya’rani, ath-Thabaqât, h. 121
[3] Ibid,j. 1, h. 123
[4]Lihat as-Sulami, Thabaqât, h. 30