Minggu, September 24, 2023
spot_img
BerandaBukti Kebenaran Aqidah Asy'ariyyahKesesatan Ibnu TaimiyahEkstrimisme Ibnu Taimiyah Dalam Masalah Kalam Allah

Ekstrimisme Ibnu Taimiyah Dalam Masalah Kalam Allah

Kebiasaan Ibnu Taimiyah Dalam Berdusta

Sebelum mengutip tulisan-tulisan ekstrim Ibnu Taimiyah terkait kalam Allah dan catatan bantahan terhadapnya, ada catatan penting yang harus kita ketahui. Adalah bahwa kebiasaan Ibnu Taimiyah senantiasa membuat dusta besar dalam banyak tulisannya dengan mengatakan bahwa pendapatnya itu adalah keyakinan para Imam Ahli Hadits dan faham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Karena itu, anda jangan terkecoh dengan tulisan-tulisan Ibn Taimiyah.

Ibnu Taimiyah dalam karya-karyanya sering menisbatkan pendapatnya kepada para ulama Salaf, ahli Hadits, a-immah as-Sunnah secara umum tanpa menyebut nama. Kadang ia nisbatkan kepada para imam madzhab empat atau sebagian ulama madzhab empat dengan atau tanpa menyebut nama. Seringkali Ibnu Taimiyah sengaja menyebutnya secara global tanpa menyebut nama karena memang dia tidak bisa membuktikan hal itu, dan sering dia menyebut beberapa nama dan pada kenyataannya nama yang disebut tidak terbukti berpendapat sama dengan Ibnu Taimiyah. Ini semua dilakukan untuk propaganda, pengelabuan agar orang mengikuti pendapatnya. Sebagai contoh Ibnu Taimiyah menyebutkan pendapatnya bahwa meyakini adanya hawa-dits la awwala laha adalah pendapat para ahli Hadits dari kalangan ash-hab asy-Syafi’i, Ahmad dan semua kelompok tanpa menyebut nama,[1] Ibnu Taimiyah menyebutkan pendapatnya bahwa Allah berbicara dan diam adalah pendapat a-immah as-Sunnah,[2] Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya menyebutkan pendapat mereka bahwa neraka akan punah adalah pendapat Umar bin al Khaththab, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan lainnya.[3]

Al-Imam al-Muhaddits Abdullah al-Harari menegaskan:

 فانظروا كيف افترى كعادته هذه المقولة الخبيثة على أئمّة الحديث، وهذا شىءٌ انفرد به ووافق به متأخّري الفلاسفة، لكنّه تقوّل على أئمّة الحديث والفقهاء من أصحاب الشّافعيّ وأحمد وغيرهم وافترى عليهم، ولم يقل أحدٌ منهم ذلك لكن أراد أن يروّج عقيدتـه المفتراة بين المسلمين على ضعاف الأفهام، ويربأ بنفسه عن أن يقال إنّه وافق الفلاسفة في هذه العقيدة. [4]

“Lihatlah bagaimana Ibnu Taimiyah berdusta seperti kebiasaannya menisbatkan pendapat yang keji ini kepada para ulama Hadits, padahal pendapat ini (pendapatnya bahwa jenis alam Azali) adalah pendapat pribadinya dan dalam hal ini ia sependapat dengan generasi akhir para filsuf, akan tetapi ia menisbatkan itu kepada para ulama Hadits dan fiqh dari kalangan ashhab asy-Syafi’i, Ahmad dan lainnya dan berdusta terhadap mereka, padahal tidak ada seorang-pun di antara mereka yang berpendapat seperti itu, tetapi Ibnu Taimiyah ingin memasarkan akidahnya yang dusta itu di antara kaum muslimin yang lemah pemahamannya dan enggan untuk disebut bahwa ia menyamai para filsuf dalam akidah ini.”

Baca juga: Siapakah Ibnu Taimiyah?

Al-Imam Abdullah al-Harari juga menegaskan:

 أقول: فلا يغتـرّ مطالع كتبه بنسـبة هذا الرّأي الفاسد إلى أئمّة أهل السّـنّة وذلك دأبـه أن ينسب رأيـه الّذي يراه ويهواه إلى أئمّة أهل السّـنّة، وليعلم النّاظر في مؤلّفاتـه أنّ هذا تلبيسٌ وتمويهٌ محضٌ يريد أن يروّجه على ضعفاء العقول الّذين لا يوفّقون بين العقل والنّقل” . [5]

“Saya berkata: Janganlah pembaca buku-buku Ibnu Taimiyah terperdaya dengan penisbatan pendapat yang batil ini kepada para imam di kalangan Ahlussunnah, karena sudah menjadi kebiasaan Ibnu Taimiyah menisbatkan pendapat yang dia gandrungi kepada para ulama Ahlussunnah, dan hendaklah pembaca karya-karya Ibnu Taimiyah ketahui bahwa ini adalah kelicikan dan tipuan belaka karena ia ingin memasarkan pendapatnya kepada orang-orang yang lemah akalnya yang tidak bisa mengkompromikan antara akal dan dalil naql”.

Al-Muhaddits Abdullah alGhumari juga menjelaskan:

وكلّ هذا يدلّك على أنّ ابن تيمية لا يسلك في بحوثـه مسلك العالم المنصف الّذي يحكي آراء مخالفيه بمنتهى الأمانة والدّقّـة، بل يحاول بمختلف الأساليب أن يؤثّر في قارئه ويوهمه بأنّ رأيـه فقط هو الصّواب، وأنّـه لا يعرف بين الصّحابة والتّابعين وسلف الأمّة قولٌ يخالف ما اختاره وذهب إليه إلى ءاخر التّهويلات الّتي اعتادها في كلامه للتّأثير بها على قرّائـه بحيث يشعرك أنّ رأيـه إجماعٌ، ثمّ لا يلبث أن يعترف في غضون كلامه بإثبات ما نفاه وهدم ما بناه، ومن هنا كثر التّناقض في كتب ابن تيمية بشكلٍ لم يعهد في كتب غيره من العلماء، بل يتناقض في الكتاب الواحد عدّة مرّاتٍ فيصحّح الحديث في موضعٍ ويعلّه في موضعٍ ءاخر، وينفي وجود الخلاف في مسألةٍ ثمّ يحكيه فيها بعد ذلك، وهكذا، وما هذا شأن العلماء المنصفين، وبالله التّوفيق. [6]

“Ini semua menunjukkan kepada anda bahwa Ibnu Taimiyah dalam penelitian dan kajian-kajiannya tidak bersikap seperti layaknya seorang ulama yang obyektif yang menyebutkan pendapat-pendapat para ulama yang berbeda dengannya dengan penuh amanah dan ketelitian, sebaliknya dengan berbagai cara ia berusaha mempengaruhi pembacanya dan mengesankan kepadanya bahwa pendapatnya sajalah yang benar, tidak diketahui ada pendapat di kalangan para sahabat, tabi’in dan ulama salaf yang menyalahi apa yang dia pilih dan dia ikuti, dan demikian seterusnya gaya-gaya pembenaran yang biasa dia gunakan dalam perkataannya untuk mempengaruhi para pembacanya, sehingga ia mengesankan bahwa pendapatnya adalah ijma’, kemudian tidak lama setelah itu di sela-sela perkataannya ia menetapkan apa yang sebelumnya ia nafikan dan ia robohkan apa yang sebelumnya ia bangun. Dari sini, banyak kontradiksi dalam buku-bukunya dengan prosentase yang belum pernah ada pada ulama lain, bahkan dalam satu buku yang sama Ibnu Taimiyah bisa bertolak belakang perkataan-perkataannya beberapa kali, ia sahihkan Hadits di suatu tempat lalu ia cacat di bagian lain, dia nafikan adanya perbedaan pendapat di suatu masalah kemudian setelah itu ia sebutkan khilaf dalam masalah tersebut, dan demikian seterusnya, ini bukanlah perangai para ulama yang obyektif dan kepada Allah-lah kita memohon taufiq.”

 Syekh Ibnu Hajar alHaitami juga menegaskan:

من هو ابن تيمية حتّى ينظر إليه أو يعوّل في شىءٍ من أمور الدّين عليه ؟! وهل هو إلاّ كما قال جماعةٌ من الأئمّة الّذين تعقّبوا كلماته الفاسدة وحججه الكاسدة حتّى أظهروا عوار سقطاته وقبائح أوهامه وغلطاته كالعزّ بن جماعة: عبدٌ أضلّه الله تعالى وأغواه وألبسه رداء الخزي وأرداه، وبوّأه من قوّة الافتراء والكذب ما أعقبه الهوان وأوجب له الحرمان. [7]

“Siapakah Ibnu Taimiyah sehinggu perlu dilihat atau dirujuk pendapatnya dalam urusan-urusan agama?! Bukankah Ibnu Taimiyah tiada lain hanya seperti yang dikatakan oleh sekelompok para ulama yang mengkritisi perkataan-perkataannya yang menyimpang dan hujjah-hujjahnya yang lemah sehingga mereka singkap kesalahan-kesalahan, keburukan-keburukan pemahamannya seperti al ‘Izz ibn Jama’ah: Ibnu Taimiyah adalah seorang hamba yang disesatkan dan disimpangkan oleh Allah, Allah berikan kepadanya selendang kerendahan dan kehinaan, Allah berikan kepadanya kekuatan dan kelihaian untuk berbohong dan berdusta yang mengantarkannya kepada kehinaan dan mengakibatkannya terhalang”

Faham Ekstrim Ibnu Taimiyah Dalam Masalah Kalam Allah

Dalam masalah kalam Allah, Ibnu Taimiyah menuangkan faham ekstrimnya, lalu secara dusta menyandarkan faham tersebut kepada para Imam Ahli Hadits dengan mengatakan bahwa Allah berbicara dengan jenis suara yang Azali. Artinya, menurut faham Ibnu Taimiyah bahwa pada Dzat Allah terjadi perkara baharu sedikit demi sedikit.

Baca juga: Dalil Sifat Kalam Allah Bukan Huruf Suara dan Bahasa

Di antara faham ekstrim Ibnu Taimiyah adalah keyakinannya bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara, dan menurutnya bahwa Allah kadang berbicara dan kadang diam. Faham sesatnya ini ia tuangkan dalam banyak karyanya, seperti Risalah fi Shifat al-Kalam di h. 51 dan h. 54, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah di j. 1, h. 221, Muwafaqah Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul di j. 2, h. 143 dan h. 151, j. 4, h. 107, Majmu’ al-Fatawa di j. 6, h. 160, h. 234, dan j. 5, h. 556 dan h. 557, dan Majmu’ah Tafsir, h. 311.

Ibnu Taimiyah banyak menuliskan faham-fahamnya tersebut banyak karyanya, di antaranya sebagai berikut:

(Satu): Dalam karyanya berjudul Shifat al-Kalam, Ibnu Taimiyah berkata:

(قيل) وحينئذٍ فكلامه قديم مع أنه يتكلم بمشيئته وقدرته وإن قيل إنه ينادي ويتكلم بصوت ولا يلزم من ذلك قدم صوت معين، وإذا كان قد تكلم بالتوراة والقرءان والإنجيل بمشيئته وقدرته لم يمتنع أن يتكلم بالباء قبل السين، وإن كان نوع الباء والسين قديمًا لم يستلزم أن يكون الباء المعينة والسين المعينة قديمة لما علم من الفرق بين النوع والعين. اهـ [8]

“Dengan demikian maka Kalam Allah adalah Qadim sekalipun Dia berbicara dengan kehendak-Nya dan dengan Qudrah-Nya, dan sekalipun dikatakan bahwa Dia menyeru dan berbicara dengan suara, serta sekalipun tidak mengharuskan (melazimkan) dari pada itu Qadim-nya materi suara. Sehingga, oleh karena Allah berbicara dengan Taurat, Al-Qur’an dan Injil dengan kehendak-Nya dan dengan Qudrah-Nya maka tidak tercegah dari bahwa Dia berbicara dengan Ba’ sebelum Sin. Sekalipun dari segi jenis-nya (nau’) Ba’ dan Sin itu Qadim, tetapi itu tidak mengharuskan dari segi materi-nya (‘ain) bahwa Ba’ dan Sin tersebut Qadim pula. Karena telah diketahui (nyata) adanya perbedaan antara jenis dan materi (an- nau’ wa al-‘ain)”.

Dalam catatannya ini, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa huruf-huruf hija’iyyah; alif, ba’, ta’ dan seterusnya dari segi jenis adalah Qadim, tidak bermula. Menurutnya huruf-huruf tersebut hanya baharu dari segi materinya. Demikian pula ia mengatakan bahwa Allah mengeluarkan suara, yang menurutnya jenis suara tersebut adalah Qadim. Na’udzu billah.

Demikian itulah keyakinan ektrim Ibnu Taimiyah. Ia berkeyakinan bahwa jenis alam ini Qadim, tidak memiliki permulaan. Menurutnya; alam ini Azali (Qadim) sebagaimana Allah Azali. Ini adalah diantara keyakinan ekstrim yang sangat buruk datang dari Ibnu Taimiyah. Ia menuliskan keyakinannya tersebut dalam banyak karyanya, seperti Muwafaqah Sharih al Ma’qul Li Shahih al Manqul 1/64, 1/245, 2/75, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 1/109, 224, Naqd Mara-tib al Ijma’ 168, Syarh Hadits ‘Imran bin Hushain 193, Majmu’ al Fatawa 18/239, Syarh Hadits an-Nuzul 161, al Fataawa 6/300, dan Majmu’ah Tafsir 12-13.

(Dua): Masih dalam karyanya berjudul Shifat al-Kalam, Ibnu Taimiyah juga berkata:

(قيل)؛ وقال الشيخ الإمام أبو الحسن محمد ابن عبد الملك الكرخي الشافعي في كتابه الذي سمّاه الفصول في الأصول: سمعت الإمام أبا منصور محمد بن أحمد يقول: سمعت الإمام أبا بكر عبد الله بن أحمد يقول: سمعت الشيخ أبا حامد الإسفرايني يقول: مذهبي ومذهب الشافعي وفقهاء الأمصار أن القرءان كلام الله غير مخلوق ومن قال إنه مخلوق فهو كافر، والقرءان حمله جبريل عليه السلام مسموعًا من الله والنبي سمعه من جبريل والصحابة سمعوه من رسول الله (صلّى الله عليه وسلّم) وهو الذى نتلوه نحن مقروء بألسنتنا وفيما بين الدفتين وما في صدورنا مسموعًا ومكتوبًا ومحفوظًا ومقروءًا وكل حرف منه كالباء والتاء كله كلام الله غير مخلوق ومن قال مخلوق فهو كافر عليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين[9]

(Ibnu Taimiyah berkata): “Dan telah berkata Syekh Imam Abul Hasan Muhammad ibn Abdil Malik al-Karkhi al-Syafi’I dalam kitab karyanya yang ia namakan al-Fushul Fi al-Ushul: “Aku telah mendengar Imam Abu Manshur Muhammad ibn Ahmad berkata ia: “Aku telah mendengar Abu Bakr Abdullah ibn Ahmad berkata: “Aku telah mendengar Syekh Abu Hamid al-Isfirayini berkata: “Madzhabku adalah madzhab Syafi’i sebagaimana para ulama dari berbagai penjuru. Menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Siapa berkata Al-Qur’an makhluk maka ia seorang kafir. Al-Qur’an dibawa oleh Jibril, yang didengar olehnya dari Allah, dan Rasulullah mendengarnya dari Jibril, lalu para sahabat mendengarnya dari Rasulullah.  Dialah Al-Qur’an yang dibaca oleh kita dengan lidah-lidah kita, yang (tertuang) di atas dua lembar/muka, yang kita hafal (jaga) dalam dada-dada kita; dia didengar, ditulis, dihafal dan dibaca. Dan setiap huruf dari Al-Qur’an seperti huruf ba’ dan ta’ semua itu adalah kalam Allah, bukan makhluk. Dan siapa berkata itu makhluk maka ia seorang yang kafir, atasnya laknat Allah, laknat para Malaikat, dan laknat seluruh manusia”.

Baca buku: Mengungkap Berbagai Kesesatan Ahmad Ibnu Taimiyah

Seperti Inilah di antara kebiasaan Ibnu Taimiyah. Ia biasa “mengutil” nama para Imam terkemuka dalam perkataan-perkataan mereka, lalu ia menyimpangkan makna-maknanya, dan bahkan kadang hingga merubah redaksi-redaksi mereka. Benar, propaganda semacam inilah yang sudah sejak lama dipakai oleh kaum Musyabbihah dalam menyebarkan faham-faham sesat mereka.

(Tiga): Dalam karyanya berjudul Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Ibnu Taimiyah menuliskan:

(قيل) وسابعها قول من يقول إنه لم يزل متكلمًا إذا شاء بكلام يقوم به وهو متكلم بصوت يسمع، وإن نوع الكلام قديم وإن لم يجعل نفس الصوت المعين قديمًا، وهذا هو المأثور عن أئمة الحديث والسنة وبالجملة أهل السنة والجماعة أهل الحديث[10]

(Ibnu Taimiyah berkata): “Dan [pendapat] ke tujuh mengatakan bahwa Allah senantiasa bebicara jika dia berkehendak, dengan kalam yang tetap dengan Dzat. Dia (Allah) berbicara dengan suara yang didengar. Seseungguhnya jenis kalam Allah itu Qadim, walaupun Dia tidak menjadikan materi suara[Nya] itu Qadim. Inilah pendapat yang datang dari para Imam Hadits dan Sunnah. Dan sesungguhnya Ahlussunnah Wal Jama’ah itu adalah para ahli Hadits”.

(Empat): Dalam kumpulan-kumpulan fatwa-nya berjudul Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah menuliskan:

(قيل) فعلم أن قدمه عنده أنه لم يزل إذا شاء تكلم وإذا شاء سكت، لم يتجدد له وصف القدرة على الكلام التي هي صفة كمال، كما لم يتجدد له وصف القدرة على المغفرة، وإن كان الكمال هو أن يتكلم إذا شاء ويسكت إذا شاء[11]

(Ibnu Taimiyah berkata): “Maka diketahui bahwa Qidam-Nya Allah bagi-Nya adalah bahwa Dia senantiasa bila berkehendak maka Ia berbiacara dan bila berkehendak maka Ia diam. Tidak berbaharu bagi-Nya sifat kuasa atas berbicara yang dia (Kalam) itu sifat sempurna [bagi-Nya], sebagaimana tidak berbaharu bagi-Nya sifat kuasa atas mengampuni, walaupun adanya sifat sempurna [tersebut] adalah bahwa bila Dia berkendak maka Dia berbicara dan bila berkehendak maka Dia diam”.

(Lima): Masih dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah juga menuliskan:

وفي الصحيح: إذا تكلم الله بالوحي سمع أهل السموات كجر السلسلة على الصفوان  » فقوله: » إذا تكلم الله بالوحي سمع يدل على أنه « يتكلم به حين يسمعونه، وذلك ينفي كونه أزليًا، وأيضا فما يكون كجر السلسلة على الصفا، يكون شيئا بعد شىء والمسبوق بغيره لا يكون أزليًا[12]

(Ibnu Taimiyah berkata): “Dan dalam [khabar] sahih; Apabila Allah berbicara dengan wahyu maka mendengarlah oleh seluruh penduduk langit [sesuatu] seperti diseretnya rantai di atas bebatuan. Maka perkataannya [Hadits/Rasulullah] “Apabila Allah berbicara dengan wahyu maka mendengarlah…” menunjukan bahwa Allah berbicara dengan wahyu tersebut ketika para penduduk langit mendengar-Nya. Dengan demikian hal itu menafikan adanya kalam Allah sebagai sesuatu yang Azali. Demikian pula sesuatu yang seperti [suara] rantai yang ditarik di atas bebatuan mestilah itu sesuatu yang terjadi setelah sesuatu yang lain (artinya baharu), dan sesuatu yang yang didahului oleh sesuatu yang lain maka dia itu tidak Azali”.

Baca juga: Bid’ah Dalam Pokok Agama (Ushuluddin)

Dalam tulisan tersebut Ibnu Taimiyah menetapkan bahwa kalam Allah yang menurutnya diperdengarkan kepada penduduk langit; yaitu para Malaikat adalah seperti suara rantai yang diseret di atas bebatuan. Lalu, Ibnu Taimiyah menegaskan, jika demikian maka kalam Allah adalah sesuatu yang baharu.

(Enam): Masih dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah juga menuliskan:

وجمهور المسلمين يقولون: إن القرءان العربي كلام الله، وقد تكلـم الله به بحرف وصوت، فقالوا: إن الحروف والأصوات قديمة الأعيان، أو الحروف بلا أصوات، وإن الباء والسين والميم مع تعاقبها في ذاتها فهي أزلية الأعيان لم تزل ولا تزال كـما بسطت الكلام على أقوال الناس في القرءان في موضعءاخر[13]

(Ibnu Taimiyah berkata): “Dan mayoritas umat Islam berkata: Sesungguhnya Al-Qur’an yang berbahasa Arab adalah kalam Allah. Allah berbicara dengan Al-Qur’an tersebut dengan huruf dan suara. Maka mereka (umat Islam) berkata: Huruf-huruf dan suara-suara adalah Qadim (tiada bermula) dari segi jenisnya, atau sebagai huruf-huruf dengan tanpa suara-suara. Dan sesungguhnya huruf Ba’, Sin, dan Mim, sekalipun bergantian (dalam bacaan Bismillah) dalam dzatnya, tetapi itu semua adalah Qadim dari segi jenisnya, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, sebagaimana telah aku jelaskan panjang lebar dalam tema tentang pendapat manusia dalam Al-Qur’an di tempat yang lain”.

Sesungguhnya tulisan Ibnu Taimiyah ini adalah murni keyakinan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah Mujassimah. Dan memang Ibnu Taimiyah banyak mengambil faham-faham Karramiyyah, bahkan hingga menjadi imam dan rujukan utama madzhab Karramiyyah di masa sekarang.

_________________

[1] Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 224.
[2] Ibnu Taimiyah, Majmu’ah Tafsir Sitt Suwar, hal.311.
[3] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘ala Man Qala bi Fana’ al Jannah Wa an-Nar, hal.52, Ibnu Abi al ‘Izz, Syarh al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hal.429.
[4] Al-Harari, alMaqalat as-Sunniyyah, hal.73.
[5] Al-Harari, alMaqalat as-Sunniyyah, h.100.
[6] Al-Ghumari, Mishbah az-Zujajah fi Fawa-id Sholat alHajah, h. 61-62.
[7] Al-Haytami, alJawhar alMunazhzham fi Ziyarah alQabr an-Nabawiyy alMukarram, hal.27-28.
[8] Risalah Fi Shifat al-Kalam, Ibnu Taimiyah, h. 51
[9] Risalah Fi Shifat al-Kalam, Ibnu Taimiyah, h. 54
[10] Minhaj as-Sunnah, Ibnu Taimiyah, j. 1, h. 221
[11] Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, j. 6, h. 160
[12] Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, j. 6, h. 234
[13] Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, j. 5, h. 556

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments

×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku