Minggu, September 24, 2023
spot_img
BerandaTanzihHadits-Hadits Yang Oleh Kaum Musyabbihah Disebut Sebagai Hadits-Hadits Sifat, Takwil Mereka Dan...

Hadits-Hadits Yang Oleh Kaum Musyabbihah Disebut Sebagai Hadits-Hadits Sifat, Takwil Mereka Dan Takwil Kita Terhadap Hadits-Hadits Tersebut – Bagian Dua

Meriwayatkan hadits dan mengungkap makna-makna yang terkandung di dalamnya adalah tugas para ulama ahlinya, bukan bebas bisa diemban oleh siapapun

Hadits-Hadits Yang Oleh Kaum Musyabbihah Disebut Sebagai Hadits-Hadits Sifat, Takwil Mereka Dan Takwil Kita Terhadap Hadits-Hadits Tersebut – Bagian Dua

Hadits Ke Sebelas

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih masing-msing meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) لا تَزَال جَهَنّم يُلقَى فيْها وتقُولُ: هَلْ مِن مَزيْد؟ حتّى يَضَعَ ربّ العزّة فيْهَا قدَمَه فَيُزوَى بعضُها إلَى بَعْض

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Terus-menerus Jahanam akan dimasukan di dalamnya (dari para penghuninya). Jahanam berkata: “Adakah tambahan lagi?”, hingga kemudian Allah meletakan telapak kaki-Nya di dalamnya hingga berdesakan sebagiannya kepada sebagian yang lain”].

Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “قدم” dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan [dimasukan, ditempatkan] oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam nereka Jahanam”.

Baca juga: Ilmu Kalam; Kajian Mendalami Risalah Istihsan al-Khaudl

Abu Manshur al-Azhari [salah seorang pakar bahasa] berkata: “Kata “قدم” yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang merupakan penghuni neraka, mereka di datangkan ke neraka dan dikekalkan di dalamnya selamanya. Dalam bahasa, diungkapkan; “لما قدِّم: قدَم” [Artinya, “sesuatu yang didatangkan” (ما قدّم) maka dalam penggunaannya diungkapkan dengan kata “قدم”]. Contoh seperti ini, dalam bahwa bahasa Arab ungkapan; “لما هدم: هدم” [Artinya, “sesuatu yang dihancurkan” (ما هدم) maka dalam penggunaannya diungkapkan dengan kata “هدم”]. Contoh lainnya yang menguatkan penggunaan bahasa seperti ini di dalam sebuah riwayat:

وأمّا الْجَنّة فَينشئ لَها خَلقًا

[Dalam teks riwayat ini diungkapkan dengan redaksi “خلقا”, padahal jelas yang dimaksud adalah sesuatu yang diciptakan (مخلوق)].

Pendapat ke dua mengatakan; Bahwa “setiap yang datang” (قادم) ke neraka tersebut secara bahasa dapat pula disebut dengan kata “قدم”. Dengan demikian kata “قدم” adalah bentuk jamak (plural) dari kata “قادم”.

Adapun riwayat yang mengatakan dengan redaksi “رجل” [yang secara literal bermakna “kaki’] adalah dalam pengertian “kelompok”. Dalam bahasa Arab biasa diungkapkan: “رجل من جراد”; [artinya “sekelompok belalang”. Kata “رجل” di sini dalam makna “جماعة”; artinya kelompok, golongan yang bersama-sama]. Dengan demikian makna riwayat yang mempergunakan redaksi “رجل” pengertiannya adalah bahwa mereka; para penghuni neraka akan memasuki neraka tersebut secara bersama-sama sebagai sebuah golongan. Diungkapkan dengan kata “رجل” adalah untuk memberikan pemahaman bahwa mereka; penghuni neraka, adalah kelompok yang sangat besar yang campur aduk dan sembraut. [Jadi penggunaan kata “رجل” di sini untuk mengungkapkan kesembrawutan seperti sembrautnya belalang-belalang dalam kelompoknya].

Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “al-Qadam adalah sifat Dzat Allah”. [Artinya ia berkeyakinan bahwa makna “قدم” adalah kaki; ia menetapkan anggota badan bagi Dzat Allah].

Sementara Ibn az-Zaghuni al-Mujassim berkata: “Ketika disebutkan bahwa Allah meletakan “قدم” dalam neraka; ini maknanya untuk memberitahukan bahwa mahkluk-makhluk kafir yang ada di dalamnya akan terbakar (tersiksa) sementara Allah tidak tersiksa”. [Ini artinya, Ibn az-Zaghuni berkayakinan bahwa Allah memiliki anggota kaki; ia memaknai “قدم” sebagai kaki]. Apa yang diungkapkan oleh Ibn az-Zaghuni sama dengan menetapkan adanya bagian-bagian bagi Allah. Jelas, ini adalah keyakinan yang sangat buruk.

Dan aku (Ibnul Jawzi) telah telah melihat sebuah kitab yang ditulis oleh Abu Bakr bin Khuzaimah –yang menurutnya– berisi penyebutan sifat-sifat Allah, disusun dengan bab-bab, di antaranya ada bab yang ia namakan: “Bâb Itsbât al-Yad” [Menurutnya; Bab untuk menetapkan bahwa Allah memiliki tangan], “Bâb Imsâk as-Samâwât Alâ Ashâbi’ih” (Menurutnya; Bab penjelasan bahwa seluruh lapisan langit digenggam dalam jari-jari tangan Allah), dan “Bâb Itsbât ar-Rijl Wa In Raghamat al-Mu’tazilah” (Menurutnya; Bab untuk menetapkan bahwa Allah memiliki kaki; walaupun diinkari oleh kaum Mu’tazilah). Kemudian Ibnu Khuzaimah berkata: “Allah berfirman dalam al-Qur’an:

ألَهُمْ أرْجُلٌ يَمشُونَ بِها أمْ لَهُمْ أيْدٍ يَبْطِشُوْنَ بِهَا (الأعراف: 195)

[Maknanya: “Bukankah mereka memiliki kaki yang mereka berjalan dengannya, bukankan mereka memiliki tangan yang mereka memegang (memukul) dengannya?”. QS. Al-A’raf: 195].

Dengan ayat ini (menurut Ibn Khuzaimah) Allah memberitahukan kepada kita bahwa sesuatu yang tidak memiliki tangan dan kaki maka pastilah dia itu seperti binatang”. [Artinya, menurut Ibn Khuzaimah Allah memiliki anggota kaki dan memiliki anggota tangan karena Allah bukan binatang].

Imam Ibnu Aqil al-Hanbali berkata: “Maha suci Allah dari berada pada tempat-tempat, Allah bukan benda yang memiliki anggota-anggota badan dan bagian-bagian, maha suci Allah dari berbuat suatu perbuatan di dalam neraka yang dalam perbuatan-Nya tersebut membutuhkan kepada sesuatu dari Dzat-Nya hingga (sesuatu dari Dzat-Nya tersebut) disebut sebagai bagian dari sifat-Nya (seperti keyakinan kaum Muasyabbihah). Padahal Allah telah berfirman:

يَا نَارُ كُوْنِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إبْرَاهيْم (الأنبياء: 69)

[Maknanya: “Wahai api jadilah engkau dingin dan selamat (bagi Nabi Ibrahim”. QS. Al Anbiya’: 69].

[Artinya; di dalam  ayat ini mengandung bantahan terhadap mereka yang mengartikan “قدم” dengan “kaki” pada hak Allah]. Dengan demikian alangkah buruk dan bodoh keyakinan mereka yang mengatakan bahwa Allah memiliki anggota kaki, sungguh Allah Sang Pencipta bagi segala sesuatu yang ada di atas maupun segala sesuatu yang ada di bawah [dan segala apa yang ada di dunia, serta setiap perkara yang ada di akhirat kelak]; maka mustahil Dia menyerupai sesuatu dari makhluk-makhluk-Nya tersebut. Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah mendustakan keyakinan orang-orang kafir, berfirman:

لوْ كَانَ هؤلاء آلِهة مَا وَرَدُوْهَا (الأنبياء: 99)

[Maknanya: “Seandainya mereka itu semua adalah tuhan tentunya mereka tidak akan masuk ke dalamnya (neraka)”. QS al Anbiya’: 99].

Lalu bagaimana mungkin Allah (Tuhan yang berhak disembah dan yang menciptakan neraka) bahwa Dia akan masuk ke dalam neraka?! bahkan –dalam keyakinan kaum Musyabbihah– yang masuk ke dalam neraka tersebut adalah kaki-Nya?! Na’ûdzu billâh. Sesungguhnya Allah maha suci dari seluruh akidah bodoh kaum Mujassimah.

Hadits ke dua belas

Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) ضَرْسُ الكَافِر فِي النّار مثْل أحُد وكَثافَة جِلدِه اثنَانِ وَسبعُونَ ذِراعًا بذِرَاع الْجَبّار

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil karena menyesatkan, mengatakan: “Gusi-gusi orang kafir di neraka seperti besarnya gunung Uhud, dan tebal kulitnya setebal tujuh puluh dua hasta dengan hasta Allah”. Makna literalnya seakan mengatakan bahwa Allah sebagai benda yang memiliki bentuk, ukuran, dan anggota badan].

Berkata Abu Amr az-Zahid: “Makna “الجبار” yang dimaksud di sini adalah “الطويل”, artinya “yang panjang”. Dalam bahasa Arab biasa diungkapkan kata: “نخلة جبارة”; artinya pohon kurma yang tinggi [panjang]”.

Sementara Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “Kita harus memberlakukan makna al-Jabbâr di sini dalam makna zahirnya, dan maknanya jelas al-Jabbâr yang dimaksud adalah Allah [Yang Maha Perkasa]”.

Aku (Ibnul Jawzi) berkata [dalam mengomentari pernyataan Abu Ya’la al-Mujassim]: “Sangat aneh, betul-betul sangat mengherankan, bagaimana [potensi] akal tidak dipergunakan hingga sejauh ini?! Akal sehat mana yang dapat menerima bahwa ketebalan kulit orang-orang kafir (di neraka kelak) hingga empat dua hasta dengan ukuran hasta Allah?! [Ini artinya dalam keyakinan Abu Ya’la al-Mujassim dan seluruh kaum Musyabbihah bahwa Allah adalah benda yang memiliki bentuk dan ukuran serta anggota-anggota badan]. Sungguh Allah Maha Suci dari akidah sesat semacam ini dengan kesucian yang agung”.

Hadits Ke Tiga Belas

Al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim meriwayatkan (menurutnya) dari Imam Mujahid bahwa ia (Mujahid) berkata:

(قيل) إذَا كَانَ يَوْم القيَامَة يَذكرُ داودُ عليه الصّلاة والسّلامُ ذَنبَه، فيقُولُ الله تعالَى: كُنْ أمَامِي، فيقُول: يا ربّ ذَنْبِي ذَنْبي، فيقُول: كُنْ خَلْفِي، فيقُول: يَا رَبّ ذنْبي، فيقُول لَهُ: خُذْ بِقَدَمِي. وَفِي لفْظٍ لابْنِ سِيْرِيْن قَالَ: إنّ اللهَ تعَالَى لَيُقرّب داوُدَ حتّى يَضعَ يدَهُ علَى فَخذِه

[Riwayat ini tidak benar tidak boleh kita ambil, makna literalnya mengatakan: “Saat kiamat nanti maka Dawud akan menyebut-nyebut dosanya. Allah berkata kepadanya: “Diamlah di depan-Ku”. Dawud berkata: “Wahai Tuhanku, dosaku… dosaku…”. Allah berkata: “Diamlah di belakang-Ku”. Dawud berkata: “Wahai Tuhanku, dosaku… dosaku…”. Allah berkata: “Bertekuklutulah di kaki-Ku”. Dalam redaksi Ibn Sirin mengatakan: “Allah benar-benar mendekat kepada Dawud hingga Dia meletakan tangan-Nya di atas pahanya”].

Baca buku: Islamic Theology, Ibnul Jauzi Membongkar Aqidah Tasybih

Sangat mengerankan; bagaimana orang ini menetapkan sifat-sifat bagi Allah hanya dengan pernyataan seorang tabi’in, yang bahkan itu-pun riwayat tidak benar sama sekali. Kalaupun benar ada yang meriwayatkan demikian maka itu adalah riwayat dalam menceritakan keyakinan [orang-orang musyrik] dari Ahli Kitab; sebagaimana ketetapan ini telah dinyatakan oleh Imam Wahb bin Munabbih.

Sementara Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “Kita harus memberlakukan teks ini dalam makna zahirnya, dan kita katakan bahwa perkara itu semua bukan dalam pengertian anggota badan”.

Perkataannnya ini aneh, sungguh sangat aneh. Sebenarnya kaum Musyabbihah itu telah menetapkan seluruh anggota tubuh bagi Allah [sebagaimana anggota tubuh yang ada pada manusia]; bagi-Nya mereka menetapkan paha, betis, telapak kaki, wajah (muka), dua tangan, jari-jemari, jari kelingking, jari jempol, naik, dan turun; anehnya, mereka lalu berkata: “Kita menetapkan itu semua sesuai zahirnya namun bukan dalam makna anggota badan”. Ini sangat aneh, adakah seorang mukmin yang berakal sehat menetapkan “arah depan”, “arah belakang”, “paha” [dan anggota-anggota badan lainnya] bagi Allah?! Sebenarnya tidak pantas bagi kita untuk berbicara dengan kaum Musyabbihah ini [karena mereka tidak memiliki akal sehat]. Siapapun tahu pengertian “paha” secara bahasa [yaitu anggota badan]; apa kemudian bisa diterima akal sehat bila dikatakan “paha yang bukan paha”?! [atau “jempol yang bukan jempol”, “betis yang bukan betis”, dan seterusnya?!]. Benar, orang-orang semacam kaum Musyabbihah ini adalah orang-orang yang tidak layak untuk diajak bicara [karena mereka seperti orang-orang gila, tidak waras, karena mereka tidak mempergunakan akal sehat]. Mereka akan tetap keras kepala menentang logika sehat. Mereka hanya pantas berbicara dengan anak-anak kecil.

Hadits Ke Empat Belas

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih masing-masing meriwayatkan dari hadits sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

يَضْحَكُ اللهُ إلَى رَجُلَيْنِ يَقْتلُ أحدُهُما الآخرَ يَدْخُلان الْجَنّةَ (وفي أفرَاد مُسْلم مِنْ حَديث ابْن مَسعُوْد): أنّ رَسُولَ الله صلّى الله عَليه وَسَلّم أخْبَرَ عَنْ ءاخِرِ مَنْ يَدخُل الْجنّةَ، وَضَحِكَ، فَقيْل: مِمَّ تَضْحَك؟ فقَال: مِنْ ضَحْكِ رَبّ العالَميْن

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Allah tertawa dari dua orang yang saling membunuh (berperang) satu dengan lainnya dan keduanya masuk ke surga”. Dalam riwayat muslim dari hadits Abdullah ibn Mas’ud (hadits munfarid): “Rasulullah memberitahukan tentang orang yang paling terakhir masuk ke surga, Rasulullah tertawa. Lalu ada yang berkata kepadanya: “Apakah yang membuatmmu tertawa?”, Rasulullah berkata: “Aku tertawa karena Tuhan seluruh alam (Allah) tertawa”].

Ketahuilah, makna ”الضحك” [yang secara literal bermakna ”tertawa”] kandungan maknanya sangat banyak; yang keseluruhan makna tersebut untuk mengungkapkan ”kejelasan dan penampakan”. Dasarnya, segala sesuatu yang nampak (timbul) dari semula yang tersembunyi dalam bahasa Arab biasa diungkapkan dengan kata ”الضحك”. Contoh, bila dikatakan; ”ضحكت الأرض بالنبات”, maka artinya: “Bumi menjadi nampak (berseri) dengan tumbuhnya tumbuh-tumbuhan”. Kebalikan (antonim) dari kata ”الضحك” adalah ”البكاء”, [secara literal berarti ”menangis”], seperti biasa diungkapkan: ”بكت السماء”, sebagaimana dalam sebuah syair:

كُلّ يَوْمٍ بأقْوَاحٍ جَدِيْد    #    تَضْحَكُ الأرْضُ مِنْ بُكَاء السّمَاء

”Setiap hari dengan keadaan (………….) yang baru, bumi berseri dengan hujan turun dari langit”.

Adapun makna ”الضحك” yang terjadi pada manusia adalah membuka mulut dan menyeringaikan (menampakan) gigi. Makna ”الضحك” dalam pengertian ini tentu mustahil bagi Allah. Dengan demikian maka wajib memahami makna ”الضحك” pada hak Allah dalam pengertian bahwa Allah memperlihatkan kepada para hamba-Nya dari tanda-tanda kemuliaan, (keridlaan) dan karunia-Nya.

Kemudian dalam bahasa Arab jika dikatakan: ”ضحكت لضحك ربي”, maka artinya adalah; ”Saya tertawa [membuka mulut dan menyeringaikan gigi karena senang] karena Allah telah memperlihatkan bagiku tanda-tanda keridlaan dan karunia-Nya”, [bukan bermakna: ”Saya tertawa karena tertawanya Tuhanku”].

Ada hadits mawqûf berbunyi:

(قيل) ضَحِكَ حَتّى بَدَتْ لَهَواتُه وأضْرَاسُهُ

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”(Allah) tertawa hingga nampak gusi-Nya dan gigi-gigi geraham-Nya”].

Hadits ini disebutkan oleh al-Khallal dalam kitab as-Sunnah. Ar-Rauzi berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal); “Apa pendapatmu tentang hadits ini?”, beliau menjawab: “Itu adalah dalam pengertian bahwa Allah memberikan pertolongan dan karunia-Nya”.

Kemudian Abu Abdillah juga berkata: “Seandainya itu riwayat yang benar maka maknanya memiliki dua pemahaman:

Pertama: Bahwa kata “اللهوات” dan kata “الأضراس” [yang secara literal bermakna gigi geraham dan gusi] kembali kepada Rasulullah, [Artinya, penyebutan kata tersebut yang dimaksud adalah kembali kepada Rasulullah, bukan kepada Allah]. Dengan demikian makna hadits tersebut ialah: “Ketika Allah menampakan tanda-tanda nikmat dan karunia-Nya maka Rasulullah sangat senang; tersenyum hingga terlihat barisan gigi geraham dan gusi-gusinya”. Inilah pemahaman yang benar; seandainya hadits tersebut sebagai hadits sahih.

Ke dua:  Penyebutan ungkapan tersebut adalah untuk memberikan pemahaman bahwa karunia Allah, nikmat-Nya dan rahmat-Nya sangat luas tidak terhingga [dalam istilah ilmu bahasa disebut “التجوز والمبالغة”], sebagaimana sebuah ungkapan dalam sebuah riwayat yang menyebutkan:

مَنْ أتَانِي يَمْشِي أتَيْتُهُ هَرْوَلةً

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Siapa yang mendatangi-Ku (Allah) dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan lari kecil (joging)”].

[Pemahaman literal hadits ini tidak boleh diambil sebab akan menjadikan makna hadits tersebut kontradiktif]. Pemahaman yang dimaksud oleh hadits ini adalah untuk mengungkapkan “التجوّز”, [yaitu untuk mengungkapkan bahwa rahmat Allah sangat luas, bahkan lebih luas dan lebih dekat kepada setiap hamba lebih dari pada prakiraan hamba itu sendiri].

Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “Tidak dilarang bagi kita untuk mengambil teks-teks hadits semacam ini dalam makna zahirnya tanpa takwil”.

Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Alangkah aneh kata-kata Abu Ya’la ini, betul-betul sangat mengherankan. Dia telah menetapkan sifat-sifat bagi Allah dengan hadits-hadits ahad; yang bahkan redaksi hadits-hadits tersebut sama sekali tidak benar. Lihat, tokoh Mujassim ini telah mengatakan bahwa Allah memiliki gusi [gigi graham, dan lainnya]. Orang seperti ini tidak layak untuk disebut sebagai muslim”.

Hadits Ke Lima Belas

Abu Ya’la al-Mujassim meriwayatkan hadits mawqûf dari sahabat Abdullah bin Umar bahwa ia (Abdullah bin Umar) berkata:

(قيل) خَلَق اللهُ تعَالَى الْمَلائكَةَ مِنْ نُوْر الذّرَاعَيْن وَالصّدْر

[Hadits mawqûf semacam ini tidak boleh dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-sifat Allah, makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Allah telah menciptakan para malaikat dari sinar dua hasta tangan-Nya dan dada-Nya”].

Dengan hanya riwayat mawqûf semacam ini [yang belum tentu benar] Abu Ya’la al-Mujassim mengatakan bahwa Allah memiliki dua hasta [yaitu; tangan dari ujung jari-jari hingga sikut] dan memiliki dada. Tentu, ini adalah pendapat yang sangat buruk. Apa yang ia riwayatkan itu bukan hadits marfû’ dan juga bukan hadits yang benar. Bagaimana mungkin [orang semacam ini disebut muslim] jika berkeyakinan bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya yang Dia paruhkan dari Dzat-Nya [yang bahkan ia berkeyakinan bahwa Dzat Allah sebagai benda]?! Sesungguhnya pendapat orang semacam [Abu Ya’la al-Mujassim] ini lebih buruk dari pada keyakinan orang-orang Nasrani.

Hadits Ke Enam Belas

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih masing-masing meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) يُدنى الْمؤمِن منْ ربّه فيَضَع عَليْه كَنفَه، فيقُولُ: تَعْرفُ ذَنْبَ كَذا؟

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Seorang mukmin akan didekatkan kepada Tuhannya, lalu Tuhannya meletakan dagu padanya, berkata: “Tahukah (ingatkah) engkau dosa ini?”].

Para ulama [Ahlussunnah Wal Jama’ah] berkata: “Makna hadits ini adalah untuk mengungkapkan bahwa Allah memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya bagi seorang mukmin”.

Imam Ibn al-Anbari berkata: “Makna “كنفه” dalam redaksi hadits ini adalah dalam pengertian perlindungan dan penjagaan dari Allah terhadap seorang mukmin [artinya, Allah menutupinya dari keburukan-keburukan, jadi makna “الكنف” di sini adalah “الإحاطة والستر”; melindungi dan menutupi]. Dalam bahasa Arab jika dikatakan: “قد كنف فلان فلانا” maka artinya; “si fulan A telah melindungi dan menutupi si fulan B”. Atau dalam bahasa bila dikatakan; “شىء كنف شيئا”; maka makna “كنف” di sini artinya menutupi (ستر). Lalu dalam bahasa Arab; kata “الترس” terkadang disebut pula dengan kata “الكنيف”; yaitu kayu penyangga pintu dari arah belakang untuk menguncinya. Kata “الترس” ini disebut dengan “الكنيف” oleh karena menutupi dan menjaga pemiliki rumah yang ada di dalamnya.

Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “Hadits tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah mendekat kepada hamba dengan Dzat-Nya”.

Jelas, [ungkapan Abu Ya’la] ini adalah perkataan orang yang tidak mengenal Allah, [dia berkeyakinan sesat bahwa Allah sebagai benda]. Dia tidak mengetahui perkara-perkara yang mustahil pada hak Allah. Dia tidak mengetahui bahwa kata “dekat” dalam pengertian jarak hanya terjadi bagi benda yang memiliki bentuk dan ukuran. [Hingga sejauh inikah akal sehatnya tidak dipakai?!].

Demikian pula dengan sebuah riwayat yang berbunyi:

إنّهُ لَيَدْنُو يَوْمَ عَرَفَة

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Sesungguhnya Allah benar-benar mendekat di hari arafah”. Makna literalnya seakan Allah memiliki jarak dan sebagai benda yang bergerak].

Hadits ini tidak boleh dipahami dalam makna literalnya yang seakan Allah di hari Arafah [9 Dzul Hijjah] dekat dalam pengertian jarak dengan para hamba-Nya, tetapi yang benar dalam pengertian yang telah kita sebutkan di atas; yaitu kedekatan rahmat-Nya, karunia-Nya, dan ampunan-Nya.

Hadits Ke Tujuh Belas

Imam Muslim dalam hadits-hadits yang redaksinya diriwayatkan menyendiri olehnya (al-Afrâd) dari sahabat Mu’awiyah bin al-Hakam, bahwa ia (Mu’awiyah bin al-Hakam) berkata:

(قيل) كَانَتْ لِي جَارِية تَرْعَى غنَمًا، فانْطلقَتْ ذَات يَوْم فإذَا الذّئْب قدْ ذَهَب بشَاةٍ فصَكَكْتُهَا صكّة فأتيْتُ رسُوْلَ الله صلّى الله عَليه وَسَلّم فعَظُم ذلك علَيَّ، فقلتُ ألا أُعْتقُها، قال: ائْتِنِي بِها، فقالَ لَها: أيْن الله تعالَى؟ قالَتْ: فِي السّمَاء، قالَ: منْ أنَا؟ قالَتْ: أنْتَ رَسُولُ الله، فقَال: اعْتِقْها فإنّهَا مُؤمنَة

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Aku memiliki seorang budak perempuan yang selalu menggembala kambing. Maka suatu hari ia pergi [untuk menggembala] dan ternyata salah satu kambing telah dimangsa oleh srigala, maka aku memukul budak tersebut dengan satu pukulan. Lalu aku mendatangi Rasulullah menyesali perbuatanku tersebut, aku berkata: “Tidakkah aku merdekakan saja ia?”, Rasulullah berkata: “Datangkan budak itu kepadaku”. Lalu Rasulullah berkata kepadanya (budak): “Di mana Allah?”, budak menjawab: “Di langit”, Rasulullah berkata: “Siapa aku?”, budak menjawab: “Engkau adalah Rasulullah”. Rasulullah berkata: “Merdekakanlah ia, karena sungguh ia seorang mukmin”].

Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah [artinya Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah; karena tempat dan arah adalah makhluk-Nya]. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan Allah [Artinya bahwa Allah sangat tinggi derajat-Nya. Dan pertanyaan Rasulullah dengan redaksi “أين” adalah dalam makna “ما مدى تعظيمك لله؟”; artinya “Bagaimana engkau mengagungkan Allah?”, oleh karena kata “أين” digunakan tidak hanya untuk menanyakan tempat, tapi juga biasa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat].

Hadits Ke Delapan Belas

Abu Razin meriwayatkan, berkata:

(قيل) قُلْتُ: يَا رَسوْلَ الله أيْنَ كَان ربّنَا قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ خَلقَه؟ قال: كَانَ فِي عَمَاء، مَا تَحْتهُ هَوَاء ولا فَوقَه هوَاء ثُمّ خَلقَ عرْشَه عَلى الْمَاء

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Aku berkata: “Wahai Rasulullah di manakah Tuhan kita sebelum Dia menciptakan makhluk-Nya? Rasululah berkata: “Dia dalam awan, tidak ada udara di bawah-Nya dan di atas-Nya, lalu Dia menciptakan arsy-Nya di atas air”].

Makna “العماء” dalam bahasa adalah “السحاب”; artinya “awan”. Kata “فوق” [yang secara literal bermakna “di atas”] dan kata “تحت” [secara literal bermakna “di bawah”] dalam redaksi riwayat di atas adalah kembali kepada kata “عماء” (awan), bukan kembali ke “Allah”. Kemudian kata “في” dalam kalimat “في عماء” adalah dalam pengertian “فوق” [dalam makna mengatur dan menguasai]. Dengan demikian makna yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwa Allah maha tinggi derajat-Nya; Dia maha mengatur dan maha menguasai. Hanya saja untuk pendekatan maka jawaban pertanyaannya dikaitkan dengan makhluk, seperti kata “العماء” [yang berarti awan] dalam redaksi hadits yang kita bicarakan ini. Seandainya saja para sahabat bertanya ada apa sebelum ada awan? maka tentu Rasulullah akan memberitakan bahwa sebelum segala sesuatu ada yang ada hanya Allah [Dia ada tanpa permulaan]; tidak ada sesuatu apapun bersama-Nya, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam hadits sahih bahwa Rasulullah bersabda:

كَانَ اللهُ وَلا شَىءَ مَعَهُ

[Maknanya: “Allah ada tanpa permulaan dan tidak ada sesuatu apapun bersama-Nya”].

Kita semua sepakat bahwa Allah tidak ada yang menyerupai-Nya, keagungan-Nya tidak ada yang menandingi dan menyamai-Nya. Allah tidak menyatu dengan suatu apapun dari makhluk-Nya, namun demikian tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang lepas dari pengetahuan-Nya [Artinya bahwa Allah maha mengetahui segala apapun yang terjadi pada makhluk-Nya dengan setiap rinciannya]. Karena bila Allah menyatu dengan sesuatu dari makhluk-Nya maka berarti Allah adalah bagian dari makhluk itu sendiri, dan seandainya ilmu Allah lepas dari para makhluk-Nya maka berarti Allah tidak mengetahui apa-apa yang terjadi pada makhluk-Nya tersebut.

Hadits Ke Sembilan Belas

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih masing-masing meriwayatkan dari hadits sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) يَنْزِلُ رَبّنا كُلّ لَيلَة إلَى سَمَاء الدّنيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلثُ اللّيل الأخِير يَقُول: مَنْ يَدْعُوْنِي فأسْتَجِيْب لَه

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Tuhan kita turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga akhir malam, Dia berkata: “Siapa di antara kalian meminta kepada-Ku maka akan Aku kabulkan bagi-Nya”].

Hadits ini [dikenal dengan “حديث النزول”] diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Kita telah membahas bahwa sifat-sifat benda mustahil bagi Allah; seperti gerak, pindah dan berubah. Dengan demikian dalam memahami hadits an-Nuzûl secara benar terdapat dua kelompok manusia:

Pertama: Kelompok yang memakai metode takwil, mengatakan bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah rahmat Allah sangat dekat [yaitu pada sepertiga malam akhir]. Penggunaan kata “النزول” tidak hanya untuk pemahaman fisik saja; yaitu turun dari arah atas ke arah bawah, tetapi dalam penggunaannya sangat banyak; untuk berbagai makna, misalnya firman Allah dalam al-Qur’an:

وأنْزَلْنَا الْحَديْدَ فيْهِ بَأسٌ شَدِيْدٌ (الحديد: 25)

[Makna literal ayat ini mengatakan: “Dan Kami (Allah) telah menurunkan besi, di dalamnya terdapat bahaya yang besar”. QS. Al-Hadid: 25. Makna literal ini seakan mengatakan bahwa besi turun; berasal dari arah atas ke bawah–]. Padahal telah jelas bagi kita bahwa tempat atau tambang besi itu adalah di dalam perut bumi.

Demikian pula dengan firman Allah:

وأنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الأنْعَامِ ثَمَانيَة أزْوَاج (الأنعام: )

[Makna literal ayat ini mengatakan bahwa Allah menurunkan binatang-bintang ternak delapan pasang; zahir ayat ini seakan mengatakan bahwa binatang-binatang tersebut berasal dari arah atas lalu diturunkan ke arah bumi]. Unta misalkan, dapatkah anda percaya kalau ia diturunkan dari arah atas (langit) dengan dasar ayat ini? [Sungguh bukan ayat-nya yang salah tapi pemahamannya yang harus diluruskan].

Ke dua: Kelompok yang tidak membicarakan kandungan kata an-Nuzûl sambil tetap berkeyakinan tanzîh. Artinya, wajib atas setiap hamba berkeyakinan bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan makna an-Nuzûl di sini bukan dalam pengertian sifat-sifat benda; seperti gerak, pindah dan berubah. Karena an-Nuzûl dalam pengertian pindah dari satu tempat ke tempat yang lain [makna yang berlaku pada makhluk] membutuhkan kepada tiga keadaan; yaitu, (satu); tempat yang berada di arah atas, (dua); tempat yang berada di arah bawah, dan (tiga); benda yang pindah itu sendiri [dan benda ini pastilah memiliki bentuk dan ukuran]; ia pindah dari arah atas ke arah bawah. Tentunya, tiga keadaan ini adalah perkara yang mustahil bagi Allah.

Sementara Ibnu Hamid al-Mujassim berkata: “Dzat Allah bertempat di atas arsy, menempel dengan arsy tersebut, dan Dia turun dari tempat-Nya tersebut dalam pengertian pindah”.

Orang semacam Ibnu Hamid ini tidak paham akidah, dia tidak mengetahui perkara-perkara yang secara akal boleh dan atau tidak boleh bagi Allah [artinya, tidak mengenal Wâjib ‘Aqliy dan Mustahîl ‘Aqliy).

Sementara Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “an-Nuzûl adalah sifat Dzat Allah, dan kita tidak mengatakan bahwa an-Nuzûl di sini dalam pengertian pindah”.

Apa yang diungkapkan oleh Abu Ya’la ini adalah kerancuan yang nyata. [Bagaimana dapat diterima ia mengatakan bahwa an-Nuzûl adalah sifat Dzat Allah lalu pada saat yang sama ia juga mengatakan bahwa an-Nuzûl ini bukan dalam makna pindah? Itu artinya dalam keyakinan dia bahwa Dzat Allah sebagai benda karena ia telah mensifati-Nya dengan an-Nuzûl; walaupun ia mengatakan bahwa an-Nuzûl di sini bukan dalam makna pindah. Tetapi yang benar; an-Nuzûl ini adalah sifat fi’il Allah, dan maknanya bukan dalam pengertian pindah, berubah atau bergerak].

Sebagian lainnya dari kaum Musyabbihah mengatakan dengan tegas bahwa redaksi hadits mengatakan; “ينزل”, itu artinya menurut mereka berarti “يتحرّك” (bergerak). Orang-orang Musyabbihah yang berkata demikian ini benar-benar tidak mengetahui perkara-perkara yang mustahil secara akal bagi Allah. Parahnya, mereka mengatakan bahwa itu adalah pendapat dan akidah Imam Ahmad, padahal jelas itu adalah bohong besar terhadapnya.

Seandainya an-Nuzûl ini sebagai sifat Dzat Allah –seperti yang diyakini oleh Abu Ya’la al-Mujassim ini– maka berarti sifat-sifat Allah berubah-rubah dalam setiap malam. Padahal siapapun [muslim yang berakidah lurus] tahu bahwa sifat-sifat Dzat Allah itu Qadim sebagaimana Dzat Allah itu Qadim [artinya tidak bermula, tidak berubah, tidak bertambah, tidak berkurang dan tanpa penghabisan].

Hadits Ke Dua Puluh

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih masing-masing meriwayatkan dari hadits sahabat Abu Hurairah bahwa ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah;

(قيل) عَنْ أبِي هُريرَة رَضي الله عنْه أنّ رجُلا أتَى النّبيَ صَلّى الله عليه وَسلّم، فقال: إنّي مَجْهوْد، فقال صلّى الله عليه وسَلّم: مَنْ يُضيفُه هَذه اللّيلَة؟ فقَام رَجُلٌ منَ الأنْصَار فقَال: أنَا يَا رسُوْلَ الله. فانْطَلَق بهِ إلَى امْرأتهِ، فقَال: هَلْ عِنْدَكِ شىءٌ؟ قالَتْ: لا إلاّ قُوْت صِبيَانِي، فقَال: فَعَلّلِيْهِمْ بشَىء إذَا أرَاد الصّبيةُ العشَاءَ فنَوّمِيْهِم، فإذَا دخَل ضَيفُنَا فأطْفِئِي السّرَاجَ وأريْهِ أنّا نَأكُل. فَقَعَدُوا وَأكَل الضّيفُ، فُلمّا أصْبَح غَدَا عَلى النّبيّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّم فقَال: “لَقدْ عَجبَ الله تعالَى مِنْ صَنِيعكُمَا بضَيفِكُمَا اللّيلَة”

[Dari sahabat Abu Hurairah bahwa seseorang datang kepada Rasulullah, ia berkata: “Sesungguhnya saya tengah kesulitan”. Maka Rasulullah berkata [kepada para sahabatnya]: “Siapakah yang mau menjamu orang itu malam ini?”. Lalu seorang dari sahabat Anshar berdiri: “Aku wahai Rasulullah”. Maka ia pergi membawa tamu tersebut ke tempat istrinya. Ia bertanya kepada istrinya: “Adakah engkau memiliki makanan?”, istrinya menjawab: “Tidak ada, kecuali makanan anak-anak kita”. Ia berkata: “Buatlah alasan bagi mereka, jika mereka ingin makan malam maka tidurkanlah mereka, lalu jika tamu kita masuk maka matikanlah lampu dan perlihatkan kepadanya bahwa kita tengah makan [bersamanya]”. Kemudian mereka semua duduk, dan tamu tersebut makan [sementara lampu dimatikan dan kedua orang suami istri ini menggerak-gerakan tangan seakan sedang makan untuk menemani tamunya tersebut]. Di pagi harinya Rasulullah berkata kepada sahabat tersebut: “لقد عجب الله تعالى من صنيعكما بضيفكما الليلة”. [Teks ini tidak boleh kita pahami dalam makna literal, yang mengatakan: “Allah benar-benar telah heran terhadap perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian tadi malam. Makna literal ini seakan mengatakan bahwa Allah “heran” atau “takjub”].

Dalam hadits lainnya, di antara hadits-hadits yang diriwayatkan menyendiri oleh  Imam al-Bukhari (al-Fard), dari sahabat Abu Hurairah, dari Rasulullah berkata:

(قيل) عَجَبَ اللهُ منْ قَوْمٍ جرَّ بِهِمْ فِي السّلاسِل حَتّى يُدْخلُهُم الْجَنّة

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Allah heran dari suatu kaum yang terikat pada rantai-rantai sehingga Allah memasukan mereka ke dalam surga”].

Para ulama kita mengatakan bahwa “العجب” dalam pengertian bahasa adalah suatu keadaan yang terjadi pada diri seseorang saat ia merasa aneh terhadap sesatu yang sebelumnya tidak pernah ia ketahui, yang karena itu ia memandang sesuatu tersebut sebagai keajaiban [kata “العجب” ini terjemah literalnya berarti “heran” atau “takjub”]. Sifat seperti ini tentu tidak bolah dinyatakan bagi Allah, karena itu adalah sifat manusia.

Makna al-‘ajab pada hak Allah bukan dalam pengertian Allah heran, tapi yang dimaksud adalah dalam pengertian bahwa perkara tersebut sesuatu yang agung dan memiliki keistimewaan bagi Allah [sebagaimana ini dapat dipahami dari konteks dan redaksi hadits di atas]. Dalam bahasa ketika dikatakan: “المتعجب من الشىء” maka pengertiannya; “يعظم قدره عنده” [artinya, seorang yang takjub atau heran terhadap sesuatu; itu artinya bahwa sesuatu tersebut memiliki keistimewaan baginya].

Adapun kata “as-Salâsil” [dalam redaksi hadits ke dua di atas yang secara literal bermakna “rantai yang mengikat tangan dan kaki”] adalah untuk mengungkapkan bahwa orang-orang tersebut memaksa diri mereka dalam melakukan ketaatan-ketaatan kepada Allah; yang karena sebab itu mereka menjadi masuk ke dalam surga. Imam Ibnul Anbari berkata: “Pengertian al-‘Ajab pada hak Allah adalah untuk mengungkapkan bahwa Allah memberikan karunia dan nikmat yang sangat besar. Dalam hadits ini diungkapkan dengan kata al-‘Ajab untuk tujuan tersebut”.

Bersambung bagian tiga 

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments

×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku