Hadits-Hadits Yang Oleh Kaum Musyabbihah Disebut Sebagai Hadits-Hadits Sifat, Takwil Mereka Dan Takwil Kita Terhadap Hadits-Hadits Tersebut – Bagian Empat
Hadits Ke Tiga Puluh Satu
Khawlah binti Hakim meriwayatkan dari Rasulullah, bersabda:
(قيل) إنّ ءاخِرَ وَطْئةٍ وطَأهَا الرّحْمن بِوج
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil karena menyesatkan, mengatakan: ”Sesungguhnya akhir pijakan yang dipijak oleh Allah adalah di Wujj”].
Wujj adalah suatu daerah di wilayah Tha’if. Wujj adalah daerah terakhir yang penduduk dari orang-orang musyrik di dalamnya telah mendapatkan siksa dari Allah karena doa Rasulullah.
Senada dengan riwayat di atas sabda Rasulullah lainnya berbunyi:
(قيل) اللّهُمّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَر
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil karena menyesatkan, mengatakan: ”Ya Allah kuatkanlah pijakan-Mu di atas kabilah Mudlar”].
Mereka [kaum Mujassimah] memahami makna ”وطأة” dalam riwayat di atas dalam makna zahirnya [yang berarti pijakan kaki]; mereka mengatakan ”وطأة” diambil dari ”قدم” [telapak kaki]. Pendapat sesat ini juga merupakan pemahaman Ibn Qutaybah. Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim berkata: ”Dalam dasar akidah kita tidak terlarang untuk memahami riwayat ”وطأة” ini dalam makna zahirnya, dan sesungguhnya itu adalah merupakan sifat Dzat-Nya bukan sifat fi’il-Nya, karena itu pula kita memahami kata ”ينزل”, ”يضع قدمه في النار” [dan riwayat-riwayat semacamnya] dalam makna sifat Dzat-Nya”.
Apa yang diungkapkan oleh Abu Ya’la ini adalah bukti nyata bahwa dasar keyakinan dia dan kelompoknya telah menetapkan bahwa Allah sebagai benda [mereka menjadikan Allah sebagai tubuh yang memiliki anggota-anggota badan], menjadikan-Nya berpindah-pindah dan bergerak. Abu Ya’la ini di samping berakidah tasybîh; perkataannya itu juga menunjukan bahwa dia seorang yang tidak mengerti penggunaan bahasa, tidak mengetahui sejarah, dan tidak memiliki argumen-argumen logis.
Sesungguhnya Abu Ya’la ini tertipu oleh perkataan Ka’ab al-Ahbar yang mengatakan:
(قيل) وُج مُقدّسٌ، مِنهُ عَرَجَ الربُّ إلَى السّماءِ ثُمّ قضَى خلْق الأرْض
[Riwayat semacam ini tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah akidah. Makna literalnya tidak boleh kita ambil karena menyesatkan, mengatakan: ”Wujj adalah tanah suci, darinya Allah naik ke langit kemudian menetapkan penciptaan bumi”].
[Apa yang dikatakan oleh Ka’ab ini secara literal sepenuhnya diambil oleh Abu Ya’la]. Padahal riwayat Ka’ab ini kalaupun seandainya benar maka kemungkinan besarnya saat itu beliau sedang menceritakan perkataan Ahli Kitab –yang notabene mereka adalah Ahluttasybîh–, dan memang Ka’ab banyak banyak meriwayatkan perkataan-perkataan Ahli Kitab. Kemudian bila memang itu perkataan Ka’ab sendiri maka yang dimaksud adalah bahwa Wujj sebagai tempat terakhir dari bumi yang diciptakan oleh Allah, dan makna ” منه عرج الرب”; artinya setelah Allah menciptakan bumi kemudian Allah menciptakan langit, pemahaman ini sesuai dengan firman-Nya:
ثُمّ اسْتوَى إلَى السّمَاء وَهِي دُخَانٌ (فصلت:11 )
[Maknanya: ”Kemudian Allah bertujuan untuk menciptakan langit”. (QS. Fush-shilat: 11). Para ahli tafsir mengartikan ”استوى إلى” artinya ”قصد”; maknanya ”bertujuan”. Ayat ini tidak boleh diartikan ”Allah bersemayam di langit”; karena pemahaman seperti ini jelas sesat dan kufur]
Terkait hadits di atas; riwayat lainnya dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
(قيل) لَمّا أُسْرِي بِي مرَّ بِي جبْريلُ عليه الصّلاةُ والسّلامُ حتَّى أتَى الصّخْرَة، فقالَ: يَا مُحمّد مِنْ هَهُنَا عرَج ربُّك إلَى السّمَاء
[Hadits ini palsu (maudlû) tidak boleh dijadikan dalil, menyesatkan, makna literalnya mengatakan: ”Ketika aku di-isra’-kan aku berjalan bersama Jibril hingga sampai kepada sebuah batu besar, ia (Jibril) berkata: ”Wahai Muhammad dari sini inilah Tuhanmu naik ke langit”].
Hadits ini diriwayatkan oleh Bakr bin Ziyad; seorang yang banyak membuat hadits palsu yang ia sandarkan kepada para perawi terpercaya (tsiqât).
Jika ada yang berkata: ”Diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas bahwa beliau memaknai firman Allah: ”ثم استوى” dalam makna ”صعد” [secara hafiah bermakna ”naik”]. Kita jawab: ”Yang dimaksud adalah ”صعد أمره” [artinya yang naik dalam hal ini adalah urusan Allah; yaitu bahwa setelah Allah menciptakan bumi kemudian Allah menciptakan langit, bukan artinya Dzat Allah turun naik], karena Allah tidak boleh disifati dengan gerak dan pindah”.
Baca juga: Bersumpah Dengan Selain Nama Allah, Hukumnya?
Ketahuilah bahwa dalam menyikapi teks-teks tentang sifat-sifat Allah ada tiga tingkatan manusia:
Pertama: Menerima teks-teks tersebut sebagaimana datangnya tanpa memahami itu semua dalam makna-makna zahirnya, tanpa menafsirkannya, dan tanpa mentakwilnya, kecuali dalam keadaan darurat; seperti pada firman-Nya: ”وجاء ربك”; mereka mentakwilnya bahwa yang dimaksud adalah datangnya urusan Allah. Metodologi ini umumnya diberlakukan oleh para ulama Salaf.
Ke dua: Memberlakukan takwil terhadap teks-teks tersebut [artinya tidak memahami zahir teks-teks tersebut, tetapi memalingkannya kepada makna lain yang masih dalam kandungan makna teks-teks tersebut secara bahasa, dan makna yang sesuai bagi keagungan Allah]. Tingkatan ke dua ini cukup sulit [oleh karenanya tidak setiap orang berhak untuk melakukan takwil, tetapi harus di tangan ahlinya].
Ke tiga: Pendapat yang memberlakukan teks-teks tersebut dalam makna indrawi (fisik). Metodologi ke tiga ini menyebar di kalangan orang-orang yang pekerjaannya hanya mengutip teks-teks saja; mereka adalah orang-orang yang tidak memahami perkara-perkara yang boleh bagi Allah (al-Jâ’izât) dan yang mutahil bagi-Nya (al-Mustahîlât), [artinya mereka tidak mengetahui hukum-hukum akal]. Sesungguhnya, mereka yang paham hukum akal tidak akan memahami teks-teks mutasyâbihât dalam makna zahirnya; mereka akan memalingkan segala keserupaan dari Allah. Sementara mereka yang tidak paham hukum-hukum akal akan memberlakukan teks-teks mutasyâbihât tersebut dalam makna zahirnya; mereka memahaminya secara indrawi dan sifat-sifat kebendaan.
Pemahaman indrawi inilah yang diyakini oleh Abu Ya’la al-Mujassim, oleh karenanya ia berkata: ”Dalam dasar akidah kita; tidak terlarang untuk memahami riwayat ”وطأة” ini dalam makna zahirnya, dan sesungguhnya itu adalah merupakan sifat Dzat-Nya”.
Perkataan Abu Ya’la ini jelas menyebutkan bahwa teks-teks mutasyâbihât dipahami oleh mereka dalam makna indrawi, itulah dasar akidah mereka (kaum Musyabbihah). Seandainya saja mereka paham bahwa Allah tidak disifati dengan gerak, pindah, dan berubah; tentunya mereka tidak akan memahai teks-teks mutasyâbihât tersebut dalam makna indrawi. Yang sangat mengherankan dari Abu Ya’la ini; dia memahami teks-teks tersebut dalam makna indrawi, lalu ia berkata bahwa itu semua bukan dalam makna pindah dan bergerak. Ini aneh, sungguh aneh, sama saja dia membatalkan apa yang telah dikatakannya sendiri.
Di antara kesesatan kaum Musyabbihah yang paling aneh dari yang pernah aku lihat adalah sebuah riwayat yang mereka sebutkan dari Ibnu Abi Syaibah bahwa ia berkata dalam Kitâb al-’Arsy: ”Sesungguhnya Allah telah memberitakan kepada kita bahwa Dia semula berada (bertempat) di bumi lalu Dia naik ke langit, lalu ke arsy, dan kemudian Dia menetap di arsy”. [Na’ûdzu billâh].
Aku (Ibnul Jawzi) katakan: ”al-Hamdulillâh, kita adalah bagian dari orang-orang yang diberi karunia oleh Allah untuk mengetahui teks-teks syari’at yang benar (al-Manqûlât), dan kita juga diberi karunia oleh-Nya untuk memahami teks-teks tersebut dengan potensi akal (al-Ma’qûlât). Kita membebaskan diri dari orang-orang [berakidah tasybîh] yang mengotori madzhab kita ini (madzhab Hanbali), sehingga kita bukan dari golongan yang dicaci oleh banyak orang karena memiliki akidah yang buruk”.
Hadits Ke Tiga Puluh Dua
Abu Umamah meriwayatkan bahwa Rasulullah:
(قيل) مَا تَقَرَّبَ الْعِبَادُ إِلَى اللهِ تَعَالَى بِمِثْلِ مَا خَرَجَ مِنْهُ
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Tidaklah para hamba mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang dapat menyamai dengan apa yang telah keluar dari-Nya”. Makna literal ini seakan menetapkan bahwa ada sesuatu yang keluar darinya].
Yang dimaksud ”ما خرج منه” dalam riwayat ini adalah al-Qur’an. Dalam riwayat lainnya, dari hadits Affan bahwa Rasulullah bersabda:
(قيل) فَضِيْلَةُ الْقُرءَان عَلَى سَائِرِ الْكَلاَمِ كَفَضْلِ اللهِ تَعَالَى عَلَى خَلْقِهِ، أنّ الْقُرْءَانَ مِنْهُ خَرَجَ وَإلَيْهِ يَعُوْدُ
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Keutamaan al-Qur’an di atas seluruh kalam adalah seperti keutamaan Allah atas seluruh makhluk-Nya, bahwa al-Qur’an keluar dari Allah dan kembali kepada Allah”].
Yang dimaksud oleh dua hadits tersebut adalah bahwa al-Qur’an berasal dari Allah untuk kita [bukan dalam makna keluar dari dalam Allah], dan al-Qur’an tersebut [artinya pahala bacaannya] juga akan kembali kepada-Nya [artinya hanya dibalas olehnya] dan akan ditinggikan di tempat yang mulia.
Hadits Ke Tiga Puluh Tiga
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
(قيل) إنّ اللهَ تَعَالَى قَرَأَ طه ويس قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ ءَادَمَ بألْفِ سَنَةٍ فَلَمَّا سَمِعَتْ الْمَلائِكةُ قَالُوا: طُوْبَى لأُمّةٍ يَنْزِلُ عَليْهِمْ، وَطُوْبَى لأجْوَافٍ تَحْمِلُ هَذَا، وَطُوْبَى لألْسُنٍ تَتَكَلّمُ به
[Hadits ini palsu tidak boleh dijadikan dalil, makna literalnya mengatakan: ”Sesungguhnya Allah membaca surat Thâhâ dan surat Yâsîn seribu tahun sebelum menciptakan Nabi Adam, ketika para malaikat mendengar maka mereka berkata: ”Alangkah beruntung umat yang turun kepada mereka surat ini, alangkah beruntung rongga-rongga yang membawa surat ini, dan alangkah beruntung lidah-lidah yang berkata-kata (membaca) surat ini”].
Ini adalah hadits palsu (Maudlû’), diriwayatkan oleh Ibrahim bin al-Muhajir dari Umar bin Hafsh. Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang Umar bin Hafsh: ”حرقت أحايثه” [hadits-haditsnya terbakar; artinya hadits-hadits yang diriwayatkannya tidak benar]. Sementara Imam Yahya bin Ma’in berkata: ”ليس بشىء” [dia; Umar ibn Hafsh orang yang tidak mengerti hadits]. Lalu al-Hâfizh Abu Hatim ibn Hibban berkata: ”هذا متن موضوع” [ini adalah redaksi hadits palsu].
Hadits Ke Tiga Puluh Empat
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab sahih masing-masing meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
(قيل) إنّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتىَّ إذَا فَرِغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحْمُ فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ العَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَةِ، قَالَ: نَعَمْ، أمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكَ، وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكَ. (وَفِي لَفْظٍ أخْرَجَهُ البُخَارِي أنّ النّبيّ صَلّى اللهُ عَليه وَسَلّمَ قَالَ: إنّ الرّحمَ شَجَنَةٌ مِنَ الرّحْمن)
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Sesungguhnya Allah menciptakan semua makhluk hingga setelah selesai dari penciptaan mereka; rahim berdiri, maka berkata: ”Ini adalah tempat untuk berlindung kepada-Mu dari keterputusan (tali rahim/persaudaraan)”. Allah berkata: ”Benar, tidakkah engkau ridla bahwa Aku akan menjalin hubungan dengan orang yang menjalin hubungan denganmu, dan Aku akan memutuskan hubungan dari orang yang memutuskan hubungan darimu”. Dalam redaksi hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya rahim itu cabang dari Allah”].
Abu Ubaidah berkata: “Asal kata ”الشجنة” adalah seperti ranting-ranting pada pohon, arti literalnya adalah berdekatan dan saling-silang; seperti berdekatan dan saling-silangnya ranting-ranting pada pohon. Dalam bahasa Arab kata: ”تشجن” adalah untuk mengungkapkan sesuatu yang saling berdekatan, merapat, dan saling-silang”.
Baca buku: Penjelasan Hadits Budak Perempuan Hitam
Aku (Ibnul Jawzi) katakan: ”Pemahaman yang benar dari hadits ini tidak lepas dari dua kemungkinan makna.
Pertama; Bisa jadi yang dimaksud adalah bahwa Allah memelihara dan menjaga tali rahim (tali persaudaraan); sehingga Allah mencurahkan rahmat-Nya bagi orang yang menjaga tali persaudaraan dan memutuskan rahmat-Nya dari orang yang memutuskan tali persaudaraan tersebut. Allah memberikan bagi rahim segala haknya; sehingga setiap orang manusia dituntut untuk selalu menjaga hak-hak kekerabatan dengan sanak familinya, dan lebih memperhatikan mereka di banding terhadap orang-orang yang bukan familinya.
Ke dua; bisa jadi yang dimaksud adalah bahwa kata ”رحم” diambil dari huruf-huruf kata ”رحمن”, dengan ini seakan Rasulullah hendak menekankan bahwa kekerabatan adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi. Pemahaman ke dua ini dikuatkan dengan hadits lainnya dari sahabat Abdurrahman ibn Auf bahwa Rasulullah bersabda:
(قيل) أنَا الرّحْمنُ خَلَقْتُ الرّحمَ وَشَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنْ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهُ
[Maknanya: ”Allah berfirman: ”Aku adalah ar-Rahmân (Yang maha pengasih bagi seluruh makhluk), Aku telah menciptakan rahim dan Aku ambilkan penamaannya dari nama-Ku, siapa yang selalu menjalin tali rahim (tali persaudaraan) maka akan Aku curahkan rahmat-Ku baginya, dan siapa yang memutuskan tali rahim maka akan Aku putuskan curahan rahmat-Ku darinya”].
Ada pula hadits terkait ini diriwayatkan dengan redaksi yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab Sahih, yaitu:
الرَّحْمُ شَجَنَةٌ مِنَ الرّحْمَن تَعَلَّقَ بِحَقْوِ الرّحْمن، تَقُوْلُ: اللّهُمّ صِلْ مَنْ وَصَلَنِي وَاقْطَعْ مَنْ قَطَعَنِي، وَفِي لَفْظٍ: الرّحم شَجَنَةٌ ءَاخِذَةٌ بِحَقْوِ الرّحْمن، وَفِي لَفْظٍ: لَمّا خَلَقَ اللهُ تَعَالَى الْخَلْقَ قَامَتِ الرَّحمُ فَأَخَذَتْ بِحَقْوِ الرّحْمن، فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَة.
[Hadits-hadits ini tidak boleh dijadikan dasar akidah, karena semuanya tidak benar. Makna literalnya menyesatkan, mengatakan: ”Rahim adalah ranting (cabang) dari Allah, dia bergelantungan menarik kain sarung Allah berkata: ”Ya Allah jalinlah hubungan dengan orang yang menjalin hubungan denganku, dan putuskanlah hubungan-Mu dari orang yang memutuskan hubungan dariku”. Dalam redaksi lain: ”Rahim adalah cabang dari Allah, dia menarik kain sarung Allah”. Dalam redaksi lainnya: ”Setelah Allah selesai menciptakan makhluk; rahim berdiri, lalu ia menarik kain sarung Allah seraya berkata: ”Ini adalah tempat untuk meminta perlindungan dengan-Mu dari keterputusan (tali rahim)].
Jika hendak dipahami maka seluruh hadits yang kita sebutkan ini pemaknaannya sebagaimana yang telah kita jelaskan di atas. Kemudian makna ”تعلق بحقو الرحمن” bukan dalam pengertian literalnya, tetapi untuk mengungkapkan permintaan perlindungan dan pemeliharan dari Allah (al-Istijârah Wa al-I’tishâm).
Imam Abu Bakr al-Baihaqi berkata: ”الحقو” dalam makna literal adalah ”الإزار” (artinya; kain sarung), namun yang dimaksud adalah ”العز”; artinya kemuliaan dan keagungan. Dengan demikian makna hadits tersebut adalah bahwa rahim meminta kepada Allah dengan wasilah keagungan dan kemuliaan-Nya.
Sementara Ibnu Hamid al-Mujassim berkata: ”Wajib kita beriman bahwa Allah memiliki kain sarung dan bahwa rahim menarik kain sarung-Nya tersebut”.
Lebih buruk dari itu, bahkan Ibnu Hamid al-Mujassim ini berkata: ”Demikian pula wajib kita beriman bahwa Allah memiliki pinggang, karena Dia telah berfirman: ”على ما فرطت في جنب الله” [makna ”جنب الله” dalam ayat ini dipahami secara literal oleh Ibnu Hamid al-Mujassim dengan pinggang Allah. Na’ûdzu billâh].
Orang ini [Ibnu Hamid] benar-benar tidak memiliki pemahaman yang sehat. Lalu bagaimana ia menetapkan adanya ”التفريط” (berlebih-lebihan) pada pinggang Allah seperti yang dipahaminya? [apakah dia berkeyakinan bahwa Allah memiliki pinggang yang sangat besar; bahkan terlalu besar? Na’ûdzu billâh] Kita berlindung dengan Allah dari pemahaman yang sangat buruk semacam ini.
Hadits Ke Tiga Puluh Lima
Imam al-Bukhari dalam kitab sahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
(قيل) قَالَ الله عزَّ وجَلّ: الكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالعَظَمَةُ إزَارِيْ، فَمَنْ نَازَعَنِي فِيْهِمَا عَذَّبْتهُ
[Kita tidak boleh memahami teks ini secara literal. Makna literalnya mengatakan: ”Allah berfirman: ”al-Kibriyâ’ (kebesaran) adalah selendang-Ku, dan al-’Azhamah (keagungan) adalah kain sarung-Ku, maka siapa yang mencampuri-Ku pada keduanya akan Aku siksa ia”. Makna literal ini seakan mengatakan bahwa Allah mengenakan selendang dan kain sarung].
Imam Abu Sulaiman al-Khattabi berkata: ”Pemahaman hadits ini ialah bahwa ”al-Kibriyâ’ dan al-Azhamah adalah sifat Allah yang khusus bagi-Nya; tidak ada seorang-pun yang menyamai-Nya pada sifat tersebut, dan memang tidak layak bagi siapapun untuk memiliki dua sifat ini, karena seharusnya sifat makhluk adalah merendahkan diri (at-Tawâdlu’ Wa at-Tadzallul). Adapun penyebutan kata ”إزار” [yang secara literal berarti kain sarung], dan ”رداء” [secara literal berarti selendang] adalah sebagai pendekatan pembicaraan [bukan untuk menetapkan bahwa Allah memakai kain sarung dan selendang]. Dengan demikian bahwa ungkapan hadits ini untuk menegaskan bahwa sifat al-kibriyâ’ dan al-’Azamah hanya miliki Allah saja; tidak siapapun selain-Nya”.
Hadits Ke Tiga Puluh Enam
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahih masing-masing dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
أنَا عِنْدَ ظَنّ عَبْدِي بِي وأنَا معَهُ حِيْنَ يَذكُرنِِي، فإنْ ذَكَرَنِي فِي نفسِهِ ذَكَرْتهُ فِي نَفْسِي، وإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلإ ذكرتُه في ملَإٍ خيْرٌ منْه ، وإنْ تَقَرّبَ إلَيّ شِبْرًا تَقَرّبْتُ إليْه ذِرَاعًا، وإنْ أتَانِي يَمْشِي أتيتُهُ هَرْوَلةً.
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku dengan-Ku, Aku bersamanya ketika ia menyebut-Ku, jika ia menyebut-Ku dalam jiwanya maka Aku menyebutnya dalam jiwa-Ku, jika ia menyebut-Ku dalam kelompok maka Aku menyebutnya dalam kelompok yang lebik dari kelompoknya, jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku mendekat kepadanya seukuran jarak satu hasta, jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku mendatanginya dengan lari kecil”].
Al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim menyimpulkan dari hadits ini bahwa Allah memilki jiwa (an-nafs), yang menurutnya jiwa tersebut adalah bagian dari Dzat-Nya. Sungguh, apa yang dipahaminya ini adalah pendapat ahli bid’ah menyesatkan; yang dengan demikian ia telah menjadikan akidah tasybîh-nya bertambah variatif dan lebih parah lagi. Orang ini tidak dapat membedakan secara bahasa antara makna ”adz-Dzat” dan makna ”an-Nafs”. Apakah yang mencegahnya untuk memaknai ”ذكرته في نفسي” dalam makna ”ذكرته أنا” [sehingga maknanya jelas tidak mengundang kontorversi; ”Siapa yang menyebut-Ku maka Aku akan menyebutnya (artinya merahmatinya)]?”.
Pembicaraan masalah ini telah kita kupas dalam pembahasan beberapa ayat al-Qur’an di atas. Adapun pemahaman “تقربت إليه ذراعا” [yang secara literal bermakna “Aku mendekat kepadanya seukuran jarak satu hasta”], dan “أتيته هرولة” [yang secara literal bermakna “Aku datang kepadanya dengan cara berlari kecil”] adalah untuk pendekatan ungkapan [yang artinya bahwa rahmat Allah akan sangat cepat datang terhadap orang yang melakukan ketaatan kepada-Nya]. Pemahaman ini seperti dalam firman Allah:
وَالّذيْنَ سَعَوْا فِي ءَايَاتِنَا (الحج: 51)
Pemahaman kata: “سعوا” dalam ayat ini jelas bukan dalam makna literalnya yang berarti “المشي” (berjalan), [tetapi dalam makna orang-orang yang menentang; yaitu mereka yang menentang ayat-ayat Allah].
Hadits Ke Tiga Puluh Tujuh
Abu Sa’id meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
(قيل) إنّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبّ الْجَمَالَ
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Sesungguhnya [Dzat] Allah itu indah, dan Dia mencintai keindahan”. Makna literal ini seakan mengatakan bahwa Allah memiliki fisik yang indah].
Para ulama berkata: “Makna “الجميل” secara bahasa [yang berlaku pada makhluk] adalah seorang yang dihiasi dengan bentuk yang indah [artinya dalam makna fisik], dan akhlak yang mulia, serta berbagai kebaikan lainnya”. Menurutku makna “الجميل” adalah yang sifat-sifatnya telah mencapai puncak kebaikan dan kesempurnaan. [Dengan demikian makna yang benar dari hadits tersebut adalah: ”Allah Maha sempurna pada sifat-sifat-Nya, dan Dia mencintai keindahan (kesempurnaan)”.
Sementara Abu Ya’la al-Mujassim mengatakan bahwa Allah tidak tercegah untuk memiliki sifat indah pada Dzat-Nya [ini artinya ia memahami indah dalam makna fisik]. Pemahaman sesat Abu Ya’la ini didasarkan kepada keyakinannya bahwa Allah memiliki fisik (bentuk) sebagaimana penafsirannya terhadap riwayat yang mengatakan “رأيت ربي في أحسن صورة”. Na’ûdzu billâh.
Hadits Ke Tiga Puluh Delapan
Al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim meriwayatkan dari Umar bin Abdil Aziz, berkata:
(قيل) إذَا فَرغ اللهُ تعالَى مِنْ أهل الجنّةِ والنّارِ أقْبَلَ يَمْشِي في ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائكة، فَيقِفُ عَلَى أوّلِ دَرَجةٍ فَيُسَلِّم عليْهم، فَيَرُدّوْنَ عليه السّلاَمَ، فَيقُوْل: سَلُونِي، فَيقُولُوْن: مَاذَا نسْأل؟ وَعِزّتِك وَجلاَلِكَ وارتفَاعكَ في عُلوّ مَكَانِكَ، لوْ أنّكَ قَسمتَ علينَا رزْقَ الثّقَلَيْن َلأطْعَمْنَاهُمْ وَسَقَيْنَاهُمْ وَلَمْ يَنقصْ مَا عنْدَنَا، فَيقُولُ تعالى: بَلَى سَلُونِي، فيقُولوْن: نسْألُكَ رضَاك، قالَ تعالَى: رضَائِي أحلُّكُمْ دارَ كَرَامَتي، فيَفْعلُ هَذَا بأهْل كُلّ دَرَجَةٍ حَتّى انْتَهَى إلَى مَجْلسِهِ
[Ini adalah riwayat bohong, tidak boleh diambil dan diyakini, sangat menyesatkan, berkata: “Setelah Allah selesai dari penduduk surga dan penduduk neraka, lalu Allah menghadap berjalan dalam bayangan awan dan para malaikat, maka Dia duduk di anak tangga pertama, Dia salam kepada kepada mereka (penduduk surga), mereka menjawab salam-Nya, lalu Allah berkata: “Mintalah kalian kepada-Ku”, Mereka berkata: “Apa yang hendak kami minta, demi keagungan-Mu, kebesaran-Mu, dan ketinggian-Mu pada tempat-Mu, bahkan seandainya Engkau memberikan kepada kami rizki untuk seluruh bangsa manusia dan bangsa jin hingga kami dapat memberi makan dan minum bagi mereka; namun begitu tidak akan berkurang sedikitpun apa yang ada pada kami”. Allah berkata: “Sungguh, mintalah kalian kepada-Ku apapun yang kalian inginkan!”. Kemudian mereka berkata: “Kami meminta ridla-Mu”, maka Allah berkata: “Ridla-Ku bagi kalian adalah bahwa Aku akan menempatkan kalian di rumah mulia-Ku”. Kemudian Allah melakukan ini semua pada setiap tingkatan anak tangga hingga sampai ke tempat duduk-Nya”].
Riwayat ini adalah bohong besar yang disandarkan kepada khalifah Umar bin Abdil Aziz. Kemudian dari pada itu, bagaimana mungkin sifat-sifat Allah dapat ditetapkan hanya oleh perkataan seorang Umar?
Sementara, parahnya; Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “Apa yang diungkapkan oleh Umar ini memiliki bukti di dalam al-Qur’an, yaitu firman Allah: “يأتيهم الله في ظلل من الغمام”. [Abu Ya’la memahami ayat ini dalam makna indrawi, mengatakan bahwa Allah akan datang (pindah dari suatu tempat) ke penduduk surga di dalam bayangan-bayangan awan. Na’ûdzu billâh].
Abu Ya’la tidak paham, padahal yang dimaksud ayat: “يأتيهم الله في ظلل من الغمام” adalah dalam makna: “يأتيهم الله بظلل من الغمام”; [Artinya, Allah akan mendatangkan bayangan-bayangan awan kepada mereka, bukan artinya Allah akan datang dengan bayangan awan tersebut].
Hadits Ke Tiga Puluh Sembilan
Diriwayatkan dari Aisyah, berkata: “Rasulullah ditanya tentang al-Maqâm al-Mahmûd, kemudian beliau berkata:
(قيل) وَعَدَنِي رَبّي عَزّ وَجَلّ بالقُعُوْدِ عَلَى الْعَرْش
[Ini adalah riwayat bohong, tidak boleh diambil dan diyakini, sangat menyesatkan, berkata: “Allah telah berjanji kepadaku bahwa aku akan duduk di atas arsy”].
Hadits ini tidak benar dari Rasulullah (hadits palsu/maudlû’). Sementara Ibnu Hamid al-Mujassim berkata: “Wajib beriman dengan apa yang telah datang dalam hadits ini bahwa Allah akan berdekatan dan bersentuhan dengan Nabi Muhammad ketika Dia mendudukannya di atas arsy bersama-Nya. Dalam memaknai firman Allah: “وإن له عندنا لزلفى” sahabat Ibnu Umar berkata: “Dalam ayat ini disebutkan bahwa jarak Allah sangat dekat dengan Nabi Muhammad; bahkan hingga Rasulullah menyentuh sebagian-Nya”.
Apa yang dinyatakan Ibnu Hamid al-Mujassim ini adalah bohong besar terhadap sahabat Abdullah ibn Umar. Sesungguhnya siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah terbagi-bagi maka ia telah kafir dengan kesepakatan ulama (Ijma’).
Hadits Ke Empat Puluh
Ad-Daraquthniy meriwayatkan dari hadits Abu Ishaq dari Abdullah bin Khalifah dari Umar bin al-Khattab:
(قيل) أنّ امْرأةً جَاءَتْ إلَى رسُولِ الله صَلّى الله عَليْه وَسَلّم فَقَالَتْ: ادْعُ اللهَ تعالَى أنْ يُدْخِلَنِي الْجَنّةَ، فَعَظُم الرّبّ عزّ وجلّ فقَال صَلّى الله عليه وسلَّمَ: إنّ كُرْسِيّهُ وَسِعَ السّمَواتِ والأرْضَ، وإنّ لَهُ أطيْطًا كأطِيْطِ الرَّحل الْجَديد إذَا رَكِبَ مِنْ ثِقَلهِ
[Hadits ini tidak benar, tidak boleh dijadikan dalil, makna literalnya menyesatkan. Disebutkan bahwa ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Rasulullah mintakan kepada Allah agar Dia memasukanku ke dalam surga”. Maka hal ini menjadikan Allah kasihan [kepadanya], maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kursi Allah lebih luas dari pada seluruh lapis langit dan bumi, dan bahwa Allah memiliki suara saat Dia duduk sebagaimana suara penunggang bintang tunggangan karena beratnya”].
Sesungguhnya ini adalah hadits mukhtalaf [bagian dari hadits dla’if yang tidak dapat dijadikan dalil; terlebih dalam masalah akidah. Redaksi dan sanad hadits-hadits terkait ini diperselisihkan; satu sama lainnya saling berbeda].
Dalam riwayat Abu Ishaq dari Ibnu Khalifah dari Ibnu Umar mempergunakan redaksi sebagai berikut:
(قيل) إذَا جَلَسَ تبَارَك وتَعَالَى عَلَى الكُرْسِيّ سُمعَ لهُ أطيْطٌ كأطيْط الرّحل
Redaksi lainnya dalam riwayat Ibnu Jarir bahwa Abdullah ibn Khalifah berkata: Rasulullah bersabda:
(قيل) إنّ كُرْسِيّهُ وَسِعَ السّمَوَاتِ والأرْضَ وإنّهُ لَيَقْعُد عليْه فَمَا يَفْضُل منه مِقدَار أرْبع أصَابع، ثمّ قَال بأصْبُعهِ فجَمعَها، وإنّ لَهُ لَأطيْطًا كأطيْطِ الرّحل إذَا رَكبَ مِنْ ثِقَلهِ
Riwayat ke dua ini menyalahi riwayat yang pertama, semua itu menunjukan kerancuan para perawinya dan buruknya hafalan mereka. Dan seandainya hadits ini hendak diartikan [padahal hadits ini tidak benar dan tidak dapat dijadikan dalil] maka yang dimaksud adalah bahwa keagungan Allah dan kekuasaan-Nya memenuhi al-Kursi, jadi redaksi ini adalah untuk mengungkapkan keagungan Allah dan keluhuran derajat-Nya [bukan untuk menetapkan tempat bagi-Nya].
Kemudian perkataan para perawi, ada yang dengan redaksi ”إذا قعد”, ada pula yang dengan redaksi ”إذا جلس”; ini semua adalah dari reduksi (perombakan) yang berasal dari ungkapan yang mereka buat-buat dan diprasangkakan, sama persis dengan orang yang dalam memahami firman Allah ”ثم استوى على العرش”; ia membuat-buat dan berprasangka bahwa makna ”استوى” di sini adalah ”قعد” [duduk]. Dasar yang kita jelaskan ini adalah karena Allah tidak boleh disifati dengan sifat duduk, terlebih dengan mengatakan Dia lebih besar dari tempat duduk-Nya sendiri, ini semua mustahil karena itu semua adalah sifat-sifat benda [padahal dan Allah bukan benda].
Bersambung bagian lima