Minggu, September 24, 2023
spot_img
BerandaTanzihHadits-Hadits Yang Oleh Kaum Musyabbihah Disebut Sebagai Hadits-Hadits Sifat, Takwil Mereka...

Hadits-Hadits Yang Oleh Kaum Musyabbihah Disebut Sebagai Hadits-Hadits Sifat, Takwil Mereka Dan Takwil Kita Terhadap Hadits-Hadits Tersebut – Bagian Satu

Meriwayatkan hadits dan mengungkap makna-makna yang terkandung di dalamnya adalah tugas para ulama ahlinya, bukan bebas bisa diemban oleh siapapun

Hadits-Hadits Yang Oleh Kaum Musyabbihah Disebut Sebagai Hadits-Hadits Sifat, Takwil Mereka Dan Takwil Kita Terhadap Hadits-Hadits Tersebut – Bagian Satu

Ketahuilah bahwa dalam hadits-hadits itu terdapat rincian-rincian pemaknaan dan pemahaman-pemahaman yang dapat mengecohkan; yang hal tersebut hanya dapat diketahui oleh para ulama yang benar-benar paham, baik dalam periwayatan hadits-hadits tersebut maupun dalam mengungkap makna-makna yang terkandung di dalamnya. [Oleh karena itu meriwayatkan hadits dan mengungkap makna-makna yang terkandung di dalamnya adalah tugas para ulama ahlinya, bukan bebas bisa diemban oleh siapapun]. Pada bab ini insyaAllah kita kupas beberapa hadits terkait dengan bahasan kita.

Hadits Pertama:

Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab Sahih masing-masing; dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

خَلَقَ اللهُ تَعَالَى ءَادَمَ (عليه الصلاة والسلام) عَلَى صُوْرَتِهِ

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Allah menciptakan Nabi Adam di atas bentuk-Nya”. Makna literal ini seakan menetapkan bahwa Allah memiliki bentuk].

Pemahaman manusia dalam menyikapi hadits ini ada dua kelompok. Kelompok pertama; tidak mempertanyakan tafsirannya [Artinya mereka mengimani hadits ini tanpa meyakini bahwa Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran], sementara kelompok ke dua mempertanyakan maksud dan tujuannya. Kelompok ke dua ini mempermasalahkan kata ganti (Dlamîr); yaitu huruf Hâ’ pada redaksi “صورته”, kembali ke manakah dlamîr tersebut? Ada tiga pendapat:

Pendapat pertama:

Kata ganti tersebut kembali kepada manusia yang ada dalam konteks hadits tersebut. Karena konteks hadits tersebut menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah lewat di hadapan seorang yang tengah memukul wajah temannya. Orang yang memukul tersebut berkata kepada orang yang dipukul: “Semoga Allah menjadikan buruk terhadap wajahmu dan wajah-wajah orang yang menyerupai wajahmu”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Jika seorang dari kalian memukul saudaranya maka hindarilah untuk memukul wajah karena sesungguhnya Allah telah menciptakan Nabi Adam di atas (seperti) bentuknya”.

Dalam hadits ini disebutkan Nabi Adam secara khusus adalah karena beliau manusia pertama dengan bentuk wajah (dan fisik) yang kemudian “diwarisi” turun-temurun oleh semua orang sesudahnya. Dalam hadits itu Rasulullah seakan berkata: “Engkau telah menghinakan wajah Nabi Adam padahal engkau berasal dari keturunannya”, dengan demikian uangkapan Rasulullah ini sebagai peringatan yang sangat kuat dan mendalam. Kesimpulannya, dalam pendapat pertama ini, kata ganti (dlamîr) dalam redaksi hadits di atas kembali kepada orang yang berada dalam konteks hadits tersebut.

Baca juga: Wahhabi Jahat! Mereka Merombak Kitab al-Washiyyah Karya Imam Abu Hanifah

Adalah pemahaman yang sangat buruk jika dipahami bahwa dlamîr dalam hadits di atas kembali kepada Allah [seperti pemahaman kaum Musyabbihah yang menyimpulkannya bahwa Allah memiliki bentuk], karena dalam konteks tersebut bahwa orang yang memukul berkata: “Semoga Allah menjadikan buruk terhadap wajahmu dan wajah-wajah orang yang menyerupai wajahmu”; dengan demikian jika dipahami bahwa dlamîr dalam hadits tersebut kembali kepada Allah maka berarti dalam pemahaman yang rusak ini Allah berwajah jelek, [di samping kesesatannya menetapkan anggota wajah bagi Allah].

Adapun redaksi Imam Muslim tentang riwayat ini adalah; Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

إذَا قَاتَلَ أحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنب اْلوَجْهَ فَإنّ اللهَ تَعَالَى خَلقَ ءَادم عَلى صُوْرَتِه

Pendapat kedua:

Bahwa dlamîr “Ha” pada kata “صورته” untuk mengungkapkan dua nama yang nyata sebagai makhluk yang memiliki bentuk (shûrah). Oleh karenanya tidak benar jika dimaksudkan dengan dlamîr tersebut adalah Allah, karena telah tetap dalil bahwa Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Dengan demikian yang dimaksud “صورة” dalam hadits tersebut adalah kembali kepada Nabi Adam. Maka makna hadits tersebut adalah: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Nabi Adam di atas bentuk (shûrah) sempurna seperti apa yang telah dikehendaki oleh-Nya pada diri Nabi Adam tersebut, tidak melalui proses; dari air mani, lalu segumpal darah (‘Alaqah), dan lalu segumpal daging (Mudlghah), artinya penciptaannya itu bukan lewat proses seperti pada penciptaan anak cucunya”. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Sulaiman al-Khathabi, juga telah disebutkan oleh Imam Tsa’labah dalam kitab al-Amâlî.

Pendapat ketiga:

Bahwa dlamir “Ha” pada kata “صورته” kembali kepada Allah. Dalam makna ini terdapat dua pemahaman berikut;

Pemahaman pertama: dalam pengertian milik, artinya bahwa bentuk (shûrah) Nabi Adam tersebut adalah ciptaan dan milik Allah [sebagaimana seluruh alam ini adalah ciptaan Allah dan milik-Nya]. Dalam makna ini penyandaran kara shûrah kepada dlamir “Ha” (Allah) mengandung dua makna. Pertama; penyandaran untuk tujuan memuliakan (Idlâfah at-Tasyrîf), contoh seperti ini dalam firman Allah:

وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطّائِفِيْنَ

Pengertian “بيتي” [yang secara literal bermakna “rumah-Ku”; yang dimaksud ka’bah] dalam ayat ini bukan artinya Allah berada di dalam ka’bah, tetapi dalam pengertian bahwa rumah tersebut (Ka’bah) adalah rumah yang dimuliakan oleh Allah (Bait Musyarraf Alâ Allâh).  Kedua; penyandaran untuk tujuan mengungkapkan bahwa Allah yang menciptakan bentuk Nabi Adam tersebut di mana bentuk tersebut tidak pernah ada sebelumnya.

Pemahaman ke dua: bahwa makna “الصورة” dalam hadits tersebut dalam pengertian “الصفة” (sifat). Dalam bahasa Arab jika dikatakan: “هذا صورة هذا الأمر” maka maknanya adalah “صفة الأمر” [arti perkataan tersebut; “Ini adalah gambaran (sifat) dari masalah itu”]. Dalam pemahaman ini maka makna hadits di atas adalah bahwa Allah telah menciptakan Nabi Adam dengan sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah [dari segi lafazhnya], seperti sifat hidup (al-Hayât), berilmu (al-‘Ilm), memiliki kemampuan (al-Qudrah), mendengar (as-Sama’), melihat (al-Bashar), dan berkehandak (al-Irâdah). [Artinya; sifat-sifat ini serupa dengan sifat-sifat Allah dari segi lafazh-nya saja, tentu dari segi makna berbeda, ini yang disebut dengan Ittifâq Bi al-Lafzh Dûna al-Ma’nâ]. Dengan sifat-sifat inilah Allah menjadikan Nabi Adam memiliki keistimewaan dibanding makhluk lainnya, bahkan diistimewakan di atas para Malaikat sehingga Allah memerintahkan mereka untuk sujud hormat [bukan sujud ibadah] kepadanya. Dengan demikian pemahaman kata “shûrah” di sini secara maknawi, bukan dalam pengertian fisik yang berarti bentuk, susunan, dan benda.

Sementara itu Abu Muhammad ibn Qutaybah memahami hadits ini dengan pemahaman yang sangat buruk, ia berkata: “Allah memiliki bentuk, dan bentuk-Nya tidak seperti segala bentuk, dan Allah menciptakan Nabi Adam seperti bentuk-Nya tersebut”.

Pemahamannya ini tidak logis dan sangat rancu, padahal ungkapan seperti itu sama saja dengan mengatakan bahwa Allah menciptakan Nabi Adam dengan bentuk seperti bentuk Allah. Na’ûdzu billâh.

Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim dalam memahami hadits ini berkata: “Kita katakan bahwa Allah memiliki bentuk yang tidak menyerupai segala bentuk, sebagaimana kita mengatakan Allah adalah Dzat yang tidak menyerupai segala dzat”.

Ungkapan Abu Ya’la ini juga tidak logis dan sangat rancu. Sesungguhnya makna “الذات” secara bahasa adalah “الشىء” [artinya “sesuatu”], sementara makna “الصورة” dalam bahasa adalah bentuk, susunan, dan tataan yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunan tersebut. Perkataan [Ibnu Qutaybah dan Abu Ya’la]: “…bentuk-Nya tidak seperti segala bentuk” adalah kata-kata yang menyalahi ungkapan sebelumnya; “Allah adalah bentuk”. Perkataan ini persis seperti ungkapan: “Allah adalah tubuh (jism) yang tidak menyerupai segala tubuh” [Jelas ungkapan yang kontradiktif]. Padahal tubuh (jism) dalam pengertian bahasa adalah sesuatu yang tersusun dari dua benda (jawhar) atau lebih. Karena itu ungkapan: “…tubuh-Nya tidak menyerupai segala tubuh” jelas menyalahi ungkapan sebelumnya; “Allah adalah tubuh”.

Hadits Ke Dua:

Dari Abdurrahman bin Ayyash dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

(قيل) رَأيْتُ رَبِّي فِي أحْسَن صُوْرَة، فقَالَ لِي: فِيْمَ يَخْتَصِمُ الْمَلأ الأعْلَى يَا مُحَمّد؟ قُلتُ: أنْتَ أعْلَم يَا رَبّ، فَوضَع كَفّهُ بَيْنَ كَتِفِيْ، فَوَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيِي، فَعَلِمْتُ مَا فِي السّمَوات وَالأرْض

[Hadits ini tidak boleh dijadikan dalil, makna literalnya tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Aku melihat Tuhanku dalam bentuk yang sangat indah. Dia berkata: dalam masalah apakah al-Mala’ al-A’la (para malaikat) berselisih wahai Muhammad? Aku berkata: Engkau lebih mengetahui wahai Tuhanku. Maka kemudia Dia meletakan telapak tangan-Nya pada pundaku hingga aku merasakan sejuknya di antara dadaku, maka aku mengetahui segala apa yang ada di seluruh langit dan bumi”].

Imam Ahmad bin Hanbal: “Asal hadits ini dan seluruh jalan periwayatannya mudltharib [artinya redaksi dan jalur sanadnya sangat banyak yang satu sama lainnya saling berbeda; menyebabkan hadits ini tidak bisa dibenarkan; termasuk kategori hadits dla’if]. Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) أتَانِي آتٍ فِي أحْسَن صُوْرَة، فقَال: فِيْمَ يَخْتَصِم الْمَلأ الأعْلَى؟ فقُلتُ: لا أدْرِيْ، فوَضَع كَفّهُ بَيْنَ كَتِفي، فوَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيي، فَعَرَفْتُ كُلّ شَىءٍ يَسْألُنِيْ عَنْهُ

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan seperti pemahaman yang senada dengan riwayat sebelumnya di atas; seakan Allah sebagai bentuk, memiliki telapak tangan yang sejuk, dan bahwa Allah bersentuhan]

Sementara dalam hadits riwayat Tsauban berkata: Suatu ketika Rasulullah keluar setelah shalat subuh, beliau bersabda:

(قيل) إنّ رَبّي أتَانِي اللّيلَة فِي أحْسَن صُوْرَة، فقَالَ لِي: يَا مُحَمّد فيْمَ يَخْتَصِمُ الْمَلأ الأعْلَى؟ قلتُ: لا أعْلَمُ يَا رَبّ، فوَضَع كَفّهُ بَيْنَ كَتِفِي حَتّى وَجَدْتُ بَرْدَ أنَامِلِهِ فِي صَدْرِي، فَتَجَلّى لِي مَا بَيْنَ السّمَاءِ وَالأرْض

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan seperti pemahaman yang senada dengan riwayat sebelumnya di atas; seakan Allah sebagai bentuk, memiliki telapak tangan yang sejuk, jari-jemari, dan bersentuhan]

Semua hadits ini berbeda satu dengan lainnya (Mukhtalifah) [dengan demikian hadits dengan kualitas semacam ini tidak dapat dijadikan dalil, terlebih dalam masalah akidah; karena masuk kategori Dla’îf]. Pemahaman redaksinya menunjukan bahwa peristiwa tersebut terjadi dalam mimpi, dan mimpi itu adalah prasangka (al-Wahm), dan prasangka itu bukan hakekat. Dalam mimpi seseorang dapat melihat dirinya terbang, dapat melihat dirinya menjadi seekor binatang. Benar, dimungkinkan bagi sebagian orang dapat melihat Allah dalam tidur mereka, namun tidak dibenarkan jika kemudian apa yang ia lihatnya dari benda, bentuk, sinar, tubuh dan lainnya sebagai Allah.

Baca buku: Islamic Theology; Ibnul Jauzi Membongkar Aqidah Tasybih

Dan seandainya jika kita mengatakan bahwa hadits tersebut terjadi dalam keadaan terjaga; bukan dalam mimpi; maka makna “shûrah” jika yang dimaksud adalah Allah tentu dalam makna “shifat”; artinya bahwa Allah yang maha sempurna dan maha luas rahmat-Nya. Dan jika yang dimaksud dari “shûrah” adalah Rasulullah maka artinya bahwa beliau; Nabi Muhammad dalam keadaan yang keadaan yang sangat sempurna.

Sementara itu Ibnu Hamid al-Mujassim meriwayatkan hadits palsu, mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda: “Ketika di-isra’-kan aku melihat Allah dalam bentuk seorang anak muda yang tidak berjanggut, bersinar yang gemerlap. Aku meminta kepada-Nya agar Dia memuliakanku dengan dapar melihat kepada-Nya; maka nampaklah bagiku seakan Dia seorang pengantin yang dibuka dari penutupnya, tengah duduk manis di atas singgasananya”.

Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hamid ini adalah dusta besar yang sangat buruk. Hadits seperti itu tidak pernah ada; baik di antara hadits-hadits sahih, bahkan di antara hadits-hadits palsu yang pernah ada sekalipun. Kita telah jelaskan bahwa redaksi hadits di atas memberikan pemahaman dalam mimpi, sementara Ibnu Hamid al-Mujassim ini mengatakan itu terjadi pada saat Isra’?? [Na’udzu Billah]. Allah maha suci dari segala apa yang telah diperbuat oleh Ibnu Hamid dan orang-orang semacamnya, dan Allah pasti membalas mereka dengan naraka. Mereka adalah orang-orang buruk yang telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; mengatakan bahwa Allah laksana pengantim. Jelas, yang menuliskan keyakinan semacam ini bukan seorang muslim.

Adapun riwayat hadits di atas yang menyebutkan redaksi “البرد” [yang secara literal berarti dingin]; sesungguhnya makna al-bard ini adalah sifat benda, jelas tidak layak dan tidak boleh Allah disifati dengannya. Padahal al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim dalam kitabnya; al-Kinayah, memberlakukan takwil terhadap hadits: “رأيت ربي في أحسن صورة”; ia memaknainya: “في أحسن موضع”, [ia mentakwil kata “صورة” dengan “موضع”; lalu mengapa mereka memahami hadits-hadits semacam ini dalam pemahaman literalnya; tidak memakai takwil?].

Hadits Ke Tiga:

Ummu Thufail; perempuan Ubay meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah berkata:

(قيل) أنّه رَأى ربّهُ عزّ وَجلّ فِي الْمَنام فِي أحْسَن صُوْرَة شَابًّا مُنَوَّرًا فِي خُضْرٍ، فِي رجْلِه نعْلانِ مِنْ ذَهَبٍ وَعَلَى وَجْههِ فرَاشٌ مِنْ ذهَب

[Ini hadits palsu, tidak boleh kita ambil, sangat menyesatkan, makna literalnya mengatakan: ”Sesungguhnya ia (Rasulullah) telah melihat Allah dalam mimpinya dalam bentuk yang paling indah; yaitu Dia sebagai anak muda yang bercahaya kehijauan, pada kaki-Nya dua sendal dari emas, dan pada wajah-Nya ada kupu-kupu dari emas”]

Hadits ini diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad. Imam Ibnu Adiy berkata: “Dia (Nu’aim bin Hammad) adalah seorang pemalsu hadits”. Imam Ahmad bin Hanbal seuatu ketika ditanya tentang Nu’aim, lalu beliau memalingkan muka (mengingkarinya), seraya berkata: “Hadits yang diriwayatkan olehnya adalah hadits munkar dan majhul [tidak dikenal dan tidak memiliki dasar]”.

Kemudian ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) رَأيْتُ رَبّيْ جَعْدًا أمْرَدَ عَلَيْهِ حُلّةٌ خَضْرَاء

[Hadits palsu, menyesatkan, makna literalnya mengatakan: “Aku (Rasulullah) telah melihat Tuhan-ku berambut keriting (kribo), tidak berjanggut (seperti anak muda), di atas-Nya adalah mahkota hijau”].

Hadits ini diriwayatkan dari jalur Hammad bin Salamah. Dia memiliki saudara tiri zindik [kafir karena kesesatan-kesesatannya] bernama Ibnu Abil Awja’. Dia banyak memasukan riwayat palsu di dalam kitab-kitab Hammad bin Salamah yang sama sekali tidak memiliki dasar, karenanya riwayat-riwayat semacam ini tidak dapat dijadikan dalil sedikitpun.

Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim menetapkan sifat-sifat bagi Allah “seenakperutnya”, ia mengatakan bahwa Allah adalah sebagai anak muda yang tidak berjanggut, rambut keriting menggumpal, wajah-Nya dikelilingi kupu-kupu emas, memakai dua sandal, dan mengenakan mahkota di kepala-Nya; lalu Abu Ya’la berkata: “Itu semua tidak seperti yang kita bayangkan”. Padahal apa yang diriwayatkannya itu sama sekali tidak benar, kita semua telah tahu bahwa ketika dikatakan: “Anak muda, tidak berjanggut, …” dan seterusnya; maka semua itu tidak ada pemahaman lain kecuali dalam pemahaman bentuk dan benda. Sementara Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “Itu semua tidak seperti yang kita pikirkan (bayangkan)”, ini sama saja dengan mengatakan: “Si fulan berdiri tapi tidak berdiri”, atau: “Si fulan duduk tapi tidak duduk”. [Kata-kata yang sama sekali tidak bisa diterima sehat akal).

Imam Ibnu Aqil al-Hanbali berkata: “Kita pastikan bahwa hadits seperti ini adalah hadits bohong (palsu). Walaupun yang meriwayatkannya orang-orang terpercaya (tsiqah) tetapi jika isi redaksinya adalah perkara mustahil semacam ini maka semua itu tidak dapat diterima. Perumpamaannya jika ada sekelompok orang terpercaya memberitahukan bahwa ada seekor kuda gemuk yang sangat besar masuk ke dalam lubang jarum; maka berita mereka tidak dapat dibenarkan karena itu perkara mustahil walaupun yang menyampaikannya orang-orang yang sangat terpercaya”.

Hadits Ke Empat:

Dari sahabat Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل): لَيْلَةَ أُسْريَ بِيْ رَأيْتُ كُلّ شَىءٍ مِنْ رَبّيْ، حَتّى رَأيتُ تَاجًا مُخَوّصًا مِنْ لُؤْلُؤ

[Ini hadits palsu, tidak boleh kita ambil, makna literalnya mengatakan: “Di malam saat aku di-isra’-kan aku melihat segala sesuatu pada Tuhanku, hingga aku melihat mahkota yang bertahtakan berlian”].

Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Qasim Muhammad bin Ilyasa’ dari Qasim bin Ibrahim. Tentang siapa Abul Qasim Muhammmad bin Ilyasa’; al-Azhari berkata: ”Aku pernah duduk sesaat bersamanya, tiba-tiba ia berkata: Semenjak aku duduk bersamamu aku telah mengkhatamkan satu bacaan al-Qur’an”. [Artinya orang ini senang bedusta, bagaimana mungin hanya duduk beberapa saat lalu ia mengatakan telah mengkhatamkan seluruh bacaan al-Qur’an?]. Sementara tentang Qasim bin Ibrahim dikatakan oleh Imam ad-Daraquthniy: ”Dia seorang pendusta”. Semoga Allah membalas kejahatan orang-orang yang membuat hadits-hadits palsu.

Hadits ke lima:

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab Sahih masing-masing meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) يَجْمَع اللهُ النّاسَ فَيقُوْل: مَنْ كَانَ يَعْبُدُ شَيئًا فَلْيَتّبعْه، فَيَتّبِعُوْن مَا كانُوا يَعْبُدُوْن، وَتَبْقى هذِه الأمّة بِمُنَافِقِيْهَا، فَيأتيْهِمُ اللهُ تعَالَى فِي غَيْر الصّوْرَة الّتي يَعْرِفُوْن، فَيقُول: أنَا رَبّكُمْ، فَيقُوْلوْنَ: نَعُوْذ باللهِ تعَالَى منْكَ هَذَا مَكَانُنَا حَتّى يأتِيَنَا رَبُّنَا، فإذَا جَاءَ رَبُّنَا عَرفْنَاه، فيأتيْهِمْ فِي الصّوْرَة الّتي يَعْرِفُوْنَها، فيقُوْل: أنا رَبّكُمْ، فيقُوْلوْن: أنْتَ رَبّنَا

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Allah akan mengumpulkan manusia, Dia berkata: “Siapa di antara kalian menyembah sesuatu maka ikutilah ia”, maka mereka mengikuti segala apa yang telah mereka sembah [di dunia], tersisalah umat ini dengan orang-orang munafiknya, lalu Allah mendatangi mereka bukan pada bentuk yang mereka kenal, Dia berkata: “Aku adalah Tuhan kalian”, mereka berkata: “Kami berlindung dengan Allah darimu [engkau bukan Allah], kami akan tetap di tempat kami ini hingga Tuhan datang pada kami, bila Dia datang maka kami akan mengenali-Nya”, maka kemudian Allah mendatangi mereka pada bentuk yang mereka kenal, Dia berkata: “Aku adalah Tuhan kalian”, lalu mereka berkata: “[Benar], Engkau adalah Tuhan kami”.

Hadits lainnya masih dalam dua kitab Sahih di atas, dari sahabat Abu Sa’id bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) فَيأتِيْهِم الْجَبّارُ فِي صُوْرَة غَيْر صُوْرتهِ الّتي رَأوْه فيْهَا أوّلَ مَرّة، فيقُوْل: أنا رَبّكُمْ، فيقُولُونَ: أنْتَ رَبّنَا فَلا يُكَلّمُه إلا الأنبيَاءُ عَليهمُ الصّلاة وَالسّلام، فيُقَال: هَلْ بَينَكُمْ وَبينَهُ آيةٌ تَعْرفُوْنَهَا؟ فيقُولُون: السّاق، فَيُكْشَفُ عَنْ سَاقهِ فَيَسْجُد لهُ كُلّ مُؤْمِن

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “…maka Allah mendatangi mereka dengan bentuk yang bukan bentuk-Nya semula, Dia berkata: “Aku adalah Tuhan kalian”, mereka berkata: “[Benar], Engkau adalah Tuhan kami”, maka tidak ada yang berbicara dengan-Nya kecuali para Nabi. Lalu dikatakan pada mereka: “Adakah kalian mengetahui suatu tanda untuk mengenal-Nya?”, mereka berkata: “Betis”, maka kemudian dibukakanlah betis-Nya, hingga kemudian setiap orang mukmin sujud bagi-Nya”].

Baca juga: Ibnul Jawzi; Menjelaskan Beberapa Teks Mutasyabih Dalam Al-Qur’an

Ketahuilah, setiap orang muslim wajib berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang berbentuk, berukuran, dan terdiri dari susunan-susunan. Imam Abu Sulaiman al-Khathabi berkata: “Pengertian: “فيأتيهم الله تعالى” bukan dalam pengertian bahwa Allah bergerak, pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi makna teks ini untuk mengungkapkan bahwa kelak di akhirat mereka akan melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing, sebagaimana ketika di dunia ini mereka melihat segala sesuatu dari makhluk Allah yang itu semua sebagai bukti bagi keberadaan-Nya. Penglihatan mereka terhadap Allah dari yang semula mereka tidak pernah melihat-Nya; inilah tujuan diungkapkan dengan kata “فيأتيهم الله”.

Pendapat sebagian ulama lainnya dalam makna hadits di atas mengatakan: “Akan datang puncak kesulitan yang akan terjadi terhadap seluruh makhluk di hari kiamat kelak, dan mereka juga akan melihat bentuk-bentuk para malaikat Allah; padahal mereka semua tidak pernah mendapati kejadian seperti itu ketika mereka di dunia. Dalam keadaan seperti ini maka orang-orang mukmin berlindung kepada Allah, mereka berkata: “Jika datang tanda-tanda kasih sayang Allah maka kita akan mengetahuinya [artinya mengetahui bahwa itu sebagai rahmat dari-Nya], inilah makna yang dimaksud dengan redaksi hadits di atas  “فيأتيهم في الصورة التي يعرفونها”. Maka kemudian Allah membuka segala kesulitan yang menimpa orang-orang mukmin tersebut [artinya menghilangkan dan mengangkat segala kesulitan tersebut] dan makna inilah yang dimaksud: “فيكشف عن ساق”. Setelah itu maka kemudian mereka sujud kepada Allah sebagai bukti syukur kepada-Nya”.

Sementara pendapat ulama lainnya mengatakan: “Sesuatu yang berbentuk tersebut adalah untuk menguji [iman] mereka [bukan artinya sesuatu tersebut adalah Allah], sebagaimana Allah mengirimkan Dajjal ke dunia ini [sebagai salah satu tanda besar hari kiamat] di mana ia mengaku sebagai Allah; adalah untuk menguji iman manusia. Kelak orang-orang mukmin saat melihat Dajjal tersebut akan berkata: “نعوذ بالله منك” [Kami berlindung dengan Allah darimu].

Pemahaman ini sejalan dengan sebuah hadits dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ النّاسَ يَقُوْلُوْنَ: إنّ لنَا رَبّا كُنّا نَعْبدُه فِي الدّنْيا، فيُقَال: أوَ تَعْرفُوْنَه إذَا رَأيْتُمُوْه؟ فيقُوْلُوْن: نَعَمْ، فيُقَال: كَيْفَ تَعْرفُونَهُ وَلَم تَرَوْه؟ فَيَقُوْلوْن: إنّهُ لا شَبيْهَ لَهُ، فَيُكْشَفُ الْحِجَابُ فَينْظُرُوْن إلَى الله عَزّ وَجَلّ فَيَخِرُّوْنَ سُجّدًا

[“Sesungguhnya manusia (di akhirat) berkata: “Sungguh kami memiliki Tuhan yang telah kami sembah ketika di dunia”, dikatakan kepada mereka: “Apakah kalian mengenal-Nya jika kalian melihat-Nya?”, mereka berkata: “Iya”, lalu dikatakan: “Bagaimana kalian mengenal-Nya padahal kalian tidak pernah melihat-Nya?”, mereka berkata: “Sesungguhnya Dia tidak memiliki keserupaan”, lalu dibukakanlah hijab (penghalang) maka mereka melihat kepada Allah, maka mereka semua turun bersujud”].

Imam Ibnu Aqil al-Hanbali berkata: “Makna bentuk (shûrah) secara hakekat adalah sesuatu yang memiliki kerangka-kerangka dan susunan-susunan; dan pastilah merupakan sifat-sifat tubuh. Di antara bukti dalam ketetapan kita bahwa Allah bukan benda [artinya bukan tubuh yang memiliki susunan-susunan] adalah dalil qath’i, yaitu firman-Nya dalam QS. Asy-Syura: 11: “ليس كمثله شىء”. Lalu argumen logis mengatakan: seandainya Allah sebagai benda maka berarti makna “shûrah” dalam teks-teks hadits adalah dalam pengertian sifat benda. Dan jika sifat-sifat Allah sebagai sifat-sifat benda maka berarti boleh terjadi pada-Nya segala sesuatu yang terjadi pada seluruh benda [seperti berubah, hancur, punah, dan lainnya], dan pastilah Dia membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya pada ukuran bentuk (shûrah) tersebut. Lalu bila dikatakan bahWa Allah memiliki tubuh; dan tubuh-Nya itu qadim [tidak bermula] maka berarti boleh jadi pula bahwa ada di antara makhluk ini yang qadim; karena sama-sama memiliki tubuh. Dengan demikian kita harus mentakwil makna “shûrah” yang dimaksudkan dalam hadits tersebut dan tidak boleh dipahami bahwa Allah sebagai benda.

Hadits Ke Enam

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahih dari sahabat al-Mughirah bahwa Rasulullah bersabda:

لاَ شَخْصَ أغْيَرُ مِنَ اللهِ وَلذَلكَ حَرّمَ الفَوَاحِشَ، وَلاَ شَخْصَ أحَبّ إلَيه الْمَدْحَة مِنَ الله

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Tidak ada satu sosok-pun yang lebih cemburu dari pada Allah, karena itulah Allah mengharamkan segala keburukan (kejahatan). Dan tidak ada seorang-pun yang lebih senang terhadap pujian dari pada Allah”. Makna literal ini seakan mengatakan bahwa Allah sebagai sosok, tubuh, atau benda].

Kata “لا شخص” adalah redaksi dari beberapa orang perawi. Sementara sebagian perawi lainnya dengan menggunakan redaksi “لا شىء أغير من الله”. Terkait dengan hadits ini kebanyakan para perawi meriwayatkannya dengan redaksi yang mereka anggap sebagai maknanya, termasuk penyebutan kata “شخص” adalah dari redaksi yang buat oleh para perawi sendiri.

Adapun pengertian dari hadits tersebut ialah: “Tidak ada sesosok-pun dari kalian…”. [Artinya, yang dituju adalah sosok-sosok sahabat Rasulullah yang ada bersamanya saat itu]. Oleh karena para sahabat berada di hadapan Rasulullah maka Rasulullah menegaskan dengan penyebutan kata “sosok” (syakhsh); artinya Rasulullah menyebutkan nama-nama mereka. Kata “sosok” (syakhsh) itu sendiri hanya diperuntukan bagi benda yang memiliki susunan-susunan. [Artinya mustahil Allah disebut dengan “sosok”]. Perumpamaan penggunaan bahasa semacam ini seperti perkataan sahabat Abdullah bin Mas’ud:

وَمَا خلقَ منْ جَنّة وَلا نَار أعْظَم منْ ءايَة الكُرْسيّ

Makna literal teks ini mengatakan: “Tidak ada makhluk, baik surga maupun neraka, yang lebih agung dari ayat kursi” [Makna literal ini seakan menyebutkan bahwa ayat Kursi (atau al-Qur’an) adalah makhluk sebagaimana surga dan neraka, padahal yang dimaksud bukan demikian. Kata “makhluk” di sini kembali kepada kata surga dan neraka, bukan kembali kepada ayat Kursi. Demikian pula dengan maksud hadits di atas; bukan untuk menetapkan bahwa Allah sebagai “sosok” (syakhsh), tetapi kata “شخص” di situ kembali kepada para sahabat yang ada di hadapan Rasulullah].

Dalam menjelaskan perkataan sahabat Abdullah bin Mas’ud di atas Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kata “خلق” kembali kepada kata “الجنة” (surga) dan “النار” (neraka) bukan yang dimaksud kembali kepada al-Qur’an (ayat kursi). Atau boleh pula dalam pemahaman “al-Mus-tastnâ Min Ghair al-Jins”; artinya bahwa sesuatu “yang dikeculikan” dalam sebuah redaksi bukan bagian [artinya tidak sejenis] dengan segala sesuatu yang tengah dibicarakan dalam redaksi tersebut, contoh semacam ini (al-Mus-tastnâ Min Ghair al-Jins) adalah firman Allah:

مَا لَهُمْ بهِ منْ عِلْمٍ إلاّ اتّبَاعَ الظّنّ

Makna literal ayat ini mengatakan: “Dan tidak ada pengetahuan (ilmu) bagi mereka tentangnya (Nabi Isa); kecuali mereka hanya mengikuti prasangka [bahwa mereka telah membunuhnya]”. [Dalam ayat ini; “sesuatu yang dikecualikan” (al-Mus-tastnâ) adalah kata “prasangka” (zhann), dan zhann ini bukan bagian dari jenis pengetahuan (ilmu)].

Adapun kata “الغيرة” [dalam redaksi hadits di atas dengan kata “أغير”; yang secara literal bermakna “cemburu”] adalah untuk mengungkapkan kebencian (kemurkaan), [bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah memiliki sifat cemburu]. Karena itu para ulama berkata: “كل من غار من شىء أسندت كراهيته له” [artinya; “Setiap yang cemburu dari sesuatu maka itu artinya orang tersebut benci terhadap sesuatu tersebut”. Contoh seorang suami cemburu bila istrinya berselingkuh; itu artinya suami tersebut membenci perselingkuhan]. Dengan demikian kata “الغيرة” dalam hadits di atas bukan untuk menetapkan bahwa Allah memiliki sifat cemburu, tetapi untuk mengungkapkan bahwa Allah sangat murka jika hamba-hamba-Nya melakukan keburukan dan kejahatan. Oleh karena itulah Allah mengharamkan segala bentuk kejahatan dan keburukan (al-fawahisy) [karena Allah sangat sayang terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin], dan Allah memberikan ancaman terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan tersebut. Untuk pemahaman inilah kemudian Rasulullah dalam haditsnya mengungkapkan dengan redaksi “al-ghayrah”.

Hadits Ke Tujuh

Sahabat Abu Musa meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) إنّ اللهَ تعَالَى خَلَقَ ءَادَم مِنْ قَبْضَةٍ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيْعِ الأرْض

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil karena menyesatkan, mengatakan: ”Sesungguhnya Allah menciptakan Nabi Adam dari segenggam [tanah] yang Dia genggamnya dari seluruh [tanah] bumi”. Makna literal ini mengatakan seakan Allah memiliki genggaman tangan]

Sesungguhnya kata “قبضة” [yang secara literal berarti ”genggaman”] dalam teks ini dengan disandarkan kepada Allah bukan untuk tujuan menetapkan bahwa Allah memiliki genggaman tangan. Ketahuilah, bahwa dalam bahasa Arab itu biasa diungkapkan ”perbuatan seorang hamba” yang disandarkan kepada ”tuannya”. [Artinya, seseorang berbuat suatu perbuatan karena ia perintah oleh tuannya; lalu orang tersebut mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan tuannya. Padahal itu perbuatannya sendiri; ia hanya menyandarkan perbuatan tersebut kepada tuannya]. Contoh penggunaan bahasa seperti ini, dalam al-Qur’an Allah berfirman: “فطمسنا أعينهم” [Secara literal ayat ini bermakna: ”Kami (Allah) hilangkan atau tutupi mata-mata mereka (hingga mereka tidak bisa melihat). kata “طمس” dalam ayat ini disandarkan kepada Allah, padahal itu adalah perbuatan mata mereka sendiri].

Dalam kasus hadits di atas terdapat riwayat yang disebutkan oleh Muhammad bin Sa’ad dalam kitab Thabaqât bahwa Allah telah mengutus Iblis untuk mengambil setiap bagian dari seluruh tanah bumi yang kemudian Allah menciptakan Nabi Adam dari tanah-tanah tersebut, karena itulah Iblis membangkang ketika diperintah oleh Allah untuk sujud [penghormatan] kepada Nabi Adam, Iblis berkata [sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an]:

أأسْجُدُ لِمَنْ خَلقْتَ طيْنًا

[Apakah aku harus bersujud kepada yang telah Engkau ciptakan dari tanah?]

[Dari sini, pemahaman hadits di atas menjadi jelas bahwa penyandaran kata “قبضة” kepada Allah bukan untuk menetapkan bahwa Allah memiliki genggaman tangan, tetapi kata “قبضة” tersebut adalah perbuatan makhluk yang disandarkan kepada Allah, karena Allah memerintah makhluk tersebut untuk mengambil segenggam dari setiap tanah bumi; dalam hal ini makhluk dimaksud adalah Iblis sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibn Sa’ad di atas].

Hadits Ke Delapan

Diriwayatkan bahwa Salman berkata:

(قيل) إنّ اللهَ لَمّا خَمرَ طيْنَة ءَادَم ضَرَبَ بيَدَيْه فِيْه، فَخَرَجَ كُلّ طَيّبٍ فِي يَمِيْنهِ وَكُلّ خَبِيْثٍ فِي يَدهِ الأخْرَى، ثُمّ خَلّط بَينَهُمَا، فَمِنْ ثَمّ يُخْرِجُ الْحَيّ مِنَ الْمَيّت وَيُخْرِجُ الْمَيّتَ مِنَ الْحَيّ

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil karena menyesatkan, mengatakan: ”Sesungguhnya ketika Allah mengaduk tanah [untuk menciptakan] Adam Ia memukulkan dengan kedua tangan-Nya pada tanah tersebut. Maka dari tangan kanan-Nya keluar segala sesuatu yang baik, dan dari tangan lain-Nya keluar segala sesuatu yang buruk. Kemudian Dia mencampurkan antara keduanya, maka dari situlah Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup”].

Ini adalah hadits mursal [tidak dapat dijadikan landasan akidah]. Telah tetap dalil bahwa Allah tidak disifati dengan bersentuhan dengan sesuatu dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Kalaupun seandainya hadits ini benar [padahal tidak dapat dijadikan dasar akidah] maka tujuannya untuk menceritakan ketentuan-ketentuan Allah dalam proses penciptaan Nabi Adam [artinya, bukan dalam makna literalnya].

Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “Mengaduk tanah dan mengolahnya adalah pekerjaan yang disandarkan kepada tangan, dan dengan cara itulah Allah menciptakan Nabi Adam”.

Sesungguhnya, ungkapan Abu Ya’la ini murni merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya (tasybîh).

Hadits Ke Sembilan

Ubaid bin Hunain meriwayatkan, berkata:

(قيل) بينَا أنَا جَالسٌ في الْمسْجدِ إذْ جاءَ قتادةُ بن النّعمان فجَلس فتَحَدّث، ثُمّ قالَ: انْطلِقْ بنَا إلَى أبي سعيد الْخُدريّ فإنّه قد أُخْبِرْتُ أنه اشْتَكَى، فانْطلَقْنا حتّى دخَلْنَا عَلَى أبِي سَعيْد، فوجدْنَاه مُسْتلقيًا وَاضعًا رِجْلَه اليُمنَى علَى اليُسرْى، فسَلّمْنَا عَليه وَجَلسْنا، فرَفَع قتادةُ يدَه إلَى رِجْل أبِي سعيد الْخدريّ وقرصَها قرصةً شَديدةً، فقال أبُو سَعيد: سُبحَان الله يابْنَ ءادم أوْجَعْتَنِي، قالَ: ذَلك أرَدْتُ، إنّ رسولَ الله صلّى الله عليه وَسَلّم قالَ: إنّ اللهَ تعالَى لَمّا قضَى خلْقَه اسْتَلقَى ثُمّ وضَعَ احْدَى رِجْليْه عَلى الأخْرَى، ثُمّ قال: لاَ يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ خَلْقِي أنْ يَفعلَ هَذَا. قال أبُو سَعيد: لاَ جرَم لاَ أفْعلُه أبَدًا

[Riwayat ini tidak benar, makna literalnya tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Ketika aku duduk di dalam masjid tiba-tiba datang Qatadah an-Nu’man, ia duduk, lalu ia berbicara, kemudian ia berkata: ”Marilah kita temui Abu Sa’id al Khudriy, saya dapat berita bahwa beliau dalam keadaan sakit”. Maka kami mendapati Abu Sa’id sedang terlentang dengan meletakan kaki kanan di atas kaki kirinya. Kami mengucapkan salam kepadanya, lalu kami duduk. Tiba-tiba Qatadah mengangkat tangannya dan menggeserkan kaki Abu Sa’id al Khudriy dengan sangat kuat (secara kasar). Abu Sa’id berkata: “Subhanallâh, wahai manusia, engkau telah menyakitiku”. Qatadah berkata: “Itulah yang aku inginkan, sesungguhnya Rasulullah telah bersabda: “Sesungguhnya setelah Allah menciptakan makhluk-Nya maka Dia terlentang dengan meletakan satu kaki-Nya di atas kaki-Nya yang lain, dan Dia berkata: “Tidak selayaknya bagi siapa-pun dari makhluk-Ku yang melakukan ini (terlentang dengan posisi kaki demikian)”. Abu Sa’id berkata: “Semoga tidak dosa, aku tidak akan melakukannya lagi selamanya”].

Abdullah bin Hanbal berkata: “Saya tidak pernah melihat hadits ini dalam kitab-kitab syari’at yang mu’tamad”. [Artinya, riwayat ini tidak pernah ada dalam kitab-kitab yang merupakan sandaran (referensi) yang kuat dan dibenarkan].

Sementara tentang siapa Ubaid bin Hunain; Imam al-Bukhari berkata: “Hadits-haditsnya tentang penduduk Madinah tidak ada yang benar”.

Selain itu, di dalam hadits tersebut terdapat cacat lainnya, yaitu bahwa Qatadah bin an-Nu’man telah wafat pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, sementara Ubaid bin Hunain wafat tahun 105 H pada umur 75 tahun –dalam pendapat al Waqidi–, ini artinya antara Ubaid bin Hunain dan Qatadah bin an-Nu’man terdapat rentang jarak masa [yang karenanya keduanya tidak pernah bertemu] yang menjadikan riwayat hadits tersebut terputus.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kalaupun riwayat ini benar; kemungkinannya adalah bahwa saat itu Rasulullah sedang menceritakan perkataan sebagian Ahli Kitab untuk tujuan mengingkari mereka, hanya saja pengingkaran Rasulullah ini tidak dipahami oleh Qatadah”.

Apa yang diungkapkan oleh Imam Ahmad ini benar, karena ada sebuah hadits yang telah kami riwayatkan bahwa suatu ketika sahabat az-Zubair mendengar seseorang [dari sahabat Rasulullah] menyampaikan sebuah hadits Nabi. Sahabat az-Zubair menyimak dengan seksama apa yang disampaikan oleh sahabat tersebut. Setelah selesai az-Zubair berkata: “Benarkah engkau mendengar apa yang engkau sampaikan tersebut dari Rasulullah?”. Sahabat itu menjawab: “Benar, aku mendengarnya dari Rasulullah”. Az-Zubair berkata: “Apa yang engkau sampaikan itu dan setiap yang semacam itu adalah perkara-perkara yang dilarang bagi kita untuk mengatakan bahwa itu dari Rasulullah. Sesungguhnya apa yang kamu sampaikan tadi aku-pun telah mendengarnya dari Rasulullah; karena saat itu aku hadir di hadapannya. Rasulullah menyampaikan hadits itu dimulai karena pertanyaan kami tentang seorang dari Ahli Kitab, lalu di tengah Rasulullah berbicara tiba-tiba engkau datang, dan engkau telah terlewatkan permulaan (awal pembicaraan) hadits tersebut; padahal Rasulullah sedang menceritakan perkataan seorang dari Ali Kitab. Engkau menyangka bahwa itu adalah perkataan Rasulullah”.

Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Kemungkinan besar riwayat tentang sahabat az-Zubair ini mengisyaratkan kepada apa yang diriwayatkan oleh Qatadah di atas. Dasarnya karena para Ahli Kitab berkata: “Sesungguhnya Allah setelah menciptakan langit dan bumi lalu Dia beristirahat”, kemudian turunlah firman Allah sebagai bantahan terhadap mereka: “وما مسنا من لغوب” [Artinya; Allah tidak lelah, kerena lelah adalah sifat makhluk]. Dengan demikian sangat dimungkinkan bahwa Rasulullah saat itu tengah menceritakan perkataan para Ahli kitab; yang hal ini tidak dipahami (tidak didengar) oleh Qatadah”.

Sementara itu Imam Abdurrahman bin Ahmad telah meriwayatkan dalam kitab as-Sunnah, berkata: Aku telah melihat al-Hasan meletakan kaki kanannya di atas kaki kirinya dalam posisi duduk [posisi istirahat]. Aku berkata kepadanya: Wahai Abu Sa’id bukankah duduk dengan posisi seperti ini makruh? Beliau menjawab: Semoga Allah menghancurkan orang-orang Yahudi. Kemudian Abu Sa’id membacakan firman Allah:

وَلقَدْ خَلقْنَا السّموَاتِ والأرْضَ ومَا بَينهُمَا فِي سِتّة أيّام وَمَا مَسّنَا مِنْ لُغُوْب (سورة ق: 38)

Dari ucapan beliau ini aku mengetahui apa yang beliau maksudkan, kemudian aku diam. [Artinya bahwa pernyataan Allah duduk, istirahat, meletakan kaki kanan di atas kaki kiri, terlentang dan berbagai sifat benda lainnya adah perkataan orang-orang Yahudi].

Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Pernyataan al-Hasan dalam riwayat di atas memberikan isyarat yang sangat jelas bahwa pendapat demikian [artinya, perkataan bahwa posisi terlentang dan atau duduk yang tidak dibolehkan] adalah perkataan orang-orang Yahudi, karena sesungguhnya telah ada riwayat sahih menyebutkan bahwa Rasulullah, sahabat Abu Bakar, dan sahabat Umar merebahkan diri dengan posisi kaki yang satu diletakan di atas kaki lainnya. Hanya saja hal itu menjadi makruh hukumnya bagi orang yang tidak memakai celana [karena dikhawatirkan akan terbuka auratnya], Allâhu A’lam”.

Hadits Ke Sepuluh

Al-Qâdlî Abu Ya’la meriwayatkan dari Hassan bin Athiyyah bahwa ada seorang musyrik mencaci-maki Rasulullah, kemudian ia didatangi seorang muslim; lalu keduanya berkelahi dan kemudian orang muslim tersebut membunuhnya. [Ketika Rasulullah mengetahui peristiwa ini], beliau bersabda:

(قيل) مَا تَعْجَبُون منْ نصَر الله تعَالَى ورَسُولَه لَقيَ الله تَعَالَى مُتّكِئًا وَقَعَد لَهُ

[Hadits ini tidak benar, makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Janganlah kalian merasa heran, siapa yang yang membela Allah dan rasul-Nya maka ia akan menemui Allah yang dalam keadaan bersandar, lalu orang tersebut duduk bagi-Nya”].

Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Ini adalah hadits maqhtu’ yang jauh dari kebenaran. Dan kalaupun benar maka makna yang dimaksud adalah bahwa Allah menerima, memberi karunia dan memuliakan orang yang membela Rasulullah tersebut [bukan dalam makna literalnya]”.

Bersambung bagian dua…

 

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments

×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku