Dalam sebuah hadits riwayat al-Bayhaqi dan lainnya diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah meletakan tangannya di pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata:
“Ucapkanlah: Lâ Hawla Wa Lâ Quwwata Illâ Billâh”
Kemudian Abu Musa al-Asy’ari mengucapkan kalimat Hawqalah tersebut. Lalu Rasulullah berkata kepadanya:
“Engkau telah diberi pembendaharaan (al-Kanz) dari pembendaharaan-pembendaharaan surga”.
Al-Kanz (pembendaharaan, tabungan) dalam pengertian bahasa adalah sesuatu yang memberikan manfa’at terus-menerus bagi seseorang sekalipun orang tersebut telah meninggal. Para ulama kita di kalangan Ahlussunnah memahami hadits ini sebagai salah satu bukti kebenaran akidah Asy’ariyyah, sebab kandungan yang tersirat dalam makna kalimat Hawqalah tersebut adalah sebagai bantahan kepada kaum Mu’tazilah dan kaum Jabriyyah sekaligus.
Baca juga: METODE YANG BENAR DALAM MERAIH ILMU AGAMA
Kalimat Hawqalah dalam hadits tersebut mengandung dua makna, pertama: “Tidak ada usaha apapun dari seorang hamba untuk menghindarkan diri dari segala kemaksiatan kecuali semata karena pemeliharaan dan penjagaan dari Allah”, makna ke dua: “Tidak ada kekuatan apapun dari seorang hamba untuk melakukan keta’atan kepada Allah kecuali dengan pertolongan dan dengan taufik Allah”. Inilah makna kalimat Hawqalah yang dimaksud oleh hadits Nabi tersebut sebagaimana telah disepakati oleh para ulama Ahlussunnah. Lihat pemaknaan ini di antaranya dalam ungkapan al-Imâm Abu Ja’far ath-Thahawi dalam risalah akidah Ahlussunnah yang dikenal dengan al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah yang beliau kutip dari ungkapan-ungkapan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Abu Yusuf dan al-Imâm asy-Syaibani.
Faham Ahlussunnah ini berbeda dengan keyakinan kaum Qadariyyah (Mu’tazilah) yang mengatakan bahwa segala perbuatan hamba adalah ciptaan hamba itu sendiri. Dalam keyakinan Qadariyyah ini bahwa kehendak Allah sama sekali tidak terkait dengan segala usaha manusia. Artinya, menurut mereka Allah dalam hal ini sama sekali terlepas, tidak terikat dan terbebas dari segala apa yang dilakukan oleh seorang hamba. Kesimpulannya, menurut kaum Qadariyyah manusia adalah pencipta bagi segala perbuatan yang ia lakukannya sendiri, dan Allah tidak menentukan apapun bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukannya tersebut.
Adapun kaum Jabriyyah, yang juga berkayakinan ekstrim, berseberangan seratus delapan puluh derajat dengan kaum Qadariyyah. Kaum Jabriyyah mengatakan bahwa manusia dengan segala perbuatan yang ia lakukannya adalah laksana kapas ditiup angin, sama sekali tidak memiliki usaha dan ikhtiar. Dalam keyakinan mereka setiap hamba dipaksa (Majbûr) dalam segala perbuatan yang ia lakukannya. Kesimpulannya, menurut kaum Jabriyyah ini setiap manusia itu tidak memiliki usaha atau ikhtiar sama sekali dalam segala perbuatan yang ia lakukannya.
Dua faham sesat kaum Qadariyyah dan kaum Jabriyyah tersebut sama-sama ekstrim dan menyalahi akidah Ahlussunnah. Adapun keyakinan Ahlussunnah di tengah-tengah antara dua faham tersebut, yang karenanya Ahlussunnah dikenal sebagai kelompok moderat, atau dikenal dengan al-Firqah al-Mu’tadilah atau al-Firqah al-Munshifah. Ahlussunnah meyakini bahwa segala apapun pada alam ini, dari segala benda maupun sifat-sifat benda, terjadi dengan kehendak Allah, ilmu Allah, dan dengan penciptaan dari Allah, termasuk dalam hal ini kekufuran, kemaksiatan, kejahatan, keburukan, keimanan, kebaikan, ketaatan, dan segala apapun dari perbuatan-perbuatan manusia. Namun demikian manusia memiliki ikhtiar dan usaha dalam segala perbuatan yang ia lakukannya tersebut. Usaha atau ikhtiar inilah yang disebut dengan al-Kasb.
Baca juga: Penjelasan Lengkap Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah
Al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari berasal dari keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Sebagaimana diketahui bahwa beliau adalah Imam Ahlussunnah yang sangat gigih dalam memerangi akidah kaum Qadariyyah atau Mu’tazilah dan akidah kaum Jabriyyah. Rumusan-rumusan akidah yang telah beliau formulasikan bahwa segala perbuatan hamba adalah ciptaan Allah (Khalq Af’âl al-Ibâd) telah benar-benar membungkam faham Qadariyyah dan faham Jabriyyah sekaligus. Para ulama kita di kalangan Ahlussunnah mengatakan bahwa ketika Rasulullah memberikan pembendaharaan surga kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, yaitu kalimat Hawqalah , yang dimaksud adalah sebagai bukti kebenaran akidah yang telah dirumuskan oleh al-Imâm Abu Musa al-Asy’ari. Benar, akidah inilah yang kemudian diyakini mayoritas umat Muhammad dari masa ke masa, antar genarasi ke genarasi. Dengan demikian hadits ini merupakan salah satu mu’jizat Rasulullah, di mana beliau memberikan petunjuk tentang akidah yang benar bagi umatnya.
Tentang hadits ini al-Imâm Badruddin az-Zarkasyi dalam kitab Tasynîf al-Masâmi’ Bi Syarh Jam’i al-Jawâmi’ menuliskan sebagai berikut:
“Hadits ini memberikan isyarat bahwa kelak dari keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari akan datang al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Beliau (Abu al-Hasan) adalah seorang yang sangat gigih memerangi faham kelompok-kelompok sesat yang tidak sejalan dengan faham kalimat Hawqalah ini; mereka adalah kaum Qadariyyah yang mengatakan: “Saya membebaskan diri dari kemaksiatan kepada perbuatan taat adalah oleh usaha saya sendiri, (bukan oleh Allah)”, dan kaum Jabriyyah yang mengatakan: “Pernyataan kalian (wahai kaum Ahlussunnah) “Illâ Billâh” sama saja kalian manetapkan adanya kekuatan setelah kalian menafi-kan, dan itu artinya sama saja kalian menetapkan adanya kekuatan bagi seorang hamba, karena itu kami tidak percaya dengan pernyataan kalian”.
Al-Imâm Abu al-Hasan adalah orang yang benar-benar memahami maksud dan kandungan kalimat Hawqalah tersebut. Beliau adalah yang menetapkan adanya al-Kasb atau usaha bagi manusia. Artinya bahwa manusia dalam perbuatannya bukan seorang yang dipaksa, juga sama sekali tidak terbebas dari Allah”[1].
Masih dalam perkataan az-Zarkasyi, dalam kitab tersebut beliau juga menuliskan sebagai berikut:
“Dalam hal ini al-Bayhaqi telah membuat pasal tersendiri dalam risalah yang ia tulis kepada al-‘Amid. Di dalamnya al-Bayhaqi memuji al-Asy’ari dan menjelaskan kebenaran akidah Ahlussunnah di antara firqah–firqah lainnya. Selain al-Bayhaqi, juga banyak yang telah mengatakan bahwa al-Asy’ari adalah orang yang telah memformulasikan madzhab Salaf dari kalangan Ahlussunnah. Abu al-Walid al-Baji berkata: Abdullah ibn Umar dengan beberapa hadits Rasulullah telah membantah orang yang mengingkari Qadar (yaitu orang yang mengatakan bahwa Allah tidak menentukan apapun bagi perbuatan yang dilakukannya). Kemudian Abdullah ibn Abbas telah membantah kaum Khawarij. Lalu Umar ibn Abd al-Aziz dan Rabi’ah ar-Ra’yi telah membantah Ghaylan; salah seorang pemuka kaum Qadariyyah. Asy-Syafi’i telah membantah Hafsh al-Fard. Dan para ulama terkemuka lainnya banyak melakukan hal yang sama. Bahkan al-Imâm Malik telah menuliskan berbagai bantahan terhadapa mereka sebelum al-Asy’ari datang. Dengan demikian al-Asy’ari dan para pengikutnya bukan membawa ajaran yang baru, hanya saja memang mereka adalah orang yang telah merinci dan memformulasikan segala permasalahan-permasalahan yang berkembang dalam masalah ushul ini. Dengan begitu Ilmu Ushul ini lebih banyak dinisbatkan kepada beliau. Sebenarnya ini sama saja dengan penisbatan madzhab fiqih yang berkembang di Madinah kepada al-Imâm Malik, atau madzhab Fiqih yang berkembang di kalangan penduduk Kufah kepada al-Imâm Abu Hanifah. Karena kedua Imam ini telah merumuskan Fiqih yang berkembang di wilayah masing-masing saat itu yang rumusannya kemudian diterima oleh banyak orang”[2].
_______________________
[1] Lihat al-Hâfizh al-Habasyi dalam Izh-hâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah , mengutip dari Tasynîf al-Masâmi’ Bi Syarh ath-Thaâwiyyah h Jam’i al-Jawâmi’, h. 24
[2] Ibid, h. 24-25