Diriwayatkan dari Abdullah ibnul Mubarak, bahwa ia berkata: “Pada suatu masa, saat aku berada di Mekah, datang musim paceklik, kemarau panjang, dan banyak orang dalam keadaan yang sangat sulit. Ada banyak orang yang pergi ke padang Arafah, mereka berdoa dan shalat istisqa’; meminta kepada Allah agar diturunkan hujan. Namun bukan hujan yang turun, tetapi malah musim kemarau dan kesulitan lebih mengganas lagi. Satu minggu setelah mereka shalat istisqa’ di padang Arafah benar-benar kesulitan bertambah besar. Lalu minggu berikutnya orang-orang kembali lagi berangkat kepada padang Arafah, kembali lagi mereka shalat istisqa’ dan berdoa meminta hujan di sana. Dan aku ikut dalam rombongan besar tersebut. Di padang Arafah semua manusia khusyu’ berdoa kepada Allah, meminta diturunkan hujan, dan dilepaskan dari masa paceklik yang berkepanjangan. Tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki berkulit hitam, badan kurus, lusuh, dan tentunya siapapun banyak yang tidak menghiraukannya. Ia shalat dua raka’at, lalu ia berdoa, kemudian ia sujud, dan dalam sujudnya ia berkata: “Ya Allah, Demi keagungan-Mu, aku tidak akan mengangkat kepalaku ini dari sujudku sampai engkau menurunkan hujan bagi hamba-hamba-Mu yang tengah dalam kesulitan ini…”.
Tiba-tiba di arah langit ada segumpal awan datang, lalu datang gumpalan awan lainnya, dan lainnya, dan lainnya. Semula gumpalan awan itu kecil semakin lama semakin membesar. Maka kemudian turunlah hujan dengan sangat deras dan menyegarkan, laksana air yang dituangkan dari wadah-wadahnya. Si laki-laki kurus hitam mengucapkan syukur, memuji Allah, lalu ia pulang dengan orang banyak. Aku mengikuti laki-laki tersebut ke arah mana ia hendak pulang, aku ingin mendatangi rumahnya. Dan ternyata ia masuk ke dalam sebuah rumah tempat berkumpulnya para hamba sahaya. Setelah aku mengetahui tempat tinggal, lalu aku pulang. Ke-esokan harinya, aku kumpulan uang dinar (emas) dan dirham (perak) yang aku miliki, semuanya ku bawa. Aku akan membeli hamba sahaya tersebut. Setelah sampai ke rumah tersebut dan menemui tuan pemiliki para hamba sahaya tersebut, aku berkata: “Aku hendak membeli seorang hamba sahaya untuk mengerjakan kebutuhan-kebutuhanku”.
Si tuan rumah lalu memanggil seluruh hamba sahayanya, semuanya berjumlah sekitar tiga puluh orang, ia berkata: “Silahkan tua memilih yang tua kehendaki di antara hamba sahaya ini”.
Aku berkata: “Adakah tuan memiliki hamba sahaya lain selain orang-orang ini”.
Ia berkata: “Ada tersisa satu orang, hanya saja ia sahaya yang selalu membungkam mulutnya, tidak pernah berbicara kepada siapapun”.
Aku berkata: “Bisakah tuan memperlihatkan sahaya tersebut kepadaku?”.
Ia berkata: “Baiklah, walau mungkin engkau tidak akan tertarik kepadanya”. Setelah memanggil si hamba sahaya dimaksud, si tuan berkata: “Inilah sisa hamba sahaya yang aku miliki, mungkin ia tidak memiliki tenaga yang cukup kuat seperti hamba sahaya lainnya”.
Dan ternayata hamba sahaya itulah yang aku maksud, dialah yang kemarin aku lihat sujud berdoa meminta kepada Allah di padang Arafah, dan Allah langsung mengabulkan doanya, yang karena doa orang semacam dialah maka orang-orang awam mendapatkan kucuran rahmat dari Allah dan terhidar dari malapetaka dan siksa-Nya.
“Dengan harga barapa saat tuan membeli hamba sahaya ini?”
“Aku membelinya dengan harga 20 dinar, dan jika engkau menghendakinya maka aku menjualnya bagimu dengan hanya 10 dinar saja. Silahkan engkau bawa pulang”.
“Tidak, bahkan aku akan membelinya darimu dengan harga lebih dari 20 dinar, aku lebihkan modalmu, aku membayarnya bagimu dengan 27 dinar”.
Lalu aku membawa pulang hamba sahaya kurus dan hitam tersebut. Di tengah perjalanan pulang aku berbincang dengannya, ia berkata: “Wahai tuanku, apa gerangan yang mendorongmu membeli diriku? Padahal seperti yang engkau lihat, aku tidak memiliki banyak tenaga dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas yang hendak engkau bebankan kepadaku?”.
“Sesungguhnya aku membeli dirimu bukan hendak menjadikan dirimu sebagai hamba sahaya bagiku, tetapi sebaliknya, aku membelimu agar aku menjadi hamba sahaya bagi dirimu, supaya aku bisa berkhidmah kepada dirimu wahai tuanku”. Ia nampak terlihat kaget dan heran. Lalu budak kurus hitam tersebut berkata: “Mengapa engkau melakukan itu”.
“Aku telah melihat dirimu kemarin di padang Arafah bersama orang banyak, engkau sujud meminta kepada Allah agar diturunkan hujan bagi orang-orang yang tengah dilanda musim paceklik dan kekeringan ini. Sesungguhnya dengan orang-orang sepertimu Allah telah menurunkan rahmat bagi umat manusia ini, dan juga dengan orang sepertimu Allah telah menghindarkan adzab dan siksa dari mereka. Karenanya aku tahu engkau adalah seorang yang memiliki karamah; kemuliaan dari Allah”.
Ia berkata: “Apakah benar engkau telah melihat apa yang terjadi kemarin?”.
“Benar, tanpa ragu aku telah melihatnya”.
“Lalu apakah sekarang engkau hendak memerdekakan diriku?”.
“Engkau aku bebaskan karena Allah”.
Maka saat itu pula aku mendengar suara tanpa rupa, entah siapa yang memperdengarkannya pada telingaku, berkata: “Wahai Ibnul Mubarak, bersuka-citalah engkau, sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu karena engkau telah memerdekakan hamba tersebut karena Allah…”
Setelah itu, si laki-laki kurus dan hitam tersebut kemudian mengambil air wudlu. Ia wudlu di bawah pandanganku dengan wudlu yang sangat sempurna, lalu ia shalat dua raka’at yang juga shalat yang sangat sempurna. Setelah shalat ia duduk bersimpuh, mengucapkan syukur kepada Allah, ia berkata: “Al-hamdu lillah, ini adalah kemerdekaan yang telah diberikan oleh tuan kecil-ku, maka alangkah besar harapanku seadainya diriku dimerdekakan oleh tuanku Yang Maha Agung dari segala siksaan-Nya”.
Setelah itu, si laki-laki kurus dan hitam tersebut kembali berwudlu dan shalat dua raka’at yang juga sangat sempurna, lalu kembali duduk bersimpuh, ia berkata: “Ya Allah, Engkau maha Mengetahui bahwa selama 30 tahun ke belakang aku telah beribadah kepada-Mu ikhlas karena-Mu. Dan janji anda diriku dengan-Mu bahwa janganlah Engkau membuka tentang keadaanku ini bagi siapapun. Dan oleh karena hari ini keadaan diriku telah engkau buka terhadap seorang manusia maka matikanlah aku saat ini juga”.
Setelah itu, si laki-laki tersebut jatuh pingsan, aku bangunkan ia, aku berusa membangunkannya, tapi ternyata ia telah meninggal saat itu juga. Kemudian aku mengurus jenazahnya, memandikannya, mengkafaninya, menshalatkannya, dan mengkuburkannya. Hanya saja saat aku mengkafaninya sedikit kurang sempurna, aku sedikit ceroboh.
Di malam harinya, saat aku tidur aku bermimpi. Aku melihat seorang yang sangat tampan dan berwibawa, berpakaian dengan pakaian yang sangat bersih dan indah. Lalu di samping orang tersebut ada orang lain yang juga berwibawa dan berpakaian yang sangat indah. Salah satunya meletakan tangan di atas di atas pundak temannya. Ia berkata: “Wahai Ibnul Mubarak, tidakkah engkau malu kepada Allah?!”. Keduanya lalu berjalan hendak pergi, maka aku segera bersuara: “Wahai tuan siapakah anda?”, ia menjawab: “Aku adalah Rasul Allah; Muhammad ibn Abdillah, dan ini adalah ayahku; Ibrahim”. Aku berkata: “Bagaimana mungkin aku tidak malu kepada Allah?! Karena itulah maka aku memperbanyak shalat bagi-Nya…”. Rasulullah berkata: “Salah seorang wali Allah meninggal dan engkau tidak sempurna mengkafaninya?!”.
Keesokan harinya aku bersegera mempersiapkan kain kafan baru, aku mendatangi makam laki-laki hitam kurus wali Allah tersebut. Aku kembali menggali lubang kuburnya, kemudian aku menkafaninya dengan kain kafan yang putih bersih, aku menshalatkannya kembali, kemudian mengkuburkannya. Semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya.