Ibn Taimiyah, yang merupakan referensi agung mereka yang melarang membaca al-Qur’an bagi mayit, tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyetujui apa yang telah menjadi kesepakatan ulama Salaf tersebut. Dalam kumpulan fatwa-fatwa Ibn Taimiyah atau yang dikenal dengan Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
القُرآنُ الّذي يَصِلُ مَا قُرِئَ للهِ
“Bacaan al-Qur’an yang sampai adalah yang dibaca –dengan ikhlash– karena Allah”[1].
Di halaman yang sama dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, ia mengatakan sebagai berikut:
مَنْ قَرأ القُرآنَ مُحْتَسِبًا وأهْدَاهُ إلى اْلميت نَفَعَهُ ذلك
“Orang yang membaca al-Qur’an dengan ikhlas karena Allah lalu menghadiahkan kepada mayit, akan bermanfaat bagi mayit tersebut”[2].
Pada bagian lain masih dari Majmu’ Fatawa, Ibn Taimiyah mengatakan:
قال؛ فإن الله تعالى لم يقل؛ إن الإنسان لا ينتفع إلا بسعي نفسه، وإنما قال: وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (سورة النجم: 39)، فهو لا يملك إلا سعيه ولا يستحق غير ذلك، وأما سعي غيره فهو له كما أن الإنسان لا يملك إلا مال نفسه ونفع نفسه، فمال غيره ونفع غيره هو كذلك للغير لكن إذا تبرع له الغير بذلك جاز وهكذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه الله بذلك كما ينفعه بدعائه له والصدقة عنه وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم سواء كان من أقاربه أو غيرهم كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند قبره.
“Bahwa Allah tidak menyebutkan bahwa seseorang hanya bisa mengambil manfaat dari amal perbuatannya sendiri saja. Melainkan yang difirmankan Allah adalah:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (سورة النجم: 39)
Yang dimaksud ayat ini adalah dalam pengertian kepemilikan. Artinya, bahwa seseorang tidak dapat memiliki hasil amalan orang lain, ia hanya dapat memiliki hasil amalannya sendiri. Hak milik orang lain adalah miliki dia, hak miliki saya adalah milik saya. Seseorang yang memiliki harta maka ia sendiri yang menguasai dan yang mengambil manfa’at dari hartanya tersebut. Sementara yang orang lain yang tidak memiliki harta tersebut, tentunya tidak menguasai dan tidak memiliki serta tidak dapat mengambil manfa’at dari harta tersebut. Adapun jika seseorang berkeinginan menyumbangkan hartanya bagi orang lain, maka tentu hal ini boleh-boleh saja[3].
Demikian pula jika ada seseorang yang berkeinginan menyumbangkan atau menghadiahkan pahala dari amalannya kepada orang lain, maka hal tersebut tentu boleh-beloh saja. Allah akan memberi manfaat dari hadiah tersebut. Sebagaimana bila kita berdoa bagi orang lain, doa tersebut sangat bermafa’at baginya, maka demikian pula dengan sedekah kita, bacaan al-Qur’an kita, atau kebaikan lainnya akan sangat bermanfaat terhadap orang yang kita peruntukan baginya.
Kesimpulannya, bahwa seorang mayit akan mendapat manfaat dari setiap perkara kebaikan yang disampaikan oleh sesama muslim baginya, baik oleh anak-anaknya, keluarganya, kerabatnya atau bukan. Sebagaimana mayit tersebut mendapat manfaat dari orang-orang yang menshalatkan atasnya dan mendoakannya di kuburnya[4].
Dari sini kita katakan kepada para pecinta Ibn Taimiyah: “Kalian hendak kabur ke mana, sementara Al-Imam kalian, rujukan utama kalian; Ibn Taimiyah al-Harrani, telah menetapkan bahwa bacaan al-Qur’an atau amal kebaikan apapun jika di hadiahkan untuk mayit, maka mayit tersebut mengambil manfa’at darinya?!”.
Benar, cahaya kebenaran sangat nyata bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Sementara bagi seorang yang “buta”, maka sinar matahari terang di tengah hari-pun akan tetap ia katakan gelap gulita.
____________________
[1] Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 300
[2] Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 300
[3] Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 367
[4] Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah,j. 24, h. 367