Ibnul Jawzi Menjelaskan Beberapa Teks Mutasyabih Dalam Al-Qur’an
Diantaranya adalah sebagai berikut;
Pertama:
- Firman Allah:
ويَبْقَى وَجْهُ رَبّكَ (الرحمن: 27) / يُريْدُوْنَ وَجْهَه (الأنعام :52)، كُلّ شَىءٍ هَالِكٌ إلا وَجْهَه (القصص: 88)، يُريْدُونَ وَجْهَ الله (الروم: 38)
[Ayat-ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang mengatakan seakan Allah memiliki anggota badan; wajah atau muka].
Para ahli tafsir berkata: ”Makna ”ويبقى وجه ربك”; artinya ”ويبقى ربك”; ”Dan Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di atas, firman-Nya: ”يريدون وجهه”; para ahli tafsir berkata: ”Artinya ”يريدونه”; ”Mereka bertujuan ikhlas karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ”كل شىء هالك إلا وجهه”; artinya ”إلا هو”; ”Segala sesuatu akan punah kecuali Allah”.
Kaum Musyabbihah; di antaranya pemuka-pemuka mereka tiga orang yang telah kita sebutkan di atas, berpendapat bahwa ”al-Wajh” pada hak Allah adalah sebagai sifat-Nya yang merupakan bagian dari Dzat-Nya. Entah dari mana mereka menyimpulkan pemahaman sesat seperti ini, yang jelas mereka tidak memiliki argumen untuk itu; dan argumen apapun yang mereka kemukakan pasti berangakat dari pemahaman indrawi, karena itulah mereka mengatakan bahwa al-Wajh adalah bagian dari Dzat-Nya. [Artinya mereka menetapkan makna al-Wajh sebagai bagian dan dan atau anggota badan bagi Allah]. Padahal dengan dasar pemahaman sesat seperti ini maka berarti mereka mengartikan ayat di atas dengan: ”Segala sesuatu akan punah; termasuk Dzat Allah, dan yang kekal hanyalah wajah-Nya saja”. Na’ûdzu billâh.
Sementara Ibnu Hamid berkata: ”Kita menetapkan wajah (muka) bagi Allah, tetapi kita tidak menetapkan kepala bagi-Nya”.
Aku (Ibnul Jawzi) katakan: ”Ucapan Ibnu Hamid ini benar-benar telah menjadikan badanku merinding. Sangat jelas apa yang diungkapkannya ini merupakan akidah tasybîh yang menyesatkan. Dengan ungkapannya semacam ini nyatalah bahwa ia telah menetapkan bagian-bagian dan anggota-anggota badan bagi Allah walaupun ia tidak menetapkan kepala bagi-Nya”.
Ke Dua:
- Firman Allah:
وَلِتُصْنَع عَلَى عَيْنِي (طه: 39)، وَاصْنَع الفُلْكَ بأعْيُنِنَا (هود: 37) / تَجْرِي بأعْيُننَا (القمر: 14)، فَإنّكَ بأعْينُنَا (الطور: 48)
[Ayat-ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang mengatakan seakan Allah memiliki anggota badan; mata. Makna zahirnya ayat-ayat ini seakan mengatakan bahwa Allah memiliki satu mata, dua mata, dan atau banyak mata].
Semua yang dimaksud dari ayat-ayat semacam ini [artinya penyandaran kata ”’Ain” ”عين” kepada Allah; bukan dalam pengertian bahwa Allah memiliki anggota mata] tetapi dalam pengertian bahwa perkara tersebut ”dilihat oleh Allah” [artinya dipelihara dan dijaga oleh-Nya]”. Adapun dalam beberapa ayat diungkapkan dalam bentuk jamak; ”Kami” [seperti pada kata ”بأعيننا”] adalah karena dalam bahasa Arab penggunaan ungkapan semacam ini biasa dipakai, misalkan seorang raja berkata: ”أمرنا ونهينا”; ”Perintah kami dan larangan kami”, [Di antara tujuan ungkapan jamak; ”kami” semacam ini adalah untuk menunjukkan keagungan dan kemuliaan].
Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim berpendapat bahwa ”’Ain” pada hak Allah adalah sifat-Nya yang merupakan bagian dari Dzat-Nya [Sama persis dengan apa yang diyakini oleh Ibnu Hamid di atas]. Sebenarnya akidah tasybîh sesat Abu Ya’la ini telah didahului oleh orang sebelumnya, yaitu orang bernama Abu Bakr bin Khuzaimah. Dalam memahami ayat-ayat di atas Ibn Khuzaimah berkata: ”Tuhan kita memiliki dua mata yang dengan kedua matanya tersebut Dia melihat”. Sementara itu Ibnu Hamid berkata: ”Wajib beriman bahwa Allah memiliki dua mata”.
Ungkapan-ungkapan semacam itu jelas merupakan bid’ah, dan mereka tidak akan memiliki argumen untuk dijadikan alasan bagi pemahaman sesat tersebut. Mereka menyimpulkan bahwa Allah memiliki dua mata hanya karena didasarkan kepada makna zahir hadits Nabi: ”ليس بأعور”, [makna zahir hadits ini mengatakan ”Allah tidak buta”] padahal yang dimaksud hadits tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa Allah maha suci dari segala bentuk kekurangan, cela dan aib, sedikitpun bukan untuk menetapkan bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan dan atau memiliki bagian-bagian. Seorang yang berkeyakinan tanzîh maka dia akan paham bahwa al-’ain pada hak Allah yang dimaksud bukan sebagai anggota badan dan bukan sebagai bagian dari Dzat-Nya [karena Allah maha suci dari bagian-bagian].
Ke Tiga:
- Firman Allah:
لِما خَلقتُ بيَديّ (ص: 75) / يَدُ الله فَوقَ أيْديْهمْ (الفتح: 10)، بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوْطَتَان (المائدة: 64)، بيَدهِ مَلكُوْتُ كُلّ شَىء (يس: 83)، بيَدِكَ الْخَيْر (ءال عمران: 26)، وَالسّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بأيْد (الذاريات: 47)
[Ayat-ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang mengatakan seakan bahwa Allah memiliki anggota badan; tangan. Makna zahir ayat-ayat ini seakan mengatakan bahwa Allah memiliki satu tangan, dua tangan, dan atau tangan yang sangat banyak].
Kata al-yad ”اليد” dalam bahasa Arab memiliki makna yang sangat banyak, di antaranya dalam makna an-Ni’mah wa al-Ihsân ”النعمة والإحسان”, artinya; ”Karunia (nikmat) dan kebaikan”. Adapun makna perkataan orang-orang Yahudi dalam firman Allah: Yadullâh Maghlûlah ”يد الله مغلولة” adalah dalam makna Mahbûsah ’An an-Nafaqah ”محبوسة عن النفقة”, artinya menurut orang-orang Yahudi Allah tidak memberikan karunia dan nikmat, [bukan arti ayat tersebut bahwa Allah memiliki tangan yang terbelenggu].
Makna lainnya, kata al-yad dalam pengertian ”al-Quwwah”, ”القوة” ; artinya ”Kekuatan atau kekuasaan”. Orang-orang Arab biasa berkata: ”Lahû Bi Hadzâ al-Amr Yad”, ”له بهذا الأمر يد”, artinya: ”Orang itu memiliki kekuatan (kekuasaan) dalam urusan ini”. Firman Allah: ”بل يداه مبسوطتان”; yang dimaksud adalah dalam pengertian ini, artinya bahwa nikmat dan kekuasaan Allah sangat luas [bukan artinya bahwa Allah memiliki dua tangan yang sangat lebar].
Demikian pula firman Allah tentang penciptaan Nabi Adam: ”لما خلقت بيدي”; juga dalam pengertian bahwa Allah menciptakan Nabi Adam dengan kekuasaan-Nya dan dengan karunia dari-Nya. Kemudian pula diriwayatkan dari Imam al-Hasan dalam tafsir firman Allah: ”يد الله فوق أيديهم”; beliau berkata: ”Kata ”يد” di sini yang dimaksud adalah karunia dan nikmat Allah”. Inilah penafsiran-panafsiran dari para ulama Ahli Tahqîq.
Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la berkata: ”اليدان adalah bagian dari sifat Dzat Allah”. [Artinya ia menetapkan bahwa Dzat Allah memiliki anggota-anggota badan yang memiliki bagian-bagian]. Na’ûdzu billâh.
Apa yang diungkapkan oleh Abu Ya’la ini adalah pendapat sesat yang sama sekali tidak memiliki argumen dan hanya didasarkan kepada hawa nafsu belaka. Dalam alasannya yang sangat lemah dia berkata: ”Sendainya Nabi Adam tidak memiliki keistimewaan tentu Allah tidak akan mengungkapkan dengan kata ”اليد” dalam penciptaannya. Allah mengungkapkan dengan kata ”Bi Yadayya” ”بيَدَيّ”; jika ini diartikan dalam makna kekuatan atau kekuasaan maka berarti Nabi Adam tidak memiliki keistimewaan dibanding makhluk hidup lainnya; oleh karena semua makhluk diciptakan dengan kekuatan dan kekuasaan Allah, dan tentunya tidak akan diungkapkan dalam redaksi ”mutsannâ” (bentuk kata untuk menunjukan dua)”. [Dengan argumen ini Abu Ya’la hendak menetapkan bahwa Allah memiliki dua tangan].
Kita jawab kesesatan Abu Ya’la ini: ”Tidak demikian wahai Abu Ya’la. Dalam bahasa Arab bentuk kata mutsannâ biasa dipakai untuk mengungkapkan kekuatan dan kekuasaan, seperti bila dikatakan: ”ليس لي بهذا الأمر يدان”; artinya ”Saya tidak memiliki kekuatan untuk mengurus perkara ini”. Dalam sebuah bait sya’ir, Urwah bin Hizam berkata:
فَقَالا شفَاك اللهُ والله مَا لنَا بِما ضمّت منكَ االضّلوعُ يدَان
[Artinya: ”Mereka berdua berkata: ”Semoga Allah memudahkannya bagimu, karena demi Allah kami tidak memiliki kekuatan (kekuasaan) untuk memudahkan segala kesulitan yang tengah menimpamu”].
Adapun perkataan kaum Musyabbihah bahwa penggunaan kata ”اليدان” [dalam bentuk mutsannâ] dalam penciptaan Nabi Adam yang langsung disandarkan kepada Allah [yaitu menjadi ”Bi Yadayya” ”بيديّ”] adalah untuk mengungkapkan keistimewaan, artinya bahwa penciptaan Nabi Adam ini berbeda dengan penciptaan Allah terhadap binatang-binatang yang lain; kita jawab kesesatan mereka ini bahwa dalam al-Qur’an Allah berfirman:
أنّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمّا عَمِلَتْ أيْدِيْنَا أنْعَامًا (يس: 71)
Dalam ayat ini dipakai kata ”أيدينا” [bentuk jamak] yang langsung disandarkan kepada Allah. Ayat ini tidak untuk menunjukan bahwa binatang-binatang ternak memiliki keistimewaan di atas seluruh binatang lainnya hanya karena redaksi penciptaannya dengan kata ”أيدينا” yang langsung disandarkan kepada Allah. [Apakah hanya dengan alasan bahwa penciptaan Nabi Adam dan binatang-binatang ternak disandarkan langsung kepada Allah lalu kemudian keduanya memiliki keistimewaan yang sama?!]. Kemudian dari pada itu, Allah berfirman:
وَالسّمَاءَ بَنيْنَاهَا بأيْد (الذاريات: 47)
[Dalam ayat ini dipergunakan kata ”أيدٍ”; bentuk jamak dari ”يد”. Ayat ini tidak boleh dipahami makna zahirnya yang mengatakan seakan Allah memiliki anggota badan; tangan yang sangat banyak].
Makna “أيدٍ” dalam ayat ini adalah “القوّة”, artinya “kekuatan”, dengan demikian makna ayat tersebut: ”Dan langit telah Kami (Allah) membangunnya (menciptakannya) dengan kekuatan”. [Dalam ayat ini disebutkan penciptaan langit dengan kata “بنيناها بأيد” yang disandarkan langsung kepada Allah; ini tidak serta-merta bahwa langit memiliki keistimewaan yang sama dengan Nabi Adam. Dengan demikian menjadi jelas bahwa redaksi ”بيَدَيّ” (bentuk mutsannâ) dalam penciptaan Nabi Adam bukan untuk menetapkan bahwa Allah memiliki dua tangan].
Adapun tentang penciptaan Nabi Adam yang diungkapkan dengan redaksi; ”نفخ فيه من روحه”; adalah untuk tujuan pemuliaan [artinya penyandaran secara langsung kepada Allah di sini disebut dengan Idlâfah at-Tasyrîf; bahwa penciptaan Nabi Adam sangat dimuliakan oleh Allah], ini berbeda dengan penciptaan makhluk lainnya yang diungkapkan dengan “al-Fi’l wa at-Takwîn”, “الفعل والتكوين” [artinya disebutkan dengan proses penciptaan; tanpa langsung disandarkan kepada Allah].
Firman Allah tentang penciptaan Nabi Adam ini (QS. Shad: 75) harus dipahami demikian, tidak boleh dipahami bahwa Allah memiliki anggota badan; memiliki dua anggota tangan, karena pemahaman seperti ini jelas tidak sesuai bagi keagungan Allah. Sesungguhnya Allah dalam perbuatan-Nya tidak membutuhkan kepada peralatan-peralatan, dan tidak membutuhkan kepada anggota-anggota badan; Allah maha suci dari itu semua. Sangat tidak layak bagi kita untuk mencari-cari pemahaman tentang kemuliaan penciptaan Nabi Adam lalu kita melalaikan kesucian Allah dengan menetapkan anggota tangan bagi-Nya, padahal Allah maha suci dari bagian-bagian dan maha suci dari alat-alat (anggota-anggota badan) dalam segala perbuatan-Nya, karena sifat-sifat yang demikian itu adalah sifat-sifat benda.
Yang sangat parah dan mengherankan salah satu dari tiga orang pemuka akidah tasybîh yang kita sebutkan di atas berkeyakinan bahwa Allah besentuhan; dengan dasar akidah sesat ini ia mengatakan bahwa Allah dengan tangan-Nya menyentuh tanah yang merupakan bahan bagi penciptaan Nabi Adam. Lalu orang ini mengatakan bahwa tangan-Nya tersebut adalah bagian dari Dzat-Nya. Na’ûdzu billâh. Siapapun yang berakidah tasybîh semacam ini jelas berkeyakinan bahwa Allah sebagai benda (jism); dan itu artinya –dengan dasar keyakinan buruk seperti ini– bahwa Allah menyatu (bersentuhan) dengan tanah yang merupakan bahan bagi penciptaan Nabi Adam, dan setelah bersentuhan dengan tanah lalu Allah mulai menciptakan Nabi Adam; adakah dapat diterima akal sehat pemahaman semacam ini padahal jelas merupakan perkara indrawi?! Adakah dalam keyakinan mereka bahwa Allah memiliki jarak; artinya jauh dari tanah tersebut, dan lalu Allah butuh untuk mendekat kepadanya?! Na’ûdzu billâh. Allah sendiri telah membantah orang yang berkeyakinan proses penciptaan Nabi Adam semacam ini dengan firman-Nya:
إنّ مثَل عيْسَى عنْد الله كمَثَل ءادَم خَلقَه منْ تُرَاب ثُمّ قالَ لَه كُنْ فَيكُوْن (ءال عمران: 59)
[Maknanya: “Sesungguhnya perumpamaan Nabi Isa bagi Allah sebagaimana Nabi Adam; Dia (Allah) menciptakan Nabi Adam dari tanah kemudian mengatakan bagi tanah: “Jadilah”[1], maka terjadilah”. (QS. Ali Imran: 59]
Ke Empat:
- Firman Allah:
وَيُحَذّرُكُمُ اللهُ نَفْسَه (ءال عمران: 28) ، تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلا أعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ (المائدة: 116)
[Ayat-ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang seakan mengatakan bahwa Allah memiliki jiwa, raga, tubuh, atau fisik].
Makna “nafs”, “نفس” pada ayat-ayat di atas bukan dalam pengertian bahwa Allah memiliki jiwa, raga atau tubuh (fisik). Para ahli tafsir berkata: “ويحذركم الله نفسه” artinya: “Wa Yuhadz-dzirukumullâh Iyyâh”, “ويحذركم الله إياه”; maksudnya: “Allah mengingatkan kalian supaya kalian takut terhadap-Nya” [bukan maknanya supaya kalian takut kepada jiwa dan raga Allah].
Adapun makna perkataan Nabi Isa kepada Allah (QS. Al-Ma’idah: 116): “تعلم ما في نفسي ولا أعلم ما في نفسك” ; artinya “Ta’lamu Mâ ‘Indî Wa Lâ A’lamu Mâ ‘Indak”, “تعلم ما عندي ولا أعلم ما عندك” ; maksudnya: “Engkau (Wahai Allah) mengetahui segala apa yang ada pada diriku, sementara aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu” [bukan artinya; “Aku tidak mengetahui yang ada pada jiwa dan raga-Mu”].
Baca juga: Bantahan Terhadap Kaum Musyabbihah Wahabi Sekarang
Jadi penyebutan kata “nafs” dalam ayat di atas dengan disandarkan kepada Allah yang dimaksud adalah Dzat Allah; bukan dalam pengertian bahwa Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan raga[2]. Berbeda dengan pendapat Abu Ya’la yang mengatakan bahwa Allah memiliki “nafs” yang ia artikan sebagai tubuh yang merupakan bagian dari Dzat-Nya. Pendapat seperti ini jelas tidak memiliki landasan kecuali di atas paham tasybîh, dengan ini Abu Ya’la telah menjadikan Allah sebagai bagian-bagian yang memiliki susunan-susunan; ia menjadikan Dzat sebagai sesuatu yang lain, lalu kata “nafs” ia pahami sebagai sesuatu yang lain pula yang merupakan bagian dari Dzat-Nya.
Ke Lima:
- Firman Allah:
لَيْسَ كَمثْلِه شَيءٌ (الشورى: 11)
Secara literal makna ayat ini ialah: “Tidak ada suatu apapun yang seperti keserupaan-Nya”, jadi seakan Allah memiliki keserupaan (mitsl) [dan mitsl itulah yang tidak memiliki keserupaan]. Padahal yang dimaksud oleh ayat ini bukan pemahaman rusak semacam itu, tetapi makna yang benar, sebagaimana dipahami dan dijelaskan oleh para ahli bahasa, adalah bahwa kata “مثل” dalam penggunaan bahasa seperti ini menduduki “sesuatu yang sedang dibicarakan” [dalam hal ini Allah]. Dalam bahasa Arab bila dikatakan; “ar-Rajul Mitslî Lâ Yukallim Mitslak”, “الرجل مثلي لا يكلم مثلك” ; maka maknanya “Orang seperti saya tidak akan berbicara dengan orang sepertimu”; bukan artinya untuk menetapkan bahwa ada orang yang menyerupai saya dan ada orang yang menyerupai kamu, lalu dua orang yang serupa dengan saya dan kamu itu tidak saling berbicara, tetapi ungkapan semacam ini untuk menegaskan bahwa saya tidak akan berbicara denganmu.
Demikian pula dengan ayat di atas; sama sekali bukan untuk menetapkan adanya keserupaan (mitsl) bagi Allah, tetapi untuk menegaskan bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan bahwa tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya.
Ke Enam:
- Firman Allah:
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ (القلم: 42)
[Ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang seakan mengatakan bahwa Allah memiliki betis (bagian dari kaki) dan bahwa Allah akan membuka betis-Nya tersebut. Pemahaman seperti ini jelas menyesatkan].
Makna yang benar sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama bahwa yang dimaksud “Sâq”, “ساق” dalam ayat ini adalah “asy-Syiddah”, “الشدة”, artinya “kesulitan yang sangat dahsyat”; dengan demikian makna ayat tersebut adalah: “Hari di mana kesulitan yang sangat dahsyat akan diangkat (dihilangkan)”. Penggunaan kata seperti ini biasa dipakai dalam bahasa Arab, seperti dalam sebuat bait sya’ir;
وَقَامَتِ الْحَرْبُ عَلَى سَاقٍ
[Artinya: “Peperangan terjadi dengan sangat dahsyat”].
Dalam bait sya’ir lainnya mengatakan:
وَأنْ شَمّرَتْ عَنْ سَاقِهَا الْحَرْبُ شَمْرًا
[Artinya: “Bahwa peperangan telah menyingsingkan kedahsyatannya”, artinya peperangan tersebut terjadi dengan sangat dahsyat. Kata “ساق” di sini berarti “شدة”, artinya “dahsyat”].
Ibnu Qutaybah berkata: “Dasar penggunaan kata “Sâq” dalam makna ini adalah karena bila seseorang tengah menghadapi urusan yang besar dan dahsyat maka ia membutuhkan kepada kekuatan tekad dan kesungguhan dalam menghadapinya, lalu ia menyingsingkan celananya hingga nampak betisnya, dari sini kemudian kata “Sâq” dalam bahwa Arab biasa dipergunakan (dipinjamkan) untuk mengungkapkan tentang adanya kesulitan yang sangat dahsyat” [dalam Istilah Ilmu Balaghah disebut Majâz Isti’ârah].
Dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih masing-masing menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يَكْشفُ عنْ سَاقِه (روَاه البُخاريّ ومُسْلم)
Penyandaran (Idlâfah) kata “Sâq” dalam hadits ini bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah memiliki betis, tapi Idlâfah di sini dimaksudkan untuk mengungkapkan bahwa Allah akan menghilangkan atau mengangkat segala kesulitan yang sangat dahsyat di di hari kiamat kelak dari orang-orang mukmin. Dan makna “Yaksyifu”, “يكشف” artinya “Yuzîlu”, “يزيل”; artinya mengangkat atau menghilangkan.
Diriwayatkan bahwa Sa’id ibn Jabir sangat marah terhadap orang yang memahami firman Allah dalam QS. al-Qalam: 42 di atas dalam makna literalnya, lalu beliau berkata: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah terangkatnya segala kesulitan yang sangat dahsyat di saat itu”.
Sementara pendapat lainnya; dari Abu Amr az-Zahid menyebutkan bahwa kata “Sâq” biasa pula dipergunakan dalam makna “nafs” [secara hafiyah kata “nafs” pada hak manusia atau makhluk bermakna raga, tubuh, atau fisiknya. Adapun kata “nafs” pada hak Allah dalam makna Dzat-Nya, artinya Hakekat-Nya; bukan dalam makna raga, tubuh atau fisik). Kata “Sâq” dalam makna “nafs” ini seperti perkataan sahabat Ali ibn Abi Thalib saat beliau memerangi kaum Khawarij:
لا بُدّ مِنْ مُحَاربَتهِمْ وَلوْ تَلفَتْ سَاقِي
[Artinya: “Saya pasti memerangi mereka (kaum Khawarij) sekalipun harus hancur raga (tubuh dan fisik) saya”].
Adapun kata “Sâq” dalam makna “nafs” pada hak Allah adalah dalam pengertian Dzat-Nya (Hakekat-Nya), dengan demikian maka makna ayat dalam QS. Al-Qalam: 42 di atas adalah bahwa kelak di hari kiamat Dzat Allah akan dilihat [oleh orang-orang mukmin penduduk surga dengan tanpa tempat, tanpa arah, dan tanpa disifati dengan sifat-sifat benda]. Dalam makna ini sesuai dengan sebuah hadits diriwayatkan dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah bersabda:
يُكْشَفُ لَهُم الْحجَابُ فَيَنظُروْن إلَى اللهِ عَزّ وجَلّ فَيَخِرُّوْن للهِ سُجّدًا ويَبْقَى أقْوَامٌ فِي ظُهُورهِمْ مِثْلُ صَياصي البَقَر يُريْدُوْن السّجُودَ فلا يَسْتطيْعُون، فذلكَ قوْلُه تَعالَى (يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إلَى السّجُوْد فلا يَسْتَطيْعُوْن)
[Artinya: “Nanti hijab akan dibuka bagi mereka, maka mereka akan melihat kepada Allah, maka mereka turun bersujud. Tersisa beberapa kaum yang di pundak mereka terdapat semacam punuk-punuk sapi, mereka hendak sujud namun mereka tidak mampu melakukannya. Peristiwa itulah yang dimaksud dengan firman Allah: “يوم يكشف عن ساق ويدعون إلى السجود فلا يستطيعون”, artinya: “Di hari itu akan diangkat segala kesulitan dan kesusahan yang sangat dahsyat, mereka diseru untuk sujud namun mereka tidak mampu melakukannya”].
Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim memahami kata “Sâq” dalam makna makna literalnya, ia berkeyakinan bahwa Allah memiliki betis, karena itulah ia mengatakan bahwa “Sâq” adalah bagian dari sifat Dzat-Nya. Pemahaman sesatnya ini sama persis dengan pemahamannya tentang makna “al-Qadam”, “القدم”, ia pahami secara literal, ia mengatakan bahwa Allah memiliki telapak kaki yang diletakan di dalam neraka. Dalam pemahaman sesatnya ini ia mengutip riwayat tidak benar bahwa menurutnya sahabat Abdullah ibn Mas’ud berkata: “Allah membuka betis kaki kanan-Nya hingga kemudian mengeluarkan sinar yang menerangi bumi”.
Aku (Ibnul Jawzi) katakan: “Pemahaman literal Abu Ya’la tentang makna “Sâq” dan makna “Qadam” ini murni merupakan keyakinan tasybîh (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Dan apa yang ia sebutkan dari perkataan sahabat Abdullah ibn Mas’ud adalah bohong besar dan sangat mustahil. Tidak boleh menetapkan suatu sifat bagi Allah dengan riwayat palsu semacam ini. Juga tidak boleh diyakini bahwa Dzat Allah sebagai sinar atau cahaya yang menerangi bumi [karena bila demikian maka apa bedanya dengan matahari, bulan, bintang dan lainnya yang notabene makhluk-Nya?!]. Adapun argumen Abu Ya’la yang mengatakan bahwa penyandaran kata “Sâq” kepada Allah memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki betis [artinya menurut Abu Ya’la teks ini tidak boleh ditakwil]; adalah pendapat bodoh yang tidak berdasar. Sesungguhnya dalam penggunaan bahasa jika dikatakan: “Kasyafa ‘An Syiddatih”, “كشف عن شدّته” maka maknanya sama saja dengan jika dikatakan: “Kasyafa ‘An Sâqih”, “كشف عن ساقه”. Orang-orang Musyabbih semacam Abu Ya’la ini tidak memahami penggunaan bahasa; ia memahami makna “Yaksyifu” “يكشف” dalam makna “Yazh-haru” “يظهر” [yang berarti “nampak”], padahal makna “يكشف” di sini adalah “Yuzîlu Wa Yar’fa” “يزيل ويرفع” ; artinya menghilangkan dan mengangkat.
Sementara Ibnu Hamid al-Mujassim berkata: “Wajib beriman bahwa Allah memiliki betis yang merupakan bagian dari Dzat-Nya, dan siapapun yang mengingkari kebenaran ini maka ia telah menjadi kafir”.
Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Seorang awam saja jika berkata-kata seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Hamid di atas sangatlah buruk, maka tentu lebih buruk lagi jika orang yang berkata demikian itu seorang yang dianggap berilmu. Sesungguhnya seorang yang memahami teks-teks semacam ini dengan takwil jauh lebih dapat ditoleransi dan dibenarkan, karena pada dasarnya seorang yang memberlakukan takwil telah mengembalikan pemahaman-pemahaman teks kepada dasar penggunaan bahasa, sementara mereka, orang-orang Musyabbih semacam Abu Ya’la dan Ibnu Hamid, menetapkan anggota-anggota badan bagi Allah, seperti pemahaman literal mereka terhadap makna “Sâq” dan makna “Qadam”. Pemahaman mereka semacam ini jelas berkesimpulan bahwa Allah sebagai benda yang memiliki bentuk”.
Ke Tujuh:
- Firman Allah:
ثُمّ اسْتَوَى عَلَى العَرْش (الأعراف: 54)، / ثُمّ اسْتَوَى عَلَى العَرْش (يونس: 3)، ثُمّ اسْتَوَى عَلَى العَرْش (الرعد: 2)، ثُمّ اسْتَوَى عَلَى العَرْش (الفرقان: 59)، ثُمّ اسْتَوَى عَلَى العَرْش (السجدة: 4)، ثُمّ اسْتَوَى عَلَى العَرْش (الحديد: 4)، الرّحْمنُ علَى العَرْش اسْتَوى (طه: 5)
Imam al-Khalil ibn Ahmad [ahli bahasa terkemuka; guru Imam Sibawaih] berkata: “Makna al-‘Arsy “العرش” adalah as-Sarîr “السرير”; artinya ranjang [atau singgasana]. Setiap ranjang atau singgasana yang ditempati oleh seorang raja secara bahasa disebut dengan arsy. Penggunaan kata “‘Arsy” dalam bahasa Arab sangat dikenal, baik di masa jahiliyah maupun setelah kedatangan Islam. Dalam al-Qur’an penggunaan kata arsy di antaranya dalam firman Allah:
وَرَفَعَ أبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْش وَخَرّوْا لَهُ سُجّدًا (يوسف: 100)
[Maknanya: “Dan Nabi Yusuf menaikan kedua ibu bapaknya (Nabi Ya’qub) ke atas arsy (singgasana), dan mereka semua turun baginya bersujud]” (QS. Yusuf: 100)
Juga dalam firman-Nya tentang perkataan Nabi Sulaiman:
قَالَ يَاأيّهَا الْمَلأ أيّكُمْ يَأتِيْنِي بعَرْشِهَا (النمل: 38)
[Maknanya: “Nabi Sulaiman berkata: Wahai pembesar-pembesar siapakah di antara kalian yang dapat mendatangkan arsy-nya kepadaku? (yang dimaksud mendatangkan singgasana Ratu Bilqis)]”. (QS. An-Naml: 38 ).
Ketahuilah, kata Istawâ “استوى” dalam bahasa Arab memiliki berbagai macam arti, di antaranya bermakna I’tadala “اعتدل”; artinya “sama sepadan”. Dalam makna ini sebagian kabilah Bani Tamim berkata:
فَاسْتَوَى ظَالِمُ العَشِيْرَةِ وَالْمَظْلُوْمُ
[Artinya “Menjadi sama antara orang yang zalim dari kaum tersebut dengan orang yang dizaliminya”. Kata Istawâ dalam bait sya’ir ini artinya “sama sepadan”].
Kata Istawâ dapat pula bermakna tamma “تمّ” ; artinya sempurna. Dalam makna ini seperti firman Allah tentang Nabi Musa:
وَلَمّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى ءَاتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا (القصص: 14)
[”Ketika dia (Nabi Musa) telah mencapai kekuatannya dan telah sempurna Kami (Allah) berikan kepadanya kenabian dan ilmu”]. (QS. Al-Qashash: 14).
Kata Istawâ dapat pula bermakna al-Qashd Ilâ asy-Syai’ “القصد إلى الشىء” artinya; bertujuan terhadap sesuatu. Dalam makna ini seperti firman Allah:
ثُمّ اسْتَوَى إلَى السّمَاء (فصلت: 11)
[Yang dimaksud Istawâ dalam ayat ini ialah qashada “قصد”, artinya bahwa Allah berkehendak (bertujuan) untuk menciptakan langit].
Kata Istawâ dapat pula dalam makna al-Istîlâ’ ‘Alâ asy-Syai’ “الاستيلاء على الشىء” artinya; menguasai terhadap sesuatu. Dalam makna ini sebagaimana perkataan seorang penyair:
إذَا مَا غَزَا قَوْمًا أبَاحَ حَرِيْمهُمْ وأضْحَى عَلى مَا مَلَكُوْهُ قَدِ اسْتَوَى
[Maknanya: “Apa bila ia memerangi suatu kaum maka ia mendapatkan kebolehan atas sesuatu yang terlarang dari mereka, dan jadilah ia terhadap apa yang mereka miliki telah menguasai”].
Isma’il bin Abi Khalid ath-Tha’i meriwayatkan bahwa arsy adalah yaqut yang berwarna merah. Para ulama Salaf memahami ayat ini sebagaimana datangnya [dalam teks-teks syari’at] tanpa memberlakukan tafsir dan takwil terhadapnya.
Sementara itu ada golongan yang datang belakangan (al-Muta’akhirîn) yang memahami ayat ini dalam makna indrawi [yaitu kaum Musyabbihah]. Di antara mereka ada yang menambahkan kata “Dzat” “ذات” ; mereka berkata: “Istawâ ‘Alâ ‘Arsyihi Bi Dzâtih” “استوى على عرشه بذاته” [ini ungkapan sesat hendak mengatakan bahwa Allah dengan Dzat-Nya bertempat di arsy]. Padahal tambahan kata tersebut dari mereka sendiri, karena tidak ada riwayat dari siapapun yang menyebutkan redaksi demikian. Tambahan redaksi ini tidak lain hanya datang dari pemahaman indrawi mereka, dalam hal ini mereka berkata: “al-Mustawî ‘Alâ asy-Syai’ Innamâ Yastawî Bi Dzâtih” “المستوي على الشىء إنما يستوي بذاته”. [Mereka memahami kata Istawâ hanya dalam makna bertempat dan bersemayam, karena itu dalam kesimpulan sesat mereka Allah bertempat dengan Dzat-Nya di atas arsy].
Ibnu Hamid al-Musyabbih berkata: “Pemahaman Istawâ di sini adalah bahwa Allah menempel (pada arsy), Istawâ ini adalah sifat Dzat-Nya, dan makna Istawâ di sini adalah duduk”.
Ibnu Hamid juga berkata: “Sebagian golongan dari para sahabat kami [orang-orang yang mengaku bermadzhab Hanbali] berpendapat bahwa Allah bertempat di arsy, namun Dia tidak memenuhi arsy. Dan bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy bersama-Nya”.
Ibnu Hamid juga berkata: “Pengertian an-Nuzûl [dalam hadits “ينزل ربّنا”] adalah berpindah [dari atas ke bawah]”.
Ini artinya dalam keyakinan sesat Ibnu Hamid bahwa Allah ketika turun maka Dzat-Nya menjadi jauh lebih kecil dari pada arsy [karena dalam riwayat sahih disebutkan bahwa besarnya langit dibanding arsy seperti kerikil dibanding padang yang luas]. Yang sangat mengherankan dari mereka dengan keyakinan rusak ini mereka berkata: “Kami bukan kaum Mujassimah (golongan yang mengatakan Allah sebagai benda)”.
Sementara Ibn az-Zaghuni al-Musyabbih pernah ditanya: “Apakah ada sifat Allah yang baharu sebelum Dia menciptakan arsy?” [Artinya; jika dikatakan Allah bertempat di arsy maka berarti sifat “bertempat” tersebut baharu karena Allah ada sebelum arsy], Ibn az-Zaghuni menjawab: “Tidak ada sifat Allah yang baharu. Allah menciptakan alam ini dari arah bawah-Nya, maka alam ini dari-Nya berada di arah bawah. Dengan demikian, jika telah tetap bahwa “arah bawah” bagi sesuatu selain Allah maka secara otomatis telah tetap bahwa “arah atas” sebagai arah bagi-Nya”.
Ibn az-Zaghuni juga berkata: “Telah tetap bahwa segala tempat itu bukan di dalam Dzat Allah, dan Dzat Allah juga bukan pada tempat. Dengan demikian maka sesungguhnya Allah terpisah dari alam ini. Dan ini semua mestilah memiliki permulaan hingga terjadi keterpisahan antara Allah dengan alam. Dan ketika Allah berfirman: “استوى” maka kita menjadi paham bahwa Dia berada di arah tersebut [bertempat di arsy]”.
Lalu Ibn az-Zaghuni juga berkata: “Dzat Allah pasti memiliki ujung dan penghabisan yang hanya Dia sendiri yang mengetahuinya”.
Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Orang ini tidak mengerti dengan segala apa yang ia ucapkannya sendiri. Padahal [akal sehat mengatakan] ketika ditetapkan adanya ukuran, ujung dan penghabisan serta jarak terpisah antara Allah dengan makhluk maka berarti orang itu telah berkeyakinan bahwa Allah sebagai benda. Benar, memang dia sendiri (Ibn az-Zaghuni) telah mengakui bahwa Allah sebagai benda (jism), karena dalam bukunya ia mengatakan bahwa Allah bukan jawhar (benda terkecil yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dilihat oleh mata) karena jawhar itu tidak memiliki tempat, sementara Allah –menurutnya– memiliki tempat; yang Dia berada pada tempat tersebut”.
Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Apa yang diungkapkan oleh Ibn az-Zaghuni [dan orang musyabbih semacamnya] menunjukan bahwa dia adalah seorang yang bodoh, dan bahwa dia seorang musyabbih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Si “syekh” ini benar-benar tidak mengetahui apa yang wajib pada hak Allah dan apa yang mustahil bagi-Nya. Sesungguhnya wujud Allah tidak seperti wujud segala jawhar dan segala benda; di mana setiap jawhar dan benda pastilah berada pada arah; bawah, atas, depan, [dan belakang], serta pastilah ia berada pada tempat. Lalu akal sehat mengatakan bahwa sesuatu yang bertempat itu bisa jadi lebih besar dari tempatnya itu sendiri, bisa jadi lebih kecil, atau bisa jadi sama besar, padahal keadaan semacam ini hanya berlaku pada benda saja. Kemudian sesuatu yang bertempat itu bisa jadi bersentuhan atau tidak bersentuhan dengan tempat itu sendiri, padahal sesuatu yang demikian ini pastilah dia itu baharu. Logika sehat menetapkan bahwa segala jawhar [dan benda] itu baharu; karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah. Jika mereka menetapkan sifat menempel dan terpisah ini bagi Allah maka berarti mereka menetapkan kebaharuan bagi-Nya. Tapi jika mereka tidak mengatakan bahwa Allah baharu maka dari segi manakah kita akan mengatakan bahwa segala jawhar (dan benda) itu baharu -selain dari segi sifat menempel dan terpisah-? [artinya dengan dasar keyakinan mereka berarti segala jawhar –dan benda– tersebut tidak baharu sebagaimana Allah tidak baharu]. Sesungguhnya bila Allah dibayangkan sebagai benda [seperti dalam keyakinan mereka] maka berarti Allah membutuhkan kepada tempat dan arah. [Oleh karena itu Allah tidak dapat diraih oleh segala akal dan pikiran, karena segala apapun yang terlintas dalam akal dan pikiran maka pastilah ia merupakan benda dan Allah tidak seperti demikian itu].
Kemudian kita katakan pula: “Sesungguhnya sesuatu yang bertempat itu adakalanya bersampingan dengan tempat tersebut (at-Tajâwur) dan adakalanya berjauhan dari tempat tersebut (at-Tabâyun); tentu dua perkara ini mustahil bagi Allah. Karena sesungguhnya at-tajawur dan at-tabayun adalah di antara sifat-sifat benda [dan Allah bukan benda].
Akal sehat kita juga menetapkan bahwa berkumpul (al-Ijtimâ’) dan berpisah (al-Iftirâq) adalah di antara tanda-tanda dari sesuatu yang bertempat. Sementara Allah tidak disifati dengan tanda-tanda kebendaan dan tidak disifati dengan bertempat, karena jika disifati dengan bertempat maka tidak lepas dari dua kemungkinan; bisa jadi berdiam pada tempat tersebut, atau bisa jadi bergerak dari tempat tersebut. Sesungguhnya Allah tidak disifati dengan dengan gerak (al-Harakah), diam (as-Sukûn), berkumpul (al-Ijtimâ’), dan berpisah (al-Iftirâq).
Kemudian pula; sesuatu yang bersampingan dengan tempat (at-Tajâwur) dan berjauhan dari tempat (at-Tabâyun) maka pastilah sesuatu tersebut sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Dan sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran maka mestilah ia membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan ukurannya tersebut.
Kemudian pula; tidak boleh dikatakan bagi Allah di dalam alam, juga tidak dikatakan di luar alam ini, karena pengertian di dalam (Dâkhil) dan di luar (Khârij) hanya berlaku bagi segala benda yang memiliki tempat dan arah. Pengertian di dalam (dâkhil) dan di luar (khârij) sama dengan gerak (al-harakah) dan diam (as-sukûn); semua itu adalah sifat-sifat benda yang khusus hanya tetap dan berlaku pada benda-benda”.
Adapun perkataan mereka: “Allah menciptakan segala tempat di luar diri-Nya”; ini berarti dalam keyakinan sesat mereka bahwa Allah terpisah dari tempat-tempat tersebut dan dari seluruh alam ini. Kita katakan kepada mereka: “Dzat Allah maha suci; Dzat Allah bukan benda, tidak dikatakan bagi-Nya; Dia menciptakan sesuatu [dari makhluk-Nya] di dalam Dzat-Nya, juga tidak dikatakan Dia menciptakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Dzat Allah tidak menyatu dengan sesuatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyatu dengan Dzat Allah”.
Sesungguhnya dasar keyakinan sesat mereka adalah karena mereka berangkat dari pemahaman indrawi tentang Allah [mereka berkeyakinan seakan Allah sebagai benda], karena itulah ada dari sebagian mereka berkata: “Mengapa Allah bertempat di arsy? Adalah karena arsy sebagai benda yang paling dekat dengan-Nya”.
Apa yang mereka ungkapkan ini adalah jelas kebodohan, karena sesungguhnya dekat dalam pengertian jarak –dalam pemahaman siapapun– hanya berlaku pada setiap benda. Lalu dengan dasar apa orang bodoh semacam ini mengatakan bahwa keyakinan sesatnya itu sebagai keyakinan madzhab Hanbali?? Sungguh kita [Ibnul Jawzi dan para ulama saleh bermadzhab Hanbali] merasa sangat dihinakan karena keyakinan bodoh ini disandarkan kepada madzhab kita.
Sebagian mereka; dalam menetapkan keyakinan rusak Allah bertempat di arsy mengambil dalil –dengan dasar pemahaman yang sesat– dari firman Allah:
إلَيْه يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطّيّبُ وَالعَمَلُ الصّالِحُ يَرْفَعُه (فاطر: 10)
Juga –dengan pemahaman yang sesat– dari firman Allah:
وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقِ عِبَادِهِ (الأنعام: 61)
Dari firman Allah QS. Fathir: 10 dan QS. al-An’am: 61 ini mereka menyimpulkan bahwa secara indrawi Allah berada di arah atas. Mereka lupa (tepatnya mereka tidak memiliki akal sehat) bahwa pengertian “fawq”, “فوق” dalam makna indrawi hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja. Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة”; “derajat yang tinggi”, padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “فلان فوق فلان”; artinya; “Derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B).
Kita katakan pula kepada mereka: “Dalam QS. al-An’am: 62 Allah berfirman: “فوق عباده”, kemudian dalam ayat lainnya; QS. al Hadid: 4, Allah berfirman: “وهو معكم”, jika kalian memahami ayat kedua ini dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui setiap orang dari kita [artinya dipahami dengan takwil “معيّة العلم”]; maka mengapa kalian menginkari musuh-musuh kalian (yaitu kaum Ahlussunnah) yang mengartikan “فوق” atau “استوى” dalam pengertian bahwa Allah maha menguasai [artinya dipahami dengan takwil “فوقية القهر والاستيلاء”]?”.
Baca juga: Penjelasan Hadits Jibril; Iman Kepada Allah
Lebih buruk lagi, sebagian kaum Musyabbihah tersebut berkata: “Allah bertempat di arsy dan memenuhi arsy tersebut, dan sangat mungkin bahwa Allah bersentuhan dengan arsy, sementara al-Kursy [yang berada di bawah arsy] adalah tempat kedua telapak kaki-Nya”. Na’ûdzu billâh.
Aku katakan: “Sifat bersentuhan itu hanya terjadi di antara dua benda. Sungguh, mereka kaum musyabbihah buruk itu tidak menyisakan sedikitpun dari sifat-sifat benda kecuali semua itu mereka sandangkan kepada Allah”.
____________________
[1] Kata “kun” secara literal berarti; “Jadilah”; bukan artinya Allah berkata-kata dengan huruf-huruf, suara, dan bahasa. Tetapi kata “kun” adalah untuk mengungkapkan bahwa segala apa yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi dengan cepat dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya.
[2] Pengertian “Dzat” pada hak Allah adalah “Hakekat”. Dzat Allah artinya Hakekat Allah; bukan dalam makna raga atau benda. Adapun makna “dzat” pada makhluk adalah bermakna “tubuh, benda, atau fisik”, seperti bila kita katakan “dzat manusia” maka yang dimaksud adalah tubuhnya, raganya, atau fisiknya. Dengan demikian berbeda makna antara penyebutan “Dzat Allah” dengan penyebutan “dzat manusia”.