Bergaul Yang Baik Dengan Sesama Manusia
Bergaul Dengan Manusia
Dalam Al-Qur’an Alláh Taála berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ (سورة الحجرات: 13)
“Wahai manusia! sungguh Kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal, sungguh orang yang paling mulia diantara kalian menurut Alláh Taála ialah orang yang paling bertaqwa, sungguh Alláh Taála maha mengetahui” (QS. Al-Hujurat 13).
Pondasi Dalam Bergaul Sesama Manusia
Pergaulan yang baik dengan sesama manusia adalah pergaulan yang sesuai dengan ajaran Islam. Metode dalam bergaul adalah bagian yang harus diperhatikan, tentu harus dibangun di atas pondasi baik yang sesuai tuntunan ajaran agama kita yang mulia. Pondasi terbesar yang harus kita pegang teguh dalam bergaul adalah bahwa ajaran agama kita berisi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Alláh Taála bagi makhluk-Nya untuk diikuti. Dan hanya agama Islam yang diridlai oleh Alláh Taála.
Dalam Al-Qur’an Alláh Taála berfirman:
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ (سورة ءال عمران: 19)
“Sesungguhnya agama yang Alláh Taála ridhai hanyalah agama Islam” (QS. Ali Imran. 19).
Dalam ayat lain Alláh Taála berfirman:
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ (سورة ءال عمران: 85)
“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam (untuk dipeluknya), maka tidak akan diterima agama itu darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi (celaka)” (QS. Ali Imran: 85)
Maka Islam adalah satu-satunya agama yang diridlai oleh Alláh Taála, di mana setiap orang dari kita diperintah oleh-Nya untuk memeluknya dan mengerjakan ajaran-ajaran di dalamnya. Dan dasar keyakinan dalam Islam adalah beriman kepada Alláh Taála, dengan mensucikan-Nya dari menyerupai sesuatu apapun dari ciptaan-Nya. Artinya, bahwa Alláh Taála tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya, baik dari satu segi ataupun semua segi, Alláh Taála bukan benda dan tidak diifati dengan sifat benda, dan Alláh Taála maha suci dari tempat dan arah.
Al-Imam as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i –semoga ridha Alláh Taála senantiasa tercurah baginya–, [perintis tarekat ar-Rifa’iyyah], berkata:
غَايَةِ المَعْرِفَةِ بِاللهِ الإِيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلَا كَيْفٍ وَلاَ مَكَان
“Puncak pengetahuan seorang hamba terhadap Alláh Taála adalah dengan menyakini secara pasti (tanpa ragu) tentang keberadaan Alláh Taála tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk dan ada tanpa tempat”.
Islam merupakan nikmat terbesar yang dikaruniakan oleh Alláh Taála kepada hamba-Nya yang Dia cintai, maka setiap orang muslim wajib menjaga Islam-Nya dari berbagai perkara yang dapat merusak dan membatalkannya, yaitu riddah. Riddah adalah memutuskan ke-Islaman dengan perkataan kufur, atau perbuatan kufur, atau keyakinan kufur. Karena itu ulama kita membagi riddah kepada tiga macam:
- Riddah (kufur) perkataan, seperti mencaci maki Alláh Taála, Rasúlulláh, Al-Qur’an, agama Islam, dan lainnya.
- Riddah (kufur) keyakinan, seperti orang yang meyakini bahwa Alláh Taála sebagai benda; cahaya atau lainnya, atau meyakini bahwa Alláh Taála duduk (bersemayam) di atas Arsy. Al-Imam asy-Syafi’i berkata:
مَنْ قَالَ أَوْ اعْتَقَدَ أَنّ اللهَ جَالِسٌ عَلَى العَرْشِ فَهُوَ كَافِرٌ
“Barangsiapa berkata atau meyakini bahwa Alláh Taála duduk (bersemayam) di atas Arsy, maka seorang yang kafir”.
- Riddah (kufur) pebuatan, seperti melemparkan Al-Qur’an ditempat yang menjijikan dengan sengaja, dan lainnya.
Seorang yang jatuh dalam Riddah maka wajib ia segera kembali ke dalam Islam, dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, dan meninggalkan apa yang menjadikanya jatuh kedalam kekufuran tersebut, juga wajib baginya untuk menyesali apa yang telah ia perbuat, serta bertekad kuat dalam hati untuk tidak kembali kepada kekufuran semacam itu.
Mencari Akhirat
Seorang yang oleh Alláh Taála beri dunia dengan segala isinya namun ia tidak beri karunia iman maka seakan orang tersebut tidak diberi karunia apapun oleh Alláh Taála. Sebaliknya, seorang yang diberi karunia iman oleh Alláh Taála meskipun tidak diberi dunia maka seakan ia telah diberikan segalannya oleh Alláh Taála.
Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, berkata: “Suatu ketika Rasúlulláh memegang pundakku, sambil bersabda:
كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِر السَّبِيْلِ (رواه البخاري)
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang yang asing (tidak untuk selamanya), atau seperti orang yang hanya lewat dalam dalam perjalanan” (HR. Bukhari). Dan ‘Abdullah ibn ‘Abbas berkata:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِر الصَّبَاح وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ المَسَاء وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ (رواه البخاري)
“Apabila engkau di sore hari maka janganlah engkau menunggu pagi, dan apabila engkau di pagi hari maka janganlah engkau menunggu sore, ambilah dari masa sehatmu apa yang tidak engkau dapat lakukan di masa sakitmu, ambilah dari saat hidupmu apa yang bermanfaat bagi setelah matimu”.
Baca juga: Kewajiban-Kewajiban Hati
Maksud dari perkataan sahabat Rasúlulláh di atas adalah; Janganlah engkau jadikan dunia seolah engkau akan tinggal selamanya dengan meletakan kecintaan terhadapnya di dalam hatimu. Janganlah engkau mencari dari dunia kecuali seperti apa yang dicari seorang yang asing ketika ia masuk di suatu daerah dan akan meninggalkannya. Janganlah pula engkau menyibukan diri dengan dunia kecuali seperti orang asing yang hendak pulang menuju keluarganya.
Maka hendaklah kita menjadikan dunia kita dan harta kita sebagai benteng dan perlindungan bagi agama kita, bukan sebaliknya. Sesungguhnya, dunia laksana hewan tunggangan, ketika kita menungganginya maka ia akan membawa kita, tetapi ketika kita yang ditunggangi olehnya maka ia akan membebanimu, dan bahkan membunuhmu. Hendaklah kita waspada, jangan sampai kita menjadikan dunia menempel di hati kita. Hendaklah kita selalu ingat sebuah hadits dari Rasúlulláh ini, beliau bersabda:
سَيَأْتِى يَوْمٌ عَلَى أُمَّتِي يُحِبُّوْنَ خَمْسَةً وَ يَنْسَوْنَ خَمْسَةً، يُحِبُّوْنَ الدُّنْيَا وَيَنْسَوْنَ الأَخِرَة، وَيُحَبُّوْنَ المَالَ وَيَنْسَوْنَ الحِسَابَ، وَيُحَبُّوْنَ الخَلْقَ وَيَنْسَوْنَ الخَالِقَ، وَيُحِبُّوْنَ المَعْصِيَة وَيَنْسَوْنَ التوْبَة، وَيُحِبُوْنَ القُصُوْرَ وَيَنْسَوْنَ القُبُوْرَ (رواه أبو نعيم)
“Akan datang suatu masa atas umatku, di mana mereka mencintai lima perkara dan melupakan lima perkara; mereka mencintai dunia dan lupa akan akhirat, mereka mencintai harta dan lupa akan hari perhitungan (hisab), mereka mencintai yang diciptakan dan lupa akan Sang Pencita (Alláh Taála), mereka mencintai maksiat dan lupa akan taubat, dan mereka mencintai istana dan melupakan kubur[1].
Kematian sangatlah dekat, umur seseorang di dunia sangatlah singkat, dan kelak di hari kiamat akan ada pertanggung jawaban atas setiap apa yang diperbuat. Dunia ini pembohong dan pengkhianat, ia tertawa kepada mereka yang mencintainya, maka orang yang berpaling darinya dialah yang akan selamat. Dunia laksana seekor ular yang licin ketika dipegang, racunnya sangat mematikan, kenikmatannya cepat sirna, dan hari-harinya berlalu seperti khayalan belaka.
Akhlak Dan Budi Pekerti Yang Baik
Alláh Taála berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ (سورة القلم: 4)
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad), benar-benar berbudi pekerti luhur” (QS. al-Qalam: 4).
Rasúlulláh bersabda:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُم خُلُقًا (رواه الترمذي)
“Seorang mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik dari mereka akhlaknya. (HR. Thirmidzi).
Di antara bentuk akhlak dan budi pekerti yang baik sesuai tuntunan Syari’at adalah bersabar ketika disakiti orang lain, berbuat baik kepada mereka yang mengakiti, dan tidak menyakiti orang lain. Ini yang dicontohkan oleh Rasúlulláh bagi umatnya, tidak menyakiti orang lain, memaafkan dan bersabar ketika disakiti.
Dalam sebuah hadits dikisahkan seorang bernama Juraij, seorang ahli ibadah di kalangan Bani Isra-il. Suatu hari ibunda Juraij memanggilnya, saat Juraij tengah asyik mengerjakan shalat. Mendengar panggilan ibunda yang dicintainya, Juraij dalam hatinya berkata: “Ya Allah.., manakah yang terbaik, apakah aku melanjutkan shalatku ini, ataukah aku menjawab panggilan ibuku?” Ternyata Juraij lebih memilih melanjutkan shalatnya. Ibunda Juraij kembali memanggilnya, namun hati Juraij tetap memilih melanjutkan shalatnya. Hal itu membuat ibunda Juraij marah, lalu ibunya pun berdoa: “Ya Allah.., jangan Engkau matikan Juraij sebelum Engkau perlihatkan kepadanya kecantikan seorang perempuan pelacur”. Demikian doa Ibunda Juraij. Setelah beberapa lama, semenjak peristiwa Juraij dan ibunya tersebut, dikisahkan di kalangan Bani Isra-il ada seorang perempuan pelacur, ia bersumpah di hadapan orang-orang Bani Isra-il, bahwa ia akan membuat fitnah keji terhadap Juraij, supaya mau berbuat zina dengan dirinya. Perempuan pelacur itu kemudian mendatangi Juraij, ia merayunya, terus merayu, namun ia tidak berhasil. Di saat yang sama, ada seorang penggembala yang biasa menggembalakan ternaknya di wilayah tempat ibadah Juraij. Perempuan pelacur tersebut, setelah diusir Juraij, ia mendatangi si-penggembala itu, lalu ia bersetubuh dengannya, hingga kemudian perempuan tersebut hamil. Setelah perempuan tersebut melahirkan maka orang-orang bertanya kepadanya, dari siapa ayah dari bayi yang telah ia lahirkan tersebut. Perempuan pelacur itu menjawab: “Bayi ini dari Juraij yang telah menyetubuhiku”. Maka berita dusta itu menyebar, hingga menimbulkan emosi banyak orang. Orang-orang Bani Isra-il saat itu marah besar terhadap Juraij. Kemudian mereka mendatangi Juraij, lalu menghancurkan tempat ibadahnya, mereka semua mencaci-maki Juraij dengan kata-kata kotor kepadanya. Menghadapi fitnah keji itu Juraij hanya terdiam. Kemudian beliau beranjak mengambil air wudhu, lalu shalat, dan berdoa. Setelah itu Juraij menepuk punggung bayi untuk meminta penjelasan di hadapan orang banyak perihal yang dituduhkan perempuan pelacur tersebut kepadanya, Juraij berkata: “Wahai bayi, siapakah ayahmu?”, secara ajaib bayi yang baru dilahirkan tersebut menjawab pertanyaan Juraij, dengan berkata: “Ayahku adalah si-penggembala”. Orang-orang Bani Isra-il terhenyak, mereka heran, sekaligus tekagum-kagum. Peristiwa luar biasa telah terjadi di hadapan mata mereka. Lalu mereka menyesali apa yang telah mereka perbuat terhadap Juraij, mereka bersimpuh di hadapannya memohon maaf. Mereka berkata: “Tempat ibadahmu akan kami bangun kembali dengan bangunan yang terbuat dari emas”. Namun Juraij menolak, dan berkata: “Bangunlah kembali sebagaimana semula, terbuat dari tanah”[2].
Dalam hadits lain Rasúlulláh bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ مَنْ غَلَبَ النَّاسَ وَلَكِن الشَّدِيْد مَنْ غَلَبَ نَفْسَهُ (رواه ابن حبان)
“Seorang yang kuat bukanlah mereka yang dapat mengalahkan orang lain dengan kekuatannya, tetapi seorang yang kuat adalah yang menundukan hawa nafsunya”. (HR. Ibnu Hibban).
Maka tidak ada akhlak yang lebih mulia selain akhlak yang dicontohkan oleh Rasúlulláh. Membiasakan dari mengendalikan hawa nafsu ketika marah atau ketika disakiti orang lain adalah jalan menuju ketinggian derajat di akhirat kelak, karena seorang yang menahan dirinya ketika marah maka ia telah menyelamatkan dirinya dari berbagai macam marabahaya yang dapat merugikan dirinya sendiri. Sesungguhnya, ada sekelompok orang yang berakhlak mulia -walaupun mereka tidak mengerjakan shalat sunnah dan puasa sunnah-, namun di akhirat derajat mereka sama dengan derajat orang-orang yang rajin melakukan shalat sunnah dan puasa sunnah namun tidak memiliki akhlak mulia.
Seorang yang mengerjakan seluruh kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan di atas dasar ilmu adalah seorang mukmin pilihan, walaupun seandainya ia banyak meninggalkan perkara-perkara sunnah, karena amal sedikit yang dibarengi dengan ilmu jauh lebih baik dari amal yang banyak tapi dikerjakan di atas dasar kebodohan.
Jangan Cari Aib Saudaramu
Di antara bentuk akhlak dan budi pekerti yang baik adalah tidak mencari-cari aib orang lain. Tidak mencari-cari dan menyebutkan aib orang lain kecuali ada sebab yang diperbolehkan oleh syariat. Setiap orang dari kita memiliki aib, dan setiap orang dari kita diperintah untuk menutupi aib saudaranya itu.
Baca juga: Cara Berbakti Kepada Kedua Orang Tua Yang Sudah Meninggal Dunia
Rasúlulláh bersabda:
مَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ عَوْرَةً فَكَأَنّمَا أحْيَا مَوْؤُوْدَةً (روَاهُ أحمَدُ)
“Orang yang menutupi aib seorang muslim maka seolah-olah dia telah menyelamatkan seorang bayi perempuan yang akan dikubur hidup-hidup” (HR. Ahmad).
Al-Qur’an menekankan kepada kita untuk melawan hawa nafsu, oleh karena hawa nafsu itu mengarahkan kepada kecintaan terhadap syahwat, seperti syahwat makan, syahwat minum dan lainnya, juga mengarahkan kepada harapan meraih pujian dari orang lain; di mana hal ini merupakan sifat tercela, dan dapat membahayakan agama orang itu sendiri.
Rendah Hati Di Hadapan Manusia
Tawadhu adalah meninggalkan dari merasa lebih utama dan mulia dibanding orang lain. Dalam sebuah hadits dikisahkan bagaimana Rasúlulláh bersikap tawadhu, beliau menggendong Umamah cucunya dengan penuh kasih sayang, inilah bentuk tawadhu Rasúlulláh terhadap makhluk Allah, di mana ini juga merupakan sifat seluruh para Nabi meskipun mereka semua memiliki derajat yang tinggi menurut Alláh Taála, Rasúlulláh yang memeras susu dengan tangannya sendiri, membenarkan sandalnya ketika rusak dengan tangannya sendiri, menjahit baju dengan tangannya sendiri, dan melakukan berbagai pekerjaan rumah lainnya dengan tangannya sendiri yang mulia.
Ketika Aisyah ditanya tentang apa yang dikerjakan oleh Rasúlulláh ketika dalam rumahnya, Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya, dan ketika datang waktu shalat beliau pergi menunaikannya”.
Dari sebelum diangkat menjadi Nabi, Rasúlulláh hidup penuh dengan kerendahan hati, berkhidmah dengan penuh lemah lembut dan kasih sayang dalam mengurus manusia, -di mana demikian itulah sifat seluruh para Nabi-, mudah bergaul dengan siapapun, senantiasa berusaha dalam memikirkan maslahat banyak orang.
Bahkan Rasúlulláh memohon kepada Alláh Taálaagar hidup di dunia bersama orang-orang rendah hati, dan memohon dibangkitkan di hari kiamat kelak bersama orang-orang yang rendah hati, serta dikumpulkan bersama orang-orang yang rendah hati.
Rasúlulláh menerima hadiah namun tidak memakan harta zakat, menjenguk orang yang sakit, memenuhi panggilan semua orang; yang kaya maupun miskin, orang terpandang atau orang biasa, tidak pernah menghina seorang mukmin, tidak membiarkan orang lain jalan di belakangnya, ketika memerintah dibarengi dengan kelembutan. Rasúlulláh adalah teladan sempurna, mengajarkan kepada kita untuk selalu memaafkan dan berakhlak baik dengan orang lain.
Sombong merupakan sifat tercela; baik dalam pandangan orang muslim dan non muslim. Seluruh Nabi yang diutus oleh Alláh Taálaketika menyeru kaumnya untuk memeluk agama Islam tidak dengan jalan sombong, karena jika dengan jalan sombong maka setiap orang akan lari dari dakwah mereka, karena sombong adalah menolak kebenaran, sementara kebenaran ada pada diri para Nabi, maka seorang yang menyampaikan kebenaran bukanlah seorang yang berpilaku sombong, karena sifat sombong dan membanggkang merupakan sifat orang-orang kafir.
Suatu ketika al-Imam Ahmad ar-Rifa’i berjalan bersama sebagian muridnya, tiba-tiba ada seorang Yahudi yang sebelumnya telah mendengar bahwa al-Imam Ahmad adalah seorang yang sangat rendah hati; menghadap kepadanya. Orang Yahudi ini hendak menguji al-Imam Ahmad, apakah beliau seperti dikatakan banyak orang dalam sifat tawadlunya tersebut atau tidak. Orang Yahudi tersebut berkata: “Wahai Sayyid, manakah yang lebih mulia, anda atau anjing?”, Al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dengan lemah lembut menjawab: “Seandainya aku selamat melawati jembatan yang dibentang di atas Jahnnam (shirat) kelak maka aku lebih mulia dari anjing”. Orang Yahudi tersebut terkesan dengan jawaban al-Imam Ahmad, hingga akhirnya ia masuk Islam beserta dengan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Seandainya al-Imam Ahmad bukan seorang yang lemah lembut dan rendah hati maka mungkin orang Yahudi tersebut masuk kedalam agama Islam. Seandainya beliau marah, atau balik menghina orang Yahudi tersebut maka ia tidak akan tertarik untuk masuk Islam. Yahudi tersebut kagum terhadap al-Imam ar-Rifa’i yang sangat rendah hati, hingga akhirnya ia mengakui bahwa agama Imam ar-Rifa’i adalah benar.
Kemudian di antara bentuk rendah hati dan sikap tawadlu adalah meninggalkan pendapat sendiri dan mengedapankan pendapat saudaranya sesama muslim bila itu dalam kebaikan. Dalam sebuah hadits Rasúlulláh bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الجَنّةِ، أَهْلُ الجَنَّةِ كُل هَيِّنٌ لَيِّن سَهْلٌ قَرِيْبٌ (رواه أحمد)
“Aku kabarkan kepada kalian tentang penduduk surga, penduduk surga adalah mereka yang rendah hati, lemah lembut, mudah dalam bergaul” (HR. Ahmad).
Maka hendaklah kita saling rendah hati sesama muslim, dan melawan hawa nafsu diri sendiri, karena nafsu hanya akan menyeret dalam ketinggian dan kecongkakan di hadapan manusia.
Sementara dengan rendah hati seseorang dapat meraih derajat yang tinggi, oleh karena sifat rendah hati juga mewariskan sifat lemah lembut, dan keduanya saling melengkapi.
Memperlakukan saudara kita sesama muslim dengan rendah hati, lemah lembut, dan memaafkan dari kesalahan sangat dituntut dalam pergaulan, karena dengan lemah lembut dapat mencairkan masalah yang keras, melahirkan rasa saling kecocokan dan saling melengkapi sesama muslim (tathawu’), tidak merasa lebih tinggi dari orang lain, mengedepankan pendapat saudaranya atas pendapat dirinya sendiri, menilai bahwa pendapat saudaranya tersebut lebih baik dari pendapat dirinya, dan bila mendapati pendapat saudaranya salah maka ia peringatkan dengan lemah lembut.
Seorang muslim hendaklah patuh dan tunduk kepada saudaranya, kecuali dalam kemaksiatan. Hendaklah ia melawan hawa nafsunya dengan rendah hati di hadapan saudaranya. Sifat seperti inilah yang dicontohkan oleh Rasúlulláh, baik terhadap orang yang lebih tua atau yang yang masih muda, kaya atau miskin, bahkan seorang suami terhadap istrinya.
contohnya ketika di dalam rumah seorang suami hendaknya mengerjakan apa yang biasa dilakukan oleh istrinya, di mana hal itu lebih baik dari pada menunggu istrinya. Sungguh, rendah hati itu melahirkan rasa saling tathawu’.
Lihatlah, bagaimana Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib sangat patuh dan tunduk di bawah pasukan Khalid ibn al-Walid saat berperang melawan orang-orang murtad, padahal dari segi kedudukan ‘Ali ibn Thalib jauh lebih tinggi dari Khalid. Sikap semacam inilah yang akan mengangkat seseorang kepada derajat yang tinggi, oleh karena orang yang tidak rendah hati maka tidak akan dapat meraih derajat yang tinggi.
Jangan Mudah Marah
Dari sahabat Abu Hurairah, diriwayatkan seorang sahabat berkata kepada Rasúlulláh: “Wahai Rasúlulláh, berilah aku wasiat”, Rasúlulláh berkata: “Janganlah marah”, Rasúlulláh mengulanginya beberapa kali, mengatakan: “Janganlah marah”[3].
Kemudian, ada orang lain yang datang kepada Rasúlulláh, bertanya: “Sebutkan hal yang dapat menyelamatkanku dari murka Allah?, Rasul menjawab: “Janganlah marah”.
Makna hadits ini menjelaskan bahwa barangsiapa yang ingin selamat dari murka Alláh Taálamaka hendaklah ia menjauhi amarah. Sebab dengan meninggalkan amarah berarti seseorang telah menyelamatkan agamanya, karena sesungguhnya tidak sedikit orang terjerumus dalam kehancuran disebabkan karena amarah.
Perkara yang dapat menolong seseorang dalam meninggalkan amarah adalah dengan meyakini bahwa segala sesuatu terjadi dengan ciptaan Allah. Seluruh alam ini; segala benda dengan segala sifat-sifatnya, manusia dan lainya semua itu memiliki permulaan, terjadi dengan kehendak dan ciptaan Allah.
Perkara lainnya yang juga dapat meredam amarah adalah dengan memperbanyak mengucapkan La Ilaaha Illalah (Tahlil).
Amarah yang tidak terkendali salah satu penyebab kerugian di dunia, dan bahkan hingga akhirat. Di dunia, amarah dapat menyebabkan terputusnya tali silaturahim sesama kerabat, memicu pertengkaran sesama sahabat, memicu perdebatan antara suami istri, dan berbagai kerugian lainnya. Sementara di akhirat amarah dapat menjadi penyebab mendapatkan siksa yang pedih, karena ketika seseorang marah terhadap orang lain adakalanya ia mencacinya, memukulnya, hingga membuat tipu daya untuk dapat mencelakainya; yang itu semua di akhirat nanti ada pertanggungjawabannya. Dan di antara musibah terbesar yang disebabkan amarah adalah adanya kemungkinan terjatuh kepada kekufuran, sehingga mengeluarkannya dari agama Islam.
Ada suatu kaum yang benama kaum Aad. Mereka dikenal secara fisik orang-orang yang kuat, memiliki tubuh yang tinggi, tenaga besar, hanya saja kebanyakan dari mereka tidak mau beriman terhadap Nabi yang diutus kepada mereka. Di antara meraka yang masuk Islam adalah seorang bernama Himar Bin Malik. Empat puluh tahun Himar dalam Islam, dan ia merupakan seorang pemimpin suatu daerah.
Suatu waktu Alláh Taálamenurunkan musibah kepadanya. Ketika Himar dengan anak-anaknya pergi memancing, Alláh Taálamengirim petir kepada mereka sehingga membunuh semua anak-anaknya tersebut. Himar yang semula sebagai seorang muslim hingga empat puluh tahun lamanya terjatuh kedalam kekufuran dengan hanya berkata: “Aku tidak akan lagi menyembah Allah, karena Dia telah membunuh seluruh anak-anakku”.
Kisah lainnya, disebutkan bahwa di suatu daerah ada seorang pengusa kafir yang sangat jahat. Jika ada seorang asing beragama Islam lewat di wilayahnya maka ia akan berkata kepadanya: “Keluar engkau dari Islam atau aku bunuh?”. Kemudian Alláh Taálamengirim api kepadanya dari bawah lembah yang membakar seluruh wilayah yang ada di wilayah lembah tersebut; pepohonan, bintang, bahkan manusia dan lainnya.
Sungguh, tidak ada suatu apapun yang dapat memberikan manfaat bagi seseorang ketika ia telah terjatuh dalam kekufuran, kecuali kerugian besar di dunia dan siksaan di akhirat.
Upaya terbaik bagi seseorang untuk dapat meninggalkan amarah adalah dengan senantiasa mengingat akan adanya pertanggung jawaban (peristiwa hisab) yang akan dilalui di akhirat kelak; dari setiap perkataan dan perbuatan yang telah ia dilakukan di dunia ini. Setiap orang dari kita kelak akan diperlihatkan kepadanya setiap perbuatan yang telah ia kerjakan ketika di dunia ini, dan setiap orang dari kita tidak ada siapapun yang tahu bagaimana keadaannya nanti di sana.
Hendaklah setiap orang dari kita senantiasa ingat bahwa setiap perkataan itu dicatat oleh para Malaikat. Dan hasil itu semua akan diperlihatkan kepada setiap orang dari kita di hari kiamat kelak.
Dengan demikian semoga kita dapat menahan diri dari berkata-kata buruk, dan tidak terjatuh luapan amarah. Ingat, bahwa di antara perangai seorang mukmin yang sempurna dalam imannya adalah seorang yang senantiasa menyimpan dan mengendalikan amarahnya, dan cepat memaafkan dari kesalahan orang lain.
Dikisahkan, ada seorang laki-laki bernama Jabalah ibn al-Aiham. Ia seorang raja di masa Khalifah ‘Umar ibn al-Khatthab. Ketika Jabalah ini sedang tawaf, ia merasa terganggu oleh seseorang hingga ia marah dan memukul orang tersebut. Orang ini kemudian mengadu dan melaporkan peristiwa tersebut kepada Khalifah ‘Umar. Lalu ‘Umar memerintahkan orang tersebut untuk mengambil haknya dari Jabalah atas apa yang telah dilakukan olehnya terhadap dirinya. Namun Jabalah marah besar, ia berkata: “Bagaimana ‘Umar bisa berkata demikian? Aku seorang raja dan dia rakyat jelata!”. Hingga akhirnya Jabalah jatuh dalam kekufuran, keluar dari Islam, dan lalu ia kabur menghindar.
Lihat, wahai sahabatku, karena sebab amarah Jabalah, sang raja, telah jatuh dalam kekufuran. Sungguh, tidak sedikit orang-orang yang jatuh dalam kekufuran karena luapan amarah; lalu mencaci-maki Allah, mencaci ajaran-ajaran Islam, seperti shalat dan lainnya. Bahkan tidak sedikit pula yang karena amarah maka ia membunuh saudaranya dengan sangat zalim, memutus tali persaudaraannya, dan berbagai kerusakan lainnya.
Juga dikisahkan ada seorang penjahit yang menjahit baju al-Imam asy-Syafi’i. Si-penjahit ini dengan sengaja menjadikan lubang dua tangan baju al-Imam asy-Syafi’ sangat berbeda, yang satu sangat lebar dan yang lainnya sangat sempit. Tujuan penjahit itu adalah untuk menguji al-Imam asy-Syafi’i dalam perangai dan akhlaknya. Ketika baju tersebut selesai dijahit, dan diserahkan kepada al-Imam asy-Syafi’i, ternyata beliau tidak mencacinya sedikitpun, tidak pula komplain atau memarahinya, sebaliknya beliau berkata dengan nada terima kasih: “Aku akan letakan di bagian yang lebar ini kitabku, dan di bagian yang sempit ini pulpenku”.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata: “Barangsiapa mempelajari Al-Qur’an maka akan bertambah kehormatannya, barangsiapa mempelajari hadits maka akan bertambah hujjah-nya, dan barangsiapa mempelajari adab maka akan semakin lembut tingkah lakunya”.
Menghindari Perdebatan
Dalam Al-Qur’an Alláh Taála berfirman:
وَكَانَ ٱلۡإِنسَٰنُ أَكۡثَرَ شَيۡءٖ جَدَلٗا (سورة الكهف: 54)
“Dan adalah manusia itu paling banyak membantah” (QS. Al-Kahfi).
Ayat ini menjelaskan bahwa umumnya manusia itu banyak membuat perdebatan dalam maslaah-masalah yang tidak ada manfaatnya.
Kemudian, Rasúlulláh menjelaskan dalam sabdanya:
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبضِ الجَنّةِ لِمَن تَرَكَ المِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقّا (رواه أبو داود)
“Aku memberi jaminan bahwa akan mendapatkan suatu rumah di surga bagi orang yang meninggalkan al-mira’, sekalipun ia seorang yang dalam kebenaran” (HR. Abu Dawud).
Al-Mira’ yang dimaksud dalam hadits ini adalah perdebatan yang tidak ada manfaatnya; yang bertujuan membenarkan suatu yang batil dan atau membatilkan suatu yang benar dengan bertujuan angkuh di hadapan pandangan orang lain.
Ini adalah sikap tercela yang tidak disukai Alláh Taála. Hendaklah kitab pahami, bahwa al-mira’ semacam itu dapat menyebabkan kepada beberapa perkara, di antaranya: [1]. Menimbulkan penyakit hati yang merusak pergaulannya dengan sesamanya, [2]. Memicu perdebatan. [3]. Merusak persahabatan yang telah dibangun. [4]. Memecah tali silaturahim. [4]. Terjatuh dalam ucapan yang tidak mengandung manfaat, bahkan terjatuh dalam perbuatan maksiat.
Hendaklah kita senantiasa ingat, bahwa di antara tanda-tanda keteguhan seseorang dalam imannya adalah bila ia meninggalkan perkataan-perkataan yang tidak ada manfaat di dalamnya. Juga senantiasa ingat bahwa di antara apa yang dicatatakan dalam suhuf Nabi Ibrahim adalah: “Hendaklah seorang manusia menjaga lidahnya dari mengucapkan perkataan yang tidak ada manfaat di dalamnya, dan hendaklah ia hanya mengucapkan kata-kata yang bermanfaat bagi agamanya”.
Lemah Lembut Dan Memaafkan
Dalam Al-Qur’an Alláh Taála berfirman:
مُّحَمَّدٞ رَّسُولُ ٱللَّهِۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡۖ (سورة الفتح: 29)
“Muhammad adalah utusan Alláh Taáladan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi mereka berkasih sayang sesama mereka” (QS. Al-Fath: 29).
Rasúlulláh merupakan teladan bagi kita dalam mempraktikan sikap kasih sayang dan lemah lembut antar sesama kita, seperti yang sebutkan dalam ayat di atas. Demikian pula para sahabat Rasúlulláh juga merupakan teladan bagi seluruh umat Islam dalam sikap berkasih sayang terhadap sesama mukmin lainnya.
Rasúlulláh orang yang sangat dekat dengan orang-orang miskin dan sangat mencintai mereka, sebagaimana prihal ini telah diwasiatkan oleh Rasúlulláh kepada sahabat Abu Dzarr al-Ghifari, ia berkata: “Telah berwasiat kepadaku kekasihku (Rasúlulláh) dengan satu sifat terbaik, beliau berwasiat untuk mencintai orang-orang miskin dan senantiasa dekat dengan mereka”.
Di antara bentuk kasih sayang Rasúlulláh kepada orang-orang mukmin; beliau mencari kabar tentang para sahabatnya ketika beliau tidak melihatnya. Bahkan suatu waktu sampai berita kepada beliau tentang kematian seorang mukmin yang terasing dari keluarganya dan juga seorang yang fakir, para sahabatnya menguburkannya tanpa sepengetahuan Rasúlulláh, maka Rasúlulláh mendatangi makamnya dan menshalatkannya di atas makamnya.
Maka sesungguhnya, di antara perkara pokok yang sangat mendasar agar kita diterima oleh semua kalangan adalah bergaul dengan sifat lembut, sabar, dan memaafkan atas kesalahan sesama. Maka ketika seseorang telah nyaman di hatinya dan senang bergaul dengan kita maka akan sangat mudah bagi mereka untuk mendengar apa yang kita ucapkan.
Bersyukur Atas Nikmat Alláh Taála
Dari sahabat Abu Hurairah, berkata: “Rasúlulláh pernah bercerita prihal tiga orang dari kalangan Bani Isra-il; seorang dari mereka penderita lepra, yang ke dua seorang yang berkepala botak tidak memiliki rambut, dan ke tiga adalah seorang yang buta. Kepada ketiga orang tersebut Alláh Taálamemberikan ujian dengan mengutus Malaikat-Nya dalam wujud manusia.
Malaikat mendatangi orang pertama; pengidap penyakit lepra, atau semacam kudis akut, kepadanya Malaikat bertanya: “Apa yang paling engkau inginkan?” Ia menjawab: “Penampilan yang bagus, kulit yang mulus, dan lenyapnya penyakit yang menjijikkan banyak orang ini dari diriku”. Maka diusaplah tubuh orang itu oleh Malaikat tersebut, dan seketika itu pula penyakitnya lenyap tanpa bekas. Keinginan orang tersebut terkabul, dan kini ia memiliki penamilan yang menarik dengan kulit tubuh yang indah. Lalu Malaikat bertanya kepadanya: “Model harta benda apa yang paling engkau inginkan?”, Ia menjawab: “Unta”, maka Malaikat tersebut memberinya seekor unta yang tengah hamil. Kemudian Malaikat itu berdoa baginya: “Semoga Alláh Taálamelimpahkan keberkahan bagimu dengan unta ini”.
Lalu Malaikat yang menyerupai manusia tersebut mendatangi orang ke dua, seorang yang berkepala botak, ia tidak memiliki rambut lantaran suatu penyakit yang telah menimpanya. Orang ini menerima pernyataan yang sama dengan orang pertama dari Malaikat: “Apa yang paling engkau inginkan?”, Ia menjawab: “Rambut yang bagus, dan hilangnya penyakit yang menjijikkan banyak orang ini dari diriku”. Lalu Malaikat itu mengusap kepalanya, dan seketika itu pula hilanglah penyakitnya. Rambut yang sangat ia inginkanpun telah terkabulkan. Malaikat lantas bertanya lagi, “Model harta apa yang paling engkau senangi?”, Ia menjawab: “Sapi,”, maka Malaikat tersebut memberinya seekor sapi hamil, sambil berdoa: “Semoga Alláh Taálamelimpahkan berkah bagimu dengan sapi ini”.
Kemudian Malaikat tersebut mendatangi orang ke tiga, seorang yang buta, tidak dapat melihat apapun. Lalu terjadi percakapan serupa antara Malaikat dan orang tersebut; “Apa yang paling engkau inginkan?” Orang buta tersebut menjawab: “Semoga Alláh Taálaberkenan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang lain”. Maka diusaplah wajah lelaki buta itu oleh Malaikat, dan dalam sekejap Alláh Taálatelah mengembalikan fungsi penglihatannya. Malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Model harta apakah yang paling engkau senangi?”, Ia menjawab: “Kambing”, maka Malaikat tersebut memberinya seekor kambing yang hampir beranak.
Kemudian, setelah beberpa lama, unta, sapi, dan kambing pemberian Malaikat itu telah beranak pinak. Setiap orang dari mereka telah merawat binatang ternaknya dengan sangat baik, hingga beranak pinak dalam jumlah yang sangat besar. Mereka semua menjadi kaya raya. Bahkan setiap orang dari mereka jumlah ternaknya telah memenuhi satu lembah dari hewan ternak mereka masing-masing.
Cerita Rasúlulláh tentang tiga orang dari Bani Israil ini tidak sampai di sini, karena Kemudian Alláh Taálamemerintah Malaikat-Nya untuk mendatangi masing-masing orang dari mereka. Hanya saja pada kali ini Malaikat tersebut tampil dalam wujud sebagai seorang yang sangat menderita. Terhadap orang pertama Malaikat berkata: “Aku ini seorang yang sangat miskin, tidak memiliki biaya sedikitpun untuk melanjutkan perjalananku ini, dan aku memohon pertolongan kepada Allah, kemudian aku memohon pertolongan kepadamu, demi Alláh Taálayang telah memberimu penampilan yang menarik, kulit yang mulus, dan memberimu harta kekayaan ini; aku minta kepadamu hanya seekor unta saja dari unta-untamu ini untuk aku jadikan bekal dalam perjalananku”. Namun orang pertama, mantan pengidap lepra itu menjawab: “Tanggunganku masih terlalu banyak”. Lalu Malaikat berkata: “Sepertinya aku pernah mengenal dirimu, bukankah engkau seorang yang dulu menderita lepra, hingga dijauhi oleh banyak orang, dan dahulu engkau seorang fakir, lalu Alláh Taálamenyembuhkan dirimu dan memberimu karunia harta yang banyak ini?” Mantan pengidah lepra itu menjawab: “Tidak, kekayaan ini telah aku peroleh secara turun temurun dari leluhurku”. Lalu Malaikat berkata: “Jika engkau berdusta maka Alláh Taálaakan mengembalikan keadaanmu seperti semula”.
Kemudian Malaikat mendatangi orang ke dua, yaitu seorang yang semula berkepala botak. Malaikat berdialog dengannya, lalu meminta tolong darinya, tetapi orang kedua ini menolak mentah-mentah permohonan Malaikat tersebut. Lalu malaikat berkata: “Jika engkau berdusta, maka Alláh Taálaakan mengembalikan keadaanmu seperti semula”.
Kemudian Malaikat tersebut mendatangi orang yang ke tiga, yaitu seorang yang semula bermata buta. Malaikat berkata kepadanya: “Aku ini seorang yang sangat miskin, aku tidak memiliki perkerjaan, aku tidak dapat biaya untuk melanjutkan perjalananku ini, kecuali atas pertolongan Allah, lalu pertolongan darimu, maka demi Dzat yang telah mengembalikan penglihatanmu, aku minta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku”, Orang ke tiga ini menjawab: “Benar, sungguh aku semula seorang yang buta, lalu Alláh Taálamengembalikan penglihatanku, ambillah kambing-kambing itu sesukamu, dan tinggalkan apa yang tidak engkau sukai, demi Alláh Taálaaku tidak akan mempersulitmu terhadap sesuatu yang engkau ambil karena Allah”.
Di akhir cerita, kepada orang ke tiga, yaitu seorang yang semula buta, Malaikat berkata: “Peganglah kekayaanmu, karena sesungguhnya kalian ini hanya diuji oleh Alláh Taála, dan Alláh Taálatelah ridha kepadamu, dan murka kepada kedua saudaramu”. (HR. al-Bukhari).
Mulutmu Harimaumu
Rasúlulláh ketika berbicara itu sangat jelas dan sangat dipaham, namun demikian jika beliau diminta untuk mengulanginya maka beliau mengulainya.
Dari sahabat Jabir Ibn Samurah, berkata: “Rasúlulláh adalah seorang yang banyak diam, tidak banyak tertawa, dan sesungguhnya tertawa Rasúlulláh adalah senyuman”. (HR. al-Baihaqi).
Maka barangsiapa mencintai Rasúlulláh dan meneladaninya hendaknya ia memperbanyak diam, karena dengan banyak bicara seseorang akan terjerumus dalam kerugian besar.
Ketika seseorang banyak berbicara maka akan banyak pula salahnya, dan kesalahan itu adakalanya sebagai suatu maksiat atau bisa jadi suatu kekufuran, maka dengan memperbanyak diam ia telah menyelamatkan diri dari kemungkinan jatuh dalam keduanya.
Prihal sifat Rasúlulláh dalam sebuah hadits disebutkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عليه وسلم طَوِيْلُ الصَّمْتِ قَلِيْلُ الضَحِكِ كَانَ ضَحِكُهُ تَبَسُّمًا
“Rasúlulláh adalah seorang yang banyak diam, sedikit tertawa, dan tertawanya beliau adalah senyuman”.
Para ulama berkata dengan dasar hadits ini bahwa seorang yang banyak bicara yang bukan dalam kebaikan dan seorang yang banyak tertawa maka orang tersebut akan hilang wibawanya, dan keras pada hatinya.
Baca buku: Mengenal Tasawuf Rasulullah
Terkadang kita butuh tertawa dengan rekan-rekan untuk mencairkan suasana, namun demikian tetap harus menjaga kehati-hatian.
Sedikit berbicara, -kecuali dalam kebaikan-, adalah sesuatu yang diperintahkan dalam ajaran agama kita, karena demikian itu dapat menolong seseorang dalam urusan agamanya, artinya dengan demikian ia mendapat kebaikan, oleh karena syaitan itu sangat tidak suka terhadap seseorang yang banyak diam, dan sangat senang terhadap orang yang banyak bicara; karena dengan banyak bicara syaitan berusaha untuk menjatuhkannya dalam kesalahan dan maksiat.
Seorang yang banyak bicara, – bukan dalam kata-kata yang baik-, seandainya tidak terjatuh dalam maksiat, setidaknya dengan demikian ia hanya akan membuang waktunya dengan sia-sia, dan lebih parahnya ada sebagian orang jatuh dalam kufur karena sebab banyak bicara, dan bisa jadi ia tidak menyadari hal itu.
Dengan demikian, maka hendaknya seseorang mempergunakan lidahnya hanya untuk mengucapkan kata-kata yang baik, kata-kata yang layak dan sesuai dengan keadaan dirinya, dipenuhi dengan akhlak dan kelembutan, bisa meberikan mafaat, dan tentunya itu semua harus didasari dengan niat yang ikhlas.
Tidak semestinya kita membuang waktu berharga dalam sibuk dengan perkataan yang tidak ada manfaatnya. Rasúlulláh bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النًّاسِ: الصِّحَةُ وَالفَرَاغُ (رواه البخاري)
“Ada dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh banyak orang, yaitu sehat dan waktu luang” (HR. Bukhari).
Sebagian ulama shufi berkata: “Waktu adalah di antara perkara yang sangat berharga dari seseorang, maka hendaklah ia mempergunakannya hanya dalam sesuatu yang paling berharga pula, yaitu dalam ibadah kepada Allah”.
Sebagian ulama lainnya berkata: “Waktu luang itu laksana pedang, jika engkau tidak mengaturnya dan menggunakannya dalam kebaikan, maka berarti engkau akan mempergunakannya dalam keburukan”.
Waktu muda, waktu luang, dan berlimpahnya harta benda dan kekayaan adalah salah satu pintu utama dalam kehancuran dan kerugian besar bagi kebanyakan orang, maka hendaklah kita menjaga diri kita dalam mempergunakan tiga perkara ini supaya terhidar dari kerugian besar.
___________________
[1] Hilyatul Auliya, Abu Nuaim.
[2] Hadits diriwayatkan oleh al-Imam Muslim
[3] HR. Bukhari