Jawaban Atas Kerancuan Faham Musyabbihah Dalam Pengingkaran Mereka Terhadap Tafsir Istawâ Dengan Istawlâ
Kerancuan Ke Empat:
Terkadang kaum Mujassimah dari kaum Wahabbiyyah mengatakan bahwa kata Istawâ telah disebutkan dalam tujuh tempat dari ayat-ayat al-Qur’an, yaitu pada QS. Al-A’raf: 54, QS. Yunus: 3, QS. Ar-Ra’d: 2, QS. Thaha: 5, QS. Al-Furqan: 59, QS. As-Sajdah: 4, dan QS. al-Hadid: 4, dari keseluruhan ayat ini tidak ada satupun yang menyebutkan kata-kata Istwlâ. Artinya jika benar takwil Istawâ dengan Istawlâ, maka kata Istawlâ tersebut akan disebutkan di dalam al-Qur’an sendiri.
Jawab:
Kita katakan kepada mereka seperti yang telah dinyatakan oleh Imam al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki dalam bantahannya atas karancuan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, berkata: “Apa yang dikatakan oleh Ibn al-Qayyim, (bahwa seharusnya kata Istawlâ disebutkan dalam al-Qur’an), adalah pendapat yang tidak benar, karena sesungguhnya dalam al-Qur’an terdapat penggunaan kata-kata majaz (metafor)”[1].
Kemudian kita katakan kepada mereka: “Jika kalian mengingkari takwil Istawâ dengan Istawlâ hanya karena alasan bahwa kata Istawlâ tidak ada penyebutannya dalam al-Qur’an maka demikian pula penyebutan kata Jalasa atau Istaqarra; yang berarti bertempat atau bersemayam seperti keyakinan kalian pada hak Allah sama sekali tidak ada penyebutannya dalam satu ayatpun dari al-Qur’an. Lantas mengapa kalian mengangkari kami terhadap sesuatu yang kalian sendiri telah melakukannya?!”
Kemudian kita katakan pula kepada mereka: “Apa pendapat kalian tentang firman: “Fastawâ ‘Alâ Sûqih” (QS. Al-Fath: 29)?! Apakah kalian akan mengatakan bahwa Istawâ dalam ayat ini juga dalam pengertian bertempat atau bersemayam?! Jika kalian bersikukuh hanya mengartikan Istawâ dengan makna Istaqarra saja maka kalian benar-benar bodoh tidak mengetahui bahasa”.
________________
[1] as-Sayf ash-Shaqîl, h. 86