Jawaban Atas Kerancuan Faham Musyabbihah Dalam Pengingkaran Mereka Terhadap Tafsir Istawâ Dengan Istawlâ
Kerancuan Ke Sembilan:
Muhammad Utsaimin dalam salah satu karyanya menuliskan sebagai berikut:
“Jika engkau bertanya: Apakah makna Istawâ menurut Ahlussunnah? Jawab: Maknanya adalah tinggi (al-‘Uluww) dan bertempat (al-Istiqrâr). Dalam makna Istawâ ini setidaknya ada empat pendapat ulama Salaf. Pertama; dalam makna ‘Alâ (naik), kedua; dalam makna Irtafa’a (naik), ketiga; dalam makna Sha’ada (naik), dan yang ke empat dalam makna; Istaqarra (bertempat atau bersemayam). Adapun makna yang pertama, kedua dan ketiga, memiliki pengertian yang sama. Sementara makna yang ke empat adalah pendapat yang banyak dipilih. Argumen mereka dalam hal ini ialah bahwa dalam bahasa Arab dalam konteks apapun jika terdapat penggunaan kata Istawâ yang dijadikan Fi’il Muta’addi dengan kata ‘Alâ maka makna yang dituju adalah khusus dalam pengertian Istaqarra (bertempat atau bersemayam)”[1].
Masih menurut Utsaimin, dalil untuk ini banyak sekali, di antaranya firman Allah: ”Fa Idzastawayta Anta Wa Man Ma’aka ‘Alâ al-Fulk Fa Qul al-Hamdulillâh” (QS. Al-Mu’minun: 28), kemudian firman-Nya: ”Li Tastawû ‘Alâ Zhûhûrih Tsumma Tadzkurû Ni’mata Rabbikum Idzastawaitum ‘Alayh” (QS. Az-Zukhruf: 13), termasuk firman Allah tentang perahu Nabi Nuh: ”Wastawat ‘Alâ al-Jûdiyy” (QS. Hud: 44).
Jawab:
Pertama: Ayat-ayat tersebut di atas sama sekali tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan bahwa Allah berada di atas arsy, seperti yang diyakini oleh mereka. Bahkan sebaliknya, ketika ayat-ayat tersebut dijadikan dalil untuk itu maka itu berarti telah menetapkan ada keserupaan Allah bagi makhluk-makhluk-Nya, karena konteks ayat-ayat yang ia sebutkan adalah berlaku pada makhluk, padahal Allah telah berfirman:
فَلاَ تَضْرِبُوْا للهِ الأمْثَال (النحل: 74)
“Janganlah kalian membuat keserupaan-keserupaan bagi Allah” (QS. An-Nahl: 74).
Dengan demikian mereka telah jatuh dalam keyakinan tasybîh dan tamtsîl karena telah menyerupakan Istawâ pada hak Allah dengan Istawâ pada hak makhluk yang berarti duduk bertempat di atas perahu, atau menyerupakan Istawâ pada hak Allah dengan Istawâ pada perahu Nabi Nuh di atas pegunungan al-Judiyy. Ini jelas sebagai keyakinan tasybîh yang sangat buruk.
Ke dua: Kata Istawâ dalam ayat-ayat di atas yang dijadikan dalil oleh kaum Musyabbihah untuk menetapkan Allah bertempat di atas arsy memiliki makna tidak hanya dalam pengertian bertempat saja. Pengertian Istawâ pada ayat-ayat tersebut memiliki lebih dari sekedar makna bertempat. Ayat pertama misalkan, QS. Al-Mu’minun: 28, artinya ialah apa bila engkau telah menunggang di atas perahu, bertempat di atasnya, dan telah sempurna berada di dalamnya seperti telah sempurnanya seseorang ketika bertempat di atas sesuatu maka pujilah Allah yang telah mengaruniakan hal tersebut.
Demikian pula makna Istawâ pada QS. Az-Zukhruf: 13 adalah dalam pengertian telah sempurna berada dan bertempat di atas kendaraan; seperti perahu atau bintang tunggangan. Adapun ayat dalm QS. Hud: 44, adalah untuk mengungkapkan bahwa perahu Nabi Nuh yang semula berjalan kemudian berhenti dan menetap di atas gunung al-Judiyy.
Dengan demikian ayat-ayat di atas; dua ayat pertama; QS. Al-Mu’minun: 28 dan az-Zukhruf: 13 mengandung pengertian naik dari arah bawah ke arah atas, dalam hal ini menaiki perahu dan bintang tunggangan dan kemudian bertempat dan menetap di atas perahu dan binatang tunggangan tersebut. Selain dari pada itu dalam ayat QS. Al-Mu’minun: 28 terdapat pengertian terliputi, karena seseorang yang menaiki perahu ia menjadi diliputi dari segala arah oleh perahu tersebut. Sementara makna ayat yang ke tiga, QS. Hud: 44 memberikan pemahaman bahwa perahu Nabi Nuh tersebut yang semula bergerak kemudian berhenti dan menetap di atas gunung al-Judiyy.
Dengan demikian ketika kaum Wahhabiyyah menjadikan ayat-ayat ini sebagai dalil dalam menetapkan Allah berada di atas arsy berarti sama saja dengan mengatakan bahwa Allah berada di arah bawah kemudian bergerak dan pindah ke arah atas, dan lalu bertempat di atas arsy tersebut, sebagaimana seorang yang menaiki bintang tunggangan atau menaiki perahu, sebelumnya ia berada di bawah tunggangannya tersebut lalu pindah dan menetap di atasnya. A’ûdzu Billâh.
Ke tiga: Penggunaan kata Istawâ dalam tiga ayat di atas adalah pada sesuatu yang merupakan benda, yang memiliki bentuk dan ukuran. Pemaknaan ini hanya berlaku pada dua benda yang saling bersentuhan, salah satunya di atas, dan yang lainnya di bawah. Yang di atas adalah al-Mustawî; dalam hal ini benda yang menaiki binatang atau perahu, sementara yang di bawah adalah al-Mustawâ ‘Alayh; yang dalam hal ini adalah gunung al-Judiyy, binatang tunggangan dan perahu itu sendiri. Dengan demikian, di atas dasar keyakinan kaum Wahhabiyyah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy maka itu berarti terjadi adanya sentuhan antara Allah dengan arsy itu sendiri, ini jelas sebuah kesesatan.
Kemudian bila mereka berkata: Yang kami maksud dengan Istiqrâr (bertempat) bagi Allah dalam hal ini tanpa adanya sentuhan atau menempel di atas arsy, artinya Allah hanya membayangi arsy saja, atau hanya berdekatan dengan arsy, kita jawab: Makna seperti demikian juga merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, dan hal itu juga merupakan kekufuran karena mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
_______________
[1] Syarhal-‘Aqîdah al-Wâsithiyyah, j. 1, h. 357