Sejarah mencatat bahwa para ahli bid’ah tidak akan pernah berhenti untuk menyebarkan ajaran-ajaran bid’ah mereka. Segala usaha mereka lakukan untuk menyebarluaskan bid’ah-bid’ah mereka dan menghancurkan ajaran yang benar, di antaranya dengan jalan melakukan reduksi terhadap karya-karya para ulama. Orang-orang mereka terdahulu telah melakukan “kejahatan ilmiah” ini terhadap banyak karya para ulama, demikian pula hal yang sama dilakukan oleh para pengikut mereka di masa sekarang ini.
Setidaknya ada dua jalan yang mereka tempuh dalam melakukan kejahatan intelektual ini. Pertama; mereka memasukan sisipan-sisipan palsu dari ajaran-ajaran bid’ah mereka ke dalam karya-karya para ulama Ahl al-Haq. Kedua; menghapus atau merubah ungkapan-ungkapan dari karya-karya ulama tersebut yang tidak sejalan, bertentangan, atau bahkan ungkapan-ungkapan para ulama yang mereka anggap dapat mematikan ajaran-ajaran bid’ah mereka.
(Contoh Pertama); Usaha kaum Musyabbihah dalam melakukan reduksi dengan memasukan sisipan-sisipan palsu adalah apa yang terjadi dengan karya-karya al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari, al-Imâm Ibn Jarir ath-Thabari, al-Imâm al-Qurthubi, al-Imâm al-Alusi, al-Imâm asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan para ulama lainnya. Karya al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari berjudul al-Ibânah Fî Ushûl ad-Diyânah oleh mereka disisipi dengan keyakinan-keyakinan tasybîh yang sama sekali bukan tulisan al-Imâm al-Asy’ari sendiri. Terutama kitab al-Ibânah yang beredar sekarang berasal dari cetakan India, di dalamnya banyak sekali sisipan-sisipan akidah tasybîh. Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari mengatakan bahwa kitab al-Ibânah yang sekarang beredar sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, karena kitab ini sudah lama sekali berada di bawah kekuasaan kaum Musyabbihah, hingga mereka telah melakukan reduksi terhadapnya dalam berbagai permasalahn pokok akidah[1].
Terhadap al-Imâm Ibn Jarir ath-Thabari mereka melakukan hal sama dengan kitab tafsirnya; Tafsîr ath-Thabari. Akidah tasybîh dan tajsîm telah mereka masukan dalam kitab tafsir ini, yaitu pada firman Allah:
عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا (سورة الإسراء: 79)
mereka memasukan keyakian sesat mereka dengan mengatakan bahwa Allah akan mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy bersama-Nya, bahkan mereka mengatakan bahwa jarak antara Allah dengan Nabi Muhammad kelak tidak lebih dari empat jari saja[2]. Na’ûdzu Billâh.
Terhadap al-Imâm al-Qurthubi mereka melakukan hal yang sama dengan kitab tafsirnya; Jâmi’ al-Bayân. Akidah tasybîh dan tajsîm telah mereka masukan dalam kitab ini, yaitu pada firman Allah:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (سورة الأنعام: 18)
Seorang yang membaca penafsiran ayat ini dalam tafsir ini dengan teliti akan merasa heran, ia akan mendapati penjelasan penafsirannya yang satu dengan lainnya saling bertentangan. Sungguh sangat tidak logis, bila satu karya dari satu orang penulis, namun catatan di dalamnya berisi berbagai pemahaman yang bertentangan. Benar, dapat diterima bila perbedaan-perbedaan tersebut untuk tujuan diriwayatkan saja. Namun demikian hal inipun dengan catatan bahwa segala apa yang diriwayatkannya tersebut bukan sebagai kebatilan-kebatilan yang sama sekali tidak berdasar, karena sesuatu yang batil dalam keadaan apapun tidak boleh diriwayatkan[3].
Terhadap al-Alusi mereka melakukan hal yang sama dengan kitab tafsirnya; Tafsîr al-Alûsi. Terlebih lagi kitab Tafsîr al-Alûsi terbitan Munir Agha yang mengklaim dirinya sebagai as-Salafi asy-Syahir (mengaku sebagai pengikut Salaf). Kitab tafsir dengan terbitan yang kita sebutkan yang cukup banyak dipasaran, di dalamnya terdapat ta’lîq (tulisan tambahan dalam footnote) yang berisikan faham-faham tasybîh dan tajsîm yang sangat buruk. Di antara sisipan palsu yang dimasukan di dalam kitab ini adalah dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ (سورة المائدة: 35)
Seorang yang membaca penafsiran yang cukup panjang dari ayat ini dalam kitab Tafsîr al-Alûsi akan mendapati bagian akhirnya menyalahi dengan apa yang ada di bagian awalnya[4].
Hal yang sama mereka lakukan pula terhadap Syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan kitab karyanya berjudul al-Ghunyah. Orisinilitas kitab ini sudah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Di dalamnya terdapat banyak sekali sisipan-sisipan akidah tasybîh yang telah ditanamkan oleh kaum Musyabbihah; yang sedikitpun akidah tersebut bukan keyakinan Syekh Abdul Qadir. Di antaranya, mereka memasukan akidah sesat mereka bahwa Allah bertempat di langit. Pada bagian lainnya mereka juga menyisipkan bahwa Allah bersemayam dan bertempat di atas arsy. Yang lebih mengherankan mereka membuat propaganda bahwa kebanyakan cerita yang berkembang sekarang tentang Syekh Abdul Qadir hanya sebuah distorsi belaka. Semua cerita prihal kewaliannya menurut mereka tidak berdasar sama sekali, yang benar –masih menurut mereka–, Syekh Abdul Qadir adalah seorang yang berkeyakinan seperti keyakinan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, karena itu beliau bermadzhab Hanbali.[5]
Kita katakan kepada mereka; Benar, Syekh Abdul Qadir berkeyakinan seperti keyakinan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, dan benar pula Syekh Abdul Qadir bermadzhab Hanbali, namun keyakinan beliau tidak seperti keyakinan kalian. Syekh Abdul Qadir seorang Ahl at-Tanzîh, sementara kalian adalah Ahl at-Tasybîh.
(Contoh Kedua); Usaha mereka dalam melakukan reduksi terhadap kitab-kitab para ulama dengan merubah atau menghapus ungkapan-ungkapan yang mereka anggap tidak sejalan dengan keyakinan mereka. Usaha ini telah banyak mereka lakukan antar generasai hingga generasi mereka berikutnya, dan bahkan hingga selarang ini. Contoh kasus ini seperti yang telah diceritakan oleh al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah dalam penulisan biografi al-Imâm Ahmad ibn Shaleh al-Mishri:
والطامة الكبرى إنما هي فِي العقائد المثيرة للتعصب والهوى، نعم وفي المنافسات الدنيوية عَلَى حطام الدنيا، وهذا فِي المتأخرين أكثر منه فِي المتقدمين، وأمر العقائد سواء فِي الفريقين، وقد وصل حال بعض المجسمة فِي زماننا إِلَى أن كتب ( شرح صحيح مسلم ) للشيخ محيي الدين النووي ، وحذف من كلام النووي ما تكلم بِهِ عَلَى أحاديث الصفات ، فإن النووي أشعري العقيدة ، فلم تحمل قوى هَذَا الكاتب أن يكتب الكتاب عَلَى الوضع الذي صنفه مصنفه، وهذا عندي من كبائر الذنوب، فإنه تحريف للشريعة، وفتح باب لا يؤمن معه بكتب الناس، وما فِي أيديهم من المصنفات، فقبح اللَّه فاعله وأخزاه، وقد كان فِي غنية عن كتابة هَذَا الشرح، وكان الشرح فِي غنية عنه. اهـ
“Bencana yang paling besar adalah penyelewengan atau reduksi -terhadap karya para ulama- yang terjadi dalam bidang akidah yang didasarkan kepada panatisme atau hawa nafsu untuk tujuan meraih dunia. Kasus seperti ini jauh lebih banyak terjadi di antara orang-orang belakangan ini (al-Muta-akhirûn) di banding orang-orang terdahulu (al-Mutaqaddimûn). Demikian pula kasus adanya reduksi dalam karya-karya para ulama di dalam bidang akidah jauh lebih banyak terjadi di kalangan al-Muta’akhirûn. Ini terjadi dengan sebagian orang-orang Mujassimah di masa sekarang ini yang telah melakukan perubahan terhadap kitab Syarh Shahîh Muslim karya Syaikh Muhyiddin ibn Syaraf an-Nawawi. Mereka menghapus tulisan-tulisan an-Nawawi dalam bahasannya tentang hadits-hadits sifat Allah. Hal ini tidak lain karena an-Nawawi seorang yang berakidah Asy’ariyyah, dan apa yang telah ditulisnya dalam Syarh Shahîh Muslim ini tidak sejalan dengan apa yang mereka inginkannya. Perbuatan reduksi terhadap karya-karya para ulama semacam ini bagiku adalah termasuk dari dosa-dosa besar. Karena perbuatan ini sama saja dengan merubah syari’at Allah, termasuk karena perbuatan semacam ini juga dapat menjadikan banyak orang tidak percaya lagi terhadap kitab-kitab syari’at yang telah ditulis atau kitab-kitab yang sudah ada pada tangan mereka. Semoga Allah menghinakan dan merendahkan orang melakukan perbuatan semacam ini”.[6]
Al-Muhaddits Syekh Muhammad Arabi at-Taban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhalifîn menuliskan sebagai berikut:
وحامل راية سلخ كلام العلماء من تأليفهم وتحريفه في هذا العصر صاحب مجلة المنار فمن ذلك أن شيخ مشايخنا المحدث فالحا الظاهري نقل في كتابه أنجح المساعي في صفتي السامع والواعي في أحكام المساجد عن ابن قدامة الحنبلي قبل أن يطبع بدهر اتفاق المذاهب الأربعة على إباحة التوسل بالأولياء والصالحين أحياء وأمواتا فلما طبعه صاحب المنار سلخ منه هذا الكلام، وأما تحريفه لكلام العلماء وتقوله عليهم وطعنه فيهم وفي الأحاديث الصحيحة التي لا توافق هواه أو هوى التيميين (يقصد أتباع ابن عبد الوهاب التيمى) في مجلته وفي تعاليقه فشيء لا يحصر. اهـ
“Pengibar bendera usaha reduksi dengan jalan menghapus ungkapan-ungkapan para ulama dalam karya-karya mereka di masa sekarang ini adalah pemilik majalah al-Manar Mesir (yang dimaksud adalah Rasyid Ridho). Guru kami al-Muhaddits asy-Syaikh Falih azh-Zahiri dalam karyanya berjudul Anjah al-Masâ’i Fî Shifat as-Sâmi’ Wa al-Wâ’i mengutip pernyataan Ibn Qudamah al-Hanbali dari kitabnya berjudul al-Mughnî tentang masalah hukum-hukum masjid bahwa tawassul dengan para wali Allah dan orang-orang saleh baik dengan mereka yang sudah meninggal atau masih hidup telah disepakati oleh empat madzhab bahwa hal itu adalah sesuatu yang dibolehkan. Setahun kemudian penerbit al-Manar menerbitkan kitab karya asy-Syaikh Falih ini, namun ternyata tulisan beliau tentang kebolehan tawassul tersebut telah mereka hapuskan. Adapun reduksi yang dilakukan olehnya Rasyid Ridho terhadap perkataan para ulama, pembangkangannya dan caciannya terhadap mereka, dan reduksi terhadap hadits-hadits sahih yang tidak sejalan dengan hawa nafsunya atau tidak sejalan dengan hawa nafsu at-Taimiyyun (Kaum Wahabi) di dalam majalahnya maka itu sangat banyak sekali tidak terhitung”[7].
Saya, Kholil Abou Fateh, penulis buku yang lemah ini berkata:
“Tradisi buruk kaum Musyabbihah ini turun-temurun berlangsung hingga sekarang ini. Kaum Wahhabiyyah di masa sekarang ini yang notabene kaum Musyabbihah juga telah melakukan perubahan yang sangat fatal dalam salah satu karya al-Imâm Abu Hanifah berjudul al-Washiyyah. Dalam risalah al-Washiyyah yang merupakan risalah akidah Ahlussunnah, al-Imâm Abu Hanifah menuslikan: “Istawâ ‘Alâ al-’Arsy Min Ghair An Yakûna Ihtiyâj Ilayh Wa Istiqrâr ‘Alayh” (Artinya; Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy itu sendiri dan tanpa bertempat di atasnya). Namun dalam cetakan kaum Wahhabiyyah tulisan tersebut dirubah menjadi “Istawâ ‘Alâ al-’Arsy Min Ghair An Yakûna Ihtiyâj Ilayh Wa Istiqarra ‘Alayh”, maknanya berubah total menjadi: ”Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy, dan Dia bertempat di atasnya”. Padahal, sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat, mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan kepada arsy, namun pada saat yang sama juga mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Yang paling mengherankan ialah bahwa dalam buku cetakan mereka ini, manuskrip risalah al-Imâm Abu Hanifah tersebut mereka sertakan pula. Dengan demikian, baik disadari oleh mereka atau tanpa disadari, mereka sendiri yang telah membuka ”kedok” dan “kejahatan ilmiah” yang ada pada diri mereka, karena bagi yang membaca buku ini akan melihat dengan sangat jelas kejahatan tersebut.
Anda tidak perlu bertanya di mana amanat ilmiah mereka? Di mana akal sehat mereka? Dan kenapa mereka melakukan ini? Karena sebenarnya itulah tradisi mereka. Bahkan sebagian kaum Musyabbihah mengatakan bahwa berbohong itu dihalalkan jika untuk tujuan mengajarkan akidah tasybîh mereka. A’ûdzu Billâh. Inilah tradisi dan ajaran yang mereka warisi dari “Imam” mereka, “Syaikh al-Islâm” mereka; yaitu Ahmad Ibnu Taimiyah, seorang yang seringkali ketika mengungkapkan kesesatan-kesesatannya lalu ia akan mengatakan bahwa hal itu semua memiliki dalil dan dasar dari atsar-atsar para ulama Salaf saleh terdahulu, padahal sama sekali tidak ada. Misalkan ketika Ibnu Taimiyah menuliskan bahwa “Jenis alam ini Qadim; tidak memiliki permulaan”, atau ketika menuliskan bahwa “Neraka akan punah”, atau menurutnya “Perjalanan (as-Safar) untuk ziarah ke makam Rasulullah di Madinah adalah perjalanan maksiat”, atau menurutnya “Allah memiliki bentuk dan ukuran”, serta berbagai kesesatan lainnya, ia mengatakan bahwa keyakinan itu semua memiliki dasar dalam Islam, atau ia berkata bahwa perkara itu semua memiliki atsar dari para ulama Salaf saleh terdahulu, baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan tabi’in, padahal itu semua adalah bohong besar. Kebiasaan Ibnu Taimiyah ini sebagaimana dinyatakan oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam dua risalah yang ia tulisnya sebagai nasehat atas Ibnu Taimiyah, yang pertama an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah dan yang kedua Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
[1] Al-Kawtsari, Muqaddimât al-Imâm al-Kautsari, h. 247
[2] Arabi at-Taban, Bara’ah al-Asy’ariyin, j. 1, h. 64
[3] Arabi at-Taban, Bara’ah al-Asy’ariyin, j. 1, h. 64
[4] Arabi at-Taban, Bara’ah al-Asy’ariyin, j. 1, h. 64
[5] Arabi at-Taban, Bara’ah al-Asy’ariyin, j. 1, h. 64
[6] Tajuddin as-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 162
[7] Arabi at-Taban, Barâ’ah al-Asy’ariyyîn, j. 1, h. 65