Minggu, September 24, 2023
spot_img
BerandaBid'ahMana Dalilnya? ini dia!

Mana Dalilnya? ini dia!

Dalil-Dalil Menunjukan Pembagian Bid’ah Kepada Hasanah Dan Sayyi’ah

Pembagian bid’ah kepada dua bagian –seperti yang telah kita kutip di atas dari pernyataan para Ulama dari berbagai madzhab– dapat dipahami dan disimpulkan dari berbagai dalil-dalil Syara’. Di antaranya sebagai berikut:

(Satu): Pembagian bid’ah kepada hasanah dan sayyi’ah memiliki bukti (syahid) dari al-Qur’an. Dalam QS. al-Hadid: 27 Allah berfirman:

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan (merintis/memulai/membuat bid’ah) Rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakan Rahbaniyyah) karena untuk mencari keridhaan Allah”  (QS. al-Hadid: 27)

Ayat ini adalah bukti tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu. Mereka adalah orang-orang muslim mukmin, berkeyakinan bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan berkeyakinan bahwa Nabi Isa adalah Rasulullah. Dalam ayat di atas Allah memuji mereka, karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis perbuatan Rahbaniyyah. Dalam ayat di atas dinyatakan Ibtada’uha”; Artinya; mereka membuat bid’ah Rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.

Al-Imam al-Hafizh ‘Abdullah al-Harari, dalam kitab Sharih al-Bayan menuliskan sebagai berikut:

فمعنى قوله تعالى: مَا كَتَبْنَاهَا، أي نحن ما فرضناها عليهم إنما هم أرادوا التقرّب إلى الله، فالله تعالى مدحهم على ما ابتدعوا مما لم ينصَّ لهم عليه في الإِنجيل ولا قال لهم المسيح بنص منه، إنما هم أرادوا المبالغة في طاعة الله تعالى والتجردّ بترك الانشغال بالزواج ونفقة الزوجة والأهل، فكانوا يبنون الصوامع أي بيوتًا خفيفة من طين أو من غير ذلك على المواضع المنعزلة عن البلد ليتجرّدوا للعبادة.اهـ

“Makna firman Allah; “Ma Katabnaha ‘Alayhim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka. Sesungguhnya mereka bertujuan mendekatkan diri kepada Allah [dengan Rahbaniyyah tersebut]”. Allah memuji mereka atas apa yang mereka rintis [perkara baru] dari apa yang tidak ada nash-nya (teks) bagi mereka dalam Injil, juga Nabi ‘Isa tidak menetapkan dengan nash darinya bagi mereka. Melainkan mereka ingin maksimal dalam taat kepada Allah, dan melepaskan diri dari kesibukan dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Maka mereka membangun shawami’; rumah-rumah sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat asing/sepi dan jauh dari perkotaan untuk konsentrasi beribadah kepada Allah”.[1]

Baca juga: Nabi dan Sahabat Tidak Melakukan, Bid’ah? Sesat? Haram?

Adapun bahwa kemudian mereka; orang-orang dari kalangan Bani Isra’il pengikut Nabi ‘Isa tersebut dicela dalam lanjutan ayat di atas; “Fama Raa’uha Haqqa Ri’ayatiha” (QS. al-Hadid: 27); “Maka mereka tidaklah memelihara Rahbaniyyah dengan sebaik-baiknya pemeliharaan”; adalah bukan karena mereka membuat bid’ah Rahbaniyyah-nya, tetapi adanya celaan itu karena mereka teledor dan menyia-nyiakan dalam mempraktekan Rahbaniyyah tersebut.

Al-Muhaddits ‘Abdullah al-Ghumari menuliskan:

إن اللآية لم تعب أولئك الناس على ابتداع الرهبانية لأنهم قصدوا بذلك رضوان الله، بل عابتهم على أنهم لم يرعوها حق رعايتها، وهذا يفيد مشروعية البدعة الحسنة كما هو ظاهر، وابن كثير رحمه الله لم يدرك مغزى الآية فحملها على ذم البدعة مطلقا، وهو خطأ. اهـ

“Ayat ini tidak mencela mereka karena mereka melakukan bid’ah Rahbaniyyah, karena sesungguhnya mereka bertujuan dengannya untuk meraih ridha Allah, tetapi ayat ini mencela mereka karena mereka tidak memelihara Rahbaniyyah tersebut dengan sebaik-baiknya pemeliharaan. Ini memberikan fedah/pelajaran disyari’atkannya [membuat] bid’ah hasanah sebagaimana jelas demikian adanya. Dan Ibnu Katsir tidak tidak meraih makna/kandungan ayat tersebut demikian sehingga ia mambawakan ayat tersebut untuk mencela seluruh bid’ah secara mutlak. Dan ini pendapat salah”.[2]

(Dua): Pembagian bid’ah menjadi dua bagian di atas dipahami pula dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barangsiapa merintis sesuatu yang baru dalam syari’at ini yang bukan darinya (menyalahi), maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dipahami dari sabda Rasulullah ini: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang bukan darinya”, artinya “menyalahinya”; bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

Al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani menuliskan:

هذا الحديث معدود من أصول الإسلام وقاعدة من قواعده، فإن معناه؛ من اخترع في الدين ما لا يشهد له أصل من أصوله فلا يلتفت إليه. اهـ

“Hadits ini dihitung dari pokok-pokok/pondasi ajaran Islam dan kaedah-kaedahnya, karena maknanya; barangsiapa merintis dalam agama sesuatu yang tidak ada bukti baginya dasar dari dasar-dasarnya maka ia tidak dianggap sedikitpun”.[3]

Catatan al-Hafizh Ibnu Hajar ini memberikan pemahaman bahwa jika sesuatu yang baru (bid’ah) tersebut memiliki landasan, pondasi, dan bukti (syahid) dalam Syara’ maka itu artinya bukan sesuatu yang tercela. Tetapi yang tercela adalah bid’ah yang menyalahi ajaran-ajaran syari’at yang sudah ada. Karena itu, maka hadits ini dianggap mengkhususkan (mukhash-shish) ke-umum-an hadits “Kullu bid’ah dhalalah”. Al-Muhaddits ‘Abdullah al-Ghumari berkata:

هذا الحديث مخصص لحديث كل بدعة ضلالة، ومبين للمراد منها كما هو واضح، إذ لو كانت البدعة ضلالة بدون استثناء لقال الحديث؛ من أحدنا في أمرنا هنا فهو رد، لكن لما قال؛ “من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد” أفاد أن المحدث نوعان؛ ما ليس من الدين بأن كان مخالفا لقواعده ودلائله فهو مردود، وهو البدعة الضلالة، وما هو من الدين بأن شهد له أصل أو أيده دليل، فهو صحيح مقبول، وهو السنة الحسنة. اهـ

“Hadits ini mengkhususkan (mukhash-shish) bagi hadits “Kullu bid’ah dhalalah” dan menjelaskan (mubayyin) bagi apa yang dimaksud dengannya; sebagaimana pemahaman demikian itu nyata. Oleh karena jika seluruh bid’ah itu sesat, secara mutlak/tanpa kecuali; maka Rasulullah akan berkata: “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama kita ini maka ia tertolak”. Tetapi nyatanya Rasulullah tidak berkata demikian. Sebaliknya, ketika Rasulullah bersabda; “Siapa yang membuat perkara baru yang menyalahi urusan agama kita ini maka ia tertolak”; maka hadits ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa perkara baru (bid’ah) itu terbagi kepada dua bagian; (Satu); sesuatu yang bukan dari agama karena ia menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalilnya, maka ia tertolak, dan dialah bid’ah dhalalah. (Dua); sesuatu yang merupakan bagian dari agama dengan adanya bukti pondasi/kaedah baginya, atau dikuatkan oleh adanya dalil, maka dia adalah [bid’ah] dibenarkan dan diterima, dan dialah sunnah hasanah”.

Al-Imam al-Hafizh ‘Abdullah al-Harari dalam Sharih al-Bayan dalam menjelaskan hadits di atas, menuliskan:

فأفهم رسول الله صلى الله عليه وسلم بقوله “ما ليس منه” أن المحدث إنما يكون ردا أي مردودا إذا كان على خلاف الشريعة وأن المحدث الموافق للشريعة ليس مردودا. اهـ

“Maka memahamkan oleh Rasulullah dengan sabdanya: “Ma laysa minhu” bahwa perkara baru (al-muhdats) itu tertolak adalah apabila menyalahi Syara’, dan adapun perkara baru yang sesuai/sejalan dengan Syara’ maka ia tidak tertolak”.[4]

Al-‘Allamah Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:

والمراد بالبدعة ما أُحدث مما لا أصل له في الشريعة يدل عليه، فأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعًا، وإن كان بدعة لغةً. اهـ

“Dan yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang baru dirintis dari apa yang tidak ada dasar baginya dalam Syara’ yang menunjukan atasnya. Adapun perkara baru yang memiliki dasar dalam Syara’ yang menunjukan atasnya maka ia bukan bid’ah secara Syari’at, walaupun secara bahasa disebut dengan bid’ah”.[5]

Ibnu Rajab juga berkata:

فكل من أحدث شيئًا ونسبه إلى الدين، ولم يكن له أصل من الدين يرجع إليه؛ فهو ضلالة، والدين منه بريء. اهـ

“Maka setiap orang yang membuat/merintis perkara baru dan ia sandarkan kepada agama sementara tidak ada landasan/dasar/ kaedah dalam Syara’ yang ia kembali kepadanya maka dia itu sesat, dan agama bebesa darinya”.[6]

Baca buku: Memahami Makna Bid’ah Secara Komprehensif

(Tiga): Pembagian Bid’ah kepada hasanah dan sayyi-ah juga dipahami dari hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم والنسائي وابن ماجه)

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah hasanah (perbuatan yang baik) maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah sayyi’ah (perbuatan yang buruk) maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim, an-Nasa-i dan Ibnu Majah)

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah”. Perkataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian; (1) anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan Sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah), atau (2); pengertian menghidupkan Sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan Sunnah atau menghidupkan Sunnah yang sudah mati (karena ditinggalkan manusia) ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat al-Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada, atau berpegang teguh dengannya. Karena itulah al-Imam al-Hafizh an-Nawawi dalam al-Minhaj menuliskan sebagai berikut:

فيه الحث على الابتداء بالخيرات وسن السنن الحسنات والتحذير من الأباطيل والمستقبحات، وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم؛ كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة. اهـ

“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai/merintis perkara-perkara yang baik, merintis perbuatan-perbuatan yang baik, dan mewaspadakan dari kebatilan-kebatilan dan keburukan-keburukan. Dan dalam hadits ini terdapat pengkhususan (takhshisih) terhadap sabda Rasulullah “Kulla muhdatsah bid’ah, wa kulla bid’ah dhalalah”. Bahwa yang dimaksud oleh hadits ini adalah setiap perkara baru yang batil dan bid’ah-bid’ah tercela (oleh Syara’)”.[7]

Sementara al-Muhaddits as-Sindiy (w 1138 H) dalam Hasyiyah Ibn Majah menuliskan:

قوله سنة حسنة أي طريقة مرضية يقتدى بها، والتمييز بين الحسنة والسيئة بموافقة أصول الشرع وعدمها. اهـ

“Sabda Rasulullah “Sunnah Hasanah” (perkara baru yang baik), artinya yang diridhai dan yang diikuti. Dan yang membedakan antara [bid’ah] yang baik dan yang buruk adalah dengan apakah sejalannya perkara tersebut dengan dasar-dasar Syara’ atau tidak sejalan”.[8]

 (Empat): Hadits riwayat al-Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya dengan sanad yang sahih dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah bersabda:

منِ اسْتَنَّ خيرًا فاستُنّ به كان له أجره كاملا ومِنْ أجور مَن استنَّ به، لا يَنقصُ من أجورهم شيئًا، ومن استنّ سنةً سيئةً فاستُنَّ به فعليهِ وزرُه كاملا ومِنْ أوزارِ الذي استَنَّ به لا ينقصُ منْ أوزارهم شيئًا (رواه ابن ماجه من حديث أبي هريرة)

“Siapa yang merintis kebaikan, kemudian ia diikuti dengannya; maka baginya pahalanya secara sempurna, dan pahala dari pahala-pahala orang yang mengikutinya dengannya, tanpa berkurang dari pahala-pahala mereka suatu apapun. Dan siapa yang merintis rintisan yang buruk, kemudian ia diikuti dengannya, maka atasnya dosanya secara sempurna, dan dosa dari dosa-dosa orang yang mengikutinya dengannya, tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka suatu apapun”. (HR. Ibnu Majah dari hadits Abu Hurairah)

Hadits riwayat al-Imam Ibnu Majah ini mengandung makna yang sama dengan riwayat al-Imam Muslim sebelumnya. Namun diriwayatkan dengan jalur yang berbeda. Dan perbedaan jalur ini saling menguatkan satu atas lainnya. Sebagaimana dalam riwayat Muslim; riwayat Ibnu Majah inipun memberikan pemahaman pembagian bid’ah kepada dua bagian; hasanah dan sayyi’ah.

 (Lima): Hadits riwayat Ibnu Majah lainnya, dengan sanad yang jayyid (baik), dan dengan kandungan makna yang sama dengan hadits sebelumnya, tetapi dengan jalur yang beebeda, dari Abu Juhayfah, berkata: “Rasulullah bersabda:

من سن سنة حسنة فعمل بها بعده كان له أجره ومثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا، ومن سن سنة سيئة فعمل بها بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا (رواه ابن ماجه من حديث أبي جحيفة)

“Siapa merintis Sunnah Hasanah dan diamalkan dengannya sesudahnya maka baginya pahalanya dan pahala seperti pahala-pahala mereka dari tanpa berkurang dari pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa merintis Sunnah sayyi’ah dan diamalkan dengannya sesudahnya maka baginya dosanya dan dosa seperti dosa-dosa mereka dari tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Ibnu Majah dari hadits Abu Juhayfah).

 (Enam): Hadits dengan kandungan makna yang sama dengan hadits di atas dari jalur yang lain, diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal, al-Imam al-Bazzar, dan al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Awsath, dengan sanad yang hasan, dari Hudzayfah, berkata: Bersabda Rasulullah:

من سن خيرا فاستن به كان له أجره ومن أجور من تبعه غير منتقص من أجورهم شيئا، ومن سن شرا فاستن به كان عليه وزره ومن أوزار من تبعه غير منتقص من أوزراهم شيئا (رواه أحمد والبزار والطبراني)

“Siapa merintis kebaikan, kemudian diikuti dengannya maka baginya pahalanya dan pahala dari pahala-pahala orang yang mengikutinya dari tanpa berkurang dari pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan Siapa merintis kejahatan, kemudian diikuti dengannya maka baginya dosanya dan dosa dari dosa-dosa orang yang mengikutinya dari tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”.  (HR. Ahmad, al-Bazzar, dan ath-Thabarani).

 (Tujuh): Hadits lainnya, juga riwayat al-Imam ath-Thabarani dengan sanad hasan, dari Watsilah bin al-Asqa’, dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:

من سن سنة حسنة فله أجرها ما عمل بها في حياته وبعد مماته حتى تترك، ومن سن سنة سيئة فعليه إثمها حتى تترك، ومن مات مرابطا في سبيل الله جرى عليه عمل الرابط حتى يبعث يوم القيامة (رواه الطبراني)

“Siapa yang merintis sunnah hasanah maka baginya pahalanya selama itu diamalkan di masa hidupnya dan setelah meninggalnya, hingga sunnah hasanah tersebut ditinggalkan. Dan siapa yang merintis sunnah sayyi’ah maka atasnya dosanya hingga sunnah sayyi’ah tersebut ditinggalkan. Dan siapa yang meninggal dalam keadaan ikut dalam pasukan perang di jalan Allah maka berlaku atasnya pahala pejuang hingga ia dibangkitkan di hari kiamat”. (HR. ath-Thabarani).

Hadits-hadits yang telah kita sebutkan di atas, dari mulai riwayat al-Imam Muslim hingga hadits terakhir ini; riwayat ath-Thabarani, semuanya memiliki kandungan makna yang sama atau berdekatan. Semua hadits-hadits tersebut memberikan pemahaman pembagian bid’ah kepada hasanah dan sayyi’ah, sebagaimana dinyatakan demikian oleh para ulama dalam syarh (penjelasan) masing-masing hadits tersebut.

Al-Muhaddits al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Khalifah al-Ubay (w 827 H) dalam Syarh Shahih Muslim dalam menjelaskan sabda Rasulullah “Man Sanna Fil Islam Sunnah Hasanah”, menuliskan sebagai berikut:

ويدخل في السنة الحسنة البدع المستحسنة كقيام رمضان والتحضير في المنار إثر فراغ الأذان وعن أبواب الجامع وعند دخول الإمام وكالتصبيح عند طلوع الفجر، كل ذلك من الإعانة على العبادة التي يشهد الشرع باعتبارها، وقد كان علي وعمر يوقظان الناس لصلاة الصبح بعد طلوع الفجر”. إلى أن قال؛ “التحضير من البدع المستحسنة التي شهد الشرع باعتبارها ومصلحتها ظاهرة، قال (يعني ابن عرفة) وهو إجماع من الشيوخ إذ لم ينكره، كقيام رمضان والاجتماع على التلاوة، ولا شك أنه لا وجه لإنكاره إلاّ كونه بدعة، ولكنها مستحسنة، ويشهد لاعتبارها الأذان والإقامة فإن الأذان للإعلام بدخول الوقت، والإقامة بحضور الصلاة، وكذلك التحضير هو إعلام بقرب حضور الصلاة. اهـ

“Dan masuk dalam Sunnah Hasanah dan bid’ah-bid’ah yang baik; seperti Qiyam Ramadhan, dan mengundang hadir untuk shalat saat telah dekatnya waktu shalat (at-Tahdlir) di menara; setelah kumandang adzan, di pintu-pintu masjid Jami’, dan ketika Imam masuk. Juga seperti kumandang datangnya pagi hari ketika telah datang fajar. Semua itu adalah untuk tujuan membantu dalam ibadah  yang dianggap/dibenarkan dalam ukuran Syara’. Dan adalah ‘Umar dan ‘Ali membangunkan manusia untuk shalat subuh setelah terbit fajar. [al-Ubay kemudian berkata]: “at-Tahdlir termasuk dari bid’ah yang baik yang dianggap/dibenarkan dalam Syara’, dan maslahat-nya jelas. Ibnu ‘Arafah berkata: Ia (at-tahdlir) adalah kesepakatan para ulama, karena itu tidak ada siapapun yang menginkarinya, seperti Qiyam Ramadhan, berkumpul untuk sama-sama membaca al-Qur’an. Tidak diragukan bahwa tidak ada jalur mengingkarinya; kecuali hanya karena itu sebagai bid’ah. Tetapi itu adalah bid’ah hasanah. Bukti bahwa itu dianggap/dibolehkan dalam Syara’ adalah adanya adzan dan iqamah; bahwa adzan adalah pemberitahuan telah masuknya waktu shalat, dan iqamah adalah pemberitahuan akan dilaksanakannya shalat. Maka demikian pula dengan at-tahdlir, dia adalah untuk memberitahukan telah dekatnya waktu shalat”.[9]

 (Delapan): Di dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa di masa Rasulullah hingga wafatnya belum ada praktek shalat Tarawih berjama’ah di malam-malam Ramadhan. Juga belum dirintis di masa Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq, demikian pula pada permulaan masa Khalifah ‘Umar. Shalat Tarawih berjama’ah baru diadakan adalah setelah lewat masa itu. Dan yang merintis pertamakali adalah Khalifah ‘Umar sendiri, dan bahkan beliau menamakan itu sebagai perkara bid’ah. Namun beliau menyebutnya dengan “sebaik-baik bid’ah”. Diriwayatkan dari ‘Abdur-Rahman ibn ‘Abdil-Qari, bahwa ia berkata:

خرجت مع عمر بن الخطاب رضي الله عنه ليلة في رمضان إلى المسجد، فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه ويصلي الرجل بصلاته الرهط، فقال عمر؛ إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل، ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم، قال عمر: نعم البدعة هذه. اهـ

“Aku keluar bersama ‘Umar ibn al-Khaththab –semoga ridha Allah senantiasa tercurah baginya– pada suatu malam di bulan Ramadhan menuju masjid. Dan ternyata orang-orang bercerai-berai terpisah-pisah; orang ini shalat sendiri, yang lainnya juga shalat sendiri masing-masing; sehingga nampak berantakan. Maka ‘Umar berkata: “Sungguh menurutku, seandainya aku satukan mereka semua atas satu orang Qari’ (Imam) maka akan lebih baik”. Setelah ‘Umar bertekad demikian, maka ia mengumpulkan mereka [dengan Imam] Ubay ibn Ka’ab. Kemudian aku keluar pada malam lainnya dan orang-orang shalat dengan satu bacaan [Imam]. ‘Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[10]

Al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari dalam menjelaskan hadits di atas menuliskan:

قوله قال عمر: “نعم البدعة” في بعض الروايات “نعمت البدعة” بزيادة التاء، والبدعة أصلها ما أحدث على غير مثال سابق، وتطلق في الشرع في مقابل السنة فتكون مذمومة، والتحقيق إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي حسنة، وإن كانت مما تندرج تحت مستقبح في الشرع فهي مستقبحة وإلا فهي من قسم المباح وقد تنقسم إلى الأحكام الخمسة. اهـ

“Perkataannya (perawi hadits); “Berkata ‘Umar: “Nimal Bidl’atu…” (maknanya; “Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah”), dalam sebagian riwayat: “Ni’matil Bidl’atu…” dengan tambahan huruf ta’. Bid’ah pada asalnya adalah sesuatu yang dirintis tanpa ada contoh sebelumnya. Dan dimaksudkan bid’ah dalam Syara’ adalah sesuatu yang berlawanan dengan Sunnah (ajaran Rasulullah) sehingga ia sebagai perkara yang tercela. Dan pada hakekatnya; jika bid’ah itu masuk dalam perkara yang baik dalam Syara’ maka ia adalah bid’ah hasanah, dan jika masuk dalam perkara buruk dalam Syara’ maka ia adalah bid’ah buruk (mustaqbahah), dan jika tidak demikian (artinya; bukan keduanya) maka dia adalah bid’ah yang mubah. Dan kadang bid’ah terbagi kepada sesuai hukum yang lima (Wajib, Haram, Sunnah, Makruh, dan Mubah)”.[11]

(Sembilan): Dalam sebuah hadits sahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Rifa’ah ibn Rafi’, bahwa ia berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika Rasulullah mengangkat kepala dari ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”. Tiba-tiba ada seseorang dari arah belakang berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah yang berbicara (mengatakan kalimat-kalimat itu)?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Aku Wahai Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

Anda perhatikan kandungan hadits ini. Rasulullah tidak berkata kepada sahabatnya tersebut mengapa engkau membaca kalimat-kalimat yang tidak pernah saya ajarkan? Engkau telah sesat?! Tidak, Rasulullah tidak berkata demikian. Sebaliknya beliau mengatakan bahwa bacaan tersebut diburu oleh para Malaikat untuk menjadi yang pertama yang mencatakannya. Dasarnya, sahabat Rasulullah ini telah membuat bid’ah, karena ia merintis suatu bacaan yang tidak pernah ada sebelumnya, bahkan tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah. Namun demikian itu adalah bid’ah hasanah, karena sesuai dengan kaedah-kaedah Syara’. Dan karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari berkata:

واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور إذا كان لا يخالف المأثور. اهـ

“Diambil dalil dengan hadits ini atas kebolehan merintis bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur[12].

 (Sepuluh): Al-Imam al-Hafizh ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath meriwayatkan sebuah hadist dengan sanad yang jayyid (baik) dari Anas ibn Malik bahwa suatu ketika Rasulullah mendapati seorang baduy yang sedang berdoa dalam shalatnya dengan mengatakan:

يا مَن لا تراه العيونُ ولا تُخالِطُه الظُّنونُ ولا يصِفُه الواصفونَ ولا تُغيِّرُه الحوادثُ ولا يَخشَى الدَّوائرَ يعلِمُ مثاقيلَ الجِبالِ ومكاييلَ البِحارِ وعَدَدَ قَطْرِ الأمطارِ وعَدَدَ وَرَقِ الأشجارِ وعَدَدَ ما أظلَم عليه اللَّيلُ وأشرَق عليه النَّهارُ لا تُواري منه سماءٌ سماءً ولا أرضٌ أرضًا ولا بحرٌ ما في قَعْرِه ولا جَبَلٌ ما في وَعْرِه، اجعَلْ خيرَ عُمُري آخِرَه وخيرَ عمَلي خَواتِمَه وخيرَ أيَّامي يومَ ألقاكَ فيه. فوكَّل رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بالأعرابيِّ رجُلًا، فقال إذا صلَّى فائتِني به فلمَّا صلَّى أتاه وقد كان أُهدِيَ لرسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَهَبٌ مِن بعضِ المعادِنِ، فلمَّا أتاه الأعرابيُّ وهَب له الذَّهبَ، وقال: ممَّن أنتَ يا أعرابيُّ؟ قال: مِن بني عامرِ بنِ صَعْصَعةَ يا رسولَ اللهِ، قال: هل تدري لِمَ وهَبْتُ لكَ الذَّهبَ؟ قال: للرَّحِمِ بَيْنَنا وبَيْنَكَ يا رسولَ اللهِ فقال: إنَّ للرَّحِمِ حقًّا، ولكِنْ وهَبْتُ لكَ الذَّهبَ لِحُسْنِ ثنائِكَ على اللهِ عزَّ وجلَّ. اهـ

 “Ya Allah yang tidak dilihat oleh mata [artinya; di dunia], yang tidak dapat diraih oleh segala prasangka, yang tidak dapat disifati oleh siapapun orang-orang yang mensifati-Nya [artinya; hakekat sifat Allah], yang tidak dirubah oleh berbagai peristiwa, yang tidak takut terhadap segala akibat, yang maha mengetahui timbangan beratnya gunung-gunung, yang maha mengetahui takaran [air] seluruh lautan, yang maha mengetahui setiap tetasan hujan, yang maha mengetahui setiap helai daun-daun seluruh pepohonan, yang maha mengetahui hitungan gelapnya malam hari, yang maha mengetahui hitungan bersinarnya siang hari, yang tidak tertutup dari-Nya oleh lapisan langit akan lapisan langit yang lain [artinya; mengetahui serincinya],  yang tidak tertutup dari-Nya oleh lapisan bumi akan lapisan bumi yang lain, yang tidak terhalang dari-Nya oleh lautan akan apa yang ada di dasarnya, yang tidak terhalang dari-Nya oleh gunung akan apa yang ada di kedalamannya; jadikanlah terbaik umurku pada akhirnya, dan terbaik amalanku pada penutup-penutupnya, dan hari terbaikku hari kematianku”. Maka Rasulullah mewakilkan kepada seseorang bahwa apa bila si baduy telah selesai dari shalatnya agar ia menyuruhnya menghadap Rasulullah. Maka selesai shalat si baduy menghadap Rasulullah. Dan Rasulullah [sebelumnya] telah diberi hadiah emas dari beberapa pertambangan. Maka ketika si baduy menghadap Rasulullah memberikan emas itu kepadanya. Rasulullah berkata: “Dari mana engkau wahai baduy!”. Si baduy menjawab: “Aku dari Bani ‘Amir ibn Sha’sha’ah wahai Rasulullah!”. Rasulullah berkata tahukah engkau mengapa aku memberimu emas?”, jawab si baduy: “Karena ada tali rahim antara kami denganmu wahai Rasulullah!”. Rasulullah berkata: “Tali rahim itu memiliki hak tersendiri. Tetapi aku memberimu emas adalah karena indahnya pujianmu kepada Allah yang maha agung”.[13]

Anda perhatikan, dalam hadits ini Rasulullah tidak hanya menyetujui bacaan-bacaan si baduy dalam indahnya puji-pujian dia kepada Allah dengan redaksi yang telah ia buat sendiri. Lebih dari itu, Rasulullah bahkan memujinya, bahkan memberikan emas kepadanya sebagai hadiah. Dalam hal ini si baduy telah membuat bid’ah redaksi puji-pujian kepada Allah. Dan itu adalah bid’ah hasanah.

Baca juga: Bacaan al-Qur’an Bermanfaat Untuk Mayit. Benarkah?

(Sebelas): al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa ayahanda beliau; ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam riwayat al-Imam Muslim dikatakan:

كانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَرْكَعُ بذِي الحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ إِذَا اسْتَوَتْ به النَّاقَةُ قَائِمَةً عِنْدَ مَسْجِدِ ذِي الحُلَيْفَةِ، أَهَلَّ بهَؤُلَاءِ الكَلِمَاتِ. وَكانَ عبدُ اللهِ بنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عنْهما يقولُ: كانَ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عنْه، يُهِلُّ بإهْلَالِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِن هَؤُلَاءِ الكَلِمَاتِ، ويقولُ: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ في يَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ. اهـ

“Adalah Rasulullah di Dzul Hulayfah shalat dua raka’at. Kemudian setelah unta berdiri tegak dikendarai oleh Rasulullah di masjid Dzul Hulayfah beliau membacakan kalimat-kalimat [talbiyah] tersebut. ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Umar ibn al-Khaththab membacakan kalimat-kalimat talbiyah seperti yang dibacakan oleh Rasulullah tersebut. Dan ‘Umar berkata [dengan menambahkan bacaan]:[14]

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ في يَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.

Sementara kalimat talbiyah yang diajarkan oleh Rasulullah, —tidak kurang dan tidak lebih–, hanyalah sebatas:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ، لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لا شَرِيكَ لكَ لَبَّيْكَ، إنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لكَ وَالْمُلْكَ، لا شَرِيكَ لكَ

Namun kemudian ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan bacaan tersebut dengan kalimat yang ia buat sendiri. Dalam hal ini, pada dasarnya ‘Umar telah membuat bid’ah, karena merintis bacaan-bacaan talbiyah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah. Namun itu adalah bid’ah hasanah, karena sejalan dengan kaedah-kaedah Syara’.

(Dua Belas): ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai perkara baru (muhdatsah/bid’ah), karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)

“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih). Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)

“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah). Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang sahih dari al-Imam Mujahid ibn Jabr al-Makki.[15]

(Tiga Belas): Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud dalam shalat terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang diajarkan oleh Rasulullah. Al-Imam Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad-nya dari al-Imam Mujahid dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, berkata:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي التَّشَهُّدِ؛ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، قَالَ: قَالَ ابْنُ عُمَرَ؛ زِدْتُ فِيهَا: وَبَرَكَاتُهُ – السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ – قَالَ ابْنُ عُمَرَ: زِدْتُ فِيهَا: وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ – وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اهـ

(Maknanya: Dari Ibnu ‘Umar, dari Rasulullah dalam bacaan tasyahhud, yaitu; “at-Tahiyyatu Lillah…”, dan seterusnya). Sementara dalam kalimat tasayahhud ‘Abdullah ibn ‘Umar terdapat tambahan kalimat: “wahdahu la syarika lah”. Kalimat tersebut bukan dari Rasulullah. Bahkan ‘Abdullah ibn ‘Umar sendiri berkata: “Wa Ana Zidtuha”, artinya: “Aku sendiri yang menambahkannya”.[16] Artinya, dalam hal ini ‘Abdullah ibn ‘Umar telah membuat bid’ah, karena ia merintis sesuatu yang baru yang yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah sebelumnya.

Sementara itu beberapa redaksi tasayahhud yang datang (warid) dari Rasulullah tanpa adanya tambahan tersebut, yaitu:[17]

التحيات المباركات، الصلوات الطيبات لله، السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته، السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين، أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمداً رسول الله.

_______________

[1] al-Hafizh ‘Abdullah al-Harari, Sharih al-Bayan, j. 1, h. 279. Juga lihat al-Muhaddits ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shun’ah, h. 28
[2] ‘Abdullah al-Ghumari, Itqan ash-Shun’ah, h. 28
[3] ‘Abdullah al-Ghumari, Itqan ash-Shun’ah, h. 22
[4] Al-Harari, Sharih al-Bayan, j. 1, h. 279
[5] Ibnu Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, j. 2, h. 127
[6] Ibnu Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, j. 2, h. 128
[7] An-Nawawi, al-Minhaj Bi Syarh Shahih Muslim, j. 4, h. 92. Lihat pula Musa Syahin, Fat-hul Mun’im Bi Syarh Shahih Muslim, j. 4, h. 361
[8] As-Sindiy Muhammad ibn Abdil Hadi, Kifayah al-Hajah Fi Syarh Sunan Ibn Majah, j. 1, h. 134
[9] Muhammad ibn Khalifah al-Wisytani al-Ubay, Ikmal Ikmal al-Mu’lim Bi Syarh Shahih Muslim, j. 7, h. 109. Kitab ini kemudian disempurnakan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad ibn Muhammad as-Sanusi al-Hasani (w 895 H) dengan judul Mukammil Ikmal al-Ikmal.
[10] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Shalat at-Tarawih.
[11] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, j. 4, h. 253
[12] Fath al-Bari, j. 2, h. 287
[13] Ath-Thabarani, al-Mu’jam al-Awsath, j. 9, h. 171. Lihat pula al-Haytsami, Majma’ az-Zawa-id, j. 10, h. 160. Dan seluruh perawinya adalah parawi sahih.
[14] Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 1184. Lihat pula al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 1549, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadits nomor 1812, at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadits nomor 826, an-Nasa’i, Sunan an-Nasa-i, hadits nomor 2750, Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, hadits nomor 2918, dan Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, hadits nomor 5071.
[15] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, j. 3, h. 63. Lihat pula al-‘Ayni, ‘Umdah al-Qari, j. 7, h. 344
[16] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadits nomor 971. Lihat pula ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, j. 2, h. 161, dan berkata: “Hadits ini dengan sanad sahih”. Lihat pula Ibnu Hajar, Fath al-Bari, j. 2, h. 315. Dan hadits ini memiliki syawahid yang sangat banyak, di antara lihat an-Nasa-i, as-Sunan al-Kubra, hadits nomor 758, dan 7563, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadits nomor 1892, Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, hadits nomor 6402, dan lainnya.
[17] Ini adalah redaksi tasayahhud dalam riwayat Ibnu ‘Abbas. Lihat Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 60

Berita sebelumyaMati Kutu
Berita berikutnyaBid’ah Dalam Pokok Agama (Ushuluddin)
Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments

×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku