[Masalah]: Kaum Musyabbihah kadang menjadikan QS. Yasin: 82 di atas sebagai sandaran dalam menetapkan keyakinan sesat mereka. Mereka mengatakan bahwa dalam ayat tersebut jelas ditetapkan bahwa Allah berkata “Kun”; yaitu dengan huruf kaf dan nun. Makna harfiahnya; “Jadilah!”. Sehingga –menurut mereka– Allah berbicara dengan huruf kaf dan nun, dan bersuara dengannya. Kesimpulan mereka; bahwa kitab suci Al-Qur’an yang kita baca dalam bentuk huruf-huruf dan berbahasa Arab tersebut adalah sifat Kalam Allah. Na’udzu Billah.
[Jawab]: Makna firman Allah “Kun” dalam ayat-ayat di atas bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”. Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”. Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya. Deburan ombak di lautan, gugurnya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.
Baca juga: Sering Yasinan? “Kun Fayakun” Ini Dia Penjelasannya Menurut Ulama Ahlussunnah
Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “di masa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu Azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu. Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi’il) tidak boleh dikatakan baharu.
Kemudian dari pada itu, kata “Kun” adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?! Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.
Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.
Baca juga: Al-Qur’an Makhluk Atau Bukan Makhluk?
Al-Imam al-Harari menuliskan:
وأما ما ذهبت إليه المجسمة من أن الله ينطق بالكاف والنون عند خلق كل فرد من أفراد المخلوقات هو سفه لا يقول به عاقل، لأنهم إن قالوا قبل إيجاد المخلوق ينطق الله بهذه الكلمة المركبة من كاف ونون فيكون خطابا للمعدوم، وإن قالوا إنه يقول ذلك بعد إيجاد الشيء فلا معنى لإيجاد الموجود. ويقال لهم الكاف والنون مخلوقان ما كانا موجودين في الأزل ولا يتصف بكلام حادث ولا بقدرة حادثة لأنه لو كان يتصف بصفة حادثة لكان مثل خلقه لأن الخلق يتصفون بصفة حادثة، فالإنسان أول ما يخرج من بطن أمه لا يتكلم ولا يعلم شيئا ثم يحدث له علم وكلام. المشبهة بسخافة عقولهم جعلوا الله مثل خلقه، لأن كل حادث مخلوق والخالق لا يجوز أن يكون حادثا ولا يجوز أن يتصف بصفة حادثة. اهـ [1]
“Adapun apa yang berpendapat kepadanya oleh kaum Mujassimah (golongan sesat berkeyakinan Allah sebagai jism/benda) bahwa Allah –menurut mereka– berkata-kata dengan kaf dan nun ketika Dia menciptakan setiap materi dari materi-materi para makhluk adalah pendapat bodoh yang tidak akan dikatakan oleh seorang yang berakal. Karena bila mereka berkata bahwa sebelum Allah menciptakan segala makhluk Dia berkata-kata dengan kalimat yang tersusun dari kaf dan nun maka berarti Allah berbicara kepada sesuatu yang tidak ada (nihil). Dan jika mereka berpendapat bahwa Allah berbicara kepada sesuatu yang sudah ada maka berarti itu tidak ada maknanya; karena dengan demikian berarti Dia mengadakan sesuatu yang sudah ada. Juga dijawab terhadap pendapat mereka; bahwa kaf dan nun itu adalah makhluk/ciptaan Allah. Keduanya tidak ada pada azal (azal; keberadaan tanpa permualaan). Allah tidak bersifat dengan sifat Kalam yang baharu, dan tidak berisfat dengan sifat Qudrah (kuasa) yang baharu. Karena bila Allah bersifat dengan sifat yang baharu maka Dia sama dengan makhluk-Nya; karena para makhluk bersifat dengan sifat yang baharu. Manusia, –misalkan– mula-mula ia keluar dari perut ibunya (dilahirkan) ia tidak dapat berbicara, dan tidak mengetahui suatu apapun. Kemudian terjadilah baginya sifat Ilmu (mengetahui) dan sifat Kalam (berbicara). Kaum Musyabbihah, karena kebodohan akal mereka menjadkan Allah seperti ciptaan-Nya. Karena setiap yang baharu adalah makhluk. Dan Pencipta (Allah) tidak boleh bagi-Nya baharu, dan tidak boleh bersifat dengan sifat yang baharu”.
________________
[1] Ad-Dalil al-Qawim, h. 233