Memahami Istilah; Al-Qira’ah, Al-Maqru’ Dan Al-Qur’an
Ada tiga istilah tema bahasan ini yang harus kita ketahui dengan benar. Yaitu al-Qira’ah, al-Maqru’ dan Al-Qur’an. Tiga istilah ini masing-masing memiliki makna dan definisi berbeda. Jika tidak dipahami dengan benar maka akan rancu dalam memahami Al-Qur’an sebagai Kalam Allah.
(Pertama); Al-Qira’ah, makna harfiah-nya adalah pekerjaan membaca. Maka al-Qira’ah di sini adalah perbuatan hamba. Yaitu dari Jibril, Rasulullah dan orang-orang mukmin yang membaca Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an ada ayat yang menyebutkan al-Qira’ah (pekerjaan membaca) ini dengan disandarkan kepada Allah; namun yang dimaksud adalah bacaan Jibril, karena Allah memerintahnya untuk membacakan Al-Qur’an. Yaitu dalam firman Allah:
فإذا قرأناه فاتّبع قرءانه (سورة القيامة : 18)
“Maka apabila Kami membacakannya (akan Al-Qur’an) maka ikutilah olehmu (wahai Muhammad) akan bacaannya”. (QS. Al-Qiyamah: 18). Yang dimaksud “Kami” dalam ayat ini adalah Allah yang memerintahkan Jibril untuk membacaakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah. Bukan makna ayat tersebut bahwa Allah membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah sedikit demi sedikit, perkata, perhuruf, dan dengan suara; sebagaimana seorang guru ngaji membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada muridnya. Bukan ini pengertian ayat tersebut. Tetapi yang dimaksud dalah Jibril dengan perintah Allah membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah.
(Ke dua); Al-Maqru’, makna harfiahnya adalah sesuatu yang dibaca. Yang dimaksud adalah kandungan dari apa yang dibaca. Al-Maqru’ yang dimaksud dalam hal ini adalah Kalam Allah yang merupakan sifat Kalam-Nya. Dan al-Maqru’ yang dimaksud adalah kandungan bacaan yang diungkapkan dalam bentuk lafazh-lafazh. Artinya, sifat kalam Allah (al-Kalam adz-Dzati) yang diungkapkan dalam bentuk lafazh-lafazh. Karena itu Allah disebut Mutakallim; artinya bersifat dengan sifat Kalam yang tetap dengan Dzat-Nya, Azali (tanpa permulaan) dan Abadi (tanpa penghabisan), tidak bermula dan tidak habis.
(Ke Tiga); Al-Qur’an. Istilah Al-Qur’an kadang dimaksudkan bagi al-Qira’ah yang notabene makhluk. Al-Qira’ah di sini artinya bacaan. Seperti dalam firman Allah:
وقرءان الفجر (سورة الفجر : 78)
Qur’an yang dimaksud dalam ayat ini adalah al-Qira’ah, artinya bacaan. Dan yang dimaksud ayat tersebut adalah bacaan dalam shalat al-fajr (shalat subuh).
Istilah Al-Qur’an kadang juga dimaksudkan bagi Mush-haf (kitab suci Al-Qur’an), tanpa bacaan. Seperti sabda Rasulullah dalam sebuah Hadits;
لا تسافروا بالقرءان إلى أرض العدو (رواه أبو نعيم وغيره)
“Janganlah kalian pergi dengan Al-Qur’an ke negeri/ tanah musuh” (HR. Abu Nu’aim dan lainnya). Yang dimaksud dengan Al-Qur’an dalam hadits ini adalah kitab suci Al-Qur’an (Mush-haf). Dalam Hadits ini Rasulullah melarang membawa kitab suci Al-Qur’an (Mush-haf) ke negeri musuh (orang-orang kafir) adalah untuk menjaga kitab suci tersebut dari kemungkinan dihinakan dan dilecehkan oleh mereka. Hadits ini bukan berisi larangan bagi kita membaca Al-Qur’an (al-Qira’ah) di negeri musuh.
Al-Qur’an dalam pengertian Kalam Dzat Allah (al-Kalam adz-Dzati) adalah makna hakekat, baik dalam tinjauan akal atau tinjuan Syara’. Adapun Al-Qur’an dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal maka ia adalah hakekat dari tinjauan Syara’ saja. Sehingga apa bila seseorang berkata; “Saya telah membaca satu juz Al-Qur’an”, “… sepertiga Al-Qur’an”, “… setengah Al-Qur’an”, atau semacamnya dari kata-kata yang menunjukan kepada sifat-sifat benda/baharu maka yang dimaksud Al-Qur’an di sini adalah bacaan (al-Qira’ah) terhadap Al-Qur’an yang diperbuat oleh manusia. Tetapi jika disebutkan secara mutlak “Al-Qur’an”; tanpa ada indikasi yang menunjukan kepada sifat-sifat benda atau kebaharuan maka yang dimaksud Al-Qur’an di sini adalah merujuk (diberlakukan) kepada Sifat Kalam Allah yang Azaliyyah Abadiyyah yang tetap dengan Dzat-Nya (yang bukan sebagai huruf-huruf, suara, dan bukan bahasa).
Sama dengan ketika seseorang berkata; “Allah” secara mutlak, maka kata “Allah” merujuk kepada Dzat yang maha Suci yang kita sembah yang bernama Allah. Kecuali jika ada ikatan (Qayd) yang menunjukan bahwa ia sedang membicarakan tulisan lafazh “Allah” misalkan, lafazh Allah yang tersusun dari huruf Alif, Lam, Lam dan Ha’ ; maka itu semua adalah baharu. Demikian pula dengan ungkapan kata Al-Qur’an. Jika diungkapkan secara mutlak, tanpa ada qayd, maka ia merujuk kepada Kalam Dzat Allah yang Azali dan Abadi, [bukan sebagai huruf, suara dan bahasa].
Al-Imam Abul Qasim al-Anshari (w 511 H), salah seorang murid terkemuka Imam al-Haramain Abdul Malik al-Juwaini (w 478 H), dalam syarh terhadap kitab al-Irsyad, karya sanga guru, berkata:
فأما المقروء بالقراءة فهو المفهوم منها المعلوم وهو الكلام القديم الذي يدل عليه العبارات وليس منها، والمقروء لا يحل القارئ ولا يقوم به، وسبيل القراءة والمقروء كسبيل الذكر والمذكور، فالذكر يرجع إلى أقوال الذاكر والرب المذكور المسبح الممجد غير الذكر والتسبيح والتمجيد. اهـ[1]
“Adapun al-Maqru’, kandungan yang dibaca (al-Qira’ah); maka ia adalah makna (kandungan) yang dipahami dan diketahui darinya (al-Qira’ah), dan ia itu adalah Kalam yang Qadim yang ditunjukan atasnya oleh ungkapan-ungkapan (al-‘Ibarat/berbahasa Arab). Dan bukanlah Kalam Qadim itu berupa al-‘Ibarat (artinya Kalam Dzat Allah bukan sebagai huruf, suara dan bahasa). Juga, makna / kandungan dari yang dibaca (al-Maqru’) bukanlah sesuatu yang menyatu dan menetap bagi yang membaca (al-Qari’). Jalan (perumpamaan) perbedaan antara al-Qira’ah dengan al-Maqru’ adalah seperti adz-Dzikr dengan al-Madzkur. Adz-Dzikr adalah bacaan-bacaan/perkataan orang yang dzikr (pekerjaan menyebut nama Allah). Sementara Allah adalah Yang disebut (al-Madzkur), Yang disucikan (al-Musabbah) dan Yang diangungkan (al-Mumajjad). Ini jelas berbeda dengan adz-Dzikr, at-Tasbih, dan at-Tamjid, [karena tiga perkara ini kembali kepada pekerjaan hamba]”.
Al-Imam al-Bukhari (w 256 H) dalam kitab Khalq Af’al al-Ibad menuliskan sebagai berikut:
سمعت عبد الله بن سعيد يقول: سمعت يحيى بن سعيد يقول: ما زلت أسمع من أصحابنا يقولون: إن أفعال العباد مخلوقة. قال أبو عبد الله: حركاتهم وأصواتهم واكتسابهم وكتابتهم مخلوقة، فأما القرآن المتلو المبين المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في القلوب فهو كلام الله ليس بخلق. اهـ[2]
“Aku mendengar Abdullah ibn Sa’id berkata; Aku mendengar Yahya iibn Sa’id berkata; Senantiasa aku mendengar para sahabatku berkata; “Perbuatan para hamba adalah makhluk”. Berkata [aku] Abu Abdillah al-Bukhari; “Maka seluruh gerakan hamba, suara mereka, usaha mereka, dan tulisan mereka semua itu adalah makhluk. Adapun [kandungan/makna] yang dibaca (al-Maqru’) dari yang ada dimuat dalam lembaran-lembaran, yang ditulis dan dihafal dalam hati maka itu adalah Kalam Allah bukan makhluk”.
Pada bagian lain dalam Khalaq Af’al al-‘Ibad, al-Imam al-Bukhari menuliskan;
فأما المراد والرق ونحو فإنه خلق، كما أنك تكتب الله فالله في ذاته هو الخالق، وخطك واكتسابك من فعلك خلق، لأن كل شئ دون الله بصنعه. قال الله تعالى: (وخلق كل شئ فقدره تقديرا). اهـ[3]
“Maka adapun tinta, kertas, dan semacamnya maka ia itu adalah makhluk. Sebagaimana bila engkau menulis lafazh “Allah”; maka yang dimaksud adalah Dzat yang maha suci, Sang Pencipta. Adapun tulisanmu, pekerjaanmu (dalam menulis lafazh Allah) adalah makhluk. Karena segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Allah berfirman: “Dan Dia (Allah) menciptakan segala sesuatu maka Dia yang menetapkan segala sesuatu akan ketetapannya” (QS. Al-Furqan: 2)”.
Al-Imam al-Bukhari juga berkata:
وقال حماد بن زيد: من قال إن كلام العباد ليس بمخلوق فهو كافر. اهـ[4]
“Dan telah berkata Hammad ibn Zaid; “Barangsiapa berkeyakinan bahwa perkataan manusia bukan ciptaan Allah maka ia telah kafir”.
_____________________
[1] Abul Qasim al-Anshari, Syarh al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah, h. 161
[2] Al-Bukhari, Khalq Af’al al-‘Ibad, h. 47
[3] Al-Bukhari, Khalq Af’al al-‘Ibad, h. 49
[4] Al-Bukhari, Khalq Af’al al-‘Ibad, h. 53