Minggu, September 24, 2023
spot_img
BerandaFiqihPenjelasan Para Ulama Tentang Kebolehan Memakai Hirz Atau Ta'widz

Penjelasan Para Ulama Tentang Kebolehan Memakai Hirz Atau Ta’widz

Sebagian orang mengharamkan memakai hirz yang isi di dalamnya hanya ayat-ayat al-Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir kepada Allah. Mereka bahkan memutus hirz-hirz tersebut dari leher orang yang memakainya dengan mengatakan: “ini adalah perbuatan syirik”, terkadang mereka tidak segan-segan memukulnya. Padahal sahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash dan lainnya dari kalangan para sahabat telah mengalungkan hirz-hirz semacam itu pada leher anak-anak mereka yang belum baligh. Apakah mereka yang mengharamkan memakai hirz ini akan memvonis para sahabat tersebut dengan syirik?! Apa yang hendak mereka katakan tentang Imam Ahmad, Imam Mujtahid Ibn al Mundzir yang telah membolehkan hirz. Hal ini cukup sebagai bukti akan kerancuan dan kesesatan kelompok ini, karena telah menganggap syirik apa yang telah dilakukan oleh para ulama Salaf.

Dalil-Dalil Kebolehan Memakai Hirz

1. Allah berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (الإسراء: 82)

“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an sesuatu yang di dalamnya terdapat obat kesembuhan dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. al-Isra’: 82)

2. al-Imam At-Tirmidzi dan al-Imaman-Nasa-i meriwayatkan dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada kami beberapa kalimat untuk kita baca ketika terjaga dari tidur dalam keadaan terkejut dan takut”. Dalam riwayat Isma’il, Rasulullah bersabda yang maknanya: “Jika di antara kalian merasakan ketakutan maka bacalah:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَمِنْ شَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنِ.

Adalah sahabat Abdullah ibn ‘Amr mengajarkan bacaan ini kepada anaknya yang sudah baligh untuk dibaca sebelum tidur, dan beliau menuliskannya untuk anak-anaknya yang belum baligh kemudian dikalungkan di leher-lehernya”. [1]

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitabnya al-Amali [Nata-ij al Afkar] berkata: “Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ali ibn Hujr, dari Isma’il ibn Abbas, dan diriwayatkan oleh an-Nasai dari ‘Amr ibn Ali al Fallas dari Yazid ibn Harun”[2].

Kalaupun kemudian Ibn Baaz atau Muhammad Hamid al-Faqqi, dan para pemuka kaum Wahhabiyyah lainnya melemahkan hadits ini, maka klaim itu tidak benar, klaim yang tidak memiliki nilai, dan sama sekali tidak layak untuk diambil. Karena mereka berdua bukan Muhaddits atau Hafizh al-Hadits. Mereka sama sekali tidak memiliki otoritas untuk menilai kualitas-kualitas hadits. Bagaimana mungkin pendapat mereka akan dianggap, sementara Amir al-Mukminin Fi al-Hadits; al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani telah menyatakan bahwa hadits di atas berkualitas hasan.

3. Dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah disebutkan sebagai berikut[3]: “Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakar, ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Ali ibn Mushir dari Ibn Abi Laila dari al-Hakam dari Sa’id ibn Jubair dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas, bahwa ia berkata: “Jika seorang perempuan sulit melahirkan maka tulislah dua ayat ini dan beberapa kalimat pada selembar kertas kemudian basuh (celupkan dalam air) dan minumlah:

بِسْمِ اللهِ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْحَلِيْمُ الْكَرِيْمُ, سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبِّ العَرْشِ العَظِيْمِ، كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا، كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ.

4. Ibn Abi ad-Dun-ya dalam kitab al-‘Iyal meriwayatkan dari al-Hajjaj, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku orang yang telah melihat Sa’id ibn Jubair sedang menuliskan beberapa ta’widz untuk orang lain…”[4]. Dalam riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra disebutkan bahwa orang yang telah melihat Sa’id ibn Jabir itu disebutkan namanya yaitu Fudlail[5].

5. Dalam kitab Ma’rifah al-‘Ilal Wa Ahkam ar-Rijal dari ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: “Telah meriwayatkan kepadaku ayahku (Ahmad ibn Hanbal), ia berkata: Telah meriwayatkan kepadaku Yahya ibn Zakariya ibn Abi Za-idah, ia berkata: Telah mengkabarkan kepadaku Isma’il ibn Abi Khalid dari Farras dari asy-Sya’bi berkata:

لاَ بَأْسَ بِالتَّعْوِيْذِ مِنَ القُرْءَانِ يُعَلَّقُ عَلَى الإِنْسَانِ.

“Tidak masalah mengalungkan hirz dari al-Qur’an pada leher seseorang”[6].

6. Dalam kitab Masa-il al-Imam Ahmad karya al-Imam Abu Dawud as-Sijistani disebutkan sebagai berikut[7]:

“Telah memberitakan kepada kami Abu Bakr, berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud, berkata: “Aku melihat tamimah (hirz) yang terbuat dari kulit terkalungkan pada leher putera Ahmad yang masih kecil”.

Juga telah memberitakan kepada kami Abu Bakar berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud, berkata: Aku telah mendengar al-ImamAhmad ditanya tentang seseorang yang menulis al-Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan diminumnya? Ahmad berkata: “Saya berharap itu tidak masalah”.

Abu Dawud berkata: Aku mendengar pertanyaan yang ditujukan kepada Imam Ahmad: “Apa hukum menulis al-Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan dibuat mandi? Beliau menjawab: “Saya tidak mendengar kalau hal itu dilarang”.

7. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, -dalam Su-alat al-Imam Ahmad karya putera al-ImamAhmad-, berkata:

“Saya melihat ayahku menuliskan bacaan-bacaan (hirz/at-ta’awidz) untuk orang-orang yang dirasuki jin, serta untuk keluarga dan kerabatnya yang demam. Beliau juga menuliskan untuk perempuan yang sulit melahirkan pada sebuah tempat yang bersih, ia menulis hadits Ibn Abbas. Hanya saja beliau melakukan hal itu ketika mendapatkan bala, aku tidak melihat ayahku melakukan hal tersebut jika tidak ada bala. Aku juga melihat ayahku membaca ta’widzpada sebuah air kemudian diminumkan kepada orang yang sakit dan disiramkan pada kepalanya. Aku juga melihat ayahku mengambil sehelai rambut Rasulullah lalu diletakkan pada mulutnya dan mengecupnya. Aku juga sempat melihat ayahku meletakkan rambut Rasul tersebut pada kepala atau kedua matanya kemudian dicelupkan ke dalam air dan air tersebut diminum untuk obat. Dan aku melihat ayahku mengambil piring Rasulullah yang dikirim oleh Abu Ya’qub ibn Sulaiman ibn Ja’far kemudian beliau mencucinya dalam air dan air tersebut ia minum. Bahkan tidak hanya sekali aku melihat ayahku minum air zamzam untuk berobat, ia usapkan pada kedua tangan dan wajahnya”[8].

8. Dalam kitab al-Ausath Fi as-Sunan Wa al-Ijma’ Wa al-Ikhtilaf, karya Ibn al-Mundzir disebutkan tentang kebolehan memakai at-ta’widz (hirz)[9].

9. Dalam kitab al-Adab asy-Syar’iyyah karya Ibn Muflih al-Hanbali disebutkan bahwa al-ImamAhmad ibn Hanbal menulis ta’widzuntuk seorang perempuan yang ketakutan di rumahnya, dan membuat hirz untuk orang yang demam. Al-ImamAhmad juga membuat hirz untuk wanita yang akan melahirkan, dan beliau meriwayatkannya dari sahabat ‘Abdullah ibn Abbas. Dan Ibn as-Sunni meriwayatkannya dalam kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-lailah.

10. al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab as-Sunan al-Kubra tentang kebolehan memakai hirz dari pernyataan beberapa ulama kalangan Tabi’in. Di antaranya dari al-Imam Sa’id ibn Jubair, dan al-Imam Atha’ ibn Abi Rubah. Bahkan Sa’id ibn al-Musayyab memerintahkan agar dikalungkan ta’widz dari al-Qur’an. Kemudian al-Baihaqi berkata:

“Ini semua kembali kepada apa yang telah aku sebutkan bahwasanya kalau seseorang membaca ruqa(bacaan-bacaan) yang tidak jelas maknanya, atau seperti orang-orang di masa Jahiliyah yang meyakini bahwa kesembuhan berasal dari ruqa tersebut maka hal itu tidak boleh. Sedangkan jika seseorang membaca ruqa dari ayat-ayat al-Qur’an atau bacaan-bacaan yang jelas seperti bacaan dzikir dengan maksud mengambil berkah dari bacaan tersebut dan dengan keyakinan bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah semata maka hal itu tidak masalah. Wabillah at-Taufiq”.[10]

Kerancuan Kalangan Anti Hirz Dan Ta’widz

Kalangan yang mengharamkan hirz atau ta’widz, dalam berdalil seringkali mengutip hadits Rasulullah yang berbunyi:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ (رواه أبو داود)

“Sesungguhnya ruqa, tama-im dan tiwalah adalah syirik” (HR. Abu Dawud)

Jawab:

Hadits ini ditafsirkan dengan hadits lain yang shahih, yaitu:

نَهَى عَنِ الرُّقَى وَالتَّمَائِمِ إِلاَّ بِالْمُعَوِّذَاتِ (رواه ابن حبّان)

“Rasulullah melarang ruqyah dan tamimah kecuali dengan ayat-ayat al-Mu’awwidzat (ayat-ayat yang dibaca untuk menjaga diri)”. (HR. Ibn Hibban)

Dan telah masyhur dan diriwayatkan dengan shahih bahwa Ahmad ibn Hanbal menulis hirz untuk muridnya; yaitu Abu Bakar al-Marwarrudzi pada sehelai kertas atau kain, beliau menuliskan di dalamnya:

بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ وَمُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ، قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ

agar ia sembuh dari demam.

Dengan demikian yang dimaksud tama-im dalam hadist di atas bukan tama-im dan ta’awidz yang berisikan ayat-ayat al-Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir. Karena kata tama-im sudah jelas dan dikenal maknanya, yaitu untaian yang biasa dipakai oleh orang-orang Jahiliyyah dengan keyakinan bahwa tama-im tersebut dengan sendirinya menjaga mereka dari serangan ’ayn atau penyakit lainnya. Mereka tidak meyakini bahwa tama-im itu bermanfaat dengan kehendak Allah. Karena keyakinan yang salah inilah kemudian Rasulullah menyebutnya sebagai syirik.

Demikian juga ruqa yang terdapat dalam hadits tersebut, karena ruqa ada dua macam; ada yang mengandung syirik dan ada yang tidak mengandung syirik.

  • Ruqa yang mengandung syirik adalah yang berisi permintaan kepada jin dan setan. Sebagaimana sudah telah diketahui bahwa setiap kabilah Arab memiliki thaghut,yaitu setan yang masuk pada diri seseorang dari mereka, kemudian setan itu berbicara lewat mulut orang tersebut, lalu orang tersebut disembah. Ruqa yang syirik adalah ruqa Jahiliyyah seperti ini, atau ruqayang semakna dengannya.
  • Sedangkan ruqa yang syar’i yaitu ruqayang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan diajarkan kepada para sahabatnya. Ummat Islam pada masa sahabat memakai ruqa syar’i tersebut untuk menjaga diri dari serangan ‘ayn dan yang lainnya dengan mengalungkan ruqa-ruqa tersebut pada leher mereka. Ruqa syar’i ini terdiri dari ayat-ayat al-Qur’an atau dzikir-dzikir.

Penutup

Al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, menuliskan sebagai berikut:

فَرْعٌ : قَالَ أَصْحَابُنَا : يَجُوْزُ لِلنِّسَاءِ لُبْسُ أَنْوَاعِ الْحُلِيِّ كُلِّهَا مِنَ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ؛ الْخَاتَمِ وَالْحَلْقَةِ وَالسِّوَارِ وَالْخَلْخَالِ وَالطَّوْقِ وَالْعِقْدِ وَالتَّعَاوِيْذِ وَالْقَلاَئِدِ وَغَيْرِهَا.

“Cabang (permasalahan): Parasahabat kami (Tokoh-tokoh besar Madzhab Syafi’i) berkata: Boleh bagi kaum wanita memakai semua jenis perhiasan dari emas dan perak; cincin, gelang, gelang kaki, kalung, ta’awidz (hirz yang dikalungkan) dan lainnya”[11].

______________
[1] Jelas tidak masuk akal jika mereka mengatakan: “Kalau dikalungkan di leher anak kecil hukumnya boleh dan jika dikalungkan di leher orang dewasa hukumnya syirik”.
[2] Lihat Nata’ij al-Afkar, h. 103-104
[3] Mushannaf Ibn Abi Syaibah, j. 5, h. 39-40
[4] al-‘Iyal, h. 144
[5] as-Sunan al-Kubra, j. 9, h. 351
[6] Ma’firah al-‘Ilal Wa Ahkam ar-Rijal, h. 278-279
[7] Masa-il al-Imam Ahmad, h. 260
[8] Su’alat al-Imam Ahmad, h. 447
[9] al-Ausath Fi as-Sunan Wa al-Ijma’ Wa al-Ikhtilaf, j. 1, h.103-104
[10] Sebagian ulama menyebutkan tiga syarat diperbolehkannya ruqyah dan ta’widz: dilakukan dengan menggunakan al-Qur’an, Asma Allah dan sifat-sifat-Nya atau dengan dzikir, dengan bahasa Arab atau bahasa lain tetapi dipahami maknanya, meyakini bahwa ruqyah dan ta’widz tidak berpengaruh dengan sendirinya melainkan dengan takdir Allah. Lihat al-Ajwibah al-Ghaliyah, hal. 141.
[11] Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, j. 4, h. 384

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments

×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku