Minggu, September 24, 2023
spot_img
BerandaTanzihPerkataan Ulama Bahwa Kalam Dzat Allah Bukan Huruf Suara dan Bahasa

Perkataan Ulama Bahwa Kalam Dzat Allah Bukan Huruf Suara dan Bahasa

Berikut ini kita kutip perkataan beberapa Imam terkemuka Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam menetapkan bahwa sifat Kalam Allah [al-Kalam adz-Dzatiy] bukan huruf-huruf, bukan suara dan bukan bahasa. Beberapa nama yang kita kutip di sini hanya sebagian kecil saja. Karena bila hendak mencantumkan seluruh nama ulama Ahlussunnah dan seluruh catatan mereka dalam masalah kalam Allah maka kita membutuhkan kepada lembaran halaman yang sangat banyak. Seluruh ulama Ahlussunnah sepakat menetapkan bahwa sifat Kalam Allah tidak menyerupai kalam makhluk, sebagaimana seluruh sifat-sifat-Nya tidak ada suatu apapun yang menyerupai sifat-sifat makhluk.

Abu Hanifah an-Nu’man Ibn Tsabit (150 H)

Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H) dalam al-Fiqh al-Akbar dan al-Washiyyah berkata:

والقرءان كلام الله غير مخلوق، ووحيه وتنزيله على رسول الله، وهو صفته على التحقيق، مكتوب في المصاحف، مقروء بالألسنة، محفوظ في الصدور غير حال فيها، والحبر والكاغد والكتابة والقراءة مخلوقة لأنها أفعال العباد، فمن قال بأن كلام الله مخلوق فهو كافر بالله العظيم. اهـ[1]

“Dan Al-Qur’an Kalam Allah bukan makhluk, wahyu-Nya dan yang diturunkan kepada Rasulullah, dan Kalam tersebut adalah sifat-Nya secara hakiki, ia ditulis di atas lembaran-lembaran, dibaca dengan lidah-lidah, dipelihara dalam dada-dada tanpa menyetu di dalamnya, sementara tinta, pena, tulisan, bacaan [gerakan mulut, lidah dan anggota lainnya] itu semua adalah makhluk, karena itu semua adalah peruatan-perbuatan hamba. Namun demikian barang siapa berkata bahwa Kalam Allah makhuk maka dia telah kafir kepada Allah yang agung”.

Baca juga: Al-Qur’an Makhluk Atau Bukan Makhluk?

Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah juga berkata:

ويتكلم لا ككلامنا، نحن نتكلم بالآلات من المخارج والحروف والله متكلم بلا ءالة ولا حرف، فصفاته غير مخلوقة ولا محدثة، والتغير والاختلاف في الأحوال يحدث في المخلوقين ومن قال إنها محدثة أو مخلوقة أو توقف فيها أو شك فيها فهو كافر. اهـ[2]

“Dia Allah ber-kalam tidak seperti kalam kita, kita berbicara dengan alat-alat dari makhraj-makhraj, dan huruf-huruf. Allah ber-kalam dengan tanpa alat, dan tanpa huruf, maka sifat-sifat Allah bukan makhluk dan tidak baharu. Sementara perubahan dan pergantian dalam keadaan-keadaan adalah terjadi pada para makhluk. Maka barangsiapa berkata bahwa Kalam Allah makhluk, atau ia tawaqquf (tidak berpendapat), atau ia ragu-ragu pada Kalam Allah tersebut maka ia seorang yang kafir”.

Al-Imam Abu Hanifah menulis lima risalah dalam menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; al-‘Alim Wa al-Muta’allim, al-Fiqh al-Akbar, al-Fiqh al-Absath, ar-Risalah, dan al-Washiyyah. Semua risalah ini benar adanya sebagai karya-karya al-Imam Abu Hanifah sebagaimana ditetapkan oleh al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, beliau berkata: “Semua karya tersebut benar karya Abu Hanifah dengan sanad-sanad yang sahih”.

Juga dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah berkata:

وسمع موسى كلام الله تعالى : (وكلّم الله موسى تكليماً) سورة النساء: 164، وقد كان الله تعالى متكلماً، ولم يكن كلم موسى، وقد كان الله تعالى خالقاً في الأزل ولم يخلق الخلق، (ليس كمثله شىءٌ وهو السميع البصير) سورة الشورى: 11، فلما كلم الله موسى، كلمه بكلامه الذي هو له صفةٌ في الأزل، وصفاته كلها بخلاف صفات المخلوقين، يعلم لا كعلمنا، يقدر لا كقدرتنا، يرى لا كرؤيتنا، يتكلم لا ككلامنا، ويسمع لا كسمعنا. نحن نتكلم بالآلات والحروف، والله تعالى يتكلم بلا حروفٍ ولا آلةٍ. والحروف مخلوقةٌ، وكلام الله تعالى غير مخلوقٍ، وهو شىءٌ لا كالأشياء، ومعنى الشىء إثباته بلا جسمٍ ولا جوهرٍ ولا عرضٍ، ولا حدّ له، ولا ضدّ له، ولا ندّ له، ولا مثل له”.اهـ[3]

“Musa mendengar kalam Allah, firman Allah “Dan Allah memperdengarkan kalam-Nya kepada Musa” (QS. An-Nisa: 164), Kalam Allah Azali (tanpa permulaan), Allah bersifat kalam sebelum Dia membuka hijab dari Musa (memperdengarkan kalam-Nya kepada Musa). Allah adalah al-Khaliq (Maha Pencipta) pada azal (keberadaan tanpa permulaan), walaupun -pada Azal– belum menciptakan makhluk. “(Dia Allah) tidak menyerupai-Nya oleh suatu apapun, Dia maha mendengar dan maha melihat” (QS. Asy-Syura: 11). Ketika memperdengarkan oleh Allah terhadap Nabi Musa akan Kalam-Nya maka kalam-Nya tersebut adalah sifat bagi-Nya yang Azali (tidak bermula). Dan sifat-sifat Allah seluruhnya tidak menyerupai segala apapun dari sifat-sifat para makhluk. Allah Maha mengetahui tidak seperti pengetahuan kita. Allah Maha kuasa tidak seperti kekuasaan kita. Allah Maha melihat tidak seperti melihat kita. Allah Maha berbicara tidak seperti berbicara kita. Allah Maha mendengar tidak seperti mendengar kita. Kita berbicara dengan alat-alat dan huruf-huruf, Allah berbicara tanpa huruf-huruf dan tanpa alat. Huruf-huruf adalah makhluk, sementara Kalam Allah bukan makhluk. Dia Allah adalah “Sesuatu” tetapi tidak seperti segala sesuatu. Pengertian “Sesuatu” (bagi Allah) di sini adalah bahwa Dia Maha ada; bukan sebagai benda (tubuh), bukan jawhar (benda terkecil yang dapat dibagi-bagi), bukan sifat benda, tanpa batas, tanpa penentang, tanpa keserupaan, dan tidak ada kesamaan bagi-Nya”.

Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H)

Al-Imam al-Muhaddita al-Faqih Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ibn Salamah al-Azdi al-Hanafi (w 321 H), yang terkenal dengan sebutan Abu Ja’far ath-Thahawi, menulis risalah aqidah yang popular dengan nama al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, berisi penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Di antara yang beliau tulis dalam risalah tersebut mengatakan:

وإن القرءان كلام الله منه بدا بلا كيفية قولا، وأنزله على رسوله وحيا. اهـ[4]

“Dan sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalam Allah, dari-Nya diturunkan dengan tanpa tata-cara ucapan (artinya bukan huruf dan bukan suara), diturunkan atas Rasul-Nya sebagai wahyu”.

Baca juga: Pahami Dua Pengertian Al-Qur’an Disebut Kalam Allah

Perkataan ath-Thahawi di atas “Minhu Bada”; secara literal makna “bada” artinya “zhahara”, makna harfiahnya “nampak”. Kalimat ini bukan berarti bahwa Allah mengeluarkan kata-kata dalam bentuk huruf, suara dan bahasa seperti bacaan kita terhadap kitab Al-Qur’an seperti pemahaman sesat kaum Musyabbihah Mujassimah. Tetapi yang dimaksud dengan “mihnu bada” adalah “diturunkan”, dengan bukti perkataan ath-Thahawi sendiri yang menyebutkan “Bila Kaifiyyah Qaula”; (bukan dengan tata-cara ucapan), artinya bukan dalam makna sifat benda, seperti perkataan manusia atau lainnya. Dengan demikian makna pernyataan ath-Thahawi ini adalah bahwa Kalam Dzat Allah bukan huruf, bukan suara, dan bukan bahasa. Demikian dijelaskan oleh al-Imam al-Muhaddits Abdullah al-Harari dalam kitab Izh-har al-‘Aqidah as-Sunniyyah Fi Syarh al’Aqidah ath-Thahawiyyah.[5]

Selain dari itu, ath-Thahawi dalam Fiqh, juga dalam aqidah, sejalan dan mengikuti al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah (w 150 H) dan kedua sahabatnya; yaitu al-Imam Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari dan al-Imam Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani. Sebagaimana beliau tulis dipermulaan al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah;

هذا ذكر بيان عقيدة أهل السنة والجماعة على مذهب فقهاء الملة: أبي حنيفة النعمان بن ثابت الكوفي، وأبي يوسف يعقوب بن إبراهيم الأنصاري وأبي عبد الله محمد بن الحسن الشيباني. اهـ[6]

“Ini adalah penyebutan penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah di atas madzhab para ulama agama; Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, Abu yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari, dan Abu Abdillah Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani”.

Di atas telah kita kutip perkataan al-Imam Abu Hanifah dalam karyanya; al-Fiqh al-Akbar dan al-Fiqh al-Absath, bahwa Kalam Dzat Allah bukan huruf-huruf, bukan suara dan bukan bahasa. Dengan demikian pemahaman inilah pula yang dimaksud oleh al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi dalam ar-Risalah ath-Thahawiyyah, sebagaimana telah kita jelaskan di atas.

Abu Mu’ain An-Nasafi (w 537 H)

Al-Imam al-Muhaddits Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Ahmad an-Nasafi (w 537 H), dalam risalah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang beliau susun, popular dengan sebutan al-‘Aqidah an-Nasafiyyah, menuliskan:

وهو متكلم بكلام هو صفة له أزلية ليس من جنس الحروف والأصوات وهو صفة منافية للسكوت والآفة.[7]

“Dan Dia (Allah) Maha berbicara dengan Kalam yang ia itu sifat bagi-Nya, tanpa permulaan, bukan dari jenis huruf-huruf dan segala suara. Dia (Kalam Allah) menafikan bagi diam dan segala cela”.

Al-‘Izz ibn Abdis-Salam (w 577 H)

Sulthan al-‘Ulama (Raja Ulama), al-‘Izz ibn Abdis-Salam (w 577 H) dalam Risalah-nya dalam Tauhid menuliskan:

فالله متكلم بكلام قديم أزلي ليس بحرف ولا صوت ولا يتصور في كلامه أن ينقلب مدادا في اللوح والاوراق شكلا ترمقه العيون والأحداق كما زعم أهل الحشو والنفاق بل الكتابة من أفعال العباد ولا يتصور من أفعالهم أن تكون قديمة ويجب احترامها لدلالتها على كلامه كما يجب احترام أسمائه لدلالتها على ذاته. اهـ [8]

“Maka Allah maha berbicara dengan Kalam yang Qadim, Azali (tidak bermula), bukan dengan huruf, bukan suara, dan tidak dengan dibayangkan bahwa Kalam-Nya [boleh] berubah menjadi bentuk tinta [tulisan] yang ada pada papan [tulis] atau di atas kertas yang dapat diteliti oleh pandangan mata; seperti keyakinan golongan Hasyawiyyah dan orang-orang munafiq. Tetapi [sesungguhnya] tulisan itu adalah dari perbuatan-perbuatan hamba. Dan tidak dapat dibayangkan [tidak diterima oleh akal] jika perbuatan-perbuatan para hamba itu Qadim [tidak bermula]. Namun demikian wajib menghormati tulisan-tulisan [kitab Al-Qur’an], karena tulisan-tulisan tersebut menunjukan kepada Kalam Dzat Allah. Sebagaimana kita wajib menghormati [tulisan] nama-nama Allah karena itu menunjukan kepada Dzat Allah”.

Cukup panjang penjelasan al-Imam al-‘Izz ibn Abdis-Salam dalam masalah Kalam Allah ini. Termasuk di antara yang beliau catatkan dalam Rasa-il Fi at-Tauhid karyanya ini adalah sebagai berikut:

فويل لمن زعم أن كلام الله القديم شىء من ألفاظ العباد أو رسم من أشكال المداد. اهـ [9]

“Maka celakalah orang yang meyakini bahwa Kalam Allah yang Qadim adalah sesuatu dari lafazh-lafazh (yang diucapkan oleh) para hamba atau tulisan (hasil) dari tinta”.

Isma’il ibn Ibrahim Ali asy-Syaibani (w 629 H)

Isma’il ibn Ibrahim asy-Syaibani (w 629 H) dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah berkata:

والحرف والصوت مخلوق، خلق الله تعالى ليحصل به التفاهم والتخاطب لحاجة العباد إلى ذلك أي الحروف والأصوات، والبارىء سبحانه وتعالى وكلامه مستغن عن ذلك أي عن الحروف والأصوات، وهو معنى قوله: ومن وصف الله تعالى بمعنى من معاني البشر فقد كفر. اهـ[10]

“Huruf dan suara adalah makhluk, Allah menciptakannya agar terhasilkan saling memahami dan saling berbicara, karena kebutuhan para hamba kepada huruf-huruf dan suara-suara. Dan Allah kalam-Nya maha suci dari itu semua, artinya kalam-Nya bukan huruf-huruf dan bukan suara-suara. Dan inilah makna perkataannya (Abu Ja’far ath-Thahawi): “Barangsiapa mensifati Allah dengan makna dari makna-makna manusia maka ia telah kafir”.

Ibnul Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H)

Al-Imam Muhammad ibn Muhammad ibn Utsman al-Qurasyi al-Mishri, yang popular dengan sebutan Ibnul Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H), dalam karyanya berjudul Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi, mengutip perkataan al-Imam Abu ‘Ali al-Hasan ibn al-Hasan ‘Atha’, menuliskan:

قال الشيخ الإمام أبو علي الحسن بن عطاء في أثناء جواب عن سؤال وجه إليه سنة إحدى وثمانين وأربعمائة : الحروف مسبوق بعضها ببعض، والمسبوق لا يتقرر في العقول أنه قديم، فإن القديم لا ابتداء لوجوده، وما من حرف وصوت إلا وله ابتداء، وصفات البارىء جل جلاله قديمة لا ابتداء لوجودها، ومن تكلم بالحروف يترتب كلامه، ومن ترتب كلامه يشغله كلام عن كلام، والله تبارك وتعالى لا يشغله كلام عن كلام، وهو سبحانه يحاسب الخلق يوم القيامة في ساعة واحدة، فدفعة واحدة يسمع كل واحد من كلامه خطابه إياه. اهـ [11]

“Telah berkata Syekh Imam Abu Ali al-Hasan ibn ‘Atha’ dalam pertengahan jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepadanya tahun 481 H: “Huruf-huruf itu mendahului oleh sebagian dengan sebagian yang lain. Dan sesuatu yang didahului tidak dapat diterima akal jika ia Qadim (tidak bermula). Karena sesungguhnya yang Qadim itu adalah tidak bermula bagi keberadaannya. Sementara, tidak ada satu huruf-pun dan suara kecuali ia memiliki permulaan. Adapun sifat-sifat Allah Qadim; tidak ada permulaan bagi wujudnya. Siapa yang berbicara dengan huruf-huruf maka tersusunlah pada kalamnya. Dan siapa yang tersusun pada kalamnya maka ia disibukan oleh satu kalam dari kalam yang lain. Adapun Allah tidak disibukan oleh satu kalam atas kalam lain (karena kalam Allah maha suci dari susunan huruf-huruf). Allah menghisab pada makhluk di hari kiamat dalam waktu sesaat (artinya dalam waktu yang sangat cepat). Sekaligus memperdengarkan (ketika peristiwa hisab) kepada setiap dari mereka mereka akan kalam-Nya”.

Kalam Allah
Pesan sekarang!
Mahmud ibn Ahmad ibn Mas’ud al-Qunawi (w 771 H)

Mahmud ibn Ahmad Al-Qunawi (w 771 H) dalam kitab Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah berjudul al-Qala-id Syarh al-‘Aqa-id, berkata:

إن الله خلق صوتاً بهيئة ألفاظ القرءان فسمعه جبريل فقرأه على النبي صلى الله عليه وسلم. اهـ[12]

“Sesungguhnya Allah menciptakan suara dengan bentuk lafazh-lafazh Al-Qur’an, maka Jibril mendengar suara tersebut, lalu Jibril membacakannya kepada Rasulullah”.

Klik untuk pemesanan >>> Bukan Huruf Bukan Suara Bukan Bahasa

As-Sanusi (w 895 H)

Al-Imam Muhammad ibn Yusuf ibn Umar al-Hasani, yang lebih dikenal dengan sebutan as-Sanusi (w 895 H) dalam al-‘Aqidah as-Sanusiyyah, sebuah risalah yang sangat popular dalam penjelasan pokok-pokok aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, dalam menetapkan sifat al-Ma’ani yang wajib adanya bagi Allah, menuliskan:

والكلام: الذّي ليس بحرفٍ، ولا صوتٍ، ويتعلّق بما يتعلّق به العلم من المتعلّقات. اهـ[13]

“(Dan wajib bagi Allah) Sifat al-Kalam; yang bukan dengan huruf, bukan suara. dan Sifat Kalam ini terkait dengan apa yang terkait dengannya oleh sifat Ilmu-Nya”.

Maksud al-Imam as-Sanusi adalah bahwa wajib adanya bagi Allah sifat Kalam, yang sifat tersebut bukan sebagai huruf-huruf, bukan suara dan bukan bahasa. Kemudian ta’alluq sifat Kalam Allah adalah sama dengan ta’alluq sifat Ilmu-Nya, yaitu terkait dengan perkara-perkara al-Wajibat, al-Mustahilat, dan al-Mumkinat. 

Kemudian al-Imam as-Sanusi menuliskan:

وأمّا برهان وجوب السّمع له تعالى والبصر والكلام: فالكتاب والسّنة والإجماع، وأيضًا لو لم يتّصف بها لزم أن يتّصف بأضدادها، وهي نقائص، والنّقص عليه تعالى محالٌ. اهـ[14]

“Dan adapun dalil wajib-nya sifat Mendengar bagi Allah, sifat Melihat dan sifat Kalam maka adalah Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’. Pula jika Dia tidak bersifat dengan sifat-sifat demikian itu maka mestilah Dia bersifat dengan sifat-sifat kebalikannya, dan itu semua adalah kekurangan, dan kekurangan itu atas Allah mustahil”.

Syekh Abbdul Ghani an-Nabulsi (w 1135 H)

Al-Muhaddits al-Faqih Syekh Abdul Ghani an-Nabulsi (w 1135 H) dalam bait-bait syair karyanya yang dinamakan dengan Muqtadla asy-Syahadatain (Tuntutan dua kalimat Syahadat), berkata:

له كلامٌ ليس كالمعروف * جلّ عن الأصوات والحروف

“Bagi-Nya (Allah) kalam tidak seperti yang kita kenal (pada makhluk), Suci (Kalam Allah) dari segala suara dan huruf-huruf”.

Kalam Allah yang dimaksud dalam bait ini adalah al-Kalam adz-Dzati; sifat Kalam Allah yang tidak bermula dan tanpa penghabisan (Azaliyyah Abadiyyah). Kalam Allah dalam makna tersebut tidak seperti kalam pada makhluk. Dengan demikian maka sifat Kalam Allah bukan huruf-huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H)

Al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H) menulis syarh/penjelasan khusus terhadap Bab Qawa’id al-Aqa’id dari Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin karya Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali. Di antara tulisan az-Zabidi dalam kitab tersebut dalam masalah Kalam Allah adalah sebagai berikut:

وأنه تعالى متكلم آمر ناه واعد متوعد بكلام أزلي قديم قائم بذاته لا يشبه كلام الخلق فليس بصوت يحدث من انسلال هواه أو اصطكاك أجرام ولا بحرف ينقطع بإطباق شفة أو تحريك لسان. وأن القرآن والتوراة والإنجيل والزبور كتبه المنزلة على رسله عليهم السلام. وأن القرآن مقروء بالألسنة مكتوب في المصاحف محفوظ في القلوب وأنه مع ذلك قديم قائم بذات الله تعالى لا يقبل الانفصال والافتراق بالانتقال إلى القلوب والأوراق وأن موسى قد سمع كلام الله بغير صوت ولا حرف، كما يرى الأبرار ذات الله تعالى في الآخرة من غير جوهر ولا عرض. اهـ [15]

“Dan sesungguhnya Dia (Allah) Maha berbicara. (Dia Allah) memerintah, melarang, menyampaikan janji dan ancaman dengan Kalam-Nya yang Azali dan Qadim (tidak bermula), yang tetap dengan Dzat-Nya, tidak menyerupai kalam makhluk. Maka Kalam Allah bukan dengan suara yang muncul dari karena keluarnyanya udara atau karena bergeseknya benda-benada (anggota-anggota badan), bukan dengan huruf yang berhenti (terputus) karena mengatupkan bibir atau muncul karena menggerakan lidah. Dan bahwa Al-Qur’an, Taurat, Injil, dan Zabur adalah kitab-kitab-Nya yang diturunkan atas para Rasul-Nya. Dan bahwa Al-Qur’an dibaca dengan lidah-lidah, tertulis di atas lembaran-lembaran, dan terjaga (dalam hafalan) dalam hati-hati. Namun demikian, Kalam Allah (artinya Sifat Kalamnya) Qadim; tidak bermula, tetap dengan Dzat Allah, tidak menerima keterpisahan, tidak cerai-berai dengan berpindah ke dalam hati-hati (manusia) dan ke atas lembaran-lembaran. Dan sesungguhnya Nabi Musa telah mendengar Kalam Dzat Allah yang bukan suara dan bukan huruf. Sebagaimana kelak orang-orang saleh akan melihat Dzat Allah di akhirat dari tanpa bentuk (bukan benda) dan bukan dengan sifat-sifat benda (Artinya, tanpa tempat dan tanpa arah).

Catatan semacam ini banyak dalam tulisan-tulisan az-Zabidi dalam penjelasan beliau terhadap kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, yaitu dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin. Termasuk dalam syarh beliau terhadap Bab Qawa’id al-Aqidah dari Kitab Ihya’. Juga dalam karya-karya beliau lainnya.

Al-Muhaddits Abul Mahasin al-Qawuqji (w 1305 H)

Al-‘Allamah al-Faqih al-Muhaddits Abul Mahasin Syamsuddin Muhammad bin Khalil bin Ibrahim al-Masyisyi al-Tharabulsi al-Hanafi (w 1305 H) dalam karyanya berjudul al-I’timad Fi al-‘I’tiqad menuliskan:

ويجب له تعالى: الكلام: وهو صفةٌ أزليةٌ قائمةٌ بذاته تعالى تدل على جميع المعلومات ليس بحرفٍ ولا صوتٍ، ولا يوصف بتقدم ولا تأخّرٍ ولا لحنٍ ولا إعرابٍ. ويستحيل عليه البكم وما في معناه. والدليل على ذلك قوله تعالى: {وكلّم الله موسى تكليمًا} (سورة النساء/ 164) ولأنه لو لم يتصف بالكلام لاتصف بضده وهو نقص وهو عليه محالٌ.  فإن قيل: إذا كان كلام الله من غير حروفٍ ولا أصوات كيف سمعه موسى؟ فالجواب: أنه من باب خرق العادة أزال الله عنه المانع فسمع الكلام الإلهي من غير كيفٍ ولا تحديدٍ ولا جهةٍ.  فإذا قال لك: القرءان كلام الله وهو مكتوبٌ في المصاحف مقروءٌ بالألسن مسموعٌ بالآذان وهو من سمات الحوادث بالضرورة؟ فقل: نعم، هو في مصاحفنا بأشكال الكتابة وصور الحروف الدالة عليه، محفوظٌ في قلوبنا بألفاظٍ متخيلة، مقروءٌ بألسنتنا بحروفه الملفوظة، مسموعٌ بآذاننا، ومع ذلك ليس حالاً فيها بل هو معنىً قديمٌ قائمٌ بالذات يكتب ويقرأ بنقوشٍ وأشكالٍ موضوعةٍ للحروف الدالة عليه، فلو كشف عنا الحجاب وسمعنا الكلام الإلهي لفهمنا منه الأمر كـ {وأقيموا الصلوات} (سورة البقرة/43)، والنهي كـ {ولا تقربوا الزنى} (سورة الإسراء/32)، ونحو ذلك.  اهـ[16]

“Dan wajib bagi-Nya Kalam; dan ia adalah sifat yang Azali (tanpa permulaan) yang tetap dengan Dzat Allah, menunjukan atas seluruh apa yang diketahui, bukan dengan huruf, dan bukan dengan suara, tidak disifati dengan dahulu/depan dan belakang/akhir, tidak sebagai kata-kata atau i’rab (grammar). Mustahil atas-Nya bisu, dan apa yang dalam makna bisu. Dalil atas sifat Kalam adalah firman Allah: “Dan Allah benar-benar telah ber-kalam akan Nabi Musa” (QS. An-Nisa: 164). Karena Dia (Allah) jika tidak bersifat dengan Kalam maka berarti Dia bersifat dengan kebalikannya, dan ia itu sifat kekurangan, dan ia itu atas-Nya mustahil. Maka apa bila dikatakan: Jika Kalam Allah dari tanpa huruf-huruf, tanpa suara, lalu bagaimana mendengarnya oleh Nabi Musa? Jawab: Bahwa demikian itu dari Bab di luar kebiasaan. Allah menghilangkan darinya penghalang maka Nabi Musa mendengar Kalam Ilahi dari tanpa sifat benda, tanpa batasan, dan tanpa arah. Maka Bila dikatakan bagimu: “Al-Qur’an Kalam Allah, dia tertulis dalam lembaran-lembaran, dibaca dengan lidah-lidah, didengar dengan telinga; maka ia itu dari tanda-tanda segala yang baharu dengan pasti? Jawab: Benar, ia (Al-Qur’an dalam lembaran-lembaran kita dengan bentuk-bentuk tulisan, dengan bentuk huruf-huruf yang menunjukan atasnya, tepelihara (hafal) dalam hati-hati kita dengan lafaz-lafaz yang kita bayangkan (dalam pikiran), dibaca dengan lidah-lidah kita dengan huruf-huruf yang diucapkan, didengar dengan telinga-telinga kita; namun demikian bukan berarti (Kalam Allah tersebut) menyatu di dalamnya, tetapi ia itu adalah (menunjukan akan) makna yang Qadim (tidak bermula) yang tetap dengan Dzat Allah yang ditulis dan dibaca dengan pola dan bentuk-bentuk huruf yang menunjukan atasnya. Seandainya dibukakan dari kita akan hijab (penghalang) dan mendengar oleh kita akan Kalam Ilahi maka kita akan memahami darinya akan perintah seperti; “Dirikanlah oleh kalian akan shalat” (QS. Al-Baqarah: 43), dan larangan seperti “Janganlah kalian mendekati zina (QS. Al-Isra: 32), dan semacam itu.

Abdullah al-Harari (w 1429 H)

Al-Imam al-Muhaddits Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf al-Harari (w 1429 H) dalam salah satu karya beliau, berjudul ash-Shirath al-Mustaqim, menuliskan:

الكلام هو صفة أزلية أبدية هو متكلمٌ بـها ءامر، ناهٍ، واعدٌ، متوعدٌ، ليس ككلام غيره، بل أزليٌّ بأزلية الذات لا يشبه كلام الخلق وليس بصوت يحدث من انسلال الهواء أو اصطكاك الأجرام، ولا بحرف ينقطع بإطباق شفةٍ أو تحريك لسان ، ونعتقد أن موسى سمع كلام الله الأزلي بغير حرفٍ ولا صوتٍ كما يرى المؤمنون ذات الله في الآخرة من غير أن يكون جوهرًا ولا عرضًا لأن العقل لا يحيل سماع ما ليس بحرف ولا صوت. وكلامه تعالى الذاتي ليس حروفا متعاقبة ككلامنا، وإذا قرأ القارىء منا كلام الله فقراءته حرفٌ وصوتٌ ليست أزلية. [17]

Al-Kalam [bagi Allah] adalah sifat yang Azali (tanpa permulaan) dan abadi (tanpa penghabisan). Allah dengan sifat Kalam-Nya; Dia berkalam (berbicara), memerintah, melarang, menyampaikan janji dan ancaman. Kalam Allah tidak seperti kalam lain-Nya. Kalam Allah Azali dengan keazalian Dzat-Nya, tidak menyerupai kalam makhluk. Bukan suara yang muncul karena hembusan udara atau bergeseknya benda-benda, bukan huruf yang terputus (terhenti) dengan mengatupnya bibir, atau meuncul karena menggerakan lidah. Kita meyakini bahwa Nabi Musa mendengar Kalam Allah yang Azali, tanpa huruf dan tanpa suara, sebagaimana orang-orang mukmin akan melihat Dzat Allah di akhirat bukan merupakan benda (jawhar), juga bukan sifat benda (‘Aradl). Karena akal tidak menganggap mustahil mendengar sesuatu yang bukan huruf dan bukan suara. Kalam Allah adz-Dzati [yang merupakan sifat Kalam-Nya] bukan huruf-huruf yang beriringan (susul menyusul) seperti kalam kita. Jika ada di antara kita orang yang membaca Kalam Allah (dalam makna kitab suci Al-Qur’an) maka bacaannya itu adalah huruf-huruf dan suara yang tidak Azali”.

Sangat banyak tulisan al-Imam al-Harari dalam menjelaskan tema Kalam Allah, bahwa Kalam Dzat Allah bukan huruf-huruf, bukan suara dan bukan bahasa. Semua catatan tersebut sangat berharga, mencerahkan, dan mengandung faedah yang sangat banyak. Itu semua dituangkan dalam karya-karya beliau sendiri, seperti Izh-har al-Aqidah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah[18], al-Mathalib al-Wafiyyah Bi Syarh al-‘Aqidah an-Nasafiyyah[19], asy-Syarh al-Qawim, dan karya-karya lainnya.

________________

[1] Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, lihat al-Bayyadhi dalam Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam, h. 167. Kitab menjelaskan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah dalam masalah aqidah.
[2] Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, h. 58
[3] Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, h. 57
[4] Ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, h. 122 dengan Syarh al-Harari, Ish-har al-‘Aqidah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah.
[5] Al-Harari, Izh-har al-‘Aqidah as-Sunniyyah, h. 122
[6] Ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, h. 30
[7] An-Nasafi, al-‘Aqidah an-Nasafiyyah, h. 72 dengan Syarh-nya dalam al-Mathalib al-Wafiyyah karya al-Harari.
[8] Al-‘Izz ibn Abdis-Salam, Rasa-il Fi at-Tauhid, h. 12
[9] Al-‘Izz ibn Abdis-Salam, Rasa-il Fi at-Tauhid, h. 12
[10] Asy-Syaibani, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, h. 21
[11] Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi, Najm al-Muhtadi, h. 559 (manuskrip).
[12] Al-Qunawi, al-Qala-id Fi Syarh al-‘Aqa’id, h. 70
[13] As-Sanusi, al-‘Aqidah as-Sanusiyyah Ummul Barahin, h. 223
[14] As-Sanusi, al-‘Aqidah as-Sanusiyyah Ummul Barahin, h. 224
[15] Az-Zabidi, Syarh Qawa’id al-Aqa’id, h. 30-31
[16] Al-Qawuqji, al-I’timad fi al-I’tiqad, h. 8
[17] Al-Harari, ash-Shirath al-Mustaqim, h. 24. Penjelasan tema ini sangat luas, berfaedah dan sangat berharga, tertuang dalam karya beliau sendiri berjudul asy-Syarh al-Qawim ‘Ala ash-Shirath al-Mustaqim, h. 177-192
[18] Al-Harari, Izh-har al-‘Aqidah as-Sunniyyah, h. 122-151
[19] Al-Harari, al-Mathalib al-Wafiyyah, h. 71-82

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments

×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku