Kamis, April 18, 2024
spot_img
BerandaAllah Ada Tanpa TempatPokok - Pokok Aqidah

Pokok – Pokok Aqidah

Mukhtashar 'Abdillah al-Harari al-Kafil bi 'Ilm ad-Din ad-Dlaruri (Ringkasan 'Abdullah al-Harari Yang Memuat Ilmu Agama Yang Pokok)

ضـروريــات الاعـتـقـاد

فصلٌ

يجب على كافة المكلفينَ الدخولُ في دين الإسلام والثبوتُ فيه على الدوامِ والتزامُ ما لزِمَ عليه من الأحكامِ. فممّا يجبُ علمه واعتقادُه مطلقًا والنطقُ به في الحالِ إن كان كافرًا وإلا ففي الصلاة الشهادتان وهما أشهدُ أنْ لا إله إلا الله وأشهدُ أنَّ محمّدًا رسولُ اللهِ. ومعنى أشهدُ أن لا إله إلا الله أعلمُ وأعتقدُ وأعترفُ أن لا معبودَ بحقٍ إلا الله الواحد الأحد الأولُ القديمُ الحيُ القيومُ الدائمُ الخالقُ الرازقُ العالمُ القديرُ الفعالُ لما يريدُ ما شاءَ اللهُ كانَ وما لم يشأ لم يكنْ ، الذي لا حول ولا قوةَ إلا بهِ الموصوفُ بكلِّ كمالٍ يليقُ به المنزهُ عن كلِّ نقصٍ في حقه.

POKOK POKOK AQIDAH

(Pasal)

Wajib bagi semua mukallaf masuk agama Islam, menetap di dalamnya selamanya dan melaksanakan segala hukum-hukum yang diwajibkan atasnya. Di antara hal yang wajib diketahui dan diyakininya secara mutlak, dan mengucapkannya seketika jika memang dia kafir, atau jika tidak (ia bukan seorang kafir) maka wajib mengucapkannya dalam shalat, adalah dua kalimat syahadat:

أشهد أن لا إله إلا الله  وأشهد أنّ محمدا رسول الله   

Makna أشهد أن لا إله إلا الله : aku mengetahui, meyakini dan mengakui (dengan ucapan) bahwa tidak ada yang disembah dengan hak (benar) kecuali Allah, yang esa tiada sekutu bagi-Nya, tidak terbagi-bagi,[1] tidak bermula, tidak didahului dengan ketiadaan, Maha Hidup, tidak membutuhkan kepada yang lain, tidak berakhir, Maha Pencipta, Pemberi rizki, Maha mengetahui, Maha Kuasa, yang berbuat segala apa yang Ia kehendaki. Segala apa yang Ia kehendaki terjadi dan segala apa yang tidak Ia kehendaki tidak akan terjadi. Tidak ada daya untuk menjauhi perbuatan dosa terhadap-Nya kecuali dengan pemeliharaan-Nya, dan tidak ada kekuatan untuk berbuat ta’at kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya. Allah memiliki segala sifat kesempurnaan yang layak bagi-Nya dan Maha Suci dari segala kekurangan bagi-Nya.

ليس كمثله شىءٌ وهو السميعُ البصيرُ فهو القديمُ وما سواهُ حادثٌ وهو الخالقُ وما سواهُ مخلوقٌ فكلُّ حادثٍ دخلَ في الوجودِ من الأعيانِ والأعمالِ من الذرةِ إلى العرشِ ومن كلِّ حركةٍ للعبادِ وسُكونٍ والنوايا والخواطرِ فهو بخلْقِ اللهِ لم يخلُقْهُ أحدٌ سوى الله لا طبيعةٌ ولاعلةٌ بلْ دخولُه في الوجودِ بمشيئةِ الله وقدرتهِ بتقديرهِ وعلمهِ الأزليِّ لقولِ الله تعالى:{وخلقَ كلَّ شىء} أي أحدَثهُ من العدمِ إلى الوجودِ فلا خلْقَ بهذا المعنى لغيرِ الله قال الله تعالى: {هل من خالق غيرُ الله}

Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.[2]  Hanya Allah yang tidak memiliki permulaan (Qadim), segala sesuatu selain-Nya memiliki permulaan (Hadits-baharu). Dia-lah sang Pencipta, segala sesuatu selain-Nya adalah ciptaan-Nya (makhluk). Segala yang ada (masuk ke dalam wujud), benda[3] dan perbuatannya, mulai dari (benda yang terkecil) dzarrah hingga (benda terbesar) ‘Arsy, segala gerakan manusia dan diamnya, niat dan lintasan fikirannya; semuanya itu (ada) dengan penciptaan Allah, tidak ada yang menciptakannya selain Allah, tidak thabi’ah dan tidak juga ‘Illah.[4] Akan tetapi segala sesuatu tersebut masuk pada keberadaan (ada) dengan kehendak Allah dan kekuasaan-Nya, dengan ketentuan dan ilmu-Nya yang azali (yang tidak bermula), sebagaimana firman Allah:

وَخَلَقَ كُلَّ شَىءٍ ]  (سورة الفرقان : 2) ]

Maknanya : “Dan Allah menciptakan segala sesuatu”  (Q.S. al Furqan: 2)

Artinya Allah mengadakannya dari tidak ada menjadi ada. Makna (Khalaqa) demikian ini tidak layak bagi siapapun kecuali hanya bagi Allah. Allah berfirman:

 هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ الله ]   (سورة فاطر : 3) ]

Maknanya : “Tidak ada pencipta selain Allah (Q.S. Fathir: 3)

قال النسفي: فإذا ضرب إنسانٌ زجاجا بحجرٍ فكسرَه فالضربُ والكسر والانكسار بخلق الله تعالى فليس للعبد إلا الكسبُ وأما الخلق فليس لغير الله قال الله تعالى: {لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت}

An-Nasafi berkata: “Apabila seseorang memukul kaca dengan batu dan memecahkannya, maka pukulan, memecahnya batu dan pecahnya kaca dengan penciptaan Allah.  Jadi seorang hamba hanyalah melakukan kasb.[5] Adapun penciptaan tidak dimiliki kecuali oleh Allah, Allah berfirman:

لهَاَ مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ]   (سورة البقرة :286) ]

Maknanya : “Bagi setiap jiwa (balasan baik dari) kebaikan yang ia lakukan dengan kasabnya dan atas setiap jiwa (balasan buruk atas) keburukan yang ia lakukan”  (Q.S. al Baqarah: 286)

وكلامهُ قديمٌ كسائرِ صفاتهِ لأنه سبحانَهُ مباينٌ لجميعِ المخلوقاتِ في الذاتِ والصفاتِ والأفعالِ سبحانه وتعالى عما يقولُ الظالمونَ عُلوّا كبيرا

Kalam Allah Qadim (tidak bermula)[6] seperti seluruh sifat-sifat-Nya. Karena Allah tidak menyerupai semua makhluk-Nya, pada Dzat, Sifat-sifat dan perbuatan-Nya.  Allah Maha Suci dari apa yang dikatakan orang-orang zhalim (orang kafir) dengan kesucian yang agung.

فيتلخص من معنى ما مضى إثباتُ ثلاثَ عشْرَةَ صفةً لله تعالى تكررَ ذِكرُها في القرءان إما لفظا وإما معنىً كثيرا وهي: الوجود، والوَحْدانيةُ، والقِدَمُ أي الأزليةُ، والبقاءُ، وقِيامُهُ بنفسِهِ، والقدرةُ، والإرادةُ، والعلْمُ، والسمْعُ، والبصرُ، والحياة، والكلامُ، وتنزهُهُ عن المشابهةِ للحادثِ . فلما كانت هذه الصفات ذِكْرُها كثيرًا في النصوص الشرعية قال العلماء يجبُ معرفتها وجوبًا عينيًا فلما ثبتت الأزليةُ لذات الله وجبَ أن تكون صفاته أزليةً لأن حدوثَ الصفة يستلزمُ حدوثَ الذات

Kesimpulan dari makna (syahadat pertama) ini adalah ketetapan adanya tiga belas sifat bagi Allah, yang sering terulang penyebutannya dalam al Qur’an, baik dengan lafazh maupun maknanya saja. Yaitu: al Wujud (Allah ada), al Wahdaniyyah (tidak ada sekutu bagi-Nya pada dzat, sifat dan perbuatan-Nya), al Qidam (tidak bermula), al Baqa (tidak berakhir), Qiyamuhu bi nafsihi (tidak membutuhkan kepada yang lain dan segala sesuatu membutuhkan kepada-Nya), al Qudrah (Maha Kuasa), al Iradah (berkehendak), al ‘Ilm (mengetahui segala sesuatu), as-Sam’u (mendengar segala sesuatu), al Bashar (melihat segala sesuatu), al Hayat (yang maha hidup), al Kalam (berbicara dengan kalam yang bukan huruf, suara dan bahasa), Tanazzuhuhu ‘an al Musyabahah  li al hadits (maha suci dari menyerupai segala yang baharu). Karena sifat-sifat ini banyak penyebutannya dalam teks-teks syari’at, para ulama mengatakan: Wajib atas setiap Mukallaf (Wajib ‘Aini) untuk mengetahuinya. Dan karena Dzat Allah adalah Azali (tidak bermula), maka demikian pula sifat-sifat-Nya pasti (wajib) Azali, karena kebaharuan sifat suatu dzat  mengharuskan kebaharuan dzat tersebut.

 ومعنى أشهد أن محمدا رسول الله أعلم وأعتقد وأعترف أن محمدَ بنَ عبدِ اللهِ ابنِ عبد المطلبِ بنِ هاشمِ بنِ عبدِ منافٍ القرشيَّ صلى الله عليه وسلم عبدُ اللهِ ورسولُهُ إلى جميعِ الخلْقِ ويتبعُ ذلكَ اعتقادُ أنه وُلِدَ بمكةَ وبُعثَ بها وهاجرَ إلى المدينة ودُفنَ فيها. ويتضمن ذلك أنه صادق في جميع ما أخبر به وبلَّغهُ عن اللهِ فمن ذلكَ عذابُ القبرِ ونعيمُه وسؤال الملكين مُنكرٍ ونكيرٍ والبعثُ والحشرُ والقيامةُ والحساب والثوابُ والعذابُ والميزان والنار والصراط والحوض والشفاعة والجنة والرؤية لله تعالى بالعين في الآخرة بلا كيف ولا مكانٍ ولا جهة كما يُرى المخلوق والخلود فيهما والإيمان بملائكةِ الله ورسُلِهِ وكُتُبِهِ وبالقدر خيره وشره وأنه صلى الله عليه وسلم خاتم النبيين وسيّد ولد ءادم أجمعين

Makna وأشهد أن محمّدا رسول الله: “Aku mengetahui, meyakini dan mengakui (dengan ucapan) bahwa Muhammad ibn ‘Abdullah ibn ‘Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn ‘Abd Manaf  al Qurasyi (dari kabilah Quraisy) shallallahu ‘alayhi wasallam adalah hamba Allah dan utusan-Nya kepada segenap makhluk. Dan bahwa Muhammad  lahir dan diutus di Makkah, hijrah ke Madinah dan dimakamkan di sana”.  Termasuk cakupan makna syahadat itu, meyakini bahwa Nabi Muhammad jujur dalam segala berita yang ia bawa dan sampaikan dari Allah. Di antaranya : (adanya) siksa dan nikmat kubur, pertanyaan dua malaikat; Munkar dan Nakir, al Ba’ts (dibangkitkannya semua orang mati), al Hasyr (saat dikumpulkannya makhluk di suatu tempat), al Qiyamah, al Hisab (perhitungan atas segala perbuatan), ats-Tsawab (balasan bagi seorang mukmin yang membuatnya senang), al ‘Adzab (balasan bagi seseorang yang membuatnya merugi), al Mizan (timbangan yang memiliki dua neraca; satu untuk kebaikan dan lainnya untuk keburukan), an-Nar (neraka Jahannam), ash-Shirath (jembatan terbentang di atas neraka, satu ujungnya pada bumi yang telah diganti dan ujung lainnya di satu tempat menuju ke arah surga), al Haudl (telaga), as Syafa’ah, al Jannah (sorga), ar Ru’yah (melihat Dzat Allah –di akhirat kelak– dengan mata kepala dengan tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk, tanpa bentuk, tanpa tempat dan tanpa arah, tidak seperti terlihatnya makhluk), dan kekekalan di dalam surga dan neraka. Juga beriman dengan para malaikat Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya  ketentuan-Nya; dari kebaikan dan keburukan, dan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan pemimpin seluruh manusia (keturunan Adam).

ويجب اعتقاد أن كلَّ نبيٍ من أنبياء الله يجب أن يكونَ متصفًا بالصدق والأمانةِ والفطانةِ فيستحيلُ عليهمُ الكذبُ والخيانةُ والرذالةُ والسفاهةُ والبلادةُ . وتجبُ لهم العصمةُ من الكفر والكبائر وصغائرِ الخسةِ قبل النبوةِ وبعدها. ويجوز عليهم ما سوى ذلك من المعاصي لكن يُنَبَّهُوْنَ فورا للتوبة قبل أن يقتدي بهم فيها غيرهم. فمن هنا يعلم أن النبوة لا تصح لإخوة يوسف الذين فعلوا تلك الأفاعيل الخسيسة وهم من سوى بنيامين والأسباط الذين أنزل عليهم الوحي هم من نبئ من ذريتهم

Wajib berkeyakinan bahwa setiap nabi Allah pasti (wajib) memiliki sifat jujur, dapat dipercaya (Amanah) dan cerdas. Mustahil bagi mereka sifat bohong, khianat, terhina, bodoh dan dungu. Mereka  pasti (wajib) terjaga dari kekufuran, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang menandakan rendahnya jiwa pelakunya, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun sesudahnya. Mereka mungkin (ja-iz) saja melakukan dosa-dosa kecil (yang tidak menandakan rendahnya jiwa pelakunya), namun mereka diingatkan langsung untuk taubat sebelum dosa-dosa tersebut diikuti oleh orang lain. Dari sini diketahui bahwa kenabian tidak sah (berlaku) bagi saudara-saudara nabi Yusuf yang telah melakukan perbuatan-perbuatan keji itu, mereka itu adalah selain Binyamin.  Sedangkan al Asbath , mereka adalah orang-orang yang mendapatkan wahyu dari keturunan saudara-saudara nabi Yusuf.

فصل

يجب على كل مسلم حفظ إسلامه وصونُهُ عما يُفسدُهُ ويُبطـلُه ويقطعهُ وهو الردة والعياذ بالله تعالى، قال النووي وغيره: الردةُ أفحشُ أنواع الكفر. وقد كثر في هذا الزمان التساهل في الكلام حتى أنه يخرجُ من بعضهم ألفاظٌ تخرجهم عن الإسلام ولا يَرَونَ ذلكَ ذنبًا فضلاً عن كونه كفرًا وذلك مصداق قوله صلى الله عليه وسلم “إن العبدَ ليتكلَمُ بالكلمةِ لا يرى بها بأسًا يهوي بها في النار سبعين خريفًا” أي مسافةَ سبعين عامًا في النزولِ وذلك منتهى جهنم وهو خاص بالكفار، والحديثُ رواه الترمذي وحسّنه وفي معناه حديث رواه البخاري ومسلم

(Pasal)

Wajib atas setiap muslim memelihara Islamnya dan menjaganya dari hal-hal yang merusak dan memutuskannya, yaitu riddah (kufur; keluar dari Islam). An Nawawi dan lainnya berkata: Riddah adalah kekufuran yang paling keji[7]. Pada masa ini telah banyak sikap sembrono dalam berbicara, hingga sebagian dari mereka mengucapkan  kata-kata yang mengeluarkan mereka dari Islam, sedang mereka tidak menganggap bahwa hal tersebut sebuah dosa, terlebih melihatnya sebagai kekufuran. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah:

إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكلمةِ لا يَرى بها بَأْسًا يَهْوِيْ بها في النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا” ( رواه الترمذيّ)”

Maknanya: “Sungguh seorang hamba jika mengucapkan perkataan (yang melecehkan atau menghina Allah atau syari’at-Nya) yang tidak dianggapnya bahaya, (padahal perkataan tersebut) bisa menjerumuskannya  ke (dasar) neraka (yang untuk mencapainya dibutuhkan waktu) 70 tahun (dan tidak akan dihuni kecuali oleh orang kafir)“, Artinya selama 70 tahun ia akan turun ke kedalaman neraka jahanam, di mana tempat tersebut khusus bagi orang-orang kafir. Hadits diriwayatkan at Tirmidzi[8] dan di shahihkannya. Semakna dengan hadits ini sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari[9] dan Muslim[10]

وهذا الحديث دليل على أنه لا يُشترطُ في الوقوع في الكفر معرفةُ الحكمِ ولا انشراح الصدر ولا اعتقاد معنى اللفظ كما يقول كتابُ فقه السنة، وكذلك لا يُشترطُ في الوقوع في الكفر عدم الغضب كما أشار إلى ذلك النووي في كتاب روضة الطالبين في  باب الردة قال: لو غضب رجل على ولده أو غلامه فضربه ضربًا شديدًا فقال له رجل ألستَ مسلمًا فقال لا متعمدًا (يعني ليس سبق لسان) كفر، وقاله غيره من حنفية وغيرهم (كما في كتاب الفتاوى الهندية)

Hadits ini merupakan dalil bahwa tidak disyaratkan bagi seseorang untuk dihukumi jatuh dalam kekufuran bahwa ia mengetahui hukumnya,  dan tidak harus lapang dada ketika mengatakannya, juga tidak harus meyakini makna lafazh itu sendiri seperti yang dikatakan kitab “Fiqh as-Sunnah“. Begitu juga tidak disyaratkan untuk jatuh dalam kekufuran bahwa seseorang tidak sedang dalam keadaan marah, sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh an-Nawawi. Ia berkata: “Bila seseorang marah kepada anak atau budaknya, lalu ia memukulinya dengan pukulan yang kejam, kemudian orang lain berkata kepadanya: Bukankah engkau seorang muslim?, ia menjawab: “bukan !”, dengan sengaja, maka ia telah kafir”. Hal ini juga diungkapkan oleh selain an-Nawawi dari kalangan ulama madzhab Hanafi dan madzhab lainnya. (Sebagaimana dikutip dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah).

والردة ثلاثة أقسامٍ كما قسمها النوويُ وغيرُهُ من شافعيةٍ وحنفيةٍ وغيرِهم اعتقاداتٌ وأفعالٌ وأقوالٌ وكلٌ يتشعبُ شُعَبًا كثيرةً:

Riddah ada tiga macam sebagaimana pembagian an Nawawi dan lainnya dari ulama madzhab Syafi’i, Hanafi dan lainnya: Keyakinan, Perbuatan dan Ucapan. Setiap dari tiga macam ini memiliki cabang yang sangat banyak.

فمن الأوّل الشك في الله أو في رسوله أو القرءان أو اليوم الآخر أو الجنة أو النّار أو الثواب أو العقاب أو نحو ذلك مما هو مجمع عليه، أو اعتقاد قدم العالم وأزليته بجنسه وتركيبه أو بجنسه فقط أو نفي صفة من صفات الله الواجبة له إجماعا ككونه عالما أو نسبةُ ما يجبُ تنزيهه عنه إجماعًا كالجسم أو تحليل محرّمٍ بالإجماع معلومٌ من الدين بالضرورة مما لا يخفى عليه كالزنى واللواط والقتل والسرقةِ والغَصبِ أو تحريمُ حلالٍ ظاهرٍ كذلك كالبيعِ والنكاحِ أو نفيُ وجوبٍ مجمعٍ عليه كذلك كالصلواتِ الخمْسِ أو سجدةٍ منها والزكاةِ والصومِ والحجِ والوضوءِ أو إيجابُ ما لم يجب إجماعًا أو نفيُ مشروعيةِ مجمعٍ عليه كذلك أو عزم على الكفر في المستقبلِ أو على فعلِ شىءٍ مما ذكر أو ترددَ فيهِ لا خطورُهُ في البالِ بدونِ إرادةٍ أو أنكرَ صحبةَ سيدنا أبي بكرٍ رضيَ الله عنهُ أو رسالة واحدٍ من الرسلِ المُجمَعِ على رسالتِهِ أو جحدَ حرْفًا مجمعًا عليه من القرءانِ أو زادَ حرفًا فيه مجمعًا على نَفيهِ معتقدًا أنه منه عِنادًا أو كذّبَ رسولاً أو نقصه أو صغَّرَ اسمَهُ بقصد تحقيره أو جوّزَ نبوّةَ أحدٍ بعدَ نبينا محمدٍ صلى الله عليهِ وسلم

Diantara bagian pertama: Ragu pada Allah atau pada Rasulnya atau al Qur’an atau hari akhir atau surga atau neraka atau pahala atau siksa dan hal-hal lainnya dari yang telah menjadi ijma’, meyakini bahwa alam qadim (tidak bermula) atau azali dengan jenis dan materinya atau meyakini qadim dengan jenisnya saja, atau menafikan salah satu sifat dari sifat-sifat Allah yang wajib baginya dengan ijma’ (konsensus para ulama) seperti bahwa Allah Maha mengetahui, atau menisbatkan sesuatu yang wajib sucinya Allah dari hal tersebut dengan ijma’ seperti bentuk, atau menghalalkan sesuatu yang haram secara ijma’ yang sudah dikenal dengan dengan pasti oleh semua orang Islam dari hal-hal yang tidak samara atasnya seperti perbuatan zina, homo seks, membunuh, mencuri dan merampas, atau mengharamkan sesuatu yang jelas keharamannya seperti berjual beli dan nikah, atau menafikan kewajiban yang telah disepakati dengan ijma’ seperti shalat yang lima, atau sujud sebagai bagian darinya, zakat, puasa, haji dan wudlu, atau mewajibkan sesuatu yang tidak wajib secara ijma’, atau menafikan sesuatu yang telah disyari’atkannya  dengan ijma’, atau berniat untuk jatuh kepada kekufuran di masa mendatang, atau untuk berbuat salah satu dari yang telah disebutkan di atas, atau ragu-ragu pada hal-hal tersebut; (bukan detakan serangan pada hatinya yang datang dengan tanpa kehendaknya). Atau mengingkari persahabatan Abu Bakr as Shiddiq –semoga Allah meridlainya– (dengan Rasulullah), atau kerasulan seseorang dari rasul-rasul yang kerasulan mereka telah disepakati secara ijma’, atau mengingkari satu huruf yang telah menjadi ijma’ sebagai bagian dari al Qur’an, atau menambah satu huruf di dalam al Qur’an yang telah di sepakati dengan ijma’ atas ketiadaannya dengan keyakinan bahwa hal itu bagaian darinya, atau mendustakan seorang rasul atau merendahkannya atau mengecilkan namanya (menjadi Ism Tashgir) dengan tujuan menghinakannya, atau membolehkan kenabian bagi seseorang setelah nabi Muhammad.

والقسم الثاني الأفعال كسجود لصنم أو شمس أو مخلوق ءاخر على وجه العبادة له

Bagian kedua adalah perbuatan: Seperti sujud kepada berhala atau matahari atau makhluk lainnya dengan jaln ibadah kepadanya.

والقسمُ الثالثُ الأقوالُ وهي كثيرةٌ جدًا لا تنحصرُ منها أن يقول لمسلمٍ يا كافرُ أو يا يهوديُ أو يا نصرانيُ أو يا عديمَ الدينِ مريدًا بذلك أن الذي عليه المخاطبُ من الدينِ كفرٌ أو يهوديةٌ أو نصرانية أو ليس بدينٍ لا على قصد التشبيه وكالسخريةِ باسمٍ من أسمائهِ تعالى أو وعدهِ أو وعيدهِ ممن لا يخفى عليه نسبةُ ذلك إليه سبحانه وكأن يقولَ لو أمرني الله بكذا لم أفعلْهُ أو لو صارت القبلةُ في جهةِ كذا ما صليتُ إليها أو لو أعطاني الله الجنةَ ما دخلتها مُستخفًا أو مظهرًا للعناد في الكلِّ وكأن يقولَ لو ءاخذني الله بتركِ الصلاةِ مع ما أنا فيه من المرضِ ظلمني أو قال لفعل حدثَ هذا بغير تقدير الله أو لو شهد عندي الأنبياء أو الملائكة أو جميعُ المسلمين بكذا ما قبلتهم،

Bagian ketiga adalah perkatan: Bagian ini sangat banyak tidak terhitung. Di antaranya: Bila seseorang berkata bagi seorang muslim: “wahai kafir!” atau “wahai Yahudi!” atau “wahai Nashrani!” atau “wahai orang yang tidak beragama!” dengan bermaksud bahwa orang yang ia ajak bicara agamanya adalah kufur atau yahudi atau nashrani atau bukan sebagai agama; ia mengatakan ini bukan dengan tujuan menyerupakan. Menghinakan salah satu nama dari nama-nama Allah atau janjiNya atau ancamanNya dari seseorang yang hal ini baginya tidak samar tentang penisbatannya kepada Allah. Juga bila seseorang berkata: “jika Allah memerintahku dengan satu perkara maka aku tidak akan mengerjakannya” atau “apa bila kiblat berubah ke arah ini maka aku shalat ke arahnya” atau “jika Allah memberiku surga maka aku tidak akan memasukinya”, ia dengan ucapan-ucapan ini merendahkan atau menampakan bagi pengingkarannya.

Juga bila seperti berkata: “jika Allah menyiksaku karena aku meninggalkan shalat dalam keadaan sakitku maka Ia telah mendlalimiku” atau berkata bagi suatu perbuatan “ini terjadi bukan dengan takdir Allah” atau “apa bila para nabi, para malaikat atau semua orang Islam bersaksi dihadapanku maka tidak akan aku terima”

أو قال لا أفعل كذا وإن كان سنة بقصدِ الاستهزاءِ، أو لو كان فلان نبيا ما ءامنت به أو أعطاه عالمٌ فتوى فقال أيشٍ هذا الشرعُ مريدا الاستخفاف بحكم الشرعِ أو قال لعنة الله على كل عالم أو قال أنا بريءٌ من الله أو من الملائكةِ أو من النبي أو من الشريعة أو من الإسلام أو قال لا أعرف الحكمَ مستهزئاً بحكم الله أو قال وقد ملأ وِعاءً {وكأسًا دِهاقا} أو أفرغَ شرابًا فقال {فكانت سرابا} أو عند وزنٍ أو كيلٍ {وإذا كالوهم أو وزنوهم يُخسرون} أو عند رؤية جمع {وحشرناهم فلم نغادر منهم أحدا} بقصدِ الاستخفاف في الكل بمعنى هذه الآياتِ وكذا كلُّ موضعٍ استعملَ فيه القرءانُ بذلكَ القصدِ فإن كانَ بغيرِ ذلكَ القصدِ فلا يكفرُ لكن قال الشيخُ أحمدُ بنُ حجرٍ لا تبعدُ حرمتهُ وكذا يكفرُ مَن شتمَ نبيًا أو مَلكًا أو قال أكونُ قوَّادًا إن صليتُ أو ما أصبتُ خيرًا منذ صليتُ أو الصلاةُ لا تصلحُ لي بقصدِ الاستهزاءِ أو قال لمسلمٍ أنا عدوكَ وعدوّ نبيّكَ أو لشريفٍ أنا عدوّكَ وعدوّ جدّكَ مُريدًا النبيَّ صلى الله عليه وسلم أو يقول شيئًا من نحو هذه الألفاظِ البشعةِ الشنيعة

atau berkata “saya tidak akan mengerjakan hal itu”, sekalipun sunah dengan tujuan menghinakan, atau bila berkata “jika si fulan seorang nabi, maka aku tidak akan beriman kepadanya” atau bila ia diberi fatwa oleh seorang yang alim, kemudian berkata “syari’at macam apa ini!”, dengan tujuan merendahkan hukum syari’at, atau berkata “laknat Allah atas setiap orang alim”, dengan tujuan mencakup semua mereka, adapun bila tidak dengan tujuan yang menyeluruh tapi dengan tujuan melaknat para ulama yang hidup dimasanya dan dia memiliki tanda-tanda yang menunjukan hal itu dari sangkaan rusaknya keadaan mereka maka ia tidak menjadi kafir,  namun begitu ia tetap tidak lepas dari dosa karena ucapannya ini. Atau bila berkata “saya bebas dari Allah atau dari para malaikat atau dari nabi atau dari syari’at atau dari Islam” atau ia berkata “saya tidak mengenal hukum”, dengan tujuan menghinakan hukum Allah. Atau ia berkata setelah terpenuhinya satu bejana (وكأسا دهاقا) Q.S. an Naba’ :34, atau berkata setelah menghabiskan minuman (فكانت سرابا) Q.S. an Naba’ :20, atau saat mengukur dan menimbang ia berkata (وإذا كالوهم أو وزنوهم يخسرون) Q.S. al Muthaffifin :3, atau ketika melihat suatu perkumpulan masa berkata (وحشرناهم فلم نغادر منهم أحدا) Q.S. al Kahf :47 dengan tujuan merendahkan pada semua ayat-ayat ini, begitu pula pada setiap tempat (keadaan) yang membawa-bawa –ayat-ayat– al Qur’an dengan tujuan merendahkan tersebut. Adapun apa bila tidak dengan tujuan itu maka tidak menjadi kafir, akan tetapi as Syaikh Ibn Hajar berkata: “keharamannya tidak jauh”. Begitu pula menjadi kafir seseorang yang mencaci seorang nabi atau malaikat atau berkata: “saya akan menjadi mucikari jika saya shalat”, atau berkata: “saya tidak mendapatkan kebaikan semenjak saya shalat”, atau “shalat tidak baik bagi saya” dengan tujuan menghinakan, atau ia berkata kepada seorang muslim: “saya adalah musuhmu dan musuh nabimu” atau kepada seorang turunan Rasulullah: “saya adalah musuhmu dan musuh kakekmu” dengan maksud Nabi Muhammad, atau mengucapkan dari seumpama lafazh-lafazh yang buruk dan keji ini.

وقد عدَّ كثيرٌ من الفقهاءِ كالفقيه الحنفي بدرِ الرشيدِ والقاضي عياضٍ المالكي رحمهما الله أشياءَ كثيرةً فينبغي الاطلاعُ عليها فإن من لم يعرفِ الشرَّ يقعُ فيه

Para ulama, seperti seorang ahli fiqh madzhab Hanafi (al Faqih al Hanafi) Badr ar Rasyid dan al Qadli ‘Iyadl al Maliki, telah mencatatkan hal yang banyak dalam masalah –kufur ucapan– ini. Maka semestinya menela’ah itu semua, karena orang yang tidak mengetahui keburukan akan terjatuh padanya.

والقاعدةُ أنَّ كلَّ عقدٍ أو فعلٍ أو قول يدلُّ على استخفافٍ باللهِ أو كتبهِ أو رسُلِهِ أو ملائكتهِ أو شعائرهِ أو معالم دينه أو أحكامه أو وعده أو وعيده كفرٌ. فليحذر الإنسانُ من ذلك جُهدَهُ على أي حالٍ

(Kaedah) Sesungguhnya setiap keyakinan, perbuatan atau ucapan yang menunjukan kerendahan kepada Allah, kitab-kitabNya, para rasulNya, para malaikatNya, syi’ar-syi’arNya, ajaran-ajaran agamaNya, hukum-hukumNya,  janjiNya atau ancamanNya adalah kekufuran. Maka hendaklah setiap orang untuk menghindarkan diri dengan segala kesungguhannya dari ini semua dalam setiap keadaan.

فصلٌ

يجبُ على مَن وقعت منه ردةٌ العودُ فورًا إلى الإسلامِ بالنطقِ بالشهادتينِ والإقلاعِ عما وقعت به الردةُ ويجبُ عليه الندمُ على ما صدرَ منه والعزمُ على أن لا يعود لمثله فإن لم يرجع عن كفرهِ بالشهادةِ وجبت استتابتُهُ ولا يقبلُ منه إلا الإسلامُ أو القتلُ به يُنفذهُ عليه الخليفةُ بعد أن يعرض عليه الرجوعَ إلى الإسلام ويعتمدُ الخليفةُ في ذلكَ على شهادةِ شاهدينِ عدْلينِ أو على اعترافه وذلك لحديث البخاري “من بدل دينه فاقتلوه” ويبطل بها صومه وتيممه ونكاحه قبل الدخول وكذا بعده إن لم يعد إلى الإسلام في العدة ولا يصح عقد نكاحه على مسلمة وغيرها وتحرمُ ذبيحتُهُ ولا يرثُ ولا يورثُ ولا يُصلى عليه ولا يُغسَّلُ ولا يُكفّنُ ولا يُدفنُ في مقابر المسلمين وماله فيء

(Pasal)

Wajib atas orang yang jatuh dalam kekufuran (riddah) untuk kembali seketika kepada Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan melepaskan diri dari apa yang menjadikannya jatuh dalam kekufuran tersebut. Dan wajib bagi dia untuk menyesali atas apa yang telah tejadi dari dirinya ini dan bertekad untuk tidak kembali kepada seumpama hal tersebut. Bila orang ini tidak mau kembali kepada Islam dari kekufurannya dengan syahadat maka wajib diminta untuk bertobat dan tidak diterima darinya kecuali Islam, atau ia dibunuh yang akan dilaksanakan oleh khalifah, setelah ditawarkan kembali kepadanya untuk masuk Islam. Dalam pada ini khalifah berpegang teguh kepada dua saksi yang adil atau apa bila orang kafir tadi mengakui sendiri atas kekufurannya. Hal ini dikarenakan hadits al Bukhari: من بدل دينه فاقتلوه  (Barang siapa merubah agamanya maka bunuhlah ia). Dengan kekufuran ini menjadi batal puasanya, tayammumnya, nikahnya (sebelum ia bersetubuh, begitu pula setelah bersetubuh apa bila dalam masah ‘iddahnya tidak kembali kepada Islam),  tidak sah akad nikahnya atas seorang perempuan muslimah atau lainnya, menjadi haram binatang potongannya, tidak mendapatkan harta waris, tidak mewariskan hartanya, tidak dishalatkan, tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dikubur di pemakaman orang-orang Islam dan hartanya menjadi rampasan (faei’).

فصل

يجب على كلِّ مكلفٍ أداءُ جميعِ ما أوجبَهُ الله عليه ويجبُ عليه أن يؤديَهُ على ما أمرهُ الله به من الإتيانِ بأركانهِ وشروطهِ ويجتنبَ مبطلاتِهِ ويجبُ عليهِ أمرُ من رءاهُ تاركَ شىء منها أو يأتي بها على غيرِ وجهها بالإتيانِ بها على وجههاويجبُ عليه قهرُه على ذلكَ إنْ قدرَ عليهِ  وإلا وجبَ عليه الانكارُ بقلبهِ إن عجزَ عن القهرِ والأمرِ وذلكَ أضعفُ الإيمان أي أقلُ ما يلزمُ الانسانَ عندَ العجزِ ويجبُ تركُ جميعِ المحرماتِ ونهيُ مرتكبِها ومنعُهُ قهرًا منها إن قدَرَ عليه وإلا وجبَ عليه أن يُنكرَ ذلكَ بقلبهِ والحرامُ ما توعدَ اللهُ مرتكبَهُ بالعقابِ ووعدَ تاركَهُ بالثوابِ وعكسهُ الواجب

(Pasal)

Wajib atas setiap orang mukallaf melaksanakan seluruh apa yang diwajibkan Allah atasnya. Ia wajib melaksanakannya sesuai perintah Allah dengan mengerjakan segala rukun-rukun dan syarat-syaratnya serta menjauhi segala hal yang membatalkannya. Dan wajib atasnya bila melihat seseorang meninggalkan sesuatu dari kewajiban tersebut untuk memerintahnya melaksanakan sesuai aturannya; mengerjakan segala syarat dan rukunnya. Wajib atasnya untuk memaksa orang tersebut melakukan –sesuai tuntutannya– ini jika ia mampu memaksanya, dan bila tidak mampu memaksa dan memerintahnya maka ia wajib menginkari dalam hatinya, dan ini adalah hal minimal yang harus dilakukan seseorang bila ia tidak mampu. Wajib atas dia meninggalkan segala hal yang haram dan mencegah pelakunya secara paksa dari keharaman tersebut jika ia mampu memaksanya, atau apa bila tidak mampu maka wajib atas dia mengingkarinya dalam hatinya. Haram adalah sesuatu yang diancam oleh Allah bagi pelakunya dengan siksa dan dijanjikan bagi yang meninggalkannya dengan pahala. Kebalikan haram adalah wajib.

_____________________

[1] Karena Dia bukan jism; benda. Ini adalah makna Ahad menurut sebagian ulama.

[2] Pendengaran Allah tidak seperti pendengaran makhluk, penglihatan Allah tidak seperti penglihatan makhluk.

[3] Benda yang dimaksud di sini bukan benda padat, tetapi A’yan  atau Ajsam; segala sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran, termasuk manusia.

[4] Thabi’ah adalah ‘adah ; kebiasaan. Kebiasaan api adalah membakar. ‘Illah adalah sebab. Api adalah sebab adanya membakar.

[5] Kasb adalah apabila seorang hamba mengarahkan niat dan kehendaknya untuk melakukan suatu perbuatan dan pada saat itulah Allah menciptakan dan menampakkan perbuatan tersebut.

[6] Kalam Allah yang dimaksud di sini adalah Kalam Allah yang merupakan sifat Dzat-Nya. Karena sifat kalam ini qadim berarti pasti bukan huruf, suara dan bahasa karena semua itu baharu, makhluk.

[7] Makna pernyataannya: “Riddah adalah kekufuran yang paling keji” adalah dari sisi keburukannya, bukan berarti bahwa segala bentuk macam riddah lebih parah dari kufur yang asli, karena kufur yang paling parah adalah at-ta’thil; menafikan adanya Allah, dan aqidah hulul; mereka yang meyakini bahwa Allah menempati atau menyatu pada alam, artinya bahwa Allah adalah kesatuan alam dan alam bagian dari-Nya.

[8] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya: Kitab Zuhud, bab tentang orang yang berbicara dengan kalimat untuk ditertawakan orang banyak.

[9] Diriwayatkan oleh al Bukhari dalam Shahih-nya: kitab ar-Riqaq, bab menjaga lidah.

[10] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya: kitab az Zuhd wa ar Raqa-iq, bab tentang berbicara dengan kalimat yang menyebabkan jatuh ka dalam neraka.

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments

Abou Qalby on Cahaya di Kegelapan
×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku