Sabtu, April 20, 2024
spot_img
BerandaTasawufSayyidah Nafisah: "Bagaimana aku bisa kasihan kepada diriku ketika banyak siksaan dihadapan...

Sayyidah Nafisah: “Bagaimana aku bisa kasihan kepada diriku ketika banyak siksaan dihadapan mata…”

Beliau adalah Nafisah putri al-Hasan al-Anwar bin Zaid al Ablaj bin al-Hasan bin Ali karramallahu wajhah. Ibunda beliau adalah seorang ummu walad (budak yang dinikahi tuannya) seperti halnya Hajar ibunda Nabi Ismail.

Beliau tumbuh dalam keluarga yang mendidiknya menjadi seorang yang alim, wara’, dan ahli ibadah.Hari-harinya di isi dengan puasa pada siang hari dan bangun malam untuk beribadah, sehingga Allah memulyakannya dengan beberapa karamah.

Kelahirannya

Sudah menjadi suatu kebiasaan bagi ayah Sayyidah Nafisah untuk duduk di Masjidil Haram guna memberi pelajaran agama dan ilmu al quran kepada manusia. Kemudian suatu hari datang kepada beliau salah seorang budak membawa berita kelahiran putrinya, seraya berkata: Berbahagialah engkau tuan! malam ini telah lahir putrimu yang cantik jelita yang tiada duanya. Ketika mendengar hal itu, beliau sangat senang dan bersujud kepada Allah sebagai rasa syukur atas terkabulkannya doa beliau serta memberikan hadiah yang banyak kepada budak tersebut seraya berkata: katakan kepada keluarga agar menamainya Nafisah, semoga ia menjadi pribadi yang baik dan suci.

Sayyidah Nafisah dilahirkan di kota Makkah Al Mukarromah pada hari rabu 11 Rabiul Awal tahun 145 H. Dan yang lebih menyenangkan ayahnya adalah bahwa putrinya ini mirip sekali dengan saudarinya yang bernama Nafisah binti Zaid istri khalifah Al Walid bin Abdil Malik.

Setelah tersebarnya kabar gembira kelahiran Sayyidah Nafisah ini, banyak orang berbondong-bondong untuk mengucapkan selamat kepada keluarga yang mulia ini, serta bertepatan dengan hal tersebut datanglah kepada al-Hasan al-Anwar utusan Kalifah Abbasiyah Abu Ja’far Al Mansur dengan membawa sebuah kitab yang mengeluarkan bau misik dan hadiah dari khalifah berupa sekantong uang sebesar 20.000 dinar. Kemudian beliau membuka kitab tersebut dan membacanya dengan seksama, sementara orang-orang disekitar beliau dengan tegang menunggu apa yang telah dititahkan khalifah kepada beliau, mereka takut hal tersebut akan membahayakan keturunan Rasulullah.

Kekhawatiran mereka bertambah ketika beliau menangis dan mengatakan: “Sang Khalifah telah memilihku menjadi gubernur Madinah al-Munawwarah”. Sontak wajah mereka menjadi berbinar-binar karena sangat bergembira seraya berkata: “Sungguh suatu kabar gembira bagi kota Madinah, karena akan dipimpin orang sepertimu, yang selalu menegakkan keadilan dan sunnah rasul serta memegang teguh hukum islam”. Mendengar perkataan mereka, beliau berkata: “Kalaupun titah kepemimpinan ini adalah suatu nikmat dari Allah, maka dia (putriku Nafisah) lah yang membawa kabar gembira tersebut (dengan kelahirannya). Dan kalaupun hal ini adalah suatu karamah (kemuliaan dari Allah), maka dia (putriku Nafisah) lah yang menjadi tandanya”.

Sayyidah Nafisah tumbuh dalam lingkungan yang mulia, baik ketika masih tinggal di Makkah ataupun setelah pindah ke Madinah ketika beliau berumur 5 tahun. Beliau mulai di ajari al quran dan hadist nabawy secara intensif baik dari segi hafalan ataupun meriwayatkan hadist. Beliau jaga sering juga ikut ke masjid Nabawy sehingga sering menyaksikan orang-orang shaleh berlalu lalang disana.

Sungguh Allah telah memberi berkah pada umur Sayyidah Nafisah, pada usia 8 tahun saja beliau sudang hafal Al Quran dan hadist nabawy yang cukup banyak. Beliau selalu menyertai ayahnya baik ketika bepergian atau di rumah, sehingga beliau menjadikan ayahnya sebagai panutan dan contoh yang baik.

Sayyidah Nafisah sering berdoa seraya mengatakan: Ya Allah jauhhkan hatiku dari hal yang bisa menyibukkannya (melalaikanMu), senangkan diriku kepada setiap hal yang menjadikan aku sekaku bertaqarrub kepadaMu, mudahkanlah jalanku untuk taat kepadaMu, jadikanlah aku termasuk wali (kekasih) Mu, karena hanya Engkaulah Dzat yang diharapkan dalam kedaan sulit . Hanya kepada engkaulah manusia memohon pertolongan.
Termasuk ulama terkenal yang pernah bertemu dengan Sayyidah Nafisah adalah Imam Malik bin Anas pengarang kitab Al Muwattha’, imam Daar al Hijrah, seorang yang sangat wara’, dan periwayat hadist-hadist sahih.

Sayyidah Nafisah juga meriwayatkan hadist-hadist dan mendapat hikmah-hikmah dari para ahli hadist, ahli fiqh, ahli syair, dan pembesar ahli bahasa yang berkumpul di rumah ayahnya.

Sayyidah Nafisah Menikah

Setelah Sayyidah Nafisah dewasa, dan telah siap untuk menempuh jenjang pernikahan, serta telah mumpuni dari segi ilmu maupun ketaqwaannya, maka banyak sekali pemuda yang datang kepada ayahnya untuk melamar beliau, baik dari keturunan Rasulullah, pembesar-pembesar ulama ataupun suku Quraisy. Termasuk yang sangat ingin menikahi beliau adalah Ishaq bin Ja’far as-Shadiq, yaitu pemuda yang tekenal diantara teman-temannya dengan julukan al-Mu’tamin; karena sifat amanah dan keteguhan imannya.
Sebenarnya Ishaq bukanlah orang yang asing bagi Sayyidah Nafisah, karena ia adalah putra imam Ja’far al Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain cucu Rasulullah. Ia telah melihat benyak sekali pemuda-pemuda yang datang kepada Ayah Sayyidah Nafisah guna melamarnya, tetapi beliau selalu mengatakan: “Aku ingin menyampaikan amanah kepada pemiliknya, aku ingin mengembalikan tetesan ke dalam lautan dan aku ingin menanam mawar di dalam kebunnya”. Maka ketika setiap pemuda yang mendengarnya akan mengurungkan niatnya untuk meminang, mereka berkata: mungkin ada suatu rahasia dari balik perkataan tersebut yang kita tidak ketahui. Meskipun demikian Ishaq menganggap ia harus tetap mencoba kesempatannya. Akhirnya ia ber-istikharah kepada Allah kemudian pergi bersama pembesar-pembesar Ahli Bait untuk meminang Sayyidah Nafisah, akan tetapi penolakanlah yang ia dapatkan sehingga ia pulang dengan hati yang hancur karena lamarannya ditolak.

Kemudian ia pergi ke Masjid Nabawi dan melakukan shalat. Setelah itu ia masuk ke dalam ruang makam Rasulullah dan berdiri di samping makam seraya berkata: Semoga rahmat dan keselamatan selalu tercurah kepadamu wahai Rasulullah, wahai Penghulu para rasul, Penutup para nabi dan kekasih Tuhan semesta alam, aku datang untuk memberitahukan engkau keadaanku, aku limpahkan hajatku kepadamu supaya engkau membantuku, kepadamulah manusia mengadukan hajat mereka dan meminta bantuan pertolongan, aku telah melamar Nafisah kepada ayahnya tetapi ia menolakku”. kemudian Ia mengucapkan salam dan pergi dari makam Rasulullah.

Keesokan harinya Ishaq dikagetkan dengan berita bahwa ia di panggil oleh al-Hasan al-Anwar, dan ketika ia menemuinya al-Hasan berkata: “Tadi malam aku mimpi bertemu dengan kakekku Rasulullah dengan rupa yang sangat menawan, beliau mengucapkan salam kepadaku seraya berkata: “Wahai Hasan nikahkanlah putrimu Nafisah dengan Ishaq al-Mu’tamin!”. Kemudian dilangsungkanlah pernikahan mereka pada hari Jumat tanggal 1 Rajab 161 H, sehingga lengkaplah cahaya berkah hasan dan husein di rumah itu. Sayyidah Nafisah adalah keturunan Hasan, sedang suaminya keturunan Husein radhiyallahu ‘anhuma. Sayyid Ishaq juga terkenal keagungannya, sifat wara’, banyak orang yang meriwayatkan hadist dan atsar darinya karena beliau juga terkenal sebagai Muhaddist yang berkompeten.

Perjalanan Ke Mesir

Kini Sayyidah Nafisah telah menjadi idola di hati masyarakat, khususnya penduduk Mesir. Setiap musim haji banyak orang-orang Mesir yang menyempatkan diri untuk berkunjung kepada Sayyidah Nafisah, dan mereka semua berharap darinya untuk dapat mengunjungi Mesir. Menanggapi hal itu beliau berkata: “Insya Allah aku akan menziarahi kalian, karena Allah telah memujinya dan menyebutkannya dalam al-Qur’an. Begitu juga kakekku telah bersabda agar berwasiat dengan kebaikan bagi penduduknya”.

Kemudian Sayyidah Nafisah bersama suami dan kedua anaknya al-Qasim dan Ummu Kultsum serta ahli bait lainnya berhijrah ke Mesir dikarenakan ayah beliau sudah tidak berkuasa lagi di Madinah serta banyaknya fitnah yang menyebabkan keturunan Rasulullah pindah ke tempat lain.

Baca juga: Abu Turab an-Nakhsyabi: “Kalian Mencintai Tiga Perkara, Padahal Ketiganya Bukan Milik Kalian”

Sambutan yang sangat meriah dan hangat beliau dapatkan ketika sampai di Mesir, masyarakat saling berebut menjamu beliau serta rombongannya. Dan Sayyid Jamal bin Jashash adalah orang yang memberikan tempat tinggal bagi Sayyidah Nafisah di Mesir.
Meskipun beliau terbiasa hidup berkecukupan ketika tinggal bersama ayah beliau di Madinah, tapi sifat wara’-nya yang menjadikan beliau tetap kerasan di tempat barunya ini. Dikatakan dalam salah satu riwayat bahwa beliau hanya makan sekali dalam waktu tiga hari. Berkata salah satu keponakannya yang bernama Zainab: “Aku melayani Sayyidah Nafisah selama 40 tahun, aku tidak mendapati beliau pada malam hari kecuali pasti beliau dalam keadaan tidak tidur, setiap hari berpuasa kecuali pada hari raya dan 3 hari tasyriq”. Aku pernah berkata kepada Sayyidah Nafisah: “Tidaklah anda kasihan dengan diri anda? Beliau menjawab: “Bagaimana aku bisa kasihan kepada diriku ketika banyak siksaan dihadapan mata dan tidak bisa menghalaunya kecuali orang-orang yang beruntung”. Zainab juga berkata: “ Bibiku (Sayyidah Nafisah) adalah orang yang hafal al-Qur’an dan tafsirnya, setiap kali beliau membacanya beliau selalu meneteskan air mata”.

Karamah-Karamah Sayyidah Nafisah

Diantaranya adalah:

1. Keranjang makanan

Al-Qona’i berkata: “Aku bertanya kepada zainab keponakan beliau: “Apakah makanan bibimu sehari-hari? “Ia menjawab: “beliau hanya makan sekali selama tiga hari, keranjang makanan beliau tergantung di depan tempat shalat. Dan setiap kali beliau menginginkan makanan, aku selalu mendapatkannya di dalam keranjang tersebut. Maka al-Hamdulillah kami dapat menyaksikan (karamah) pada diri Sayyidah Nafisah seperti yang telah diberikan oleh Allah kepada Sayyidah Maryam; ibunda Nabi Isa”.

2. Mengalirnya kembali sungai Nil

Sa’ad bin Hasan berkata: “Pada zaman Sayyidah Nafisah sungai Nil pernah kering, kemudian orang-orang mendatangi beliau, mereka meminta darinya agar berdoa supaya air sungai Nil berlimpah kembali. Maka beliau memberikan cadarnya kepada mereka, kemudian mereka membawanya dan melemparkannya ke dalam sungai, maka setelah itu air sungai Nil langsung mengalir berlimpah air seperti semula sebelum orang-orang yang membawa cadar Sayyidah Nafisah tersebut meninggalkannya”.

3. Ular besar

Imam al-Auza’i –seorang imam ahli fiqih terkemuka di daratan Syam (wafat 159H)– berkata: “Aku pernah bertanya kepada Jawharah (salah seoarang hamba sahaya Hasan al-Anwar): “Apakah engkau melihat sebuah karamah pada diri Sayyidah Nafisah saat beliau masih kecil? Jawharah menjawab : “Iya, ketika itu udara sangat panas sekali dan di sampingku ada secawan air untuk minum Sayyidah Nafisah. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan datangnya seekor ular besar mendekat kepadaku, kemudian ular tersebut menempelkan pipinya ke dalam cawan tersebut layaknya ia sedang mengambil berkah dari air tersebut. Setelah itu kemudian ular tersebut pergi”.

4. Do’a untuk Imam Syafi’i

Apa bila Imam Syafi’i sakit maka beliau selalu mengutus muridnya; Rabi’ al-Muradi atau orang lain untuk datang kepada Sayyidah Nafisah. Utusan ini lalu menyampaikan salam Imam Syafi’i, dan mengatakan bahwa imam Syafi’i sedang sakit. Maka Sayyidah Nafisah mendo’akan kesembuhan bagi Imam Syafi’i, dan Imam Syafi’i-pun sembuh sebelum utusannya tersebut kembali pulang.

Dan ketika Imam Syafi’i sakit menjelang wafatnya, beliau juga mengutus seseorang seperti biasanya kepada Sayyidah Nafisah, namun kali ini Sayyidah Nafisah berdoa: “Semoga Allah memberikan kesenangan bagi Imam Syafi’i dengan melihat kepada Dzat Alah (di akhirat kelak)”.

5. Mimpi bertemu Rasulullah

Suatu hari suami Sayyidah Nafisah; Sayyid Ishaq berkata kepadanya: “Ikutlah bersama kami ke Hijaz”. Sayyidah Nafisah menjawab: “Aku tidak bisa melakukan perjalanan itu karena tadi aku bermimpi bertemu Rasulullah berkata kepadaku: “Janganlah engkau tinggalkan Mesir, dan Allah akan mewafatkanmu di Mesir”

Sayyidah Nafisah Wafat

Sayyidah Nafisah sakit pada bulan Rajab 208 H dan sakitnya bertambah parah di bulan Ramadhan. Karena sangat parahnya hingga beliau tidak kuat bergerak. Kemudian didatangkan dokter kepada Sayyidah Nafisah dan dokter tersebut menganjurkan beliau untuk tidak berpuasa, tetapi beliau berkata: “Sungguh mengherankan saranmu, padahal selama 30 tahun aku selalu meminta kepada Allah agar aku meninggal dalam keadaan berpuasa, dan kini aku harus berbuka puasa? Padahal aku sudah menggali kuburan dibalik serambi –sambil beliau menunjukkan letak kuburan tersebut–. Di sanalah in sya Allah aku di akan dimakamkan. Maka jika aku meninggal kuburkanlah aku di tempat tersebut”. Diriwayatkan bahwa Sayyidah Nafisah telah mengkhatamkan al-Quran di dalam kubur tersebut di masa hidupnya sebanyak 1000 kali khataman. Sayyidah Nafisah wafat setelah empat tahun dari wafatnya Imam Syafi’i. Jasad beliau di makamkan di makam yang beliau gali sendiri dangan tangannya yang mulia.

Semoga rahmat dan ridla Allah tercurah bagi Sayyidah Nafisah, dan mengumpulkan kita bersama beliau di surga bersama para Nabi, para Shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang saleh, dan sungguh mereka semua adalah sebaik-baik pendamping.

Amaddanâ Allâh Min Amdâdihâ.

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

1 Comment

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments

Abou Qalby on Cahaya di Kegelapan
×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku