Minggu, September 24, 2023
spot_img
BerandaFiqihTahlilBacaan al-Qur’an Bermanfaat Untuk Mayit. Benarkah?

Bacaan al-Qur’an Bermanfaat Untuk Mayit. Benarkah?

Bacaan al-Qur’an Bermanfaat Untuk Mayit. Benarkah? Pendapat Ahli Bid’ah Dan Bantahannya

Sebagian ahli bid’ah mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lainnya. -Perkataan mereka ini bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’-. Seringkali mereka berdalil dengan firman Allah:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (النجم: 39)

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memiliki selain apa yang telah diusahakannya.  (QS. an-Najm: 39)

Penafsiran mereka terhadap ayat ini adalah penafsiran yang tidak tepat. Karena maksud ayat ini bukan untuk menjelaskan bahwa seseorang tidak mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain, seperti sedekah dan haji yang diperuntukan bagi orang yang telah meninggal. Tapi yang dimaksud ayat ini ialah menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Artinya, amal seseorang adalah milik dia yang mengerjakankannya, bukan milik orang lain yang tidak mengerjakannya.

Adapun bila seseorang berkehendak memberikan pahala amalnya kepada orang lain, maka itu bukan suatu masalah. Demikian pula jika ia berkehendak memilikinya hanya untuk dirinya sendiri saja, juga terserah. Karena itu dalam ayat QS. an-Najm: 39 di atas Allah tidak mengatakan: “Tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri”. Tetapi yang dimaksud adalah “Tidak ada kepemilikan bagi seseorang kecuali dari amalnya sendiri”. Lihat penjelasan semacam ini dalam kitab Syarah ash-Shudur, karya al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi[1].

Baca juga: Jangan Sedih! Begini Cara Berbakti Kepada Orang Tua Yang Sudah Meninggal Dunia

Dalam al-Qur’an secara tegas Allah menyatakan bahwa doa seseorang jika diperuntukan bagi orang lain maka doa tersebut bermanfaat baginya. Baik diperuntukan terhadap yang masih hidup atau bagi yang sudah meninggal. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ  جَاءُوا  مِنْ  بَعْدِهِمْ  يَقُولُونَ  رَبَّنَا  اغْفِرْ  لَنَا  وَلِإِخْوَانِنَا  الَّذِينَ  سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ  (الحشر: 10)

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah bagi kami dan bagi saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami”. (QS. al-Hasyr: 10)

Juga dalam banyak hadits yang sangat masyhur disebutkan bahwa Rasulullah sering mendoakan ahli kubur. Seperti doa beliau ketika beliau berziarah ke pemakaman al-Baqi’ di Madinah:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الغَرْقَدِ (رواه مسلم)

“Ya Allah, ampunilah ahli kubur Baqi’ al-Gharqad”.  (HR. Muslim)

Dalam riwayat hadits lain, Rasulullah berdoa:

اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا (رواه الترمذيّ والنسائيّ وأبو داود)

“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang telah meninggal di antara kami”. (HR. at-Turmudzi, an-Nasa-i dan Abu Dawud)

Mereka yang menafikan secara mutlak tentang permasalahan ini adalah golongan Mu’tazilah. Pendapat kaum Mu’tazilah ini telah menyalahi Ijma’ ulama Salaf, karena para ulama salaf telah sepakat dalam membolehkan masalah ini. Salah seorang ulama Salaf terkemuka, al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H) dalam risalah akidah Ahlussunnah yang juga dikenal dengan nama Risalah al-‘Akidah ath-Thahawiyyah, menyebutkan secara tegas:

وَفِيْ دُعَاءِ الأَحْيَاءِ وَصَدَقَاتِهِمْ مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَاتِ

“Dalam doa dan sedekah orang yang masih hidup terdapat manfaat bagi orang-orang yang sudah meninggal”.

Kerancuan Kalangan Yang Mengharamkan Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit

  1. Kalangan yang mengharamkan membaca al-Qur’an untuk mayit biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Ibn Hibban dan lainnya telah bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ (رواه  ابن حبّان)

Ini artinya jika seseorang meninggal tidak ada yang akan bermanfaat baginya kecuali tiga hal yang disebutkan dalam hadits ini. Yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at, dan anaknya yang saleh yang mendoakannya. Oleh karena bacaan al-Qur’an oleh orang lain untuk mayit tidak termasuk dalam kategori tiga perkara ini, maka berarti tidak akan bermanfaat bagi mayit”.

Jawab:

Makna hadits tersebut adalah bahwa orang yang telah meninggal dunia maka amalnya terhenti, artinya dia tidak bisa beramal lagi. Ia tidak bisa lagi melakukan ‘Amal Taklifi yang dapat menghasilkan pahala untuknya, kecuali tiga amal tersebut. Tiga amal tersebut akan terus menghasilkan dan mengalirkan pahala untuknya meskipun ia telah meninggal, karena ketika ia masih hidup dia-lah yang menjadi penyebab bagi tiga amal tersebut.

Hadits ini sama sekali tidak menafikan bahwa orang lain yang masih hidup dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk mayit. Bukankah doa bukan amal si mayit, tetapi ia memberikan manfaat baginya?! –Dalam hal ini, doa dari anak saleh bagi orang tuanya seperti dalam hadits di atas, bukankah doa tersebut bukan amal orang tuanya?!–. Bukankah istighfar seorang anak bukan amal mayit, tetapi bermanfaat untuk mayit?! Bukankah sedekah seorang anak untuk mayit bukan amal mayit, tetapi bermanfaat untuk mayit?! Maka demikian pula dengan bacaan al-Qur’an untuk mayit, hal itu bermanfaat untuknya, dan akan sampai pahalanya kepadanya, meskipun bacaan al-Qur’an tersebut bukan amalnya sendiri, sesuai  dengan dalil-dalil yang telah  kita kemukakan.

Seandainya bacaan al-Qur’an itu sia-sia dan tidak bermanfaat untuk mayit, niscaya Rasulullah tidak akan memerintahkan kita untuk melakukan shalat Jenazah, karena shalat Jenazah bukan amal mayit. Kenapa Rasulullah memerintahkan kita untuk shalat Jenazah? Karena shalat Jenazah bermanfaat untuk mayit, meskipun shalat tersebut bukan amal si mayit sendiri. Kemudian dalam shalat jenazah kita membaca surat al-Fatihah, salah satu surat dalam al-Qur’an, ini berarti bacaan al-Qur’an bermanfaat untuk mayit, surat apapun yang dibaca, untuk mayit siapapun dan dibacakan oleh siapapun.

  1. Kalangan yang mengharamkan membaca al-Qur’an untuk mayit ketika menyebutkan adab ziarah kubur seringkali mereka berkata:

عَدَمُ قِرَاءَةِ شَىْءٍ مِنَ الْقُرْءَانِ وَلَوْ الفَاتِحَةَ. قَالَ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ: (لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَالْحَدِيْثُ يُشِيْرُ إِلَى أَنَّ الْمَقَابِرَ لَيْسَتْ مَحَلاًّ لِلْقُرْءَانِ بِعَكْسِ الْبُـيُوْتِ، وَلَمْ يَثْبُتْ عَنِ الرَّسُوْلِ قَالَ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ وَصَحَابَتِهِ أَنَّهُمْ قَرَأُوْا الْقُرْءَانَ لِلأَمْوَاتِ.

“Tidak boleh membaca al-Qur’an sedikit-pun meskipun hanya surat al-Fatihah. Rasulullah bersabda -maknanya-: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena setan akan lari dari rumah yang dibacakan surat al-Baqarah di dalamnya”. (HR.Muslim). Hadits ini mengisyaratkan bahwa kuburan bukan tempat untuk membaca al-Qur’an berbeda dengan rumah. Dan tidak ada riwayat yang Shahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah atau para sahabatnya membaca al-Qur’an untuk mayit”.

Ungkapan yang kita tulis ini adalah dari tulisan salah seorang pemuka kaum Wahhabiyyah, bernama Muhammad ibn Jamil Zainu. Ia menuliskannya dalam buku yang ia namakan dengan “al-‘Akidah al-Islamiyyah Min al-Kitab Wa as-Sunnah ash-Shahihah”[2].

Jawab:

Inilah pemahaman yang didasarkan kepada hawa nafsu, pemahaman yang sangat dibuat-buat. Dari segi mana dia memahami sabda Rasulullah: “La Taj’alu Buyutakum Maqabir…”, memberikan pemahaman larangan membaca al-Qur’an di kuburan?! Hadits ini sama sekali bukan bermakna demikian. Tapi makna yang dimaksud oleh hadits ini ialah, “Jangan kalian kosongkan rumah dari bacaan al-Qur’an seperti halnya mayit yang berada di kuburnya tidak membaca al-Qur’an”. Hadits ini sama sekali tidak berbicara tentang orang yang masih hidup yang membacakan al-Qur’an untuk mayit di kuburnya.

Download ebook: Ayo, Kita Tahlil!

Hadits riwayat Al-Imam Muslim di atas pemaknaannya mirip dengan hadits yang lain riwayat Al-Imam al-Bukhari, bahwa Rasulullah bersabda:

اِجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا (رواه البخاريّ)

“Jadikanlah sebagian dari shalat kalian di rumah-rumah kalian, dan jangan jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan”. (HR. al-Bukhari)

Mari kita ikuti bagaimana para ulama menjelaskan hadits ini. Al-Muhaddits asy-Syekh as-Sayyid ‘Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya kitab Itqan ash-Shan’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, hlm. 79-80, menuliskan sebagai berikut:

وَقَالَ الْبُخَارِيُّ: بَابُ كَرَاهِيَةِ الصَّلاَةِ فِيْ الْمَقَابِرِ، وَرَوَى فِيْهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ قَالَ: “اِجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا”. قَالَ الْحَافِظُ: “اُسْتُـنْبِطَ مِنْ قَوْلِهِ: (وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا) إِنَّ الْقُبُوْرَ لَيْسَتْ مَحَلاًّ لِلْعِبَادَةِ، فَتَكُوْنُ الصَّلاَةُ فِيْهَا مَكْرُوْهَةً”. وَهذَا الاِسْتِنْبَاطُ غَيْرُ ظَاهِرٍ، وَإِنْ كَانَ اللَّفْظُ يَحْتَمِلُهُ، بَلْ غَيْرُهُ أَوْلَى لِتَبَادُرِهِ إِلَى الذِّهْنِ. قَالَ ابْنُ التِّيْنِ: تَأَوَّلَهُ الْبُخَارِيُّ عَلَى كَرَاهَةِ الصَّلاَةِ فِيْ الْمَقْبَرَةِ، وَتَأَوَّلَهُ جَمَاعَةٌ عَلَى أَنَّهُ إِنَّمَا فِيْهِ النَّدْبُ إِلَى الصَّلاَةِ فِيْ الْبُيُوْتِ لأَنَّ الْمَوْتَى لاَ يُصَلُّوْنَ، كَأَنَّهُ قَالَ: لاَ تَكُوْنُوْا كَالْمَوْتَى الَّذِيْنَ لاَ يُصَلُّوْنَ فِيْ بُيُوْتِهِمْ وَهِيَ الْقُبُوْرُ. وَقَالَ ابْنُ قُرْقُوْل فِيْ الْمَطَالِعِ وَتَبِعَهُ ابْنُ الأَثِيْرِ فِيْ النِّهَايَةِ: إِنَّ تَأْوِيْلَ البُخَارِيِّ مَرْجُوْحٌ، وَالأَوْلَى قَوْلُ مَنْ قَالَ: مَعْنَاهُ أَنَّ الْمَيِّتَ لاَ يُصَلِّيْ فِيْ قَبْرِهِ. وَقَالَ الْخَطَّابِيُّ: يَحْتَمِلُ أَنَّ الْمُرَادَ لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ لِلنَّوْمِ فَقَطْ لاَ تُصَلُّوْنَ فِيْهَا، فَإِنَّ النَّوْمَ أَخُوْ الْمَوْتِ، وَالْمَيِّتُ لاَ يُصَلِّيْ. وَقَالَ التُّوْرْبَشْتِيُّ: يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ الْمُرَادُ: أَنَّ مَنْ لَمْ يُصَلِّ فِيْ بَيْتِهِ، جَعَلَ نَفْسَهُ كَالْمَيِّتِ وَبَيْتَهُ كَالْقَبْرِ. قَالَ الْحَافِظُ: “وَيُؤَيِّدُهُ مَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ: “مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِيْ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ، وَالْبَيْتِ الَّذِيْ لاَ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ كَمَثَلِ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ”.

“Al-Bukhari manuliskan: “Bab tentang makruhnya shalat di kuburan”. Dalam bab ini al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn ‘Umar dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda: “Ij’alu Min Shalatikum Fi Buyutikum Wa La Tattakhidzuha Quburan”.

Al-Hafizh Ibn Hajar berkata: “Diambil dalil dari sabda Rasulullah “Wa La Tattakhidzuha Quburan” bahwa kuburan bukan tempat untuk beribadah, maka shalat di kuburan hukumnya makruh. Istinbath ini kurang tepat meskipun lafazh hadits mengandung kemungkinan makna ini. Ada istinbath lain yang lebih tepat karena lebih cepat dipahami”.

Ibn at-Tin berkata: “al-Bukhari memahami dari hadits ini makruhnya shalat di kuburan. Dan sekelompok ulama yang lain memahami bahwa maksud hadits ini adalah anjuran untuk shalat di rumah karena orang-orang yang mati tidak shalat. Jadi seakan Rasulullah mengatakan: “Jangan kalian seperti orang mati yang tidak shalat di rumah mereka, yaitu kuburan”.

Ibn Qurqul dalam kitab al-Mathali’ dan diikuti oleh Ibn al-Atsir dalam kitab an-Nihayah mengatakan: “Pemahaman al-Bukhari terhadap hadits ini lemah, pemahaman yang lebih tepat adalah perkataan yang menyatakan: makna hadits ini: bahwa mayit tidak shalat di kuburnya”.

Al-Khaththabi mengatakan: “Mungkin maksud hadits ini bahwa jangan jadikan rumah kalian sebagai tempat untuk tidur saja, di mana kalian tidak shalat di sana, karena tidur adalah saudaranya mati, dan orang yang mati tidak melakukan shalat”.

At-Turbasyti mengatakan: “Mungkin maksud hadits ini bahwa orang yang tidak melakukan shalat di rumahnya, telah menjadikan dirinya seperti mayit dan rumahnya seperti kuburan”.

Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan: “Pemahaman seperti ini didukung oleh hadits riwayat Muslim yang maknanya: Perumpamaan rumah yang disebut nama Allah di dalamnya dengan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya seperti perbedaan antara orang yang hidup dan orang yang telah mati”.

Baca juga: Memahami Makna Bid’ah Secara Komprehensif

Dengan demikian makna hadits riwayat Al-Imam Muslim di atas: “La Taj’alu Buyutakum Maqabir…”, adalah seperti makna hadits riwayat Al-Imam al-Bukhari: “Ij’alu Min Shalatikum Fi Buyutikum, Wa La Tattakhidziha Quburan”. Artinya janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan. Artinya lakukan shalat di rumah kalian, bacalah al-Qur’an di rumah kalian, berdzikirlah di sana. Janganlah kalian seperti mayit yang berada di kuburan, ia tidak shalat, tidak membaca al-Qur’an dan tidak berdzikir. Jadi hadits Muslim ini berisi anjuran untuk membaca al-Qur’an di rumah, supaya rumah tidak menjadi seperti kuburan, di mana mayit tidak membaca al-Qur’an di dalamnya. Hadits ini sama sekali tidak membicarakan tentang orang lain yang membacakan al-Qur’an untuk mayit di kuburnya.

Kemudian kita katakan kepada mereka: Bagaimana kalian berdalil dengan hanya sebuah “isyarat” yang kalian pahami sendiri dari sebuah hadits?! Sangat aneh. Bukankah “isyarat” itu sesuatu yang tidak tegas?! Ditambah lagi pemahaman “isyarat” yang kalian hasilkan adalah pemahaman yang salah kaprah?! Padahal banyak hadits-hadits yang secara khusus dan tegas berbicara tentang masalah membaca al-Qur’an untuk mayit seperti hadits Ma’qil ibn Yasar, hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, hadits al-‘Ala’ ibn al-Lajlaj yang semuanya marfu’ dari Rasulullah, dan semuanya adalah hadits hasan yang bisa dijadikan hujjah. Hadits-hadits ini semuanya dengan tegas menjelaskan bahwa Rasulullah menganjurkan untuk membaca al-Qur’an untuk mayit, baik di kuburan ataupun jauh dari kuburan.

Kemudian dari mana mereka mengatakan: “Tidak ada riwayat shahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah atau para sahabatnya membaca al-Qur’an untuk mayit”?! Apakah anjuran-anjuran Rasulullah dalam hadits-hadits di atas tidak cukup sebagai dalil kebolehan membaca al-Qur’an untuk mayit?! Apakah al-‘Ala’ ibn al-Lajlaj yang berpesan kepada anaknya agar dibacakan permulaan dan akhir surat al-Baqarah bukan amalan ulama Salaf?! Bahkan dalam riwayat al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al-Kubra, pesan al-‘Ala’ kepada anaknya mengatakan: “…dan bacakanlah di dekat kepalaku (sesudah dikebumikan) ayat-ayat pertama dan akhir surat al-Baqarah, karena sungguh aku telah menyaksikan ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap sunnah hal tersebut”[3]. Riwayat al-Baihaqi ini dihasankan oleh Al-Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar, al-Hafizh Ibn Hajar dalam Takhrij al-Adzkar.[4] Kemudian bukankah Ibn ‘Umar salah seorang sahabat Nabi?! Bukankah membaca al-Qur’an untuk mayit di kuburan adalah tradisi para sahabat Anshar seperti kata asy-Sya’bi -diriwayatkan oleh al-Khallal dalam al Jami’-:

كَانَتْ الأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمْ مَيِّتٌ اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ لَهُ القُرْءَانَ

“Tradisi para sahabat Anshar jika salah seorang di antara mereka meninggal, mereka akan datang ke kuburnya silih berganti dan membacakan al-Qur’an untuknya (mayit)”.

Al-Kharaithi dalam kitab al-Qubur juga meriwayatkan:

سُنَّةٌ فِيْ الأَنْصَارِ إذَا حَمَلُوْا الْمَيِّتَ أَنْ يَقْرَءُوْا مَعَهُ سُوْرَةَ البَقَرَةِ

“Kebiasaan di kalangan para sahabat Anshar jika mereka membawa jenazah (ke pemakaman) adalah mengiringinya dengan membaca surat al-Baqarah”. (Dituturkan oleh al-Qurthubi dalam at-Tadzkirah Fi Ahwal al-Mauta Wa Umur al-Akhirah, hlm. 93).

Lihatlah wahai pembaca yang budiman, bagaimana mereka menyalahi para ulama salaf ketika mereka mengatakan: “Tidak membaca al-Qur’an sedikit-pun meskipun hanya surat al-Fatihah”, padahal mereka mengklaim selalu mengikuti Salaf (Salafiyyah), bukankah para sahabat, para tabi’in; asy-Sya’bi dan lainnya, Al-Imam Syafi’i, Al-Imam Ahmad Ibn Hanbal termasuk ulama salaf dan mereka semua membolehkan bahkan menganjurkan untuk dibacakan al-Qur’an di kuburan!?

Benar, mereka sama sekali tidak layak untuk disebut kelompok “Salafiyyah”, karena mereka tidak mengikuti ajaran-ajaran ulama Salaf. Namun nama yang sesuai bagi gerakan mereka adalah “Talafiyyah”, yaitu kaum perusak ajaran ulama Salaf.

Makna Firman Allah QS. an-Najm: 39

Dalam QS. an-Najm: 39 Allah berfirman:

وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّمَاسَعَى (سورة النجم: 39)

Makna harfiah ayat ini mengatakan bahwa sesungguhnya tidaklah bagi seorang manusia kecuali apa yang ia usahakan, atau apa yang ia perbuat. Bila kemudian timbul pertanyaan bukankah ayat bermakna tidak sampainya pahala kebaikan yang dilakukan oleh seseorang yang ia peruntukan bagi orang lain?

Jawab: Sesungguhnya ayat ini tidak menafikan adanya manfaat bagi seseorang yang ia peroleh dari orang lain. Ayat ini hanya berisi penafian terhadap kepemilikan hasil kerja yang telah dilakukan oleh orang lain. Karena hasil kerja seseorang pada dasarnya adalah milik orang yang telah melakukan pekerjaan itu sendiri. Ia berhak menjadikan hasil kerjanya itu untuk dirinya sendiri, atau kalau ia berkeinginan untuk menghadiahkan atau memberikan hasil kerjanya tersebut bagi orang lain maka iapun berhak melakukan itu.

Dalam ayat di atas Allah tidak mengatakan: “Tidaklah seseorang dapat mengambil manfaat kecuali dengan apa yang telah ia usahakan”, tetapi Allah mengatakan: “Tidaklah bagi (milik) seseorang kecuali apa yang telah ia usahakan”. Maka konteks ayat ini membicarakan tentang kepemilikian (al-Milkiyyah), bukan membicarakan tentang mengambil manfaat (al-Intifa’).

Kemudian dari pada itu; redaksi keumuman ayat dalam QS. an-Najm: 39 di atas juga dapat di-takhshish dengan datangnya hadits-hadits Rasulullah dalam banyak riwayat tentang sampainya pahala sedekah, haji, dan doa bagi mayit serta lainnya, sebagaimana telah kita kutip di atas dalil-dalil bagi demikian itu.

Al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Syarh ash-Shudur menuliskan bahwa dalam pemahaman terhadap QS. an-Najm: 39 di atas terdapat banyak pendapat ulama[5], di antaranya:

  1. Bahwa konteks ayat tersebut adalah berbicara tentang kaum Nabi Ibrahim dan Nabi Musa dahulu. Adapaun di kalangan umat Rasulullah sekarang ini bahwa seseorang dapat mengambil manfaat dari apa yang telah ia usahakan, juga ia bisa mengambil manfaat dari apa yang diusahakan oleh orang lain yang kemudian diberikan atau dihadiahkan kepadanya. Pendapat ini dinyatakan oleh Ikrimah; murid Ibn Abbas.
  2. Pendapat lain mengatakan bahwa penyebutan kata “al-Insan” (seseorang) dalam konteks QS. an-Najm: 39 tersebut adalah orang kafir. Artinya, seorang kafir tidak dapat mengambil manfaat dari kebaikan yang telah ia lakukan, juga tidak dapat mengambil manfaat dari kebaikan orang lain yang dihadiahkan kepadanya. Hal ini berbeda dengan orang mukmin, ia dapat mengambil manfaat dari kebaikan yang ia usahakannya, juga dapat mengambil manfaat dari kebaikan orang lainnya yang diperuntukan baginya. Pendapat ini dinyatakan oleh ar-Rabi’ ibn Anas.
  3. Pendapat lain mengatakan; bahwa seseorang tidak mendapatkan kecuali apa yang ia usahakan yang dimaksud adalah dari segi balasan yang seimbang antara pekejaan dan pahala. Artinya jika ditinjau dari sisi keadilan. Adapun dari segi luasnya karunia Allah (al-Fadhl) maka Allah berhak untuk menambahkan nilai kebaikan terhadap apa yang telah diusahakan oleh seseorang sesuai dengan kehendak-Nya. Pendapat ini dinyatakan oleh al-Husain ibn al-Fadhl.

Apa yang ditulis oleh al-Hafizh as-Suyuthi ini kemudian dikutip oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin dengan tambahan beberapa penjelasan[6].

_________________________________
[1] Syarh ash-Shudur, h. 268
[2] Lihat karya Jamil Zainu berjudul al-‘Akidah al-Islamiyyah, h. 101-102
[3] Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, j. 4, h. 56
[4] Lihat Ibn ‘Allan ash-Shiddiqi, al Futuhaat ar-Rabbaniyyah, 2/194.
[5] As-Suyuthi, Sharh ash-Shudur, h. 310
[6] Az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 10, j. 372

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments

×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku