Siapakah Ibnu Taimiyah?
Ia bernama Ahmad Ibnu Taimiyah, lahir di Harran dalam keluarga pecinta ilmu dalam madzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang baik dan tenang pembawaannya, ia termasuk orang yang dimuliakan oleh para ulama daratan Syam saat itu, juga dimuliakan oleh orang-orang pemerintahan hingga mereka memberikan kepadanya beberapa tugas ilmiah sebagai bantuan mereka atas ayah Ibnu Taimiyah ini. Ketika ayahnya ini meninggal, mereka kemudian mengangkat Ibnu Taimiyah sebagai pengganti untuk tugas-tugas ilmiah ayahnya tersebut. Bahkan mereka sengaja menghadiri majelis-majelis Ibnu Taimiyah sebagai support baginya dalam tugasnya tersebut, dan mereka memberikan pujian kepadanya untuk itu. Ini tidak lain karena mereka memandang terhadap dedikasi ayahnya dahulu dalam memangku jabatan ilmiah yang telah ia emban. Namun ternyata pujian mereka terhadap Ibnu Taimiyah ini menjadikan ia lalai dan terbuai. Ibnu Taimiyah tidak pernah memperhatikan akibat dari pujian-pujian yang mereka lontarkan baginya. Dari sini, Ibnu Taimiyah mulai muncul dengan faham-faham bid’ah sedikit demi sedikit. Dan orang-orang yang berada di sekelilingnyapun lalu sedikit demi sedikit menjauhinya karena faham-faham bid’ah yang dimunculkannya tersebut.
Ibnu Taimiyah ini sekalipun cukup terkenal namanya, banyak karya-karyanya dan cukup banyak pengikutnya, namun dia adalah orang yang telah banyak menyalahi konsensus (Ijma’) ulama dalam berbagai masalah agama. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh al-Muhaddits al-Hâfizh al-Faqîh Waliyyuddin al-Iraqi bahwa Ibnu Taimiyah telah membakar (menyalahi dan membangkang) ijma’ dalam berbagai masalah agama yang sangat banyak, disebutkan hingga enam puluh masalah. Sebagian dalam masalah yang terkait dengan pokok-pokok akidah, sebagian lainnya dalam masalah-masalah furû’. Dalam seluruh masalah tersebut ia telah menyalahi apa yang telah menjadi kesepakatan (Ijma’) ulama di atasnya.[1]
Sebagian orang awam di masa itu, -juga seperti yang terjadi di zaman sekarang- yang tidak mengenal benar siapa Ibnu Taimiyah terlena dan terbuai dengan “kebesaran” namanya. Mereka kemudian mengikuti bahkan laksana “budak” bagi faham-faham yang diusung oleh Ibnu Taimiyah ini. Para ulama di masa itu, di masa hidup Ibnu Taimiyah sendiri telah banyak yang memerangi faham-faham tersebut dan menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah pembawa ajaran-ajaran baru dan ahli bid’ah. Di antara ulama terkemuka yang hidup di masa Ibnu Taimiyah sendiri dan gigih memerangi faham-fahamnya tersebut adalah al-Imâm al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki. Beliau telah menulis beberapa risalah yang sangat kuat sebagai bantahan atas kesesatan Ibnu Taimiyah. Al-Imâm Taqiyyuddin as-Subki adalah ulama terkemuka multi disipliner yang oleh para ulama lainnya dinyatakan bahwa beliau telah mencapai derajat mujtahid mutlak, seperti al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al-Imâm Abu Hanifah atau lainnya. Dalam pembukaan salah satu karya bantahan beliau terhadap Ibnu Taimiyah, beliau menuliskan sebagai berikut:
فإنه لما أحدث ابن تيمية ما أحدث في أصول العقائد، ونقض من دعائم الإسلام الأركان والمعاقد، بعد أن كان مستترا بتبعية الكتاب والسنة، مظهرا أنه داع إلى الحق هاد إلى الجنة، فخرج عن الاتباع إلى الابتداع، وشذ عن جماعة المسلمين بمخالفة الإجماع، وقال بما يقتضي الجسمية والتركيب في الذات المقدس، وأن الافتقار إلى الجزء- أي افتقار الله إلى الجزء- ليس بمحال. اهـ
“Sesungguhnya Ibnu Taimiyah telah membuat ajaran-ajaran baru. Ia telah membuat faham-faham baru dalam masalah pokok-pokok akidah. Ia telah menghancurkan sendi-sendi Islam dan rukun-rukun keyakinan Islam. Dalam mempropagandakan faham-fahamnya ini, ia memakai topeng atas nama mengikut al-Qur’an dan Sunnah. Ia menampakkan diri sebagai orang yang menyeru kepada kebenaran dan kepada jalan surga. Sesungguhnya dia bukan seorang yang mengikut kepada kebenaran, tapi dia adalah seorang yang telah membawa ajaran baru, seorang ahli bid’ah. Ia telah menyimpang dari mayoritas umat Islam dengan menyalahi berbagai masalah yang telah menjadi ijma’. Ia telah berkeyakinan pada Dzat Allah yang Maha Suci sebagai Dzat yang memiliki anggota-anggota badan dan tersusun dari anggota-anggota tersebut. Dan menurutnya, butuhnya Allah kepada anggota badan adalah bukan perkara mustahil”[2].
Di antara faham-faham ekstrim Ibnu Taimiyah dalam masalah pokok-pokok agama yang telah menyalahi ijma’ adalah; berkeyakinan bahwa jenis alam ini tidak memiliki permulaan. Menurutnya jenis (al-Jins atau an-Nau’) alam ini qadim bersama Allah. Artinya menurut Ibnu Taimiyah jenis alam ini qadim seperti Qadim-nya Allah. Menurutnya yang baru itu hanyalah materi-meteri (al-Mâddah) alam ini saja. Dalam pemahamannya ini, Ibnu Taimiyah telah mengambil separuh kekufuran kaum filosof terdahulu yang berkeyakinan bahwa alam ini qadim, baik dari segi jenis maupun materi-materinya, sementara Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa yang qadim dari alam ini adalah dari segi jenisnya saja.
Dua faham ini; faham alam qadim dengan jenis dan materinya atau qadim dengan jenisnya saja, adalah kekufuran dengan kesepakatan (Ijma’) para ulama. Ijma’ ini telah dikutip di antaranya oleh al-Imâm Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynîf al-Masâmi’ Bi Syarh Jama’ al-Jawâmi’, karena keyakinan semacam ini sama dengan menetapkan adanya sesuatu yang azali kepada selain Allah, dan menetapkan sifat yang hanya dimiliki Allah bagi makhluk-makhluk-Nya.
Faham ekstrim lainnya dari Ibnu Taimiyah; ia mengatakan bahwa Allah adalah Dzat yang tersusun dari anggota-anggota badan. Menurutnya Allah bergerak dari atas ke bawah, memiliki tempat dan arah, dan disifati dengan berbagai sifat benda lainnya. Dalam beberapa karyanya dengan sangat jelas Ibnu Taimiyah menuliskan bahwa Allah memiliki ukuran sama besar dengan arsy, tidak lebih besar dan tidak lebih kecil dari padanya.
Faham sesat lainnya, ia mengatakan bahwa seluruh Nabi Allah bukan orang-orang yang terpelihara (Ma’shûm). Juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad sudah tidak lagi memiliki kehormatan dan kedudukan (al-Jâh), dan tawassul dengan Jâh Nabi Muhammad tersebut adalah sebuah kesalahan dan kesesatan. Bahkan mengatakan bahwa perjalanan untuk tujuan ziarah kepada Rasulullah di Madinah adalah sebuah perjalanan maksiat yang tidak diperbolehkan untuk mengqashar shalat dalam perjanan tersebut.
Faham sesat lainnya; ia mengatakan bahwa siksa di dalam neraka tidak selamanya. Dalam keyakinannya, bahwa neraka akan punah, dan semua siksaan yang ada di dalamnya akan habis. Seluruh perkara-perkara “nyeleneh” ini telah ia tuliskan sendiri dalam berbagai karyanya, dan bahkan di antaranya di kutip oleh beberapa orang murid Ibnu Taimiyah sendiri. Karena faham-faham ekstrim ini, Ibnu Taimiyah telah berulangkali diminta untuk taubat dengan kembali kepada Islam dan meyakini keyakinan-keyakinan yang benar. Namun demikian, ia juga telah berulang kali selalu saja menyalahi janji-janjinya.
Dan untuk “keras kepalannya” ini Ibnu Taimiyah harus membayar mahal dengan dipenjarakan hingga ia meninggal di dalam penjara tersebut. Pemenjaraan terhadap Ibnu Taimiyah tersebut terjadi di bawah rekomendasi dan fatwa dari para hakim empat madzhab di masa itu, hakim dari madzhab Syafi’i, hakim dari madzhab Maliki, hakim dari madzhab Hanafi, dan dari hakim dari madzhab Hanbali. Mereka semua sepakat memandang Ibnu Taimiyah sebagai seorang yang sesat, wajib diwaspadai, dan dihindarkan hingga tidak menjermuskan banyak orang.
Peristiwa ini semua termasuk berbagai kesesatan Ibnu Taimiyah secara detail telah diungkapkan oleh para ulama dalam berbagai karya mereka. Di antaranya telah diceritakan oleh murid Ibnu Taimiyah sendiri, yaitu Ibn Syakir al-Kutubi dalam karyanya berjudul ‘Uyûn at-Tawârîkh. Bahkan penguasa di masa itu, as-Sulthân Muhammad ibn Qalawun telah mengeluarkan statemen resmi yang beliau perintahkan untuk dibacakan di seluruh mimbar-mimbar mesjid di wilayah Mesir dan daratan Syam (Siria, Libanon, Palestina, dan Yordania) bahwa Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya adalah orang-orang yang sesat, yang wajib dihindari. Akhirnya Ibnu Taimiyah dipenjarakan dan baru dikeluarkan dari penjara tersebut setelah ia meninggal pada tahun 728 H. Berikut ini akan kita lihat beberapa faham kontroversial Ibnu Taimiyah yang ia tuliskan sendiri dalam karya-karyanya, di mana faham-fahamnya ini mendapatkan reaksi keras dari para ulama yang hidup semasa dengan Ibnu Taimiyah sendiri atau dari mereka yang hidup sesudahnya.
Di Antara Faham Kontroversi Ibnu Taimiyah
(Pertama); Pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa alam ini tidak memiliki permulaan, ia ada azaly bersama Allah. Dalam keyakinan Ibnu Taimiyah bahwa jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azaly atau qadim sebagaimana Allah Azaly dan Qadim. Menurut Ibnu Taimiyah, yang baru dan memiliki permulaan dari alam ini hanyalah materi-materinya saja (al-Mâddah atau al-Afrâd), sementara jenis-jenisnya adalah sesuatu yang azaly. Keyakinan Ibnu Taimiyah ini persis seperti keyakinan para filosof terdahulu yang mengatakan bahwa alam ini adalah sesuatu yang qadim atau azaly; tidak memiliki permulaan, baik dari segi jenis-jenisnya maupun dari segi materi-materinya. Hanya saja Ibnu Taimiyah mengambil separuh kesesatan dan kekufuran para folosof tersebut, yaitu mengatakan bahwa yang qadim dari alam ini adalah hanya al-Jins atau an-Nau’-nya saja.
Keyakinan sesat dan kufur ini adalah di antara beberapa keyakinan yang paling buruk yang dikutip dari faham-faham ektrim Ibnu Taimiyah. Keyakinan semacam ini jelas berseberangan dengan logika sehat, dan bahkan menyalahi dalil-dalil tekstual, sekaligus menyalahi apa yang telah menjadi konsensus (Ijma’) seluruh orang Islam. Ibnu Taimiyah menuslikan faham ekstrimnya ini dalam bayak karyanya sendiri, di antaranya; Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl Li Shahîh al-Manqûl[3], Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah[4], Kitab Syarh Hadîts an-Nuzûl[5], Majmû’ al-Fatâwâ[6], Kitâb Syarh Hadîts ‘Imrân Ibn al-Hushain[7], dan Kitâb Naqd Marâtib al-Ijmâ’[8]. Seluruh kitab-kitab ini telah diterbitkan dan anda dapat melihat statemennya ini dengan mata kepala sendiri.
Keyakinan Ibnu Taimiyah ini jelas menyalahi teks-teks syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi, serta menyalahi konsensus (Ijma’) seluruh orang Islam. Di samping itu juga nyata sebagai faham yang menyalahi akal sehat. Dalam salah satu ayat al-Qur’an Allah berfirman:
هُوَ الأوّلُ وَالآخِرُ (الحديد: 3)
“Dialah Allah al-Awwal (yang tidak memiliki permulaan), dan Dialah Allah al-Akhir (yang tidak memiliki penghabisan)”. (QS. al-Hadid: 3).
Kata al-Awwal dalam ayat ini artinya al-Azaly atau al-Qadîm, maknanya tidak memiliki permulaan. Makna al-Awwal, al-Azaly dan atau al-Qadîm dalam pengertian ini secara mutlak hanya milik Allah saja. Tidak ada suatu apapun dari makhluk Allah yang memiliki sifat seperti ini. Karena itu segala sesuatu selain Allah disebut makhluk karena semuanya adalah ciptaan Allah, artinya segala sesuatu selain Allah menjadi ada karena Allah yang mengadakannya. Dengan demikian segala sesuatu selain Allah maka dia baru, semuanya ada dari tidak ada. Keyakinan Ibnu Taimiyah di atas jelas menyalahi teks al-Qur’an, karena dengan demikian sama saja ia telah menetapkan adanya sekutu bagi Allah pada sifat Azaly-Nya. Dan menetapkan adanya sekutu bagi Allah adalah keyakinan syirik.
(Ke Dua): Pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa Allah adalah Jism (benda). Pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa Allah sebagai benda ia sebutkan dalam banyak tempat dari berbagai karyanya. Dengan pendapatnya ini ia banyak membela kesesatan kaum Mujassimah; kaum yang berkeyakinan bahwa Allah sebagai jism (benda). Pernyataannya ini di antaranya disebutkan dalam Syarh Hadîts an-Nunzûl[9], Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl Li Shahîh al-Manqûl[10], Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah[11], Majmû’ Fatâwa[12], dan Bayân Talbîs al-Jahmiyyah[13].
Di antara ungkapannya yang ia tuliskan dalam Bayân Talbîs al-Jahmiyyah adalah sebagai berikut:
(قال) وليس في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا قول أحد من سلف الأمة وأئمتها أنه ليس بجسم، وأن صفاته ليست أجسامًا وأعراضًا، فنفي المعاني الثابتة بالشرع والعقل بنفي ألفاظ لم ينف معناها شرع ولا عقل جهل وضلال. اهـ.
“Sesungguhnya tidak ada penyebutan baik di dalam al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, maupun pendapat para ulama Salaf dan Imam mereka yang menafian tubuh (jism) dari Allah. Juga tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat benda. Dengan demikian mengingkari apa yang telah tetap secara syari’at dan secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah, adalah suatu kebodohan dan kesesatan”[14].
(Ke Tiga); Pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa Allah berada pada tempat dan arah, dan bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran. Keyakinan Ibnu Taimiyah bahwa Allah berada pada tempat dan bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran dengan sangat jelas ia sebutkan dalam karya-karyanya sendiri, di antaranya dalam karyanya berjudul Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl, menuliskan sebagai berikut:
(قال) وقد اتفقت الكلمة من المسلمين والكافرين : أن الله في السماء وحدوه بذلك إلا المريسي الضال وأصحابه حتى الصبيان الذين لم يبلغوا الحنث قد عرفوه بذلك إذا حزب الصبي شيء يرفع يده إلى ربه يدعوه في السماء دون ما سواها وكل أحد بالله وبمكانه أعلم من الجهمية. اهـ
“Semua manusia, baik dari orang-orang kafir maupun orang-orang mukmin telah sepakat bahwa Allah bertempat di langit, dan bahwa Dia diliputi dan dibatasi oleh langit tersebut, kecuali pendapat al-Marisi dan para pengikutnya yang sesat. Bahkan anak-anak kecil yang belum mencapai umur baligh apa bila mereka bersedih karena tertimpa sesuatu maka mereka akan mengangkat tangan ke arah atas berdoa kepada Tuhan mereka yang berada di langit, tidak kepada apapun selain yang langit tersebut. Setiap orang lebih tahu tentang Allah dan tempat-Nya di banding orang-orang Jahmiyyah”[15].
Dalam Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl Ibnu Taimiyah menuliskan perkataan Abu Sa’id ad-Darimi dan menyepakatinya, berkata:
(قال) والله تعالى له حد لا يعلمه أحد غيره ولا يجوز أن يتوهم لحده غاية في نفسه ولكن نؤمن بالحد ونكل علم ذلك إلى الله ولمكانه أيضا حد وهو على عرشه فوق سمواته فهذان حدان اثنان. اهـ
“Sesungguhnya Allah memiliki batasan (bentuk) dan tidak ada yang dapat mengetahui bentuk-Nya kecuali Dia sendiri. Tidak boleh bagi siapapun untuk membayangkan bahwa bentuk Allah tersebut adalah sesuatu yang berpenghabisan. Sudah seharusnya ia beriman bahwa Allah memiliki bentuk, dan cukup ia serahkan pengetahuan tentang itu kepada-Nya. Demikian pula tempat-Nya memiliki batasan (bentuk), yaitu bahwa Dia berada di atas arsy di atas seluruh lapisan langit. Maka keduanya ini (Allah dan tempat-Nya) memiliki bentuk dan batasan”[16].
(Ke Empat); Pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa Allah Allah duduk, turun naik, dan berada di atas arsy. Pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa Allah duduk sangat jelas ia sebutkan dalam beberapa tempat dari karya-karyanya, sekalipun hal ini diingkari oleh sebagian para pengikutnya ketika mereka tahu bahwa hal tersebut adalah keyakinan yang sangat buruk, di antaranya dalam kitabnya berjudul Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, menuliskan:
(قال)إن جمهور أهل السنة يقولون: إنه ينزل ولا يخلو منه العرش. اهـ
“Sesungguhnya mayoritas Ahlussunnah berkata bahwa Allah turun dari arsy, namun demikian arsy tersebut tidak sunyi dari-Nya”[17].
Dalam kitab Syarh Hadîts an-Nuzûl, Ibnu Taimiyah menuliskan:
(قال) والقول الثالث وهو الصواب وهو المأثور عن سلف الأمة وأئمتها: أنه لا يزال فوق العرش ولا يخلو العرش منه مع دنوه ونزوله إلى السماء الدنيا، ولا يكون العرش فوقه. اهـ
“Pendapat ke tiga, yang merupakan pendapat benar, yang datang dari pernyataan para ulama Salaf dan para Imam terkemuka bahwa Allah berada di atas arsy. Dan bahwa arsy tersebut tidak sunyi dari-Nya ketika Dia turun menuju langit dunia. Dengan demikian maka asry tidak berada di arah atas-Nya”[18].
Dan bahkan lebih jelas lagi ia sebutkan dalam Majmû’ Fatâwâ, yang secara dusta ia sandarkan keyakinan rusaknya itu kepada para ulama dan kepada para wali Allah. Ibnu Taimiyah berkata:
(قال)فقد حدث العلماء المرضيون وأولياؤه المقربون أن محمدا رسول الله صلى الله عليه وسلم يجلسه ربه على العرش معه. اهـ
“Para ulama yang diridlai oleh Allah dan para wali-Nya telah menyatakan bahwa Rasulullah; Muhammad didudukan oleh Allah di atas arsy bersama-Nya”[19].
Keyakinan buruk Ibnu Taimiyah ini disamping telah ia tuliskan dalam karya-karyanya sendiri, demikian pula telah disebutkan oleh para ulama yang semasa dengannya atau para ulama yang datang sesudahnya, dan bahkan oleh beberapa orang muridnya sendiri. Dengan demikian keyakinan ini bukan sebuah kedustaan belaka, tapi benar adanya sebagai keyakinan Ibnu Taimiyah. Dan anda lihat sendiri, keyakinan inilah pula di masa sekarang ini yang dipropagandakan oleh para pengikut Ibnu Taimiyah, yaitu kaum Wahhabiyyah.
Di antara bukti bahwa Ibnu Taimiyah berkeyakinan demikian adalah perkataan salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibnu Taimiyah sendiri; yaitu al-Imâm al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitab tafsirnya bejudul an-Nahr al-Mâdd menuliskan sebagai berikut:
قرأت في كتاب لابن تيمية وذكر أبو حيان النحوي الأندلسي في تفسيره المسمى بالنهر في قوله تعالى: (وسع كرسيه السماوات والأرض) ما صورته: وقرأت في كتاب لأحمد بن تيمية هذا الذي عاصرنا، وهو بخطه سماه كتاب العرش: إن الله يجلس على الكرسي وقد أخلى منه مكانا يقعد معه فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم، تحيل عليه التاج محمد بن علي بن عبد الحق البارنباري، وكان أظهر أنه داعية له حتى أخذه منه وقرأنا ذلك فيه. اهـ
“Saya telah membaca dalam sebuah buku karya Ahmad Ibnu Taimiyah, seorang yang hidup semasa dengan kami, yang ia tulis dengan tangannya sendiri, yaitu buku berjudul al-Arsy, di dalamnya ia berkata: “Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi, dan Dia telah menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia dudukan Nabi Muhammad di sana bersama-Nya”. Ibnu Taimiyah ini adalah orang yang pemikirannya dikuasai oleh pemikiran at-Taj Muhammad ibn Ali ibn Abd al-Haqq al-Barinbri, bahkan Ibnu Taimiyah ini telah menyerukan dan berdakwah kepada pemikiran orang tersebut, dan mengambil segala pemikirannya darinya. Dan kita telah benar-benar membaca hal tersebut berada di dalam bukunya itu”[20].
Klaim Ibnu Taimiyah bahwa apa yang ia tuliskan ini sebagai keyakinan ulama Salaf adalah bohong besar. Kita tidak akan menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf saleh yang berkeyakinan tasybîh semacam itu. Anda perhatikan pernyataan Ibnu Taimiyah di atas, sangat buruk dan tidak konsisten. Di beberapa karyanya ia menyatakan bahwa Allah duduk di atas arsy, namun dalam karyanya yang lain ia menyebutkan bahwa Allah duduk di atas kursi. Padahal dalam sebuah Hadits Sahih telah disebutkan bahwa besarnya bentuk arsy dibandingkan dengan Kursi tidak ubahnya seperti sebuah kerikil kecil di banding padang yang sangat luas. Artinya bahwa bentuk arsy sangat besar, dan bahkan merupakan makhluk Allah yang paling besar bentuknya, sementara bentuk Kursi sangatlah kecil. Di mana ia meletakan logikanya; mengatakan bahwa Allah duduk di atas arsy, dan pada saat yang sama ia juga mengatakan bahwa Allah duduk di atas kursi?! Hasbunallâh.
Cukup untuk membantah keyakinan sesat semacam ini dengan mengutip pernyataan al-Imâm Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib; atau yang lebih dikenal dengan nama al-Imâm Ali Zain al-Abidin, bahwa beliau berkata:
سُبْحَانَكَ لاَ تُحَسُّ وَلاَ تُجَسُّ وَلاَ تُمَسُّ
“Maha suci Engkau wahai Allah, Engkau tidak di dapat diindra, tidak dapat digambarkan, dan tidak dapat diraba”[21].
Artinya bahwa Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran.
(Ke Lima); Pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa neraka dan segala siksaan terhadap orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan. Termasuk kontroversi besar yang menggegerkan dari Ibnu Taimiyah adalah pernyataannya bahwa neraka akan punah, dan bahwa siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan. Kontroversi ini bahkan diikuti oleh murid terdekatnya; yaitu Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah[22]. Dalam karyanya berjudul ar-Radd ’Ala Man Qâla Bi Fanâ’ an-Nâr, Ibnu Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
(قال) وفي المسند للطبراني: ذكر فيه أنه ينبت فيها الجرجير، وحينئذ فيحتج على فنائها بالكتاب والسنة، وأقوال الصحابة مع أن القائلين ببقائها ليس معهم كتاب، ولا سنة ولا أقوال الصحابة. اهـ
“Di dalam kitab al-Musnad karya ath-Thabarani disebutkan bahwa di bekas tempat neraka nanti akan tumbuh tumbuhan Jirjir. Dengan demikian maka pendapat bahwa neraka akan punah dikuatkan dengan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, dan perkataan para sahabat. Sementara mereka yang mengatakan bahwa neraka kekal tanpa penghabisan tidak memiliki dalil; baik dari al-Qur’an, Sunnah, maupun perkataan para sahabat.”[23].
Pernyataan Ibnu Taimiyah ini jelas merupakan dusta besar terhadap para ulama Salaf dan terhadap al-Imâm ath-Thabarani. Anda jangan tertipu, karena pendapat itu adalah ”akal-akalan” belaka. Anda tidak akan pernah menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf yang berkeyakinan semacam itu. Pernyataan Ibnu Taimiyah ini jelas telah menyalahi teks-teks al-Qur’an dan hadits serta Ijma’ seluruh orang Islam yang telah bersepakat bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Bahkan, dalam lebih dari 60 ayat di dalam al-Qur’an secara sharîh (jelas) menyebutkan bahwa surga dengan segala kenikmatan dan seluruh orang-orang mukmin akan kekal di dalamnya tanpa penghabisan, dan bahwa neraka dengan segala siksaan serta seluruh orang-orang kafir akan kekal di dalamnya tanpa penghabisan, di antaranya dalam QS. Al-Ahzab: 64-65, QS. At-Taubah: 68, QS. An-Nisa: 169, dan berbagai ayat lainnya.
Kemudian di dalam hadits-Hadits Sahih juga telah disebutkan bahwa keduanya kekal tanpa penghabisan, di antaranya Hadits Sahih riwayat al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
يُقَالُ لِأهْلِ الْجَنّةِ: يَا أهْلَ الْجَنّةِ خُلُوْدٌ لاَ مَوْت، وَلأهْلِ النّار: خُلُوْدٌ لاَ مَوْت (رواه البخاري)
”Dikatakan kepada penduduk surga: ”Wahai penduduk surga kalian kekal tidak akan pernah mati”. Dan dikatakan bagi penduduk neraka: ”Wahai penduduk neraka kalian kekal tidak akan pernah mati”. (HR. al-Bukhari).[24]
Ini adalah salah satu kontroversi Ibnu Taimiyah, -selain berbagai kontroversi lainnya- yang memicu ”perang” antara dia dengan al-Imâm al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki. Hingga kemudian al-Imâm as-Subki membuat risalah berjudul ”al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr” sebagai bantahan keras kepada Ibnu Taimiyah, yang bahkan beliau tidak hanya menyesatkannya tapi juga mengkafirkannya. Di antara yang dituliskan al-Imâm as-Subki dalam risalah tersebut adalah sebagai berikut:
فإن اعتقاد المسلمين أن الجنة والنار لا تفنيان وقد نقل أبو محمد بن حزم الإجماع على ذلك وأن من خالفه كافر بإجماع، ولا شك في ذلك فإنه معلوم من الدين بالضرورة وتواردت الأدلة عليه. اهـ
“Sesungguhnya keyakinan seluruh orang Islam adalah bahwa surga dan neraka tidak akan pernah punah selamanya. Kesepakatan (Ijma’) keyakinan ini telah dikutip oleh Ibn Hazm, dan bahwa siapapun yang menyalahi hal ini maka ia telah menjadi kafir sebagaimana hal ini telah disepakati (Ijma’). Sudah barang tentu hal ini tidak boleh diragukan lagi, karena kekalnya surga dan neraka adalah perkara yang telah diketahui oleh seluruh lapisan orang Islam (Ma’lûm Min ad-Dîn Bi adl-Dlarûrah). Dan sesungguhnya sangat banyak sekali dalil menunjukan di atas hal itu”[25].
Pada bagian lain dalam risalah tersebut al-Imâm as-Subki menuliskan:
أجمع المسلمون على اعتقاد ذلك وتلقوه خلفا عن سلف عن نبيهم صلى الله عليه وسلم وهو مركوز في فطرة المسلمين معلوم من الدين بالضرورة بل وسائر الملل غير المسلمين يعتقدون ذلك ومن رد ذلك فهو كافر. اهـ
“Seluruh orang Islam telah sepakat di atas keyakinan bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Keyakinan ini dipegang kuat turun temurun antar generasi yang diterima oleh kaum Khalaf dari kaum Salaf dari Rasulullah. Keyakinan ini tertancap kuat di dalam fitrah seluruh orang Islam, yang perkara tersebut telah diketahui oleh seluruh lapisan mereka. Bahkan tidak hanya orang-orang Islam, agama-agama lain-pun di luar Islam meyakini demikian. Maka barangsiapa meyalahi keyakinan ini maka ia telah menjadi kafir”[26].
Penilaian adz-Dzahabi Terhadap Ibnu Taimiyah[27]
Al-Hâfizh Syamsuddin adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibnu Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibnu Taimiyah dan sangat mencintainya, –terutama dalam masalah akidah–, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya, telah menjadi musuh mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah pengikut madzhab al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari. Keadaan ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibnu Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibnu Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap penyimpangan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibnu Taimiyah.
Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibnu Taimiyah sebagai berikut:
واحذر التكبر والعجب بعلمك، فيا سعادتك إن نجوت منه كفافا لا عليك ولا لك، فوالله ما رمقت عيني أوسع علما ولا أقوى ذكاء من رجل يقال له ابن تيمية مع الزهد في المأكل والملبس والنساء، ومع القيام في الحق والجهاد بكل ممكن، وقد تعبت في وزنه وفتشه حتى مللت في سنين متطاولة، فما وجدت قد أخره بين أهل مصر والشام، ومقتته نفوسهم وازدروا به وكذبوه وكفروه إلا الكبر والعجب، وفرط الغرام في رياسة المشيخة، والازدراء بالكبار، فانظر كيف وبال الدعاوي، ومحبة الظهور، نسأل الله تعالى المسامحة، فقد قام عليه أناس ليسوا بأورع منه، ولا أزهد منه، بل يتجاوزون عن ذنوب أصحابهم وآثام أصدقائهم، وما سلطهم الله عليه بتقواهم وجلالتهم، بل بذنوبه، وما دفعه الله عنه وعن أتباعه أكثر، وما جرى عليهم إلا بعض ما يستحقون، فلا تكن في ريب من ذلك. اهـ
“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibnu Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibnu Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap angkuh dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini! Hanya kepada Allah kita memohon ampunan. Sungguh telah menyerangnya (Ibnu Taimiyah) oleh orang-orang yang tidak lebih wara’ darinya, tidak lebih zuhud darinya, bahkan sebenarnya mereka adalah para pelaku dosa dan maksiat yang lebih parah dibanding teman-teman mereka sendiri. Tidaklah Allah menguasakan mereka atasnya (Ibnu Taimiyah) karena kesalehan / ketaqwaan mereka, tetapi karena kesalahan-kesalahannya sendiri (yang sombong dan senantiasa mencaci-maki para ulama). Dan sebenarnya apa yang dibayarkan (dibalaskan) oleh Allah baginya dan bagi para pengikutnya (karena kesalahan-kesalaannya) hanyalah sedikit saja. Dan apa yang menimpa mereka (dari siksaan) tidak lain hanyalah sebagian saja dari apa yang seharusnya mereka terima. Maka janganlah engkau ragu sedikitpun dari masalah demikian itu”[28].
Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibnu Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut:
الحمد لله على ذلتي، يارب ارحمني، وأقلني عثرتي، واحفظ عليّ إيماني، واحزناه على قلة حزني، واآسفاه على السنة وذهاب أهلها، واشوقاه إلى إخوان مؤمنين يعاونوني على البكاء، واحزناه على فقد أناس كانوا مصابيح العلم وأهل التقوى وكنوز الخيرات، آه على وجود درهم حلال وأخ مؤنس، طوبى لمن شغله عيبه عن عيوب الناس، وتباً لمن شغلته عيوب الناس عن عيبه، إلى كم ترى القذاة في عين أخيك وتنسى الجذع في عينك ؟ إلى كم تمدح نفسك وشقاشقك وعباراتك وتذم العلماء وتتبع عورات الناس ؟ مع علمك بنهي الرسول صلى الله عليه وسلم : لا تذكروا موتاكم إلا بخير ، فإنهم قد أفضوا إلى ماقدموا. بل أعرف أنك تقول لي لتنصر نفسك : إنما الوقيعة في هؤلاء الذين ما شموا رائحة الإسلام، ولا عرفوا ما جاء به محمد صلى الله عليه وسلم وهو جهاد، بلى والله عرفوا خيراً كثيراً مما إذا عمل به العبد فقد فاز، وجهلوا شيئاً كثيراً مما لا يعنيهم ، ومن حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه .يا رجل ! بالله عليك كفّ عنّا، فإنك محجاج عليم اللسان لا تقر ولا تنام، إياكم والغلوطات في الدين، كره نبيك صلى الله عليه وسلم المسائل وعابها، ونهى عن كثرة السؤال وقال : إن أخوف ما أخاف على أمتي كل منافق عليم اللسان .وكثرة الكلام بغير زلل تقسي القلب إذا كان في الحلال والحرام، فكيف إذا كان في عبارات اليونسية والفلاسفة وتلك الكفريات التي تعمي القلوب، والله قد صرنا ضحكة في الوجود، فإلى كم تنبش دقائق الكفريات الفلسفية ؟ لنرد عليها بعقولنا، يا رجل ! قد بلعتَ سموم الفلاسفة تصنيفاتهم مرات، وكثرة استعمال السموم يدمن عليها الجسم، وتكمن والله في البدن .واشوقاه إلى مجلس فيه تلاوة بتدبر وخشية بتذكر وصمت بتفكر، واهاً لمجلس يذكر فيه الأبرار فعند ذكر الصالحين تنزل الرحمة، بل عند ذكر الصالحين يذكرون بالإزدراء واللعنة، كان سيف لحجاج ولسان ابن حزم شقيقين فواخيتهما، بالله خلونا من ذكر بدعة الخميس وأكل الحبوب، وجدوا في ذكر بدع كنا نعدها من أساس الضلال، قد صارت هي محض السنة وأساس التوحيد، ومن لم يعرفها فهو كافر أو حمار، ومن لم يكفر فهو أكفر من فرعون، وتعد النصارى مثلنا، والله في القلوب شكوك، إن سلم لك إيمانك بالشهادتين فأنت سعيد، يا خيبة من اتبعك فإنه معرض للزندقة والإنحلال، لا سيما إذا كان قليل العلم والدين باطولياً شهوانيا، لكنه ينفعك ويجاهد عنك بيده ولسانه، وفي الباطن عدو لك بحاله قلبه .فهل معظم أتباعك إلا قعيد مربوط خفيف العقل، أو عامي كذاب ليد الذهن، أو غريب واجم قوي المكر ؟ أو ناشف صالح عديم الفهم ؟ فإن لم تصدقني ففتشهم وزنهم بالعدل .يامسلم أقدم حمار شهوتك لمدح نفسك، إلى كم تصادقها وتعادي الأخيار ؟ إلى كم تصادقها وتزدري الأبرار ؟ إلى كم تعظمها وتصغّر العباد ؟ إلى متى تخاللها وتمقت الزهاد ؟ إلى متى تمدح كلامك بكيفية لا تمدح – والله –بها أحاديث الصحيحين ؟ يا ليت أحاديث الصحيحين تسلم منك، بل في كل وقت تغير عليها بالتضعيف والإهدار، أو بالتأويل والإنكار، أما آن لك أن ترعوي ؟ أما حان أن تتوب وتنيب ؟ أما أنت في عشر السبعين وقد قرب الرحيل ؟ بلى – والله – ما أذكر أنك تذكر الموت ، بل تزدري بمن يذكر الموت. فما أظنك تقبل عليّ قولي ولا تصغي إلى وعظي، بل لك همة كبيرة في نقض هذه الورقة بمجلدات، وتقطع لي أذناب الكلام، ولا تزال تنتصر حتى أقول البتة سكت، فإذا كان هذا حالك عندي وأنا الشفوق المحب الواد، فكيف حالك عند أعدائك ؟ وأعداؤك – والله– فيهم صلحاء وعقلاء وفضلاء، كما أن أوليائك فيهم فجرة وكذبة وجهلة وبطلة وعور وبقر، قد رضيت منك بأن تسبني علانية، وتنتفع بمقالتي سرا، فرحم الله امرءاً أهدى إليّ عيوبي ، فإني كثير العيوب، غزير الذنوب، الويل لي إن أنا لا أتوب، وافضيحتي من علاّم الغيوب !ودوائي عفو الله ومسامحته وتوفيقه وهدايته، والحمد لله رب العالمين ، وصلى الله على سيدنا محمد خاتم النبيين وعلى آله وصحبه أجمعين .
“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.
Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!
Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!
Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!
Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibnu Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai Bung…! (Ibnu Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.
Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??
Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.
Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.
Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.
Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibnu Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!
Wahai Muslim (yang dimaksud olehnya adalah Ibnu Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!
Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?!
Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan.
Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat menyangig dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap dirimu?!
Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.
Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya terhadap aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.
Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian[29].
_________________
[1] Al-‘Iraqi, al-Ajwibah al-Mardliyyah, h. 93-95
[2] Taqiyyuddin as-Subki, ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibnu Taimiyah.
[3] Ibnu Taimiyah, Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl Li Shahîh al-Manqûl, j. 2, h. 75. Lihat pula j, 1, h. 245 dan j. 1, h. 64.
[4] Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 224 dan j. 1, h. 83 dan j. 1, h. 109.
[5] Ibnu Taimiyah, Syarh Hadîts an-Nuzûl, h. 161
[6] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwa, j. 6, h. 300
[7] Ibnu Taimiyah, Kitâb Syarh Hadîts ‘Imrân Ibn al-Hushain, h. 192
[8] Ibnu Taimiyah, Naqd Marâtib al-Ijmâ’, h. 168
[9] Ibnu Taimiyah, Syarh Hadîts an-Nuzûl, h. 80
[10] Ibnu Taimiyah, Muwâfaqah Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul, j. 1, h. 62, j. 1, h. 148
[11] Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah, j. 1, h. 197, dan j. 1, h. 180
[12] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwa, j. 4, h. 152
[13] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs al-Jahmiyyah, j. 1, h. 101
[14] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs al-Jahmiyyah, j. 1, h. 101
[15] Ibnu Taimiyah, Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29-30
[16] Ibnu Taimiyah, Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl, j. 2, h. 29
[17] Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 262
[18] Ibnu Taimiyah, Syarh Hadîts an-Nuzûl, h. 66
[19] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ, j. 4, h. 374
[20] Abu Hayyan al-Andalusi, An-Nahr al-Mâdd, tafsir ayat al-Kursi.
[21] Lihat al-Hâfizh Murtadla az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, j. 4, h. 380
[22] Lihat pernyataan Ibn al-Qayyim dalam karyanya sendiri berjudul Hâdî al-Arwâh Ilâ Bilâd al-Afrâh, h. 579 dan h. 582
[23] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘Ala Man Qâla Bi Fanâ’ an-Nâr, h. 67
[24] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 6545, at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadits nomor 2557, Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, hadits nomor 8817, dan lainnya.
[25] Lihat al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr dalam ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Alâ Ibnu Taimiyah karya al-Hâfizh Ali ibn Abdul-Kafi as-Subki, h. 60.
[26] Taqiyyuddin Ali ibn Abdul Kafi as-Subki, al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, h. 67
[27] Saya telah menulis buku dengan judul Mengungkap kerancuan pembagian Tauhid kepada Uluhiyyah, Rububiyyah, dan al-Asma’ wa ash-Shifat, dalam 270 halaman. Di dalamnya dikutip nama-nama para ulama dari masa ke masa yang membantah faham ekstrim Ibnu Taimiyah. Setidaknya ada 99 ulama terkemuka yang telah membongkar faham ekstrimnya. Lihat buku, h. 23
[28] Adz-Dzahabi, Zaghl al-‘Ilm, h. 38, cet. Ash-Shahwah, tahqiq Mauhammad Nashir al-Azami. Secara lengkap juga dikutip oleh Arabi at-Taban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9
[29] Ad-Dzahabi, an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, cat. Darul Masyari, Bairut. Lihat pula Arabi at-Taban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11