Minggu, September 24, 2023
spot_img

Siapakah Ibnul Qayyim al-Jauziyyah?

Ia bernama Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub az-Zar’i, dikenal dengan nama Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, lahir tahun 691 hijriyah dan wafat tahun 751 hijriyah. Al-Dzahabi dalam kitab al-Mu’jam al-Mukhtash menuliskan tentang sosok Ibnul Qayyim sebagai berikut:

عني بالحديث بمتونه وبعض رجاله وكان يشتغل في الفقه ويجيد تقريره، وفي النحو ويدريه، وفي الأصلين، وقد حبس مدة لإنكاره على شد الرحيل لزيارة قبر الخليل (إبراهيم عليه السلام) ثم تصدر للاشتغال ونشر العلم لكنه معجب برأيه جرئ على الأمور. اه‍

“Ia tertarik dengan disiplin hadits, matan-matan-nya, dan para perawinya. Ia juga berkecimpung dalam bidang fiqih dan cukup kompeten di dalamnya. Ia juga mendalami ilmu nahwu dan menguasainya. Juga dalam dua sumber (al-Qur’an dan Hadits). Ia telah dipenjarakan beberapa kali karena pengingkarannya terhadap kebolehan melakukan perjalanan untuk ziarah ke makam Nabi Ibrahim. Ia menyibukan diri dengan menulis beberapa karya dan menyebarkan ilmu-ilmunya, hanya saja ia seorang yang suka merasa paling benar dan terlena dengan pendapat-pendapatnya sendiri, hingga ia menjadi seorang yang terlalu berani atau nekad dalam banyak permasalahan”[1].

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kaminah menuliskan tentang Ibnul Qayyim sebagai berikut:

غلب عليه حب ابن تيمية حتى كان لا يخرج عن شئ من أقواله بل ينتصر له في جميع ذلك، وهر الذي هذب كتبه ونشر علمه، واعتقل مع ابن تيمية بالقلعة بعد أن أهين وطيف به على جمل مضروبا بالدرة، فلما مات أفرج عنه وامتحن مرة أخرى بسبب فتاوى ابن تيمية، وكان ينال من علماء عصره وينالون منه. اه‍

“Ia ditaklukkan oleh rasa cintanya kepada Ibnu Taimiyah, hingga tidak sedikitpun ia keluar dari seluruh pendapat Ibnu Taimiyah, dan bahkan ia selalu membela setiap pendapat apapun dari Ibnu Taimiyah. Ibnul Qayyim inilah yang berperan besar dalam menyeleksi dan menyebarluaskan berbagai karya dan ilmu-ilmu Ibnu Taimiyah. Ia dengan Ibnu Taimiyah bersama-sama telah dipenjarakan di penjara al-Qal’ah, setelah sebelumnya ia dihinakan dan arak keliling di atas unta hingga banyak dipukuli ramai-ramai. Ketika Ibnu Taimiyah meninggal dalam penjara, Ibnul Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara tersebut. Namun demikian Ibnul Qayyim masih mendapat beberapa kali hukuman karena perkataan-perkataannya yang ia ambil dari fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah. Karena itu Ibnul Qayyim banyak menerima serangan dari para ulama semasanya, seperti juga para ulama tersebut diserang olehnya”[2].

Sementara Ibn Katsir menuliskan tentang sosok Ibnul Qayyim sebagai berikut:

وقد كان متصديا للإفتاء بمسألة الطلاق التي اختارها الشيخ تقي الدين بن تيمية وجرت بسببها فصول يطول بسطها مع قاضي القضاة تقي الدين السبكي وغيره. اهـ

“Ia (Ibnul Qayyim) bersikukuh memberikan fatwa tentang masalah talak dengan menguatkan apa yang telah difatwakan oleh Ibnu Taimiyah. Tentang masalah talak ini telah terjadi perbincangan dan perdebatan yang sangat luas antara dia dengan hakim agung (Qâdlî al-Qudlât); Taqiyuddin as-Subki dan ulama lainnya”[3].

Ibnul Qayyim adalah sosok yang terlalu optimis dan memiliki gairah yang besar atas dirinya sendiri, yang hal ini secara nyata tergambar dalam gaya karya-karya tulisnya yang nampak selalu memaksakan penjelasan yang sedetail mungkin. Bahkan nampak penjelasan-penjelasan itu seakan dibuat-buatnya. Referensi utama yang ia jadikan rujukan adalah selalu saja perkataan-perkataan Ibnu Taimiyah. Bahkan ia banyak mengutak-atik fatwa-fatwa gurunya tersebut karena dalam pandangannya ia memiliki kekuatan untuk itu. Tidak sedikit dari faham-faham ekstrim Ibnu Taimiyah yang ia propagandakan dan ia bela, bahkan ia jadikan sebagai dasar argumentasinya. Oleh karena itu telah terjadi perselisihan yang cukup hebat antara Ibnul Qayyim dengan pimpinan para hakim/Hakim Agung (Qâdlî al-Qudlât); al-Imâm al-Hâfizh Taqiyuddin as-Subki di bulan Rabi’ul Awwal dalam masalah kebolehan membuat perlombaan dengan hadiah tanpa adanya seorang muhallil (orang ke tiga antara dua orang yang melakukan lomba). Ibnul Qayyim dalam hal ini mengingkari pendapat al-Imâm as-Subki, hingga ia mendapatkan tekanan dan hukuman saat itu, yang pada akhirnya Ibnul Qayyim menarik kembali pendapatnya tersebut[4].

Al-Imâm Taqiyuddin al-Hishni (w 829 H), salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab asy-Syafi’i; penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr, dalam karyanya berjudul Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad sebagai bantahan atas kesesatan Ibnu Taimiyah menuliskan sebagai berikut:

كان ابن تيمية ممن يعتقد ويفتي بأن شدّ الرحال إلى قبور الأنبياء حرام لا تقصر فيه الصلاة، ويصرح بقبر الخليل وقبر النبي صلى الله عليه وسلم، وكان على هذا الاعتقاد تلميذه ابن قيّم الجوزية الزرعي وإسمعيل بن كثير الشركويني، فاتفق أن ابن قيّم الجوزية سافر إلى القدس الشريف ورقي على منبر في الحرم ووعظ وقال في أثناء وعظه بعد أن ذكر المسألة: وها أنا راجع فلا أزور الخليل. ثم جاء إلى نابلس وعمل له مجلس وعظ وذكر المسألة بعينها حتى قال: فلا يزور قبر النبي صلى الله عليه وسلم، فقام إليه الناس وأرادوا قتله فحماه منهم والي نابلس، وكتب أهل القدس وأهل نابلس إلى دمشق يعرفون صورة ما وقع منه، فطلبه القاضي المالكي فتردد وصعد إلى الصالحية إلى القاضي شمس الدين بن مسلم الحنبلي وأسلم على يديه فقبل توبته وحكـم بإسلامه وحقن دمه ولم يعزره لأجل ابن تيمية، ثم أحضر ابن قيّم الجوزية وادعي عليه بما قاله في القدس الشريف وفي نابلس فأنكر، فقامت عليه البينة بما قاله، فأدّب وحمل على جمل ثم أعيد في السجن، ثم أحضر إلى مجلس شمس الدين المالكي وأرادوا ضرب عنقه فما كان جوابه إلا أن قال: إن القاضي الحنبلي حكم بحقن دمي وبإسلامي وقبول توبتي، فأعيد إلى الحبس إلى أن أحضر الحنبلي فأخبر بما قاله فأحضر وعزر وضرب بالدرّة وأركب حمارا وطيف به في البلد والصالحية وردّوه إلى الحبس، وجرسوا ابن القيّم وابن كثير وطيف بهما في البلد وعلى باب الجوزية لفتواهما فى مسألة الطلاق. اهـ

“Ibnu Taimiyah adalah orang yang berpendapat bahwa mengadakan perjalanan untuk ziarah ke makam para Nabi Allah adalah sebagai perbuatan haram, dan tidak boleh melakukan qashar shalat karena perjalanan tersebut. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah secara tegas menyebutkan haram safar untuk tujuan ziarah ke makam Nabi Ibrahim dan makam Rasulullah. Keyakinannya ini kemudian diikuti oleh muridnya sendiri; yaitu Ibnul Qayyim al-Jaiuziyyah az-Zar’i dan Isma’il ibn Katsir as-Syarkuwini. Disebutkan bahwa suatu hari Ibnul Qayyim mengadakan perjalan ke al-Quds Palestina. Di Palestina, di hadapan orang banyak ia memberikan nasehat, namun ditengah-tengah nasehatnya ia membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulannya Ibnul Qayyim kemudian berkata: “Karena itu aku katakan bahwa sekarang aku akan langsung pulang dan tidak akan menziarahi al-Khalil (Nabi Ibrahim)”. Kemudian Ibnul Qayyim berangkat ke wilayah Tripoli (Nablus Syam), di sana ia kembali membuat majelis nesehat, dan di tengah nasehatnya ia kembali membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulan pembicaraannya Ibnul Qayyim berkata: “Karena itu hendakalah makam Rasulullah jangan diziarahi…!”. Tiba-tiba orang-orang saat itu berdiri hendak memukulinya dan bahkan hendak membunuhnya, namun peristiwa itu dicegah oleh gubernur Nablus saat itu. Karena kejadian ini, kemudian penduduk al-Quds Palestina dan penduduk Nablus menuslikan berita kepada para penduduk Damaskus prihal Ibnul Qayyim dalam kesesatannya tersebut. Di Damaskus kemudian Ibnul Qayyim dipanggil oleh salah seorang hakim (Qadli) madzhab Maliki. Dalam keadaan terdesak Ibnul Qayyim kemudian meminta suaka kepada salah seorang Qadli madzhab Hanbali, yaitu al-Qâdlî Syamsuddin ibn Muslim al-Hanbali. Di hadapannya, Ibnul Qayyim kemudian rujuk dari fatwanya di atas, dan menyatakan keislamannya kembali, serta menyatakan taubat dari kesalahan-kesalahannya tersebut. Dari sini Ibnul Qayyim kembali dianggap sebagai muslim, darahnya terpelihara dan tidak dijatuhi hukuman. Lalu kemudian Ibnul Qayyim dipanggil lagi dengan tuduhan fatwa-fatwa yang menyimpang yang telah ia sampaikan di al-Quds dan Nablus, tapi Ibnul Qayyim membantah telah mengatakannya. Namun saat itu terdapat banyak saksi bahwa Ibnul Qayyim telah benar-benar mengatakan fatwa-fatwa tersebut. Dari sini kemudian Ibnul Qayyim dihukum dan di arak di atas unta, lalu dipenjarakan kembali. Dan ketika kasusnya kembali disidangkan dihadapan al-Qâdlî Syamsuddin al-Maliki, Ibnul Qayyim hendak dihukum bunuh. Namun saat itu Ibnul Qayyim mengatakan bahwa salah seorang Qadli madzhab Hanbali telah menyatakan keislamannya dan keterpeliharaan darahnya serta diterima taubatnya. Lalu Ibnul Qayyim dikembalikan ke penjara hingga datang Qadli madzhab Hanbali dimaksud. Setelah Qadli Hanbali tersebut datang dan diberitakan kepadanya prihal Ibnul Qayyim sebenarnya, maka Ibnul Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara untuk dihukum. Ia kemudian dipukuli dan diarak di atas keledai, setelah itu kemudian kembali dimasukan ke penjara. Dalam peristiwa ini mereka telah mengikat Ibnul Qayyim dan Ibn Katsir, kemudian di arak keliling negeri, karena fatwa keduanya -yang nyeleneh- dalam masalah talak”[5].

Ibnul Qayyim benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya; yaitu Ibnu Taimiyah, dalam berbagai permasalahan. Dalam salah satu karyanya berjudul Badâ-i’ al-Fawâ-id, Ibnul Qayyim menuliskan beberapa bait syair berisikan keyakinan tasybîh, yang dengan kedustaannya ia mengatakan bahwa bait-bait syair tersebut adalah hasil tulisan al-Imâm ad-Daraquthni. Dalam bukunya tersebut Ibnul Qayyim menuliskan:

(قال) ؛ ولا تنكروا أنه قاعد * ولا تنكروا أنه يقعده. اهـ

“Janganlah kalian mengingkari bahwa Dia Allah duduk di atas arsy, juga jangan kalian ingkari bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy tersebut bersama-Nya”[6].

Tulisan Ibnul Qayyim ini jelas merupakan kedustaan yang sangat besar. Sesungguhnya al-Imâm ad-Daraquthni adalah salah seorang yang sangat mengagungkan al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari; sebagai Imam Ahlussunnah. Jika seandainya ad-Daraquthni seorang yang berkeyakinan tasybîh, seperti anggapan Ibnul Qayyim, maka tentunya ia akan mengajarkan keyakinan tersebut.

Pada bagian lain dalam kitab yang sama Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa langit lebih utama dari pada bumi, ia menuliskan:

(قال)؛ قال المفضلون للسماء على الأرض يكفي في فضلها أن رب العالمين سبحانه فيها وأن عرشه وكرسيه فيها. اهـ

Mereka yang berpendapat bahwa langit lebih utama dari pada bumi mengatakan: Cukup alasan yang sangat kuat untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi adalah karena Allah berada di dalamnya, demikian pula dengan arsy-Nya dan kursi-Nya berada di dalamnya”[7].

Penegasan yang sama diungkapkan pula oleh Ibn al-Qayyim dalam kitab karyanya yang lain berjudul Zâd al-Ma’âd. Dalam pembukaan kitab tersebut dalam menjelaskan langit lebih utama dari bumi mengatakan bahwa bila seandainya langit tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali bahwa ia lebih dekat kepada Allah maka cukup hal itu untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi.

Al-Muhaddits Syekh Muhammmad Arabi at-Taban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn dalam menanggapi tulisan-tulisan sesat Ibn al-Qayyim di atas berkata:

إن هذا الإنسان يعتقد ما يعتقده المسلمون من أن السموات السبع والكرسي والعرش أجرام، وأن نسبة السوات السبع إلى الكرسي كحلقة ملقاة في فلاة من الأرض كما في الأثر، وأن نسبة السموات السبع مع الكرسي إلى العرش كحلقة ملقاة في فلاة من الأرض، ويعتقد أيضا ما أسسه شيخه الحراني ودافع هو عنه دفاع مجنون من أن جميع ما في القرءان والسنة من المتشابه القابل للتأويل عن أهل الحق؛ هو حقيقة عنده لا مجاز فيه، وعلى ظاهره لا يسوغ تأويله. اهـ

Orang ini (Ibn al-Qayyim) meyakini seperti apa yang diyakini oleh seluruh orang Islam bahwa seluruh langit yang tujuh lapis, al-Kursi, dan arsy adalah benda-benda yang notabene makhluk Allah. Orang ini juga tahu bahwa besarnya tujuh lapis langit dibanding dengan besarnya al-Kursi maka tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas; sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam hadits Nabi. Orang ini juga tahu bahwa al-Kursi yang demikian besarnya jika dibanding dengan besarnya arsy maka al-Kursi tersebut tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas. Anehnya, orang ini pada saat yang sama berkeyakinan sama persis dengan keyakinan gurunya; yaitu Ibnu Taimiyah, bahwa Allah berada di arsy dan berada di langit, bahkan keyakinan gurunya tersebut dibela matia-matian layaknya pembelaan seorang yang gila. Orang ini juga berkeyakinan bahwa seluruh teks mutasyâbih, baik  dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi yang menurut Ahl al-Haq membutuhkan kepada takwil, baginya semua teks tersebut adalah dalam pengertian hakekat, bukan majâz (metafor). Baginya semua teks-teks mutasyâbih tersebut tidak boleh ditakwil”[8].

_________________________
[1] Lihat al-Harari, al-Maqâlât as-Sunniyyah mengutip dari al-Mu’jam al-Mukhtash, h. 43
[2] Lihat al-Harari, al-Maqâlât as-Sunniyyah mengutip dari ad-Durar al-Kâminah, h. 43
[3] Ibnu Katsir, al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, j. 14, j. 235
[4] Ibnu Katsir, al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, j. 14, j. 235. Dan Ibnu Katsir juga salah seorang murid Ibnu Taimiyah. Ini adalah bukti bahwa walaupun keduanya satu guru tetapi keduanya memiliki pokok perbedaan yang sangat sensitif.
[5] Taqiyyuddin al-Hishni, Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, h. 122-123
[6] Ibnul Qayyim, Badâ-i’ al-Fawâ-id, j. 4, h. 39-40
[7] Ibnul Qayyim, Badâ-i’ al-Fawâ-id, j. 4, h. 24
[8] ‘Arabi at-Taban, Barâ-ah al-Asy’ariyyîn, j. 2, h. 259-260

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments

×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku