Risalah Aqidah Tauhid Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dengan nama Allah ar-Rahmân[1] dan ar-Rahîm[2]. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat oleh Allah atas pemimpin kita Muhammad, atas keluarganya dan para sahabat-nya; serta salam [dari-Nya bagi mereka].
Telah mengkhabarkan kepada kami oleh Jamaluddin Abul Husain bin Ibrahim bin Abdullah al-Qurasyi dengan ijazah [darinya] dengan tulisan tangannya; Bahwa ia [Jamaluddin Abul Husain] berkata: “Telah mengkhabarkan kepada kami oleh seorang ahli fiqh (al-Faqîh), seorang panutan (al-Imâm), yaitu Fakhruddin Abul Ma’ali Muhammad bin Abul Faraj bin Muhammad bin Barakah al-Maushili dengan jalan dibacakan kepadanya (al-Qirâ’ah), –dan aku [Jamaluddin Abul Husain] mendengar beliau–, di masjidnya di wilayah Suq as-Sulthan, Baghdad, pada hari selasa, 8 Syawwal tahun 600 H, Dan dikatakan kepadanya [Fakhruddin Abul Ma’ali]: “Apakah engkau telah membacakannya [akan risalah Istihsân al-khoudl ini] kepada seorang Syekh, seorang Imam yang sangat terpercaya (jujur); yaitu Abu Manshur al-Mubarak bin Abdullah bin Muhammad al-Baghdadi, di hari kedatanganmu di rubat-nya yang dikenal dengan rubat al-Barbahiriyyah, sebelah timur kota as-Salam, tahun 573 H?”, maka beliau [Fakhruddin Abul Ma’ali] membenarkannya, [Lalu] Ia (Fakhruddin Abul Ma’ali) berkata: “Telah mengkhabarkan kepada kami seorang syekh, seorang Imam yang hâfizh, yaitu Jamaluddin Abul Fadl Abdur-Rahim bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Khalid, yang terkenal dengan sebutan Ibnul Ikhwah, tahun 542 H, Bahwa ia [Ibnul Ikhwah] berkata: “Telah mengkhabarkan kepada kami oleh Syekh Fadl bin Yahya an-Natili di Mazindaran di rumahnya, dengan aku membaca [akan risalah ini] kepadanya, Bahwa ia [Fadl bin Yahya] berkata: “Telah mengkhabarkan kepada kami oleh Abu Nashr Abdul Karim bin Muhammad bin Harun asy-Syirazi, Bahwa ia [Abu Nashr Abdul Karim] berkata: “Telah mengkhabarkan kepada kami oleh Ali bin Rustum, Bahwa ia [Ali bin Rustum] berkata: “Telah mengkhabarkan kepada kami oleh Ali bin Mahdi, bahwa ia [Ali bin Mahdi] berkata: “Aku telah mendengar seorang syekh yang sangat terkemuka [tertinggi dalam keilmuannya (al-Awhad), pemimpin para syekh (Syaikh al-masyâyikh), yaitu Abul Hasan Ali bin Isma’il (Semoga ridha Allah senantiasa tercurah baginya), berkata:
Bara Juga: Biografi Ringkas al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
“Segala puji bagi Allah, Shalawat dan Salam atas Nabi Muhammad, keluarganya; orang-orang terbaik, dan para sahabatnya; para Imam (panutan) dan orang-orang pilihan, ammâ ba’d (adapun selanjutnya);
Sesungguhnya ada sekelopok manusia yang telah menjadikan kebodohan sebagai modal utamanya, dan berat atas mereka untuk berfikir dan membahas tentang agama; Mereka cenderung [hanya] kepada meremehkan dan kepada ikut-ikutan (taqlîd), mereka mencela orang-orang yang meneliti [mendalami] pokok-pokok agama (Ushuluddin), mereka menyandarkan orang-orang [yang meneliti pokok-pokok agama] tersebut kepada kesesatan. Mereka meyakini bahwa berbicara tentang gerak, diam, sifat benda, warna-warna, segala benda, bagian-bagian [besar], bagian-bagian [kecil], dan berbicara tentang sifat-sifat Allah adalah perkara bid’ah dan sesat. Dan mereka berkata: Jika demikian itu sebagai kebenaran dan petunjuk maka Rasulullah benar-benar telah berbicara terkait itu, juga [berbicara] oleh para khalifah-nya dan para sahabatnya.
[Dan] Mereka berkata: Dan karena sesungguhnya Rasulullah tidak meninggal kecuali beliau telah benar-benar berbicara [menyampaikan] dalam segala apa yang dibutuhkan kepadanya dari perkara-perkara agama dan telah menjelaskannya dengan penjelasan yang cukup [sempurna]. Rasulullah tidak meninggalkan [menyisakan] suatu permasalahan apapun bagi orang sesudahnya dalam perkara yang dibutuhkan oleh umat Islam dalam urusan-urusan agama mereka, dan dalam apa yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah serta menjauhkan diri mereka dari murka-Nya [kecuali itu semua telah dijelaskan oleh Rasulullah].
Karena itu [menurut mereka], oleh karena mereka (Rasulullah dan para sahabatnya) tidak pernah berbicara perkara-perkara demikian itu (Ushuluddin) sedikit-pun, –dalam apa yang telah kami sebutkan di atas–; maka kami mengetahui (meyakini) bahwa berbicara dalam perkara tersebut (Ushuluddin) adalah bid’ah, dan membahas perkara demikian itu adalah kesesatan, karena jika demikian itu adalah kebaikan maka perkara tersebut tidak akan terlewatkan oleh Rasulullah dan para sahabat-nya, dan mereka akan benar-benar berbicara di dalamnya.
Dan mereka berkata: Karena sesungguhnya pendapat demikian itu tidak lepas dari dua segi, (Pertama); Bisa jadi mereka (Rasulullah dan para sahabat-nya) adalah orang-orang yang mengetahui masalah-masalah [Ushuluddin] tersebut tetapi mereka sengaja diam dari itu semua, atau (Kedua); Boleh jadi [mereka] tidak mengetahui itu semua, mereka bodoh terkait perkara-perkara tersebut [Ushuluddin].
Maka (pertama) jika mereka mengetahui, lalu mereka diam tidak berbicara, maka hendaklah kita juga demikian adanya; diam tidak bicara, sebagaimana mereka diam tidak bicara. Hendaklah kita tidak memperdalam perkara-perkara tersebut, sebagaimana mereka diam tidak memperdalam itu semua. Karena sesungguhnya jika memperdalam perkara tersebut (Ushuluddin) sebagai bagian dari agama tentu mereka tidak akan tinggal diam.
Dan (kedua) jika mereka (Rasulullah dan para sahabat-nya) tidak mengetahui perkara-perkara tersebut (Ushuluddin) maka hendaklah kita juga demikian adanya; tidak mengetahui (tetap bodoh) terkait itu semua. Karena itu, –menurut mereka– dengan dua segi kemungkinan ini maka berbicara di dalamnya adalah perkara bid’ah, dan memperdalam dalam pokok-pokok agama tersebut adalah sesat. Itulah kesimpulan apa yang menjadi landasan argumen mereka untuk meninggalkan pembicaraan [mendalami] masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin)”.
Syekh Abul Hasan al-Asy’ari [semoga Ridha Allah senantiasa tercurah bagi-nya] berkata:
“Jawaban [bagi kerancuan mereka] dari tiga segi.
Download Ebook Judul: Siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebenarnya?
(Jawaban Pertama); Rasulullah tidak pernah pula berkata; “Siapa yang membahas perkara-perkara tersebut (Ushuluddin) dan berbicara di dalamnya maka jadikanlah orang itu oleh kalian sebagai pelaku bid’ah yang sesat”. Dengan demikian maka lazim-lah (tetap) atas kalian bahwa kalian sendiri adalah orang-orang pelaku bid’ah yang sesat, karena kalian telah berbicara [menuduh orang lain] dalam perkara yang Rasulullah tidak pernah berbicara dalam perkara tersebut, juga kalian telah menyesatkan orang lain yang tidak pernah disesatkan oleh Rasulullah.
(Jawaban Ke-dua); Dengan dikatakan bagi mereka bahwa Rasulullah tidak bodoh sedikit-pun [artinya benar-benar mengetahui] terhadap perkara-perkara yang kalian sebutkan dalam pembicaraan [terkait] masalah tubuh/benda (al-jism), sifat benda (al-‘Aradl), gerak (al-harakah), diam (as-sukûn), bagian-bagian (al-juz’), dan langkah (at-thafrah)[3], sekalipun ia (Rasulullah) tidak pernah berbicara secara khusus (tertentu) terkait itu semua, juga [tidak] oleh para ulama dari kalangan sahabatnya. Hanya saja sesungguhnya perkara-perkara detail (istilah-istilah) yang kalian sebutkan dasar-dasar itu semua ada di dalam al-Qur’an dan dalam hadits secara global, tidak secara rinci.
Adapun [term atau istilah; seperti] gerak dan diam maka dasar keduanya ada dalam al-Qur’an, dan [pembicaraan] keduannya [dapat] menunjukan kepada [pelajaran] tauhid, demikian pula dengan istilah berkumpul (al-Ijtimâ’) dan berpisah (al-Iftirâq). Allah berfirman dalam menceritakan tentang perkataan kekasih-Nya; yaitu Nabi Ibrahim –Limpahan shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah baginya– dalam kisah terbenamnya bintang-bintang, matahari dan bulan, dan gerakan benda-benda tersebut dari satu tempat ke tempat yang lain; itu semua menunjukan bahwa Allah [sebagai Pencipta] tidak boleh [mustahil] bagi-Nya sesuatu dari perkara-perkara tersebut, dan sesungguhnya [karena] sesuatu yang boleh terjadi baginya dari [sifat] tenggelam [hilang], berpindah [bergerak] dari satu tempat ke tempat yang lain maka ia bukan Tuhan yang berhak disembah.
Adapun pembicaraan dalam masalah pokok-pokok tauhid maka itu semua juga diambil dari al-Qur’an. Allah berfirman:
لَوْكَانَ فِيهِمَآ ءَالِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا (سورة الأنبياء: 22)
“Jika di dalam keduanya (langit dan bumi) terdapat beberapa tuhan (yang disembah) selain Allah, maka keduanya (langit dan bumi tersebut) akan hancur”. (QS. al-Anbiya: 22). Kalimat [dalam ayat] ini ringkas, [tapi] memberikan pelajaran atas [adanya] argumen [dalil/hujjah kuat] bahwa Allah maha Esa, tidak ada sekutu (keserupaan) bagi-Nya. Dan [sesungguhnya] pembicaraan para Ahli Kalam (kaum teolog) dalam berargumen dalam tauhid dengan [dalil] at-tamânu’ dan at-taghâlub maka rujukan itu semua adalah kepada ayat tersebut [di atas], dan juga [merujuk] kepada ayat ini:
مَااتَّخَذَ اللهُ مِن وَلَدٍ وَمَاكَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَّذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَاخَلَقَ وَلَعَلاَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ (سورة المؤمنون: 91)
“Tidaklah Allah menjadikan seorang anakpun (bagi-Nya), dan tidaklah bersama Allah itu ada tuhan yang lain, karena bila demikian [tuhan berbilang] maka benar-benar akan hancur setiap tuhan dengan apa yang ia ciptakan, serta akan salaing menguasai oleh sebagai mereka [para tuhan] atas sebagian yang lain”. (QS. al-Mu-minun: 91), serta merujuk kepada ayat ini:
أَمْ جَعَلُوا للهِ شُرَكَآءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ (سورة الرعد: 16)
“Adakah mereka menjadikan bagi Allah [adanya] sekutu-sekutu yang mereka itu menciptakan seperti ciptaan-Nya, sehingga ciptaan itu menjadi saling menyerupai?! [artinya itu adalah perkara mustahil]” (QS. Ar-Ra’d: 16).
Pembicaraan kaum teolog (al-Mutakallimûn) dalam berargumen dalam mentauhidkan Allah sesungguhnya rujukannya adalah kepada ayat-ayat yang telah kita sebutkan. Demikian pula seluruh pembicaraan dalam rincian cabang-cabang tauhid dan keadilan (Allah) adalah diambil dari Al-Qur’an. Demikian pula pembicaraan tentang kebolehan [adanya peristiwa] kebangkitan [dan] atau [pendapat yang] me-mustahilkan-nya; yang di dalamnya telah berselisih pendapat antara orang-orang arab yang ber-akal [pintar] dengan lainnya, hingga mereka [yang mengingkarinya] sangat heran dengan kebolehan adanya kebangkitan tersebut, mereka berkata:
أَءِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا ذَلِكَ رَجْعٌ بَعِيدٌ (سورة ق: 3)
“Adakah bila kita telah mati dan kita menjadi tanah [kita akan kembali semula?], itu adalah kembali yang tidak mungkin” (QS. Qaf: 3), mereka juga berkata:
هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ لِمَا تُوعَدُونَ (سورة المؤمنون: 36)
“Jauh…, Jauh sekali dari kebenaran apa yang diancamkan kepada kamu itu” (QS. al-Mu-minun: 36), mereka juga berkata:
مَن يُحْىِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (سورة يس: 78)
“Siapakah yang akan menghidupkan kembali tulang belulang, sementara ia itu sudah luluh lantah?!” (QS. Yasin: 78). [Dalam ayat lain diceritakan bahwa mereka juga berkata]:
أَيَعِدُكُمْ أَنَّكُمْ إِذَا مِتُّمْ وَكُنتُمْ تُرَابًا وَعِظَامًا أَنَّكُم مُّخْرَجُونَ (سورة المؤمنون: 35)
“Adakah Dia berjanji kepada kalian bahwa bila kalian telah mati dan kalian telah menjadi tanah dan tulang belulang, kalian akan dikeluarkan –diangkitkan- kembali?!” (QS. al-Mu-minun: 35), dan beberapa perkataan mereka lainnya semacam ini; yang [dari sebab] itu semua maka datanglah bantahan dalam al-Qur’an [menjelaskan] kebolehan peristiwa kebangkitan setelah kematian. Dan [ayat-ayat itu] semua menguatkan bagi ketetapan akal (logika) terhadap kebolehan adanya peristiwa [kebangkitan] tersebut. [Dan sesungguhnya itulah] yang diajarkan [oleh Allah] kepada Rasulullah, di samping diajarkan kepadanya [cara-cara] menetapkan argumen atas mereka karena pengingkaran mereka terhadap peristiwa kebangkitan tersebut.
Dalam hal ini [Allah mengajarkan kepada Rasulullah] bantahan terhadap dua kelompok dari dua segi; [Pertama], kelompok yang mengakui adanya [peristiwa] penciptaan pertama dan mengingkari penciptaan yang kedua [kebangkitan]. [Kedua], kelompok yang mengingkari adanya [peristiwa] penciptaan dengan [alasan] bahwa alam ini qadîm [tidak bermula]. Argumen (bantahan) terhadap pendapat [yang pertama] dengan firman Allah:
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنشَأَهَآ أَوَّلَ مَرَّةٍ (سورة يس: 79)
“Katakan –wahai Muhammad– yang menghidupkan kembali [dari kematian] adalah Dia [Allah] yang telah menciptakan mereka pertama kali”. (QS. Yasin: 79), dan dengan firman Allah:
وَهُوَ الَّذِي يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ (سورة الروم: 27)
“Dan Dia [Allah] yang memulai penciptaan kemudian Dia yang mengembalikan, dan itu “lebih mudah” atas-Nya”. (QS. Ar-Rum: 27), dan dengan firman Allah:
كَمَابَدَأَكُمْ تَعُودُونَ (سورة الأعراف: 29)
“Sebagaimana Dia [Allah] memulai [penciptaan] kalian, maka seperti itulah kalian akan kembali”. (QS. Al-A’raf: 29).
Dengan ayat-ayat ini [Allah] mengingatkan mereka bahwa Dia [Allah] yang maha kuasa untuk menciptakan sesuatu yang tidak pernah ada contoh sebelumnya; maka Dia [Allah] jauh terlebih kuasa lagi untuk mengadakan [mengembalikan] sesuatu [ciptaan yang sudah ada sebelumnya], dan lebih mudah bagi-Nya [mengembalikan] apa yang [semula telah] ada pada kalian dan telah dikenal oleh kalian.
Tersedia Buku Cetak >>> Mendalami Ilmu Kalam
Adapun bagi Allah sendiri [sebagai Pencipta/al-Bâri’] –yang maha agung pujian bagi-Nya dan maha suci nama-nama-Nya–; maka Dia menciptakan segala sesuatu [sangat mudah bagi-Nya]; tidak ada satu ciptaan dalam penciptaannya lebih ringan/mudah [bagi-Nya] dibanding penciptaan yang lainnya (artinya; semuanya mudah bagi Allah). [Bahkan dalam satu pendapat] dikatakan bahwa kata ganti (dhamîr) pada [firman Allah]; “alayihi” [di atas] kembali kepada makhluk, itu sebagai ungkapan bahwa penciptaan makhluk tersebut dengan kuasa-Nya. [Sehingga makna ayat adalah]; bahwa peristiwa kebangkitan dan mengembalikan tubuh [yang sudah hancur/luluh lantah] menjadi seperti semula dalam pendangan seorang dari kalian lebih mudah dan lebih ringan dibanding penciptaan awalnya. Karena penciptaan awalnya [manusia] adalah terjadi dengan kelahiran, pendidikan, memotong tali pusar, membedong, keluar gigi, dan lainnya dari berbagai tanda yang [diantaranya] menyakitkan dan menyusahkan. Sementara peristiwa mengembalikannya adalah dengan sekaligus, tidak ada dalam peristiwa tersebut proses suatu apapun, maka dengan demikian peritistiwa [kedua/kebangkitan] ini lebih mudah dibanding dari peristiwa penciptaannya pertama kali. Inilah argumen [bantahan yang dibangun] atas pendapat kelompok pertama yang mengakui adanya perstiwa penciptaan pertama [tapi mengingkari peristiwa penciptaan kedua/kebangkitan].
Adapun kelompok yang mengingkari penciptaan pertama dan penciptaan kedua [sekaligus], yaitu mereka yang mengatakan bahwa alam ini qadîm (tidak bermula); maka sesungguhnya telah masuk atas faham mereka itu kerancuan. [Ialah] bahwa mereka berkata: “Kita mendapati bahwa kehidupan itu [bersifat] basah [dan] panas, sementara kematian [bersifat] dingin dan kering”. [Padahal] dia (dingin dan kering) itu adalah di antara sifat tanah. Dengan demikian [bagaimana] boleh berhimpun (menyatu) antara kehidupan [yang bersifat basah dan panas] dengan tanah dan tulang yang sudah luluh lantah [menjadi tanah yang bersifat dingin dan kering], lalu kemudian menjadi tubuh [fisik] yang sempurna kembali?! Dan dua perkara yang bertentangan itu tidak akan dapat dihimpun (disatukan). Dari segi ini maka [kelompok ini] mengingkari adanya [peristiwa] kebangkitan.
Demi umurku!! [sumpah dan mengungkapkan takjub, maksudnya; “Mengapa engkau heran!!”], Sesungguhnya dua perkara yang bertentangan itu tidak dapat dihimpun [hanyalah] pada tempat yang satu, juga tidak dapat [dihimpun] pada segi yang satu, juga tidak dapat [dihimpun] pada perkara yang maujud-nya [ada/eksis] ada pada tempat [yang sama]; namun demikian [dua perkara yang bertentangan tersebut] dapat diterima keberadaan keduanya pada dua tempat di atas jalan berdampingan (al-mujâwarah). Maka dari sini Allah memberikan argument atas mereka dengan firman-Nya:
الَّذِي جَعَلَ لَكُم مِّنَ الشَّجَرِ اْلأَخْضَرِ نَارًا فَإِذَآ أَنتُم مِّنْهُ تُوقِدُونَ (سورة يس: 80)
“(Dia) Allah yang telah menjadikan bagi kalian dari pohon yang hijau akan api, maka dengan demikian darinya (pohon hijau) oleh kalian menyalakan-nya” (QS. Yasin: 80). [Dengan ayat ini] maka Allah membantah mereka dalam masalah adanya kebangkitan (kehidupan setelah kematian) dengan apa yang oleh mereka sendiri diketahui dan disaksikan; yaitu keluarnya api, –yang [bersifat] panas dan kering– dari pohon hijau yang [bersifat] dingin dan basah.
Dengan demikian [Allah] menjadikan kebolehan adanya kehidupan pertama sebagai dalil bagi adanya kehidupan akhirat (kebangkitan). Karena kehidupan pertama adalah argumen bagi kebolehan adanya kehidupan [yang bersifat panas] berdampingan dengan tanah dan tulang belulang yang sudah luluh lantah [yang bersifat dingin]; karena itu maka Allah menjadikan [tulang-tulang yang luluh lantah tersebut] kembali sebagai tubuh/fisik yang sempurna, [maka itulah] Allah berfirman:
كَمَا بَدَأْنَآ أَوَّلَ خَلْقٍ نُّعِيدُهُ (سورة الأنبياء: 104)
“Sebagaimana memulakan oleh Kami akan awal ciptaan maka demikian pula Kami akan mengambalikannya [ciptaan tersebut seperti semula]”. (QS. Al-Anbiya: 104)
Adapun apa yang dibicarakan oleh kaum teolog (al-Mutakallimûn) bahwa segala yang baharu ini (yaitu alam; segala sesuatu selain Allah) memiliki permulaan, dan bantahan mereka terhadap kelompok Dahriyyah yang berpendapat bahwa tidak ada gerak kecuali sebelumnya ada gerak, tidak ada hari kecuali sebelumnya ada hari [artinya menurut mereka; alam ini tidak memiliki permulaan], dan pembicaraan [dari pendapat Dahriyyah] yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu [benda] kecuali ia memiliki dua bagian [setengah], dan setengahnya memiliki setengah [dua bagian pula], hingga seterusnya tanpa penghabisan; maka kita telah mendapati dasar [bantahan] terhadap [pendapat rancu] demikian itu dalam hadits Rasulullah, ketika Rasulullah bersabda:
لا عدوى ولا طِيَرة
“Tidak ada sesuatu [penyakit] yang menular dan tidak ada ramalan [dengan suara burung-burung]”. Kemudian seorang baduy berkata: “Lalu mengapa ada seorang unta yang sehat [layaknya binatang dhiba’] yang bercampur dengan unta-unta yang kudis [penyakitan] lantas unta [yang sehat] itu menjadi berkudis?”. Maka Rasulullah bersabda: “Lalu siapakah yang menjadikan penyakit [kudis] yang pertama [dari unta-unta tersebut]?”, maka si baduy tersebut diam [mati kutu/tidak memiliki argumen], ia ditundukan dengan dalil yang sangat rasional [itu].
Maka demikian pula kita katakan terhadap orang yang berkeyakinan bahwa tidak gerak kecuali sebelumnya ada gerak, [dan demikian seterusnya tanpa penghabisan]; seandainya jika perkaranya seperti demikian ini maka berarti tidak ada satu-pun gerak yang terjadi [dari seluruh gerak tersebut], karena sesuatu yang tidak memiliki permulaan bagi-nya maka tidak ada kejadian baginya [artinya sesuatu yang tidak bermula tidak boleh baharu dalam keberaadaanya].
Demikian pula ketika sorang laki-laki menghadap Rasulullah dan ia berkata: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya istriku melahirkan seorang anak hitam!!”. Orang ini hendak manafikan [menyingkirkan] anaknya tersebut. Maka Rasulullah berkata [kepadanya]: “Apakah engkau memiliki unta?”, ia menjawab: “Iya [aku punya]”, Rasulullah bertanya: “Apakah warna unta-unta tersebut?”, ia menjawab: “[Warna mereka] kemerahan”, Rasulullah bertanya: “Adakah di antara unta-unta itu ada yang belang?”, ia menjawab: “Iya, di antara unta-unta tersebut ada yang belang”. Rasulullah bertanya: “Bagaimana bias terjadi demikian itu?”. Orang tersebut menjawab: “Kemungkinan ada [turunan] darah [dari induk-induknya terdahulu] yang turun kepadanya”. Maka Rasulullah bersabda: “Kemungkinan anakmu-pun [demikian] ada keturunan darah [dari moyang-moyangnya]”.
Inilah sesungguhnya [argumen] yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi-nya, [yaitu] mengembalikan [permasalahan] segala sesuatu kepada perkara-perkara yang ada keserupaan dan kesamaan [baginya]. Dan ini adalah pokok/dasar bagi kita dalam seluruh perkara yang kita tetapkan hukum baginya; ialah dari [karena ada] keserupaan dan kesamaan tersebut.
Dan dengan dasar inilah kita membangun argumen terhadap orang berkata bahwa Allah menyerupai segala makhluk, dan bahwa Allah [menurutnya] adalah benda. Kita katakan kepadanya: “Jika Dia (Allah) menyerupai sesuatu dari makhluk-makhluk-Nya maka Dia tidak lepas dari menyerupai makhluk tersebut pada seluruh segi, dan atau menyerupainya pada sebagian segi. Dan walaupun [seandainya] Dia menyerupai makhluk pada sebagian segi maka mestilah Allah baharu seperti makhluk tersebut karena Dia sama dengannya, oleh karena setiap dua perkara yang serupa maka hukum keduanya sama dalam apa yang ada pada keduanya. [Tentunya] mustahil jika suatu yang baharu (muhdats/makhluk) disebut [sebagai yang] tidak baharu (Qadîm). [Demikian pula mustahil] jika sesuatu yang Qadîm (yaitu Allah) disebut [sebagai yang] muhdats/makhluk. Padahal Allah telah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ (سورة الشورى: 11)
“Dia Allah menyerupai suatu apapun [dari ciptaan-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari ciptaan-Nya yang menyerupai-Nya]”. (QS. Asy-Syura: 11). Juga berfirman:
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ (سورة الإخلاص: 4)
“Dan tidak ada bagi-Nya keserupaan dengan siapapun”. (QS. Al-Ikhlash: 4).
Adapun dasar pembicaraan tentang bahwa [setiap] jism (benda) pasti memililki penghabisan (ukuran), dan bahwa juz’ (benda yang telah mencapai puncak terkecilnya, yang disebut dengan al-jawhar al-fard) tidak dapat dibagi-bagi lagi adalah diambil dari firman Allah:
وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ (سورة يس: 12)
“Dan segala sesuatu telah kami rincinya di Imam Mubin (al-lauh al-Mahfuzh)”. (QS. Yasin: 12). Dengan demikian [dipahami dari makna ayat ini bahwa] mustahil merincikan sesuatu yang tidak ada penghabisan baginya. Maka demikian pula mustahil jika sesuatu yang satu [yang telah mencapai puncak terkecilnya/al-Jawhar al-fard] dapat dibagi-bagi lagi, karena jika demikian maka berarti mengharuskan kepada adanya dua [bagi sesuatu yang telah ditetapkan “satu” tersebut], sementara dua sesuatu tersebut telah ditetapkan adanya hitungan bagi keduanya [artinya tidak lagi “satu”].
Adapun dasar pembicaraan tentang bahwa Sang Pencipta (Allah) wajib [secara akal] Dia memiliki perbuatan yang [sesuai] dengan tujuan-Nya dan kehendak-Nya, dan bahwa tidak mungkin Dia dalam perbuatan-Nya tersebut dipaksa; maka bahasan itu [diambil] dari firman Allah:
أَفَرَءَيْتُم مَّاتُمْنُونَ، ءَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ (سورة الواقعة: 58-59)
“Tidak-kah melihat oleh kalian terhadap apa yang kalian angan-angankan [memiliki anak]? Adakah kalian menciptakannya ataukah Kami sebagai Pencipta-nya?!” (QS. Al-Waqi’ah: 58-59). Tentunya, mereka (orang-orang mulhid/kafir) tidak bisa mengatakan “Kami-lah yang menciptakan [anak kami]”; sementara adanya keinginan [memiliki anak tersebut] adalah angan-angan mereka sendiri. [artinya, yang berangan-angan itu tidak menciptakan]. Maka mustahil adanya makhluk diciptakan oleh Allah karena dasar Dia dipaksa untuk menciptakan. Karena itu jelas-lah, bahwa Allah (Sang pencipta) menciptakan segala makhluk dengan kehendak-Nya.
Baca juga: Penjelasan Hadits Jibril; Iman Kepada Allah
Adapun dasar kita dalam [membantah dan ] membatalkan pendapat musuh maka diambil dari hadits Rasulullah. Demikian yang diajarkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, yaitu ketika Rasulullah bertemu dengan pendeta [Yahudi] berbadan gemuk. Rasulullah berkata: “Demi Allah, aku sampaikan [katakan] kepadamu, Apakah engkau mendapati dalam apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam kitab Taurat bahwa Allah murka terhadap pendeta yang berbadan gemuk?”, maka pendeta tersebut sangat marah ketika diungkapkan penghinaan demikian kepadanya, lalu ia menjawab: “Allah tidak menurunkan suatu apapun kepada manusia [siapapun dia]!!”. [Sementara] itu firman Allah [berfirman]:
قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَآءَ بِهِ مُوسَى (سورة الأنعام: 91)
“Katakan olehmu (wahai Muhammad) siapakah yang telah menurukan al-Kitab yang telah datang dengannya [dibawa] oleh Nabi Musa?” (QS. Al-An’am: 91). Maka dengan hanya sekejap si pendeta tersebut telah dibungkam [oleh Rasulullah]; adalah karena kitab Taurat adalah sesuatu, dan Musa adalah manusia [artinya; Taurat adalah firman Allah bukan buatan manusia]. Juga [padahal] si pendeta itu mengakui [berkeyakinan] bahwa Allah telah menurunkan Taurat kepada Nabi Musa.
Demikian pula Allah [telah mengajarkan Rasulullah]; ketika membantah orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah telah menetapkan janji bagi mereka untuk tidak beriman dengan seorang Rasul hingga Rasul tersebut mendatangkan bagi mereka suatu qurban [semacam harta/bintang atau lainnya] yang dimakan oleh api (yang datang dari langit). Allah berfirman [dalam membantah mereka]:
قُلْ قَدْجَآءَكُمْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِي بِالْبَيِّنَاتِ وَبِالَّذِي قُلْتُمْ فَلِمَ قَتَلْتُمُوهُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ (سورة ءال عمران: 183)
“Katakan olehmu (wahai Muhammad); Telah datang kepada kalian para Rasul sebelumku dengan berbagai bukti [yang nyata] dan dengan apa yang kalian katakan, maka mengapa kalian membunuhi mereka jika kalian orang-orang yang benar” (QS. Ali ‘Imran: 183). Maka dengan ayat ini [Allah] membatalkan dan mengalahkan [argumen] mereka.
Adapun dasar kita [dalam berargumen] dalam melanjutkan bantahan untuk menyerang (menyalahkan pendapat) musuh adalah diambilkan dari firman Allah:
إِنَّكُمْ وَمَاتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنتُمْ لَهَا وَارِدُونَ، لَوْكَانَ هَآؤُلآءِ ءَالِهَةً مَّاوَرَدُوهَا وَكُلٌّ فِيهَا خَالِدُونَ، لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَهُمْ فِيهَا لاَيَسْمَعُونَ (سورة الأنبياء: 98-100)
“Sesungguhnya kalian (wahai orang-orang kafir) dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan bagi Jahanam, kalian semua pasti mendatanginya (masuk ke dalam Jahanam). Andaikata berhala-berhala itu tuhan tentulah mereka tidak akan memasukinya, dan mereka semua kekal di dalamnya (Jahanam). Mereka merintih di dalamnya dan mereka di dalamnya tidak bias mendengar”. (QS. Al-Anbiya’: 98-100). Ketika turun ayat ini dan sampai [didengar] kepada Abdullah ibn az-Ziba’ra, –seorang kafir ahli berdebat dan ahli menundukan musuh– maka ia berkata: “Demi Tuhan pemiliki Ka’bah, aku dapat menundukan Muhammad”. Maka ia datang kepada Rasulullah, ia berkata: “Wahai Muhammad, bukankah engkau meyakini bahwa Isa, Uzair, dan para Malaikat; [mereka itu semua] disembah?”. Rasulullah terdiam [mendengarnya], bukan karena lemah [berargumen] atau tidak mampu menjawab, tetapi karena heran dari kebodohan orang tersebut, oleh karena dalam ayat [di atas] itu tidak ada pemahaman yang mengharuskan Isa, Uzair, dan para Malaikat masuk di dalamnya. Karena redaksi ayatnya mengatakan “dan apa yang kalian sembah selain Allah”, tidak mengatakan “setiap sesuatu yang kalian sembah selain Allah”.
Sesungguhnya, az-Ziba’ra bertujuan [dengan pertanyaannya itu] hendak menetapkan adanya kesalahan atas Rasulullah [dalam redaksi ayat tersebut], supaya kaumnya menganggap bahwa ia telah menundukan Rasulullah dengan argumennya. Maka kemudian turun firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُم مِّنَّا الْحُسْنَى أُوْلَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ (سورة الأنبياء: 101)
“Sesungguhnya orang-orang yang telah ditetapkan bagi mereka dari Kami (Allah) [dari beberapa yang disembah/dituhankan orang-orang kafir] akan masuk surga, maka mereka darinya (Jahanam) dijauhkan”. (QS. Al-Anbiya: 101).[4] Dan ketika Rasulullah membacakan ayat ini kepada orang-orang kafir tersebut maka mereka [justru yang] ribut/geger [berusa bagaimana] supaya tidak terbongkar kesalahan mereka sendiri di hadapan orang banyak. Dan untuk itu maka mereka berkata: “Apakah tuhan-tuhan kami lebih baik ataukah dia (maksudnya Nabi Isa)??”. (QS. Az-Zukhruf: 58). Tapi kemudian dibalas dengan turunnya firman Allah:
وَلَمَّا ضُرِبَ ابْنُ مَرْيَمَ مَثَلاً إِذَا قَوْمُكَ مِنْهُ يَصِدُّونَ، وَقَالُوا ءَأَلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَاضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ (سورة الزخرف: 57-58)
“Dan tatkala putra Maryam (Nabi Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (orang-orang Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: Manakah yang lebih baik; tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?? mereka tidak memberikan (perumpamaan itu) kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”. (QS. Az-Zukhruf: 57-58).
Dan [sesungguhnya] seluruh apa yang telah kami sebutkan dari setiap ayat [al-Qur’an], –atau ayat-ayat yang belum kami sebutkan– itu semua adalah landasan argumen bagi kami dalam menetapkan rincian [jawaban setiap] masalah, sekalipun tidak setiap masalah disebutkan [secara rinci] dalam al-Qur’an dan hadits. Karena setiap masalah-masalah ‘aqliyyah (perkara-perkara rasional) yang telah dirinci [persoalannya/jawabannya] di zaman Rasulullah dan para sahabatnya maka mereka semua telah berbicara dalam masalah tersebut, seperti apa yang telah kita jelaskan.
[Jawaban ke-tiga]: Bahwa perkara-perkara [tersebut; yaitu term-term dan rincian Ushuluddin] yang mereka permasalahkan sesungguhnya telah diketahui oleh Rasulullah. Beliau tidak bodoh terkait perkara-perkara itu sedikitpun. Secara rinci [beliau mengetahui itu semua]. Hanya saja perkara-perkara tersebut secara rinci belum terjadi di masa Rasulullah; yang mengharuskannya berbicara atau tidak berbicara, walau-pun [sebenarnya] dasar-dasar itu semua ada di dalam al-Qur’an dan hadits.
Sesungguhnya setiap perkara yang telah terjadi dari segala apa yang terkait dengan agama [dari segi ketetapan hukum syara’] maka mereka [para sahabat] telah berbicara tentang itu, membahasnya, berdiskusi, berdebat [tentangnya], saling mengadu argumen, seperti masalah Aul dan [hak] nenek dalam hukum waris, dan berbagai masalah hukum lainnya. Juga seperti bahasan tentang al-haram, al-bâ-in, al-battah, hablaki ‘alâ ghâribiki[5], masalah al-hudûd (hukuman), dan talak (cerai), serta berbagai perkara yang banyak dibahas/dibicarakan di masa mereka; oleh karena [bahasan] itu semua satu-pun tidak pernah datang [secara tekstual] dari Rasulullah, karena jika ada nash sharih [teks/hadits jelas] dari Rasulullah tentu mereka tidak akan berselisih di dalamnya, dan tentunya perselisihan itu-pun tidak akan berlanjut hingga sekarang.
Masalah-masalah ini, sekalipun tidak ada nash/teks [yang menetapkan secara jelas] dari Rasulullah, tetapi sesungguhnya mereka telah mengembalikan [hukum] masalah tersebut kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan Qiyâs, dan dengan jalan Ijtihad dari mereka sendiri. Maka, produk-produk hukum dalam masalah-masalah furû’ ini adalah [hasil dari metode] mengembalikan/menyerupakan (Qiyâs) kepada hukum-hukum syara’ yang telah jelas adanya [sharîh; yang tidak diraih kecuali dengan jalan “sama’” [ketetapan syara’] dan hanya diberitakan oleh para Rasul].
Adapun perkara-perkara [materi] dalam Ushûl [teologi] maka dalam menetapkan kesimpulan hukumnya haruslah –bagi seorang muslim yang berakal– ia kembali kepada pokok-pokok teologi yang telah disepakati atasnya; dengan logika sehat, indra, al-badîhah, dan lainnya. Karena [menetapkan] hukum dalam perkara-perkara syari’at yang jalannya sam’iy maka harus dikembalikan kepada pokok-pokok syara’ yang jalannya juga sam’iy. Dan [menetapkan] hukum dalam perkara-perkara ‘aqliyyah dan indrawi maka [caranya] harus dikembalikan kepada segala sesuatu terkait dengan bab-nya, sehingga tidak dicampurkan antara perkara-perkara sam’iyyah dengan perkara-perkara ‘aqliyyah.
Seandainya di zaman Rasulullah sudah terjadi pembicaraan tentang apakah al-Qur’an makhluk atau bukan?, tentang al-juz’ dan ath-thafrah [dengan dengan berbagai term semacam itu]; maka tentu Rasulullah akan berbicara dalam masalah-masalah tersebut dan menjelaskannya, sebagaimana beliau telah menjelaskan setiap perkara-perkara yang terjadi di masa beliau sendiri dengan ketetapan [hukum] yang pasti.
Kemudian [selain] dari pada itu [kita] katakan: “Rasulullah tidak pernah mengatakan dalam hadits sahih [atau yang tidak sahih sekalipun] apakah al-Qur’an itu bukan makhuk atau makhluk? Lalu mengapa kalian mengatakan “al-Qur’an bukan makhluk”? Jika mereka menjawab: “Telah mengatakan demikian oleh sebagian sahabat Rasulullah, dan sebagian kalangan tabi’in”; maka kita katakan bagi mereka: “Jika demikian maka berarti [di atas pendapat kalian] mestilah para sahabat dan tabi’in tersebut sebagai orang-orang ahli bid’ah dan sesat, karena Rasulullah tidak pernah mengatakan demikian itu?!”.
Kemudian, jika ada seseorang berkata: “[Jika demikian] Maka aku tidak [ikut] berpendapat apakah al-Qur’an makhluk atau tidak makhluk?”; maka kita katakan kepadanya; “[Jika demikian] maka dengan pendapatmu [untuk tidak berpendapat/abstain] engkau adalah seorang ahli bid’ah dan sesat, karena Rasulullah tidak pernah mengatakan: “Jika terjadi setelahku suatu peristiwa maka hendaklah kalian jangan berpendapat apapun di dalamnya, dan jangan kalian mengatakan suatu apapun di dalamnya”.
Juga Rasulullah tidak pernah berkata: “Hendaklah kalian mengkafirkan dan menyesatkan orang yang berkata apakah al-Qur’an makhluk atau bukan makhluk?”.
Baritahukan kepada kami [apa pendapat kalian], jika seseorang berkata: “Sesungguhnya Ilmu Allah itu makhluk (baharu)”; apakah kalian mengambil sikap tidak berpendapat, atau kalian akan berpendapat? Jika mereka berkata: “Tentu kami akan mengambil pendapat”; maka dikatakan kepada mereka: “Rasulullah dan para sahabatnya tidak pernah berkata [menyuruh berpendapat] tentang itu sedikitpun”.
Sesungguhnya, demikian pula jika ada orang berkata: “Ini Tuhan kalian [Allah]; Dia kenyang, atau kembung [karena minum air], atau berpakaian, atau telanjang, atau berbentuk bulat [lonjong], atau bundar [lingkaran], atau basah, atau benda [tubuh], atau sifat benda, atau menghirup udara, atau tidak menghirupnya, atau apakah memiliki hidung, hati, jantung, atau limpa? Atau apakah Dia berhaji setiap tahun? Atau apakah Dia mengendarai unta atau tidak? atau apakah Dia [mendapati rasa] gelisah atau tidak? dan masalah-masalah semacam itu; apakah [semua] itu menjadikan engkau berdiam diri, karena Rasulullah dan para sahabatnya tidak pernah membicarakannya? Ataukah semua itu menjadikan engkau mengambil sikap berbicara menjelaskan bahwa perkara-perkara tersebut tidak boleh (mustahil) adanya bagi Allah, sehingga engkau berbicara begini dan begini, dengan argumen begini dan begini?
Bila orang tersebut berkata (menjawab): “Aku akan diam, aku tidak akan menjawabnya dengan suatu apapun!”, atau berkata: “Aku akan menjauhinya!”, atau berkata: “Aku akan bangun [dan meninggalkannya]!”, atau berkata: “Aku tidak akan mengucapkan salam baginya!”, atau berkata: “Aku tidak akan menjenguknya jika ia sakit!”, atau berkata: “Aku tidak akan melayat jenazahnya jika ia meninggal!”; maka katakan kepadanya; “Dengan demikian maka berarti engkau dengan kata-katamu [dari setiap sikap yang engkau sebutkan] adalah seorang ahli bid’ah dan sesat, oleh karena Rasulullah tidak pernah berkata: “Jika seorang dari kalian ditanya sesuatu tentang masalah-masalah tersebut maka hendaklah kalian diam darinya [jangan berbicara apapun]!”. Juga Rasulullah tidak pernah berkata: “Janganlah kalian mengucapkan salam baginya!”, atau “Handaklah kalian bangun [menjauh] darinya!”. Rasulullah tidak pernah mengatakan suatu apapun dari kata-kata semacam itu. Dengan demikian jika kalian melakukan itu [berdiam diri] maka kalian adalah ahli bid’ah.
[Sementara itu] Kalian sendiri mengapa tidak diam dari orang yang mengatakan al-Qur’an makhluk, dan [bahkan] kalian mengkafirkannya? Padahal tidak ada [satu] hadits-pun yang sahih mengatakan bahwa al-Qur’an bukan makhluk, juga tidak ada hadits mengatakan kafir terhadap orang yang mengatakan al-Qur’an makhluk!!
Jika mereka berkata: “Karena Ahmad ibn Hanbal telah mengatakan bahwa al-Qur’an bukan makhluk, dan ia mengkafirkan orang yang mengatakan al-Qur’an makhluk”; maka katakan kepada mereka: “Lalu mengapa Ahmad ibn Hanbal tidak berdiam diri dan mengatakan [berpendapat] demikian itu?”.
Jika mereka berkata: “Karena al-‘Abbas al-Anbariy, Waqi’, Abdurrahman ibn Mahdi, fulan dan fulan; mereka semua berkata bahwa al-Qur’an bukan makhluk, dan siapa mengatakan al-Qur’an makhluk maka ia seorang yang kafir”; maka katakan kepada mereka: “Lalu mengapa mereka semua tidak bersikap diam dari apa yang Rasulullah berdiam darinya?”.
Jika mereka berkata: “Karena ‘Amr ibn Dinar, Sufyan ibn ‘Uyainah, Ja’far ibn Muhammad, fulan dan fulan; mereka semua berkata bahwa al-Qur’an bukan Khâliq dan bukan makhluk”; maka katakan kepada mereka: “Lalu mengapa mereka semua tidak bersikap diam dari masalah tersebut, padahal Rasulullah tidak pernah mengatakan demikian?”.
Jika mereka mencari alasan dengan menyandarkan kepada para sahabat Rasulullah, atau kepada sekelompok orang dari para sahabat Rasulullah, –dan itu jelas menunjukan behwa mereka orang yang keras kepala, tidak mau menerima kebenaran–; maka katakan kepada mereka: “Lalu mengapa mereka [para sahabat Rasulullah] tidak bersikap diam, padahal Rasulullah tidak pernah membicarakannya?”, Juga Rasulullah tidak pernah mengatakan: “Hendaklah kalian mengkafirkan orang yang mengatakan Al-Qur’an makhluk!”.
Jika mereka berkata: “Mestilah bagi para ulama untuk berbicara dalam masalah tersebut, supaya orang yang bodoh mengetahui hukumnya”; maka katakan kepada mereka: “Itulah [pendapat] yang kami inginkan dari kalian. Karena itu, lantas mengapa kalian melarang [kami] berbicara [dalam masalah ilmu kalam ini]?!”.
Sesungguhnya apakah [keadaan] kalian; ketika punya keinginan untuk berbicara [dalam ilmu kalam ini] maka kalian berbicara, hingga apa bila kalian terbantahkan [dan kalah ber-argumen] maka kalian berkata: “Kita dilarang untuk berbicara masalah-masalah [ilmu kalam] ini!!”, atau ketika kalian punya keinginan untuk berbicara [dalam ilmu kalam ini]; maka kalian hanya mengikuti [faham] orang-orang sebelum kalian [yang sama seperti kalian] walaupun itu pendapat nihil argumen?? Tentunya jika demikian maka sikap [kalian] ini adalah pendapat yang didasarkan kepada hawa nafsu dan pemahaman “se-enak perut” (tahkkum/pendapat tanpa dalil sedikitpun).
Kemudian [dari sini] katakan kepada mereka: “Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah berbicara tentang masalah-masalah nadzar dan wasiat, beliau tidak pernah berbicara tentang [warisan] budak yang dimerdekakan, tidak pula tentang munâskhât, tidak pernah menulis kitab seperti yang telah ditulis oleh Malik, Sufyan ats-Tsawri, asy-Syafi’i, dan Abu Hanifah; itu artinya mereka semua [di atas pendapat kalian] adalah orang-orang ahli bid’ah dan sesat, karena mereka [para Imam/ulama] telah berbuat apa yang tidak pernah diperbuat oleh Rasulullah. Juga berarti [di atas pendapat kalian] maka mereka [para ulama tersebut] telah berkata-kata sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh Rasulullah, mereka [para ulama] menyusun kitab-kitab yang tidak pernah disusun oleh Rasulullah, juga mereka mengkafirkan orang yang berkata al-Qur’an makhluk; yang padahal itu tidak pernah dikatakan oleh Rasulullah”.
Dan pada apa yang telah kami sebutkan [dalam menjelaskan masalah ini] sudah cukup [untuk diterima] bagi orang yang berakal dan tidak keras kepala (membangkang).
[1] Ar-Rahmân maknanya [Dia Allah] yang maka luas rahmat-Nya bagi orang-orang mukmin dan orang-orang kafir di dunia, dan khusus bagi orang-orang mukmin di akhirat.
[2] Ar-Rahîm maknanya [Dia Allah] yang maha luas rahmat-Nya bagi orang-orang mukmin.
[3] Ath-Thafrah Secara bahasa maknanya adalah langkah (al-watsbah). Sebuah istilah yang dipergunakan kaum filsafat dalam keyakinan rusak mereka mengatakan bahwa bagian (al-juz’) itu dapat terbagi-bagi lagi kepada bagian-bagian lain hingga tanpa penghabisan. Lihat asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, h. 49
[4] Yang dimaksud “bagi mereka” dalam ayat ini adalah yang disembah oleh orang-orang kafir dan dianggap tuhan oleh mereka. Adapun “yang disembah tersebut” terbebas dari keyakinan orang-orang kafir itu sendiri, seperti Nabi Isa; yang dituhankan oleh orang-orang Nasrani, dan Uzair; yang dituhankan oleh orang-orang Yahudi.
[5] Salah satu ungkapan sindiran (kinâyah) dalam talak. Artinya; “Engkau (istrinya) bebas lepas tidak diikat dengan akad nikah”.
[…] Terjemah Istihsan al-Khoudl Fi ‘Ilm al-Kalam […]