Bagi mereka yang “getol” menyuarakan bahwa semua bid’ah secara mutlak adalah sesat, –umumnya pernyataan ini didagangkan oleh orang-orang pecinta Ibnu Taimiyah (Taimiyyun/Wahhabiyyah)— berikut ini kita sodorkan ke hadapan mereka catatan Ibnu Taimiyah sendiri yang telah membagi bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.
(Satu): Dalam kitab berjudul Majmu’ al-Fatawa, –yang juga sama persis dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam karyanya yang lain, berjudul Qa’idah Jalilah Fi at-Tawassul Wa al-Wasilah–, Ibnu Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
وكل بدعة ليست واجبة ولامستحبة فهي بدعة سيئة، وهي ضلالة باتفاق المسلمين، ومن قال في بعض البدع إنها بدعة حسنة فإنما ذلك إذا قام دليل شرعي على أنها مستحبة، فأما ما ليس بمستحب ولا واجب فلا يقول أحد من المسلمين إنها من الحسنات التى يتقرب بها إلى الله .اهـ
“Dan setiap bid’ah yang bukan wajib dan bukan mustahabbah (dianjurkan/sunnah) maka dia adalah bid’ah buruk, dan dia adalah sesat dengan kesepekatan orang-orang Islam. Dan adapun pendapat yang mengatakan ada sebagian bid’ah yang disebut bid’ah hasanah maka itu adalah apa bila telah ada dalil Syara’ [yang mentapkan] bahwa dia itu bid’ah mustahabbah. Adapun perkara [baru] yang tidak mustahabb, dan bukan wajib; maka tidak ada seorang-pun dari orang-orang Islam yang mengatakan itu sebagai kebaikan-kebaikan yang bisa untuk taqarrub kepada Allah dengannya”.[1]
Baca juga: Bid’ah Dalam Pokok Agama (Ushuluddin)
Anda perhatikan catatan Ibnu Taimiyah di atas. Ia tidak hanya menetapkan adanya bid’ah mustahabbah (perkara baru yang dianjurkan), tetapi ia juga menetapkan adanya bid’ah wajibah (artinya; bid’ah wajib yang justru berdosa apa bila ditinggalkan). Bandingkan dengan pendapat para pecinta Ibnu Taimiyah (Taimiyyun/Wahhabiyyah) di masa kita sekarang; mereka yang menilai secara mutlak/general/menyeluruh bahwa segala apapun yang tidak ada di zaman Rasulullah maka dia adalah bid’ah sesat. Pertanyaannya; Beranikah mereka mengatakan Ibnu Taimiyah seorang yang sesat? Anda sodorkan pertanyaan ini kepada mereka.
(Dua): Pada bagian lain dalam Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah mengutip perkataan al-Imam asy-Syafi’i serta menyetujuinya, menuliskan:
قال الشّافعيّ رحمه اللّه؛ البدعة بدعتان؛ بدعة خالفت كتابًا وسنّةً وإجماعًا وأثرًا عن بعض أصحاب رسول اللّه صلى الله عليه وسلم فهذه بدعة ضلالةٍ، وبدعة لم تخالف شيئًا من ذلك، فهذه قد تكون حسنةً لقول عمر: نعمت البدعة هذه، هذا الكلام أو نحوه رواه البيهقي بإسناده الصّحيح في المدخل .اهـ
“Asy-Syafi’i –semoga rahmat Allah tercurah baginya– berkata: “Bid’ah ada dua; bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar dari para sahabat Rasulullah, maka ini adalah bid’ah sesat. Dan bid’ah yang tidak menyalahi suatu apapun dari perkara-perkara tersebut (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar); maka ini kadang bid’ah hasanah, karena perkataan ‘Umar: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (Qiyam Ramadhan)”. Pernyataan ini atau semacamnya telah diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dengan sanad-nya yang sahih dalam kitab al-Madkhal”.[2]
(Tiga): Masih dalam Majmu’ al-Fatawa, pada halaman lain Ibnu Taimiyah menuliskan:
إذًا البدعة الحسنة، عند من يقسّم البدع إلى حسنةٍ وسيّئةٍ، لا بدّ أن يستحبّها أحد من أهل العلم الّذين يقتدى بـهم ويقوم دليل شرعيّ على استحبابـها، وكذلك من يقول: البدعة الشّرعيّة كلّها مذمومة لقوله صلى الله عليه وسلم في الحديث الصّحيح: كلّ بدعةٍ ضلالة، ويقول قول عمر في التّراويح: “نعمت البدعة هذه”؛ إنّما أسماها بدعةً باعتبار وضع اللّغة، فالبدعة في الشّرع عند هؤلاء ما لم يقم دليل شرعيّ على استحبابه. اهـ
“Sesungguhnya bid’ah hasanah, –menurut pendapat yang membagi bid’ah kepada hasanah dan sayyi’ah— mestilah ada ulama panutan yang menilainya itu sebagai perkara yang dianjurkan, serta ada dalil Syara’ yang menganjurkannya. Demikian pula orang yang berkata bahwa semua bid’ah dalam Syara’ adalah tercela dengan dasar sabda Rasulullah dalam hadits sahih; “Kullu bid’ah dhalalah”. Dan ia berkata [dengan dasar] perkataan ‘Umar tentang shalat Tarawih; “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Bahwa ‘Umar menamakannya bid’ah adalah dengan i’tibar peletakan bahasa. Maka sesungguhnya bid’ah dalam makna Syara’ menurut mereka [para ulama] adalah sesuatu yang tidak ada dalil Syara’ yang menganjurkan kepada perkara tersebut”.[3]
Baca buku: Memahami Makna Bid’ah Secara Komprehensif
(Empat): Dalam karya lainnya, berjudul al-Furqan Bayn Awliya’ ar-Rahman Wa Awliya’ asy-Syaythan, sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah juga menuliskan pendapat al-Imam asy-Syafi’i yang membagi bid’ah kepada hasanah dan sayyi’ah, sebagai berikut:
قال الشّافعيّ؛ البدعة بدعتان محمودة ومذمومة، فما وافق السّنّة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم، أخرجه أبو نعيم بمعناه من طريق إبراهيم بن الجنيد عن الشّافعيّ، وجاء عن الشّافعيّ أيضًا ما أخرجه البيهقيّ في مناقبه قال؛ المحدثات ضربان، ما أحدث يخالف كتابًا أو سنّة أو أثرًا أو إجماعًا فهذه بدعة الضّلال، وما أحدث من الخير لا يخالف شيئًا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة، انتهى، وقسّم بعض العلماء البدعة إلى الأحكام الخمسة وهو واضح. اهـ
“Asy-Syafi’i berkata: Bid’ah ada dua; bid’ah terpuji (mahmudah), dan bid’ah tercela (madzmumah). Apa yang sejalan dengan Sunnah (ajaran Rasulullah) maka dia adalah bid’ah terpuji, dan apa yang menyalahinya maka dia bid’ah tercela. Telah meriwayatkannya oleh Abu Nu’aim dalam makna demikian itu dari jalur Ibrahim ibn al-Junaid, dari asy-Syafi’i. Juga datang [pernyataan] dari asy-Syafi’i pula, seperti yang diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i, bahwa ia (asy-Syafi’i) berkata: Perkara-perkara baru itu ada dua macam; perkara baru (dirintis) yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Atsar, atau Ijma’; maka ia adalah bid’ah sesat. Dan perkara baru (dirintis) dari kebaikan yang tidak menyalahi suatu apapun dari itu semua (al-Qur’an, Sunnah, Atsar, dan Ijma’) maka ia adalah perkara baru yang tidak tercela. Demikian perkataan asy-Syafi’i. Dan sebagian ulama telah membagi bid’ah kepada hukum yang lima, dan itu jelas [artinya; benar adanya]”.[4]
Anda perhatikan, Ibnu Taimiyah menulis catatan di atas dalam karyanya berjudul al-Furqan Bayn Awliya’ ar-Rahman Wa Awliya’ asy-Syaythan, maknanya; “Pembeda antara wali Allah dan wali setan”. Menurut Ibnu Tamimiyah; karyanya tersebut, –sesuai judulnya– mengupas siapa wali Allah dan siapa wali setan. Lalu, terkait masalah bid’ah; Ibnu Taimiyah mengutip, membenarkan, dan menyetujui perkataan al-Imam asy-Syafi’i yang membagi bid’ah kepada dua macam; mahmudah (hasanah) dan madzmumah (sayyi’ah). Artinya; –di atas pemahaman Ibnu Taimiyah– itulah jalan para wali Allah, dan kebalikan daripada itu adalah jalan setan.
(Lima): Dalam karyanya yang lainnya, berjudul Iqtidla ash-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah memuji peringatan maulid Nabi yang notabene bid’ah hasanah. Sementara para pecinta Ibnu Taimiyah (Taimiyyun/Wahhabiyyah), sangat membenci dan memerangi peringatan maulid Nabi, mereka menilainya bid’ah sesat. Sodorkan tulisan Ibnu Taimiyah ini ke hadapan mereka:
فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.اهـ
“Maka mengagungkan peringatan Maulid Nabi, dan menjadikannya [acara] musiman telah dikerjakan oleh sebagian orang, dan ada baginya dalam perkara tersebut pahala yang besar, karena baik tujuannya, dan karena pengagungannya bagi Rasulullah”.[5]
_____________________
[1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, j. 1, h. 161-162. Lihat pula dalam karya Ibnu Taimiyah lainnya, berjudul; Qa’idah Jalilah Fi at-Tawassul Wa al-Wasilah, j. 2, h. 28
[2] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, j. 1, h. 163
[3] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, j. 27, h. 152
[4] Ibnu Taimiyah, al-Furqan Bayn Awliya’ ar-Rahman wa Awliya’ asy-Syaythan, j. 1, h. 162
[5] Ibnu Taimiyah, Iqtidla’ ash-Shirath al-Mustaqim, h. 297