Tidak ada satu-pun teks Hadits yang secara tegas (sharih) menetapkan suara (ash-shaut) sebagai sifat bagi Allah. Adapun beberapa Hadits yang secara zahir menetapkan demikian bagi Allah (AHadits ash-Shaut) maka itu semua tidak dapat dijadikan hujjah (dalil) dalam masalah-masalah aqidah dengan beberapa alasan[1]. Berikut ini penjelasan al-Imam al-Hafizh Abdullah ibn Yusuf al-Harari dalam kitan Izh-har al-‘Aqidah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah terkait Ahadits ash-Shaut[2].
Hadits Riwayat al-Bukhari Dalam al-Adab al-Mufrad
Sebuah Hadits diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad yang di dalam rangkaian sanad-nya terdapat seorang perawi mukhtalaf (diperselisihkan); yaitu Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Uqail. Dan al-Bukhari-pun meriwayatkan Hadits ini dengan shighah at-tamridl (yaitu redaksi yang menunjukan sebuah kemungkinan; artinya tidak pasti). Al-Bukhari berkata: “Wa yudzkaru…” (artinya; “Dan disebutkan bahwa…). Lalu dikutiplah dalam kitab al-Adab al-Mufrad ini redaksi Hadits tersebut, mengatakan:
فينادى بصوت فيسمعه من بعد كما يسمعه من قرب؛ أنا الملك الديان.
[Makna zahirnya ini mengatakan]: “Maka Dia menyerulah dengan suara; yang dapat mendegar-nya oleh yang jauh sebagaimana dapat mendengar-nya oleh yang dekat; “Aku adalah Penguasa Yang dihormati”.
Baca juga: Al-Qur’an Makhluk Atau Bukan Makhluk?
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadits ini dalam kitab al-Adab al-Mufrad dengan menggunakan shighat at-tamridl, itu karena adanya perawi yang diperselisihkan (mukhtalaf) tersebut; yaitu Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Uqail. Simak perkataan al-Imam al-Hafizh Ahmad ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari Bi Syarah Shahih al-Bukhari dalam mengomentari Hadits tersebut, beliau berkata:
لأن لفظ الصوت مما يتوقّف في إطلاق نسبته إلى الربّ ويحتاج إلى تأويل، فلا يكفي فيه مجيء الحديث من طريق مختلفٍ فيها ولو اعتضدت. اهـ
“[Disebut dengan shighah at-tamridl] karena lafazh “shaut” adalah sesuatu yang disampingkan (yutawaqqaf) dalam penyandarannya kepada Allah dan butuh kepada takwil (artinya tidak boleh ditetapkan bagi Allah). Maka tidak cukup [untuk ditetapkan] dalam masalah ini (Hadits ash-shaut) dengan datangnya sebuah Hadits dengan jalur yang diperseselisihkan di dalamnya, dan sekalipun jalur tersebut dikuatkan oleh Hadits jalur lain”.
Kesimpulan, Hadits semacam ini tidak cukup/tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan masalah-masalah akidah. Sekalipun al-Bukhari menyebutkan permulaan Hadits ini dengan redaksi yang pasti [sahih] (shighah al-jazm) dalam Kitab al-‘Ilm dari kitab Shahih-nya; namun di sana tidak ada penyebutan masalah ash-shaut. Dalam Kitab al-‘Ilm tersebut al-Bukhari hanya menyebutkan tentang perjalanan sahabat Jabir ibn Abdillah dari Madinah menuju sahabat Abdullah ibn Unais di Mesir untuk mengambil (belajar) Hadits Rasulullah.
Hadits Riwayat al-Bukhari Dari Abu Sa’id al-Khudri
Hadits lainnya, –terkait Hadits ash-shaut— dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah:
يقول الله يوم القيامة يا ءادم فيقول لبيك وسعديك، فينادى بصوت إن الله يأمرك أن تخرج من ذريتك بعثا إلى النار.
[Makna zahir Hadits ini mengatakan]: “Allah berkata di hari kiamat: Wahai Adam. Maka Adam berkata: “Labbaika Wa Sa’daika”, (artinya Adam menjawab panggilan Allah dengan segala penghormatan), maka menyeru (diseru) dengan suara sesunggunya Allah memerintahmu untu mengeluarkan dari turunanmu sekelompok orang ke dalam neraka”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam dua versi riwayat; sebagian perawinya meriwayatkannya dengan kasrah huruf dal (baca; fa yunadi), sebagian lainnya meriwayatkannya dengan fat-hah huruf dal (baca; fa yunada).
Al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan:
ووقع فينادي مضبوطا للأكثر بكسر الدال، وفي رواية أبي ذر بفتحها على البناء للمجهول، ولا محذور في رواية الجمهور فإن قرينة قوله “إن الله يأمرك” تدل ظاهرا على أن المنادي ملك يأمره الله بأن ينادي بذلك. اهـ
“Dan terdapat bacaan “fa yunadi” dengan kasrah huruf dal menurut kebanyakan para ulama. Dan dalam riwayat Abu Dzarr dengan fah-hah huruf dal (baca; fa yunada) dengan bina’ majhul. Dan tidak masalah dengan riwayat kebanyakan ulama (baca; fa yunadi); karena redaksi “Sesungguhnya Allah memerintahmu…” secara zahir menunjukan bahwa yang menyeru dalam hal ini adalah Malaikat yang diperintah oleh Allah untuk menyeru dengan demikian itu”.
Baca buku: Bukan Huruf Bukan Suara Bukan Bahasa
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanad yang bersambung, tetapi di dalamnya tidak ada penyebutan secara jelas (sharih) bahwa ash-shaut sebagai sifat bagi Allah. Dengan demikian maka Hadits ini-pun tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan adanya ash-shaut bagi-Nya.
Hadits Riwayat al-Bukhari, Abu Dawud Dan lainnya
Hadits lainnya, –terkait Hadits ash-shaut— dalam riwayat al-Bukhari menyebutkan:
إذا تكلم الله بالوحي سمع أهل السموات شيئا
[Makna zahir Hadits ini mengatakan]: “Apa bila Allah berbicara dengan wahyu maka semua penduduk langit-langit (yakni; para Malaikat) mendengar sesuatu”. Dalam redaksi riwayat Abu Dawud menyebutkan:
سمع أهل السماء للسماء صلصلة كجر السلسلة على الصفوان
[Makna zahir-nya mengatakan]: “… penduduk langit mendengar langit [bersuara] gemerincing, seperti diseretnya rantai di atas bebetuan”.
Hadits ini sering dipakai oleh kaum Musyabbihah untuk menetapkan ash-shaut bagi Allah. Padahal sesungguhnya dalam Hadits tersebut tidak ada dalil sama sekali untuk menetapkan keyakinan rusak mereka itu. Oleh karena yang “bersuara” dalam redaksi Hadits tersebut adalah langit; artinya keluar dari langit. Dengan demikian makna Hadits ini bahwa yang mengeluarkan suara adalah langit.
Dengan demikian Hadits-Hadits sahih riwayat al-Bukhari di atas tidak cukup untuk dijadikan hujjah/dalil dalam menetapkan/menyandarkan “suara” (ash-shaut) bagi Allah. Demikian dinyatakan oleh al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari dalam mengomentari AHadits ash-Shaut.
Asy-Syaybani dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah berkata:
والحرف والصوت مخلوق خلقه الله تعالى ليحصل به التفاهم والتخاطب لحاجة العباد إلى ذلك أي الحروف والأصوات، والبارئ سبحانه وتعالى كلامه مستغن عن ذلك أي عن الحروف والأصوات، وهو معنى قوله؛ ومن وصف الله بمعنى من معاني البشر فقد كفر.اهـ[3]
“Huruf dan suara adalah makhluk, Allah menciptakannya terhasilkan dengannya saling memahami dan saling berbicara, karena berhajatnya para hamba kepada demikian itu; yakni kepada huruf-huruf dan suara-suara. Adapun Allah ta’ala, Kalam-Nya tidak membutuhkan kepada itu semua; yakni kepada huruf-huruf dan suara-suara. Itulah makna perkataannya [ath-Thahawi]: “Siapa yang mensifati Allah dengan makna dari makna-makna manusia maka ia telah kafir”.
Adapun firman Allah dalam QS. Luqman: 27:
ما نفدت كلمات الله (سورة لقمان: 27)
Makna zahir ayat ini “Tidak akan habis kalimat-kalimat Allah”; diungkapkan dalam betuk jama’ (plural) pada kata “kalimat-kalimat”; bukan untuk menetapkan bahwa Kalam Allah adalah huruf-huruf yang tersusun bergantian. Tetapi diungkapkan demikian adalah untuk tujuan mengagungkan terhadap Kalam Allah. Demikian dinyatakan oleh al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Sifat. Adapun kalam Allah sendiri pada hekekatnya satu, tidak berbilang-bilang, dan tidak ada keserupaan baginya, yang Kalam Allah tersebut terkait (ta’alluq) dengan segala perkara al-Wajibat, al-Mustahilat, dan al-Ja-izat. Tidak boleh diserupakan sifat Kalam Allah tersebut dengan suatu apapun dari sifat-sifat makhluk.
[Faedah Penting]: Hukum Orang Yang Menetapkan Shaut Bagi Allah
Peringatan; Seorang yang berkata bahwa Kalam Allah dengan shaut (terj; suara), dan ia meyakini bahwa shaut tersebut adalah Azali dan Abadi (tanpa permulaan dan tanpa penghabisan), tidak ada padanya pergantian huruf-huruf (artinya bukan sebagai huruf-huruf); maka orang ini tidak dikafirkan, jika niatnya seperti apa yang diyakini tersebut. Tetapi jika ia menetapkan Kalam Allah sebagai suara yang tersusun dari huruf-huruf, suara, dan bahasa, seperti keyakinan kaum Musyabbihah Mujassimah, maka ia adalah bagian dari kaum Musyabbihah Mujassimah tersebut, menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Telah jatuh dalam kufur.
________________
[1] Lebih lengkap lihat penjelasan metode menetapkan sifat-sifat bagi Allah dalam buku Bukan Huruf Bukan Suara Bukan Bahasa
[2] Lebih lengkap lihat al-Habasyi, Izh-har al-‘Aqidah as-Sunniyyah Bi Syarh al’Aqidah ath-Thahawiyyah, h. 167-170
[3] Lihat al-Habasyi, Iz-har al-‘Aqidah as-Sunniyyah, h. 170, mengutip dari manuskrif Syarh ath-Thahawiyyah karya asy-Syaybani.