Tuntunan Ringkas Hari Raya Qurban

0
152

Sejarah Disyari’atkan Qurban

Iedul Adha juga dinamakan dengan Iedul Qurban, karena pada tanggal 10 Dzul Hijjah dan tiga hari setelahnya, yaitu 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah yang disebut dengan hari-hari Tasyriq (Ayyam at-Tasyriq) disunnahkan bagi umat Islam untuk menyembelih hewan kurban untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Pada setiap peringatan Iedul Qurban ini kita diingatkan kepada suatu peristiwa besar yang menjadi titik tolak disyari’atkannya pelaksanaan kurban. Peristiwa besar itu adalah tentang Nabi Ibrahim (Alayhissalam) yang ketika umur beliau telah 86 tahun baru dikarunia seorang putra, yang kemudian beliau namakan dengan Isma’il (Alayhissalam). Namun ketika Isma’il mulai tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah, cakap dan menginjak dewasa, Nabi Ibrahim bermimpi bahwa Allah memerintahkan kepadanya untuk menyembelih putranya tersebut. Mimpi seorang Nabi adalah wahyu dari Allah, karena para Nabi tidak dapat dikuasai oleh setan. Setelah Nabi Ibrahim terjaga dari tidurnya beliau langsung bergegas menjalankan perintah Allah tanpa ragu.

Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Ibrahim hendak meyembelih putranya; Nabi Isma’il, beliau berkata kepada putranya tersebut: “Marilah ikut bersamaku untuk mempersembahkan kurban kepada Allah…”. Lalu keduanya pergi hingga sampai di suatu tempat di antara beberapa gunung Nabi Isma’il berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahanda, di manakah binatag sembelihan yang hendak engkau kurbankan?”. Nabi Ibrahim dengan hati yang teguh menjawab, sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an:

يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى (الصافات: 102)

“Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” (QS. Ash-Shafat: 102)

Mendengar perkataan ayathnya, Nabi Isma’il juga dengan hati yang teguh menjawab, -seperti dikisahkan al-Qur’an-:

قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَاتُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِينَ  (الصافات: 102)

“Ia (Nabi Isma’il) berkata: Wahai Ayahku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, engkau akan mendapatiku InsyaAllah dari golongan orang-orang yang sabar”. (QS. Ash-shafat: 102)

Jawaban Nabi Isma’il ini adalah suatu bukti ketaatan yang luar biasa kepada Allah dan ketaatan kepada seorang ayah. Bahkan Nabi Isma’il ingin meringankan kesediahan ayahnya yang akan kehilangan anak yang sagat ia cintainya tersebut, karenanya ia menunjukkan cara termudah untuk segera mencapai tujuan dimaksud, beliau berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahanda, Ikatlah tubuhku sekencangnya dengan tali yang kuat supaya aku tidak bergetar, jauhkanlah bajumu dariku supaya tidak terlumuri darahku hingga akan membuat ibuku sedih bila ia melihatnya, percepatlah gerakan pisau di atas leherku supaya aku lebih cepat mengelurkan ruhku, dan jika sudah sampai di rumah maka sampaikan salamku kepada ibuku”. Nabi Ibrahim dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang mencium putranya, beliau menangis, serya berkata: “Wahai putraku, engkau adalah sebaik-baiknya penolongku untuk menjalankan perintah Allah”.

Maka mulailah Nabi Ibrahim menyilangkan pisau di atas tenggorokan Nabi Isma’il dan menjalankan pisau tersebut, namun ternyata pisau itu sedikitpun tidak melukai kulit Nabi Isma’il. Allah tidak menghendaki adanya sembelihan terhadap Nabi Isma’il. Kemudian Allah mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba besar sebabagai pengganti kurban (QS. Ash-Shafat: 104-107). Diriwayatkan bahwa domba tersebut telah digembalakan di surga selama 40 tahun, warnanya putih bersih dan tubuhnya besar dan sehat. Nabi Ibrahim menyembelih domba tesebut di Mina, sebagai pengganti Nabi Isma’il. Peristiwa inilah tonggak dasar disyariatkannya berkurban di bulan Dzul Hijjah.

Faedah Penting:

  1. Diriwayatkan bahwa pisau yang ada di tangan Nabi Ibrahim seikitpun tidak dapat melukai leher Nabi Isma’il, ini karena pisau tidak menciptakan sifat memotong yang ada pada dirinya. Allah adalah Pencipta segala benda dengan segala sifat-sifatnya. Allah adalah Pencipta segala sebab dengan segala akibat-akibatnya. Dalam hukum kausalitas ini ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi akibat kebakaran, makan sebagai sebab bagi akibat kenyang, pisau sebagai sebab bagi akibat potongan, dan lain-lain. Akidah Ahlussunnah menetapkan bahwa sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah.

اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ (الزمر: 62)

“Allah adalah Pencipta segala sesuatu” (QS. Az-Zumar: 62)

Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat jika tidak dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi.

Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ خَلَقَ الدّوَاءَ وَخَلَقَ الدّاءَ فَإذَا أصِيْبَ دَوَاء الدّاء بَرِأ بإذْنِ اللهِ (رواه ابن حبان)

“Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban).

Sabda Rasulullah dalam hadits ini: “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh. Tentunya apa bila obat bisa memberikan kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “… maka akan sembuh dengan izin Allah”.

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya menciptakan kesembuhan. Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat.

  1. Ketika Nabi Ibrahim hendak melaksanakan perintah Allah untuk menyembil Nabi Isma’il tiba-tiba Iblis muncul menggoda untuk mencegah kejadian tersebut supaya Nabi Ibrahim membangkang terhadap printah Allah. Iblis muncul tiga kali di tiga tempat jumroh sekarang. Lalu Nabi Ibrahim melemparnya dengan batu di tiga tempat tersebut untuk mengusir Iblis dan untuk menghinakannya. Oleh karenanya umat Nabi Muhammad untuk melempar jumrah di tiga tempat tersebut. Namun yang harus diingat; bahwa bukan sekarang ini Iblis bertempat di tiga tempat tersebut, tetapi tujuan melempar jumrah adalah untuk menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim yang telah melakukan hal tersebut.

Hukum Berkurban

Dasar disyari’atkan berkurban adalah firman Allah, hadits-hadits Nabi dan Ijma’ ulama. Dalam al-Qur’an di antaranya firman Allah:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَآئِرِ اللهِ (الحج: 36)

“Dan unta-unta telah kami menjadikannya bagi kalian sebagai syi’ar-syi’ar Allah”. (al-Hajj. 36).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر: 2)

“Maka lakukanlah shalat olehmu (Wahai Muhammad) dna berkorbanlah” (QS. Al-Kautsar: 2).

Di dalam hadits Rasulullah bersabda:

أُمِرْتُ بِالنّحْرِ وَهُوَ سُنّةٌ لَكُمْ (روَاه التّرمِذي)

“Aku diperintahkan untuk melakukan berkurban (wajib bagi Nabi), dan berkurban itu bagi kalian adalah sunnah”. (HR. At-Tirmmidzi)

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

كُتِبَ عَلَيَّ النّحْرُ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْكُمْ (رواه الدّارَقُطنيّ)

“Diwajibkan atasku untuk berkurban, dan tidak wajib atas kalian”. (HR. Ad-Daraquthni).

Dari dua hadits di atas jelas, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh mayoritas ulama, bahwa dasar hukum melaksanakan kurban adalah sunnah mu’akkadah; artinya sunnah yang sangat dianjurkan. Hukum sunnah di sini berlaku sebagai sunnah kifa’iyyah; artinya jika satu orang dalam sebuah keluarga melaksanakan kurban maka kesunnahan tersebut mencukupi bagi anggota keluarga yang lain yang tidak melaksanakannya, namun jika seluruh anggota keluarga tersebut tidak berkurban, padahal mereka mampu untuk itu, maka hukumnya makruh. Berkurban hanya menjadi wajib ketika dinadzarkan untuk dilakukan. (Kifayah al-Akhyar, j. 2, h. 235).

Ada sebuah pernyataan yang harus diwaspadai, sebagian orang menganggapnya sebagai hadits, menyebutkan:

مَنْ وَجَدَ سَعَةً لأنْ يُضَحِّيَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَحْضُرْ مُصَلاّنَا

“Barangsiapa yang memiliki kemampuan untuk berkurban kemudian tidak berkurban maka janganlah ia mendekati tempat shalat kita”.

Ini adalah hadits yang sama sekali tidak benar. Bagaimana bisa diterima bahwa seorang yang hanya meninggalkan perbuatan sunnah saja tidak boleh masuk atau mendekati masjid?! Masuk masjid itu bagi muslim siapapun, bahkan termasuk bagi pelaku dosa besar sekalipun, jika ia hendak melaksanakan shalat atau ibadah lainnya boleh baginya untuk masuk masjid. Karenanya al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang tidak berdasar (Ghair Tsabit).

Binatang Kurban

Binatang Kurban Yang Mencukupi

Binatang yang mencukupi untuk dijadikan kurban adalah bintang-binatang yang secara syari’at dapat dikurbankan; yaitu unta, sapi (kerbau) dan domba (kambing) dengan berbagai jenisnya. Dengan ketentuan; unta berumur 5 tahun masuk ke umur 6 tahun, sapi umur 2 tahun dan masuk ke umur 3 tahun, domba yang telah berumur 1 tahun atau lewat, dan kambing (kambing kacang) yang telah berumur 2 tahun atau lebih.

Pada selain binatang-binatang tersebut di atas tidak mencukupi untuk dijadikan sebagai binatang kurban. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَارَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ (الحج: 28)

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan (hari-hari tasyriq) atas rizki Allah yangtelah diberikan kepada mereka berupa binatang ternak” (QS. Al-Hajj: 28)

Selain dalam al-Qur’an, di dalam hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah hanya memberlakukan kurban dengan binatang-binatang tersebut di atas. Dan karenanya para ulama telah sepakat (Ijma’) bahwa kurban hanya dapat terhasilkan kesunnahannya dengan menyembelih binatang-binatang itu.

Bintang Kurban Yang Tidak Mencukupi

Pada jenis-jenis binatang kurban yang telah disebutkan di atas ada empat macam binatang yang tidak mencukupi untuk dijadikan binatang sembelihan. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

أرْبَعَةٌ لاَ تُجْزِئُ فِي الأضَاحِيْ العَوْرَاءُ البَيّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالعَرْجَاءُ البَيّنُ ضَلْعُهَا وَالْعَجْفَاءُ الّتِي لاَ تُنْقِي (رواه الترمذي)

“Ada empat binatang yang tidak mencukupi untuk menjadi kurban; binatang matanya picak yang jelas picaknya, binatang sakit yang nyata sakitnya, binatang pincang yang jelas pincang/tulangnya, dan binatang tidak ada otaknya karena sangat kurus”. (HR. at-Tirmidzi)

  1. Binatang yang jelas picak (melihat dengan sebelah matanya), artinya bola matanya telah hilang atau rusak parah yang menyebabkan bintang tersebut tidak dapat melihat dengannya (al-Awra’).
  2. Binatang sakit yang jelas sakitnya, artinya bila sakit tersebut hanya sakit ringan saja maka itu tidak bermasalah dan dapat menjadi kurban. Ukurannya; dengan penyakit itu binatang tersebut akan menjadi sangat kurus dan rusak dagingnya.
  3. Bintang pincang kakinya yang jelas pincangnya, seukuran bila ia berkumpul dengan teman-temannya untuk berjalan ke padang rumput maka akan tertinggal jauh dari kelompoknya. Adapun pincang yang hanya sedikit saja maka tidak bermasalah.
  4. Binatang yang tidak ada otaknya karena sangat kurus (al-’Ajfa’), karena dengan demikian bintang tersebut banyak sekali kehilangan daging dan bagian-bagian lain dari tubuhnya untuk dapat dikonsumsi yang merupakan tujuan utama dari kurban.

Waktu Menyembelih Binatang Kurban

Waktu penyembelihan binatang kurban dimulai dari waktu shalat Ied; yaitu dari sekitar telah berlalunya waktu sekedar dua rak’at dan dua khutbah dari terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari pada tanggal 13 Dzul Hijjah dari hari-hari Tasyriq. Jika dilakukan sebelum waktu ini maka binatang tersebut tidak dianggap sebagai binatang kurban. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصّلاَةِ فَإنّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصّلاَةِ وَالْخُطْبَتَيْنِ فَقَدْ أتَمّ نُسُكَهُ وَأصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِيْنَ (روَاه البُخَاري وَمُسْلم)

”Barangsiapa menyembelih sebeluum berlalunya shalat maka sembelihannya tersebut hanya untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa menyembelih setelah berlalunya dua shalat dan dua khutbah maka ia telah menyempurnakan ibadahnya dan telah mendapati sunnah kaum muslimin”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Penyembelihan binatang dapat dilakukan pada hari-hari tersebut di atas; dari mulai tanggal 10 (sekitar telah berlalunya waktu sekedar dua rak’at dan dua khutbah dari terbitnya matahari), 11, 12, dan tanggal 13 Dzul Hijjah, dan berakhir dengan terbenamnya matahari di tanggal 13 ini. Dan pada hari-hari ini diharamkan bagi seluruh orang Islam untuk berpuasa.

Cara Menyembelih Binatang Kurban

Ketentuan menyembelih

Sembelihan yang sempurna adalah dengan memotong empat urat; yaitu al-hulqum, al-mari’, dan al-wadajain. Al-hulqum adalah urat tempat aliran nafas, al-Mari’ adalah urat tempat aliran makanan dan minuman, dan al-wadajain adalah dua urat yang ikut menempel dengan dengan urat al-hulqum.

Sembelihan minimal dan dianggap mencukupi adalah hanya dengan memotong dua urat saja yaitu; al-hulqum dan al-mari’. Artinya bila urat al-wadajain tidak terpotong maka sembelihannya tersebut dianggap mencukupi. Sementara apa bila urat al-hulqum atau al-mari’ tidak terpotong dengan benar (tidak putus) kemudian binatang tersebut mati maka binatang tersebut menjadi bangkai.

Perkara disunnahkan saat menyembelih

Ada lima perkara sunnah untuk dilakukan saat menyembelih binatang kurban, yaitu; (1). Membaca Bismillah (at-tasmiyah), (2). Membaca shalawat atas Rasulullah, (3). Menghadap ke kiblat berikut binatang yang disembelihnya, (4). Membaca takbir, (5). Berdoa dengan harapan kurban tersebut diterima oleh Allah.

Hukum Makan Binatang Kurban

  1. Jika yang melakukan kurban tersebut karena nadzar maka ia tidak boleh makan sedikitpun dari bintang kurbannya.
  2. Jika yang berkurban tersebut karena bertujuan melaksanakan sunnah karena mendekatkan diri kepada Allah maka disunnahkan pula baginya untuk memakan beberapa bagian dari binatang sembelihannya tersebut. Disunnahkan untuk menjadikan binatang kurban tersebut tiga bagian; 1/3 ia sedekahkan, 1/3 ia hadiahkan, dan 1/3 ia makan. Boleh pula baginya untuk menjadikan keseluruhan binatang kurban tersebut sebagai sedekah, juga bolah ia hanya mengambil bagian sedikit hanya saja; misalkan untuk seukuran astu suap atau dua suap.

Catatan:

Tujuan dari kurban adalah bahwa binatang kurban dapat diambil manfaat dari setiap bagian tubuhnya. Dengan demikian maka tidak boleh ada bagian dari binatang sembelihan tersebut yang dijual; baik dalam kurban nadzar ataupun kurban sunnah, termasuk dalam hal ini; kulit, tanduk, atau lainnya. Demikian pula kulit binatang sembelihan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai upah bagi orang yang memotongnya. Kesimpulannya; seorang yang berkurban harus menjadikan seluruh bagian dari binatang kurbannya tersebut sebagai sedekah.

Wa Allahu Al’alm Bi ash-Shawab.

Wa al-Hamdu Lillah Rabb al-‘Alamin

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here