Urgensi Ilmu Kalam Ahlussunnah Wal Jama’ah

0
147

Sesungguhnya ilmu mengenal Allah dan mengenal sifat-sifat-Nya adalah ilmu paling agung dan paling utama, serta paling wajib untuk didahulukan mempelajarinya atas seluruh ilmu lainnya, karena pengetahuan terhadap ilmu ini merupakan pondasi bagi keselamatan dan kebahagiaan hakiki, yang oleh karena itu ilmu Tauhid ini dikenal juga dengan nama Ilmu Ushul (pondasi agama). Dalam sebuah hadits Rasulullah menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang yang telah mencapai puncak tertinggi dalam ilmu ini, beliau bersabda:

أنَا أعْلَمُكُمْ بِاللهِ وَأخْشَاكُمْ لَهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيّ) 

“Aku adalah orang yang paling mengenal Allah di antara kalian, dan aku adalah orang yang paling takut di antara kalian bagi-Nya”. (HR. al-Bukhari).

Dengan dasar hadits ini maka Ilmu Tauhid sudah seharusnya didahulukan untuk dipelajari dibanding  ilmu-ilmu lainnya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ (محمد: 19)

“Maka ketahuilah (wahai Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan mintalah ampun bagi dosamu juga bagi seluruh orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan”. (QS. Muhammad: 19).

Dalam ayat ini Allah mendahulukan perintah mengenal tauhid di atas perintah istighfâr. Hal ini dikarenakan bahwa mengenal Ilmu Tauhid terkait dengan Ilmu Ushul yang merupakan dasar atau pokok-pokok agama, yang karenanya harus didahulukan, sementara mengucapkan istighfâr terkait dengan Ilmu Furu’ atau cabang-cabang agama. Tentunya tidak dibenarkan bagi siapapun untuk melakukan istighfâr atau melakukan kesalehan lainnya dari amalan-amalan furû’ jika ia tidak mengetahui Ilmu Tauhid atau Ilmu Ushul, karena bila demikian maka berarti ia melakukan kesalehan dan beribadah kepada Tuhan-nya yang ia sendiri tidak mengenal siapa Tuhan-nya tersebut. Oleh karena itu dalam banyak ayat al-Qur’an Allah telah memerintahkan manusia untuk mempergunakan akalnya dalam melihat keagungan penciptaan-Nya hingga dapat mengenal tanda-tanda kekuasaan dan sifat-sifat-Nya. Seperti dalam firman-Nya:

أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ (الأعراف: 185)

“Tidakkah mereka melihat pada kerajaan langit-langit dan bumi?!” (QS. al-A’raf: 185).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

سَنُرِيهِمْ  آَيَاتِنَا  فِي  الْآَفَاقِ وَفِي  أَنْفُسِهِمْ حَتَّى  يَتَبَيَّنَ لَهُمْ  أَنَّهُ  الْحَقُّ (فصلت: 53)

“Akan Kami perlihatkan kepada mereka akan tanda-tanda kekuasaan Kami di segala upuk juga tanda-tanda kekuasaan Kami pada diri mereka hingga menjadi jelas bahwa Dia Allah adalah al-Haq”. (QS. Fushilat: 53).

(Masalah): Jika timbul pernyataan; tidak terdapat hadits yang memberitakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan Ilmu Kalam kepada para sahabatnya. Demikian juga tidak ada berita yang menyebutkan bahwa di antara para sahabat Nabi ada yang menggeluti ilmu ini, atau mengajarkannya kepada orang lain di bawah mereka. Bukankah ilmu ini baru muncul setelah habis periode sahabat?! Seandainya ilmu ini sangat penting maka tentu akan banyak digeluti oleh para sahabat dan para tabi’in, juga oleh para ulama sesudah mereka?!

(Jawab:)  Jika dimaksud dari pernyataan tersebut bahwa para sahabat nabi adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, tidak mengenal makna tauhid, tidak mengenal kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, tidak mengenal Rasul-Nya, tidak mengenal kebenaran mukjizat-mukjizatnya dengan dalil-dalil akal; artinya bahwa keimanan para sahabat tersebut hanya ikut-ikutan saja (Taqlîd) maka jelas pendapat ini adalah pendapat yang rusak dan batil. Dalam al-Qur’an sendiri Allah telah mencela orang-orang yang dalam keyakinannya hanya ikut-ikutan belaka terhadap orang-orang tua mereka dalam menyembah berhala, Allah berfirman:

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (الزخرف: 23)

“Sesungguhnya kami mendapati orang-orang tua kami di atas suatu ajaran, dan sesungguhnya kami di atas peninggalan-peninggalan mereka adalah orang-orang yang mengikuti” (QS. az-Zukhruf: 23).

Dalam ayat ini terkandung cacian terhadap orang-orang kafir, bahwa mereka adalah orang-orang yang hanya ikut-ikutan terhadap para leluhur mereka dalam menyekutukan Allah. Mereka sedikitpun tidak memiliki argumen untuk menetapkan dasar keyakinan mereka. Dengan demikian, jika yang dimaksud pernyataan di atas bahwa para sahabat hanya ikut-ikutan belaka dalam keimanan mereka seperti orang-orang kafir ini maka jelas ini adalah pernyataan buruk yang tidak memiliki dasar.

Adapun jika dimaksud dari pertanyaan di atas bahwa para sahabat Rasulullah tersebut tidak pernah mengungkapkan istilah-istilah yang belakangan baru dikenal dalam Ilmu Kalam, seperti al-jawhar (benda), al-‘Aradl (sifat benda), al-Jâ-iz (perkara yang ada dan tidak adanya dapat diterima oleh akal), al-Muhâl (perkara yang mustahil adanya), al-Hûdûts (baharu), al-Qidam (tanpa permulaan) dan sebagainya; maka pendapat tersebut dapat diterima. Hanya saja kita bantah dengan perkara-perkara yang serupa dengan itu semua dalam semua disiplin ilmu, karena sesungguhnya tidak pernah dikenal di masa Rasulullah, juga di masa para sahabatnya, tentang istilah-istilah semacam al-Nâsikh dan al-Mansûkh, al-Mujmal dan al-Mutasyâbih, dan lain sebagainya yang biasa dipakai oleh para ulama tafsir. Demikian pula di masa Rasulullah tidak pernah dikenal istilah al-Qiyâs, al-Istihsân, al-Mu’âradlah, al-Munâqadlah, al-‘Illah, dan lain sebagainya yang biasa dipergunakan oleh para ahli fiqih. Juga tidak ada istilah al-Jarh dan at-Ta’dîl, al-Âhâd, al-Masyhûr, al-Mutawâtir, ash-Shahîh, al-Gharîb, dan lain sebagainya yang biasa digunakan oleh para ahli hadits. Apakah kemudian dengan alasan bahwa disiplin ilmu-ilmu tersebut tidak pernah ada di masa Rasulullah dan para sahabatnya lalu itu semua harus kita ditolak?!

(Masalah): Jika seseorang berkata: Abdullah ibn Abbas telah berkata: “Berpikirlah kalian tentang makhluk, dan janganlah kalian berpikir tentang al-Khâliq (Allah)”, bukankah ini artinya berpikir tentang Allah adalah sesuatu yang dilarang?!

(Jawab): Yang dilarang dalam hal ini adalah berpikir tentang Allah, sementara itu kita diperintahkan untuk berpikir tentang makhluk-Nya. Ini artinya bahwa kita diperintahkan untuk berpikir tentang tanda-tanda kekuasaan Allah baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi supaya itu semua dijadikan bukti bagi adanya Allah sebagai penciptanya, dan sebagai bukti bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya tersebut. Seorang yang tidak mengenal Allah; Tuhan yang ia sembahnya, bagaimana mungkin ia dapat mengamalkan atsar shahih dari sahabat Ibn Abbas di atas?!

Sesungguhnya objek bahasan Ilmu Tauhid ini adalah berpikir tentang makhluk untuk dijadikan bukti bagi adanya al-Khaliq (Pencipta). Dalam satu pendapat lain, definisi Ilmu Tauhid adalah disiplin ilmu yang membahahas tentang nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya serta segala perbuatan-Nya, juga membahas tentang keadaan para makhluk; dari bangsa Malaikat, para Nabi Allah, para Wali Allah, para Imam, penciptaan makhluk, dan tentang kehidupan di akhirat kelak. Pembahasan hal ini semua didasarkan kepada argumen-argumen yang telah ditetapkan dalam Islam, bukan dibangun diatas dasar-dasar pemikiran filsafat. Karena dasar pemikiran kaun filosof dalam pembahasan mereka tentang Tuhan, para Malaikat dan masalah lainnya hanya bersandarkan kepada pemandangan logika semata. Mereka menjadikan akal sebagai pondasi bagi ajaran agama. Mereka tidak melakukan sinkronisasi antara logika dengan teks-teks yang dibawa oleh para Nabi. Sementara para ulama tauhid dalam membicarakan masalah keyakinan tidak semata mereka bersandar kepada akal. Namun akal diposisikan sebagai saksi dan bukti akan kebenaran apa yang datang dari Allah dan yang dibawa oleh para nabi tersebut. Dengan demikian para ulama tauhid ini menjadikan akal sebagi bukti, tidak menjadikannya sebagai pondasi bagi ajaran agama.

Ilmu Kalam Pada Periode Salaf

Pada dasarnya tonggak dasar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam sudah berkembang dari semenjak masa sahabat Rasulullah. Bahkan perkembangan Ilmu Tauhid ini merupakan konsentrasi dakwah seluruh sahabat Rasulullah. Karenanya perkembangan Ilmu Tauhid di masa sahabat Nabi justru lebih mapan dan lebih pesat di banding dengan periode-periode sesudahnya. Bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok ahli bid’ah sudah berkembang di masa para sahabat, misalkan sahabat Abdullah ibn Abbas (w 68 H) dan sahabat Abdullah ibn Umar (w 74 H) yang telah memerangi faham Mu’tazilah. Atau dari kalangan tabi’in, seperti Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (w 101 H) dan al-Imâm al-Hasan ibn al-Hanafiyah yang giat memerangi faham para ahli bid’ah tersebut. Bahkan Khalifah Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) dengan argumen kuatnya telah memecahkan faham Khawarij dan faham kaum Dahriyyah (kaum yang mengatakan bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang  menciptakan). Demikian pula Ali ibn Abi Thalib telah membungkam empat puluh orang dari kaum Yahudi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah benda yang memiliki tubuh dan memiliki tempat. Di antara pernyataan sahabat Ali ibn Abi Thalib dalam masalah tauhid yang merupakan bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imâm al-Hâfizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Awliyâ’, adalah: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan kita (Allah) memiliki bentuk maka ia tidak mengetahui Pencipta yang wajib disembah (Artinya; ia seorang yang kafir)”.

Kemudian Iyas ibn Mu’awiyah, yang sangat terkenal dengan kecerdesannya, juga telah memecahkan argumen-argumen kaum Qadariyyah (Mu’tazilah). Lalu Umar ibn Abdul Aziz telah membungkam para pengikut Syauzdab; salah seorang pemuka kaum Khawarij. Dan bahkan Umar ibn Abdul Aziz ini telah menulis beberapa risalah sebagai bantahan terhadap faham-faham Mu’tazilah. Kemudian al-Imâm Rabi’ah ar-Ra’y (w 136 H), salah seorang guru al-Imâm Malik Ibn Anas, dengan dalil yang sangat kuat telah membungkam Ghailan ibn Muslim; salah seorang pemuka kaum Qadariyyah. Lalu al-Imâm al-Hasan al-Bashri, salah seorang ulama besar dan terkemuka di kalangan tabi’in, juga telah menyibukan diri bergelut dengan Ilmu Kalam ini.

(Masalah): Jika seseorang berkata: al-Imâm asy-Syafi’i telah berkata: “Seorang manusia bila bertemu dengan Allah (artinya meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa Ilmu Kalam”, bukankah ini artinya bahwa al-Imâm asy-Syafi’i membenci dan bahkan mencaci Ilmu Kalam?!

(Jawab): Statemen seperti itu tidak benar sebagai ungkapan al-Imâm Syafi’i, dan tidak ada riwayat dengan sanad yang benar bahwa beliau telah berkata demikian. Adapun pernyataan yang benar dari ucapan beliau dengan sanad yang shahih adalah: “Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa al-Ahwâ’”[1].

Kata al-Ahwâ’ adalah jamak dari kata al-Hawâ, artinya sesuatu yang diyakini oleh para ahli bid’ah yang berada di luar jalur ulama Salaf. Maka pengertian al-Hawâ di sini adalah keyakinan-keyakinan yang yakini oleh golongan-golongan sesat, seperti keyakinan Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Najjariyyah, dan berbagai kelompok lainnya; yang telah disebutkan dalam hadits nabi sebanyak tujuh puluh dua golongan. Dalam sebuah hadits mashur Rasulullah bersabda:

وَإنّ هَذِهِ الْمِلّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ (رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد)

“Dan sesungguhnya -umat- agama ini akan pecah kepada tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu di surga; dan dia adalah kelompok mayoritas”. (HR. Abu Dawud)[2].

Dengan demikian yang dicaci oleh al-Imâm asy-Syafi’i bukan mutlak keseluruhan Ilmu Kalam, tapi yang dimaksud adalah Ilmu Kalam tercela; yaitu yang digeluti oleh para ahli bid’ah di atas. Adapun Ilmu Kalam yang digeluti Ahlussunnah yang berdasar kepada al-Qur’an dan Sunnah maka ini adalah Ilmu Kalam terpuji, dan sama sekali tidak pernah dicaci oleh al-Imâm asy-Syafi’i. Sebaliknya beliau adalah seorang yang sangat kompeten dan terkemuka dalam Ilmu Kalam ini. Karenannya argumen beliau telah mematahkan pendapat Bisyr al-Marisi dan Hafsh al-Fard; di antara pemuka kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk dan bahwa Allah tidak memiliki sifat Kalam.

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam karya yang beliau tulis sebagai pembelaan terhadap al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari berjudul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari menuliskan sebagai berikut:

“Ilmu Kalam yang tercela adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh Ahl al-Ahwâ’ dan yang diyakini oleh para ahli bid’ah. Adapun Ilmu Kalam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah yang dibahas untuk menetapkan dasar-dasar akidah yang benar dan untuk memerangi fitnah Ahl al-Ahwâ’ maka ia telah disepakati ulama sebagai Ilmu Kalam terpuji. Dalam Ilmu Kalam terpuji inilah al-Imâm asy-Syafi’i adalah di antara ulama besar yang sangat kompeten. Dalam berbagai kesempatan beliau telah banyak membantah orang-orang ahli bid’ah dengan argumen-argumen kuatnya hingga mereka terpecahkan”[3].

Dalam karyanya tersebut Ibn Asakir kemudian mengutip salah satu kasus yang terjadi dengan al-Imâm asy-Syafi’i dengan sanad-nya dari ar-Rabi’ ibn Sulaiman, bahwa ia (ar-Rabi’ ibn Sulaiman) berkata:

“Ketika aku berada di majelis asy-Syafi’i, Abu Sa’id A’lam memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika datang Abdullah ibn Abd al-Hakam, Yusuf ibn Amr ibn Zaid, dan Hafsh al-Fard. Orang yang terakhir ini oleh asy-Syafi’i disebut dengan al-Munfarid (yang berpaham ekstrim). Kemudian Hafsh al-Fard bertanya kepada Abdullah ibn Abd al-Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?” Namun Abdullah ibn Abd al-Hakam enggan menjawab. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf ibn Amr. Namun ia juga enggan menjawab. Keduanya lalu berisyarat untuk bertanya kepada asy-Syafi’i. Kemudian Hafsh bertanya kepada asy-Syafi’i, dan asy-Syafi’i memberikan dalil kuat atas Hafsh. Namun kemudian antara keduanya terjadi perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya asy-Syafi’i dengan argumennya yang sangat kuat mengalahkan Hafsh dan menetapkan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Kemudian asy-Syafi’i mengkafirkan Hafsh. (Ar-Rabi’ ibn Sulaiman berkata): “Beberapa saat kemudian di masjid aku bertemu dengan Hafsh, ia berkata kepadaku bahwa asy-Syafi’i hendak memenggal leherku”[4].

(Masalah) Jika seseorang berkata: Diriwayatkan dari al-Imâm asy-Sya’bi bahwa ia berkata: “Barangsiapa mempelajari agama dengan Ilmu Kalam maka ia menjadi seorang zindik. Barangsiapa mencari harta dengan Kimia maka ia akan bangkrut. Barangsiapa mengajarkan hadits dengan mengutip hadits-hadits Gharîb maka ia seorang pembohong”. Pernyataan semacam ini juga telah diriwayatkan dari al-Imâm Malik dan al-Qâdlî Abu Yusuf (sahabat al-Imâm Abu Hanifah). Dan ada beberapa ulama Salaf lain yang mencaci Ilmu Kalam?!

(Jawab): Masalah ini telah dijawab oleh al-Imâm al-Bayhaqi. Beliau mengatakan bahwa  yang dimaksud dengan Ilmu Kalam oleh sebagian ulama Salaf tersebut adalah Ilmu Kalam tercela yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Karena di masa mereka penyebutan Ilmu Kalam konotasinya adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Benar, kaum Ahlussunnah saat itu belum banyak membahas secara detail tentang Ilmu Kalam, sebelum kemudian ilmu ini menjadi sangat dibutuhkan untuk dibukukan dan dibahas secara komprehensif.

Masih menurut al-Bayhaqi, mungkin pula yang dimaksud Ilmu Kalam yang dicela oleh para ulama Salaf di atas adalah bagi seorang yang hanya mempalajari Ilmu Kalam semata, dengan menyampingkan Ilmu-Ilmu fiqih yang sangat dibutuhkan untuk mengenal hukum halal dan haram, atau menolak hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam syari’at hingga tidak terlakasananya hukum-hukum itu sendiri.

Kemudian al-Bayhaqi juga mengatakan bahwa banyak para ulama Salaf yang memuji Ilmu Kalam sebagai media untuk memerangi faham-faham ahli bid’ah. Di antaranya Hatim al-Ashamm, salah seorang seorang sufi terkemuka ahli zuhud dimasanya, mengatakan bahwa Ilmu Kalam merupakan ilmu pokok agama, sementara Ilmu Fiqih merupakan cabangnya, dan pengamalan adalah buah dari ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, (masih menurut Hatim), barangsiapa yang menggeluti Ilmu Kalam dengan menyampingkan Ilmu Fiqih dan pengamalannya maka ia akan menjadi seorang zindik, dan barangsiapa yang mencukupkan dengan hanya amalan saja tanpa didasarkan kepada Ilmu Kalam dan Ilmu Fiqih maka akan menjadi seorang ahli bid’ah, dan barangsiapa yang mencukupkan dengan Ilmu Fiqih saja dengan menyampingkan Ilmu Kalam maka ia akan menjadi seorang fasik. Tetapi barangsiapa yang mempelajari semua disiplin ilmu tersebut maka dialah yang akan selamat[5].

Al-Imâm al-Qâdlî Abul Ma’ali Abdul Malik, yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Imâm al-Juwaini, mengatakan bahwa orang yang berkeyakinan bahwa para ulama Salaf tidak mengetahui Ilmu Kalam atau Ilmu Ushul, atau berkeyakinan bahwa mereka menghindari ilmu ini dan bersikap apatis terhadapanya, maka orang ini telah berburuk sangka terhadap mereka. Karena sangat mustahil, baik secara akal sehat maupun dari tinjuan agama, bahwa para ulama Salaf tersebut menghindari Ilmu Kalam ini. Padahal di kalangan mereka seringkali terjadi perdebatan dalam masalah-masalah Furû’iyyah, misalkan dalam masalah ‘Aul, atau dalam masalah hak-hak seorang kakek dalam hukum waris, atau metode  penetapan hukuman dan praktek Qishâsh, dan berbagai masalah lainnya. Bahkan tidak jarang antar mereka terjadi dengan sama-sama melakukan Mubâhalah (saling bersumpah dengan keberanian tertimpa musibah bagi yang salah) demi untuk menetapkan kebenaran pendapat yang diyakini oleh masing-masing individu. Atau lihat misalnya, hanya untuk menetapkan masalah najis saja, mereka dengan sekuat tenaga dan pikiran seringkali berusaha mencari banyak dalil, baik dalil-dalil untuk dirinya sendiri atau dalil-dalil untuk mematahkan pendapat lawan. Artinya, bila keadaan mereka dalam masalah-masalah Furû’iyyah saja semacam ini, maka sudah barang tentu merekapun demikian adanya dalam masalah-masalah Ushûliyyah. Bukankah masalah-masalah Ushûliyyah jauh lebih besar porsi urgensitasnya dibanding masalah-masalah Furû’iyyah?![6]

Dengan demikian sangat tidak logis jika diklaim bahwa para ulama Salaf tidak memiliki kompetensi dalam permasalahan-permasalahan Ilmu Kalam. Bukankah mereka dekat dengan masa kenabian?! Bukankah mereka menerima langsung ajaran-ajaran Islam ini dari pembawa syari’at itu sendiri, yaitu Rasulullah?! Kemudian kaum tabi’in, kaum pasca sahabat Nabi, walaupun mereka tidak secara langsung menerima ajaran Islam dari Rasulullah, tapi bukankah mereka menerima ajaran-ajaran tersebut dari para sahabat Rasulullah?! Jika diklaim bahwa kaum tabi’in tidak mumpuni dalam Ilmu Kalam, berarti klaim ini sama saja dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah. Dan klaim ini jika dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah, maka berarti sama juga dialamatkan kepada Rasulullah sendiri. Lalu siapakah yang berani berkata bahwa Rasulullah tidak mengenal Allah, tidak ma’rifat kepada-Nya, tidak mengenal Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam?! Karena itu dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya segala permasalahan yang berkembang dalam Ilmu Kalam telah benar-benar diketahui dan dipahami oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Salah satu bukti bahwa para ulama Salaf benar-benar menggeluti Ilmu Kalam adalah adanya beberapa karya dari al-Imâm Abu Hanifah dalam disiplin ilmu ini. Di antaranya; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risâlah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Âlim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah. Yang terakhir disebut, yaitu al-Washiyyah, terdapat perbedaan pendapat tentang benar tidaknya sebagai risalah dari al-Imâm Abu Hanifah. Satu pendapat mengingkari risalah tersebut sabagai risalah dari al-Imâm Abu Hanifah dengan alasan bukan dari hasil tangannya. Pendapat lain mengatakan bahwa risalah al-Washiyyah ini karya dari Muhammad ibn Yusuf al-Bukhari yang memiliki nama panggilan (Kunyah) Abu Hanifah.

Pendapat yang mengingkari risalah tersebut berasal dari al-Imâm Abu Hanifah biasanya diungkapkan orang-orang Mu’tazilah. Hal ini karena isi dari risalah-risalah tersebut adalah bantahan terhadap kelompok-kelompok bid’ah, seperti faham Mu’tazilah sendiri. Pengingkaran kaum Mu’tazilah juga didasari pengakuan bahwa keyakinan al-Imâm Abu Hanifah adalah persis sama dengan keyakinan mereka sendiri. Tentu pendapat Mu’tazilah ini hanyalah dusta belaka. Karena seperti yang sudah diketahui, al-Imâm Abu Hanifah adalah sosok yang paling gigih memerangi para ahli bid’ah termasuk faham-faham Mu’tazilah sendiri.

Dalam Ilmu Kalam, dan dalam seluruh disiplin ilmu lainnya, al-Imâm Abu Hanifah adalah ulama terkemuka sebagai ahli ijtihad pada abad pertama hijriyah. Tentang hal ini dalam kitab at-Tabshirah al-Baghdâdiyyah disebutkan sebagai berikut:

“Orang paling pertama sebagai ahli Kalam dikalangan ulama fiqih Ahlussunnah adalah al-Imâm Abu Hanifah dan al-Imâm asy-Syafi’i. Abu Hanifah telah menuliskan al-Fiqh al-Akbar dan ar-Risâlah yang kemudian dikirimkan kepada Muqatil ibn Sulaiman untuk membantahnya. Karena Muqatil ibn Sulaiman ini adalah seorang yang berkeyakinan tajsîm; mengatakan bahwa Allah adalah benda. Demikian pula beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dari kaum Khawarij, Rawafidl, Qadariyyah (Mu’tazilah) dan kelompok sesat lainnya. Para pemuka ahli bid’ah tersebut banyak tinggal di wilayah Bashrah, dan al-Imâm Abu Hanifah lebih dari dua puluh kali pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad hanya untuk membantah mereka, (padahal perjalanan saat itu sangat jauh dan sulit). Dan tentunya al-Imâm Abu Hanifah telah memecahkan dan membungkam mereka dengan argumen-argumen kuatnya, hingga beliau menjadi panutan dan rujukan dalam segala permasalahan Ilmu Kalam ini”.

 Al-Imâm al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi dengan sanad-nya hingga al-Imâm Abu Hanifah, meriwayatkan bahwa al-Imâm Abu Hanifah berkata: “Saya telah benar-benar mempelajari Ilmu Kalam, hingga saya telah mencapai puncak sebagai rujukan dalam bidang ilmu ini”[7]. Kemudian al-Imâm Abu Hanifah menceritakan bahwa ia baru benar-benar terjun dalam mempelajari fiqih setelah ia duduk belajar kepada al-Imâm Hammad ibn Sulaiman, dan ia baru melakukan itu setelah ia benar-benar kompeten dalam Ilmu Kalam.

Dalam riwayat lain dengan sanad-nya dari al-Haritsi, bahwa al-Imâm Abu Hanifah berkata:

“Saya telah dikaruniai kekuatan dalam Ilmu Kalam. Dengan ilmu tersebut saya memerangi dan membantah faham-faham ahli bid’ah. Kebanyakan mereka saat itu berada di Bashrah. Maka pada masa itu saya sering pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad lebih dari dua puluh kali. Di antara perjalananku tersebut ada yang hingga menetap satu tahun di Bashrah, ada pula yang kurang dari satu tahun, dan ada pulah yang lebih. Dalam hal ini aku telah membantah berbagai tingkatan atau sub sekte kaum Khawarij; seperti golongan Abadliyyah, Shafariyyah dan lainnya. Juga telah aku bantah berbagai faham kaum Hasyawiyyah”[8].

Al-Imâm Abd al-Qahir al-Baghdadi asy-Syafi’i, seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, dalam karya beliau yang lain berjudul Kitâb Ushûliddîn menuliskan bahwa orang yang pertama kali bergelut dengan Ilmu Kalam dari kalangan para ahli fiqih adalah al-Imâm Abu Hanifah dan al-Imâm asy-Syafi’i. Al-Imâm Abu Hanifah telah menulis sebuah risalah sebagai bantahan terhadap kaum Qadariyyah yang ia namakan dengan al-Fiqh al-Akbar, sementara al-Imâm asy-Syafi’i telah menulis dua karya dalam Ilmu Kalam, salah satunya penjelasan tentang kebenaran kenabian dan bantahan kepada kaum Brahmana, dan yang ke dua bantahan terhadap Ahl al-Ahwâ’[9].

Al-Imâm Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini asy-Syafi’i, juga seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, dalam karyanya berjudul at-Tabshîr Fî ad-Dîn menuliskan sebagai berikut:

“Kitab al-‘Âlim Wa al-Muta’allim karya al-Imâm Abu Hanifah memuat berbagai argumen yang sangat kuat untuk membantah kaum Mulhid dan para ahli bid’ah. Kemudian kitab karyanya dengan judul al-Fiqh al-Akbar, yang telah sampai kepada kami dengan jalur orang-orang tsiqah dan dengan sanad yang shahih dari Nushair ibn Yahya dari al-Imâm Abu Hanifah; adalah kitab yang berisikan bantahan kepada para ahli bid’ah. Siapa yang telah mempelajari karya-karya Ilmu Kalam tersebut dan karya-karya Ilmu Kalam al-Imâm asy-Syafi’i maka dia tidak akan mendapati di antara madzhab ulama lain yang memiliki karya yang lebih jelas dari keduanya. Adapun beberapa tuduhan yang dialamatkan kepada keduanya yang berseberangan dengan isi karya-karya Ilmu Kalam mereka, maka itu semua adalah kedustaan yang dituduhkan oleh para ahli bid’ah untuk menyebarkan bid’ah mereka sendiri”[10].

Tentang lima risalah al-Imâm Abu Hanifah yang telah kita sebutkan di atas, menurut pendapat yang paling kuat adalah bukan benar-benar ditulis oleh tangan al-Imâm Abu Hanifah sendiri. Tapi risalah-risalah tersebut adalah pelajaran yang didiktekan beliau kepada  para sahabatnya; seperti kepada Hammad ibn Zaid, Abu Yusuf, Abu Muthi’ al-Hakam ibn Abdullah al-Balkhi, Abu Muqatil Hafsh ibn Salam as-Samarqandi dan lainnya. Sahabat-sahabat Abu Hanifah inilah yang membukukan pelajaran-pelajaran beliau hingga menjadi risalah-risalah tersebut di atas. Dari para sahabat al-Imâm Abu Hanifah ini kemudian pelajaran-pelajaran yang sudah berbentuk risalah-risalah itu turun kepada generasi para ulama berikutnya, di antaranya kepada Isma’il ibn Hammad, Muhammad ibn Muqatil ar-Razi, Muhammad ibn Samma’ah, Nushair ibn Yahya al-Balkhi, Syidad ibn al-Hakam dan lainnya. Dari generasi ini kemudian turun dengan sanad yang shahih kepada al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi; Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah di atas sebagai karya al-Imâm Abu Hanifah adalah pendapat benar, hanya saja risalah-risalah itu adalah hasil pengisian beliau terhadap para sahabatnya yang kemudian dibukukan oleh mereka. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah tersebut sebagai karya para sahabat generasi al-Imâm Abu Hanifah, atau genarasi yang datang sesudahnya adalah pendapat yang juga benar, karena risalah-risalah tersebut hasil kodifikasi mereka. Demikian inilah pendapat yang telah dinyatakan oleh al-Imâm al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi.

Al-Imâm Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynîf al-Masâmi’ Syarh Jama’ al-Jawâmi’ menyebutkan bahwa para ulama Salaf terdahulu sudah mentradisikan usaha dalam membantah faham-faham ahli bid’ah, baik dengan tulisan-tulisan maupun dalam forum-forum terbuka. Dalam usaha tersebut al-Imâm asy-Syafi’i telah menulis Kitâb al-Qiyâs sebagai bantahan terhadap faham yang mengatakan bahwa alam ini tidak memiliki permulaan (Qadîm). Beliau juga telah menulis kitab dengan judul ar-Radd ‘Alâ al-Barâhimah, dan beberapa karya lainnya yang khusus ditulis untuk menyerang faham-faham di luar Ahlussunnah. Sebelum al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Abu Hanifah juga telah melakukan hal yang sama. Dalam hal ini al-Imâm Abu Hanifah telah menulis kitab al-Fiqh al-Akbar dan kitab al-‘Âlim Wa al-Muta’allim untuk membantah orang-orang zindik. Demikian pula dengan al-Imâm Malik ibn Anas dan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, mereka semua adalah para Imam terkemuka yang giat memerangi faham-faham sesat yang berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya.

Kemudian dari pada itu, al-Imâm Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w 256 H), pimpinan para ahli hadits di masanya, penulis kitab al-Jâmi’ as-Shahîh, telah menulis sebuah kitab yang sangat penting berjudul Khalq Af-’âl al-‘Ibâd. Sebuah kitab berisikan bantahan terhadap faham Qadariyyah atau Mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya sendiri. Dengan sangat rinci al-Imâm al-Bukhari mematahkan satu-persatu faham-faham Qadariyyah, dan menetapkan kebenarakan akidah Ahlussunah bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia sendiri. Selain al-Imâm al-Bukhari, ahli hadits lainnya yang juga merupakan sahabat al-Imâm al-Bukhari; yaitu al-Imâm Nu’aim ibn Hammad al-Khuza’i (w 228 H) telah menulis sebuah kitab yang sangat penting dalam bantahan terhadap kaum Jahmiyyah dan beberapa kelompok sesat lainnya.

Demikian pula al-Imâm Muhammad ibn Aslam ath-Thusi (w 242 H), yang juga seorang ahli hadits terkemuka salah seorang sahabat al-Imâm Ahmad ibn Hanbal; telah menuliskan kitab yang sangat penting dalam bantahan terahadap kaum Jahmiyyah. Setidaknya ada tiga orang sahabat al-Imâm Ahmad ibn Hanbal yang gigih membela akidah Ahlussunnah dengan tulisan-tulisannya. Mereka adalah al-Imâm al-Harits al-Muhasibi; yang juga seorang sufi terkemuka, al-Imâm al-Husain al-Karabisi, dan al-Imâm Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab al-Qaththan. Termasuk juga dalam hal ini saudara kandung dari al-Imâm yang terakhir disebut; yaitu al-Imâm Yahya ibn Sa’id ibn Kullab al-Qaththan.

Kemudian di kalangan ulama madzhab Hanafi, masih pada periode Salaf pasca generasi al-Imâm Abu Hanifah, ada seorang ulama besar ahli teologi dan ahli hadits dan juga ahli fiqih, yaitu al-Imâm Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H). Tulisan risalah akidah Ahlussunnah yang beliau bukukan, yang dikenal dengan al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, menjadi salah satu rumusan yang benar-benar terkodifikasi sebagai penjabaran akidah al-Imâm Abu Hanifah dan para Imam Salaf secara keseluruhan. Hingga sekarang risalah al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah ini menjadi sangat mashur sebagai akidah Ahlussunnah, telah diterima dari masa ke masa, dan antara generasi ke genarasi. Walaupun al-Imâm Abu Ja’far ath-Thahawi tidak pernah bertemu dengan al-Imâm Abu Hanifah, karena memang tidak semasa dengan beliau, namun ungkapan-ungkapan yang beliau tulis dalam risalahnya tersebut adalah persis ungkapan-ungkapan al-Imâm Abu Hanifah yang beliau kutip dengan sanad-nya dari para murid-murid al-Imâm Abu Hanifah sendiri. Dalam pembukaan risalah al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah ini, al-Imâm ath-Thahawi menuliskan: “Ini adalah penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, di atas madzhab para ulama agama; Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari, dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani”[11].

Tulisan-tulisan tentang Ilmu Kalam kemudian menjadi sangat berkembang, terlebih setelah menyebarnya karya-karya dua Imam Ahlussunnah yang agung; yaitu al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari dan al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi. Dua Al-Imâm ini telah menulis berbagai karya dalam menetapkan rumusan-rumusan akidah Ahlussunnah ditambah dengan bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok di luar Ahlussunnah, dengan argumen-argumen yang sangat kuat, baik dalil-dalil akal maupun dalil-dalil tekstual. Terutama al-Imâm al-Asy’ari yang berada di wilayah Bashrah Irak saat itu, beliau adalah sosok yang sangat ditakuti oleh kaum Mu’tazilah. Al-Hâfizh al-Lughawiy al-Imâm Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Syarh Ihyâ’ Ulum ad-Dîn menuliskan sebagai berikut:

“Segala permasalah akidah yang telah dirumuskan oleh dua al-Imâm agung; al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah merupakan dasar-dasar akidah yang diyakini semua ulama. Al-Asy’ari membangun landasan-landasan karyanya dari madzhab dua Al-Imâm agung; yaitu al-Imâm Malik dan al-Imâm asy-Syafi’i. Beliau merumuskan landasan-landasan tersebut, merincinya, menguatkannya, dan kemudian membukukannya. Sementara al-Maturidi membangun landasan karyanya dari teks-teks madzhab al-Imâm Abu Hanifah”[12].

 Al-Imâm Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynîf al-Masâmi’ menuliskan sebagai berikut:

Al-Imâm Abu Bakar al-Isma’ili berkata bahwa keagungan ajaran agama Islam ini, yang semula telah padam, kebanyakan telah dihidupkan kembali oleh Ahmad ibn Hanbal, Abul Hasan al-Asy’ari, dan Abu Nu’aim al-Istirabadzi. Dalam pada ini Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Saya  telah mendengar al-Mahamili berkata dalam pujiannya kepada Abul Hasan al-Asy’ari: “Seandainya beliau bertemu Allah dalam keadaan banyak dosa sebanyak tanah di bumi ini, bagiku ia mungkin akan diampuni oleh Allah karena telah benar-benar membela agama-Nya”. Sementara Ibn al-‘Arabi berkata: “Pada permulaannya kaum Mu’tazilah sebagai kaum yang memiliki kedudukan, lalu kemudian Allah menjadikan al-Asy’ari balik menyerang mereka hingga beliau telah menjadikan mereka terkungkung dalam biji-biji wijen (tidak memiliki kekuatan)”[13].

Di kemudian hari, pasca al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-Maturidi, Ilmu Kalam ini berkembang lebih pesat lagi. Hal ini ditandai dengan bermunculannya berbagai karya dari para pengikut kedua Imam agung tersebut. Sangat banyak karya-karya yang dihasilkan, berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus jilid, dengan argumen-argumen yang lebih matang dan dengan formulasi yang lebih sistematik. Di dalamnya banyak dimuat dialog-dialog dengan firqahfirqah di luar Ahlussunnah, seperti kaum Dahriyyah, kaum filosof, kaum Musyabbihah, dan bahkan dengan para ahli ramal (al-Munajjimûn). Dengan demikian maka semakin banyak bermunculan panji-panji Ahlussunnah yang giat mengibarkan madzhab al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ri di berbagai penjuru dunia Islam. Di antara mereka yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah ini adalah; al-Imâm al-Ustâdz Abu Bakar ibn Furak (w 406 H), al-Imâm Abu Ishaq al-Isfirayini, dan al-Imâm al-Qâdlî Abu Bakar al-Baqillani (w 403 H). Dua Al-Imâm yang pertama disebutkan menjadikan wilayah penyebarananya di daerah timur, sementara al-Baqillani menyebarkannya di wilayah barat dan timur sekaligus. Maka pada sekitar permulaan abad lima hijriyah, dipastikan hampir seluruh pelosok dunia Islam di belahan timur dan barat adalah kaum Ahlussunnah; yaitu kaum Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Tidak ada seorang ulama-pun, baik ahli fiqih atau ilmu lainnya dari ulama empat madzhab, kecuali di dalam masalah akidah dia adalah seorang pengikut al-Asy’ari atau pengikut al-Maturidi. Adapun kelompok yang menyempal dari Ahlussunnah, hanyalah kelompok-kelompok kecil saja; seperti Mu’tazilah, Musyabbihah, dan lainnya.

Antara Ilmu Kalam Terpuji Dan Ilmu Kalam Tercela

Dari penjelasan di atas menjadi sangat nyata bagi kita bahwa Ilmu Kalam terbagi kepada dua bagian. Pertama; Ilmu Kalam terpuji, yaitu Ilmu Kalam yang digeluti dan dibahas serta diajarkan di kalangan Ahlussunnah. Para ulama sepakat bahwa Ilmu Kalam Ahlussunnah ini adalah sesutu yang baik, karena merupakan tonggak dan pondasi ajaran Islam. Kedua; Ilmu Kalam tercela, yaitu Ilmu Kalam yang digeluti dan diyakini oleh firqahfirqah di luar Ahlussunnah, seperti kaum Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah, Dahriyyah, dan lainnya.

Al-Imâm al-Hâfizh al-Bayhaqi dalam kitab Syu’ab al-Îmân dalam bab tentang iman seorang Muqallid menuliskan dengan sanad-nya bahwa suatu ketika Amîr al-Mu’minîn al-Khalîfah ar-Râsyid Umar ibn Abdul Aziz didatangi oleh seseorang yang bertanya tentang faham-faham sesat di luar keyakinan Rasulullah dan para sahabatnya. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz berkata: “Hendaklah engkau memegang teguh ajaran agama seperti berpegang teguhnya seorang baduy dalam pengajian-pengajiannya, dan tinggalkanlah apa yang selain itu”[14].

Al-Hâfizh al-Bayhaqi mengomentari pernyataan khalifah Umar ibn Abdul Aziz di atas mengatakan bahwa ucapan semacam itu tidak hanya ungkapan Khalifah Umar, tapi juga banyak diungkapkan oleh para ulama Salaf. Menurut al-Bayhaqi tujuan ungkapan itu adalah untuk mengatakan bahwa pada dasarnya ajaran-ajaran Islam tidak butuh untuk dicari-cari kebenarannya, karena semua ajarannya adalah kebenaran. Dalam pada ini Rasulullah diutus oleh Allah dengan membawa bukti-bukti dan berbagai argumen yang sangat kuat. Baik orang-orang yang hidup semasa dengan Rasulullah dan menyaksikan langsung bukti-bukti kebenaran tersebut, maupun orang-orang yang hidup sesudahnya yang telah sampai kepada mereka dari bukti-bukti kebenaran itu; mereka itu semua tidak lagi membutuhkan kepada pencarian untuk meletakan kebenaran tauhid maupun masalah-masalah kenabian. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz maupun para ulama Salaf lainnya yang telah melarang  orang-orang awam untuk memperdalam kajian tentang firqahfirqah di luar Ahlussunnah dan ajaran-ajarannya adalah karena dikhawatirkan akan terjerumus di dalamnya. Karena seseorang yang terjerumus dalam kajian firqahfirqah tersebut, sementara pijakan akidah yang harus dianutnya sangat lemah, maka dikhawatirkan orang semacam ini akan ikut kepada faham-faham sesat di luar Ahlussunnah, dan ia tidak dapat keluar dari lingkaran faham sesat tersebut. Perumpamaannya seperti orang yang tidak mampu berenang, jika ia masuk ke air yang dalam dan deras, maka sudah dipastikan orang tersebut akan tenggelam di dalamnya. Artinya, menurut para ulama Salaf pada dasarnya Ilmu Kalam tidak sepenuhnya sebagai sesuatu yang tercela, bagaimana mungkin ilmu ini tercela, sementara ia adalah media untuk mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, mengenal para Nabi dan para Rasul, membedakan antara Nabi yang hak dengan nabi palsu?! Dengan demikian larangan ulama Salaf, seperti pernyataan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz di atas, ditujukan kepada mereka yang memiliki akal yang lemah, atau pijakan akidah yang tidak kuat. Terkecuali dari pada ini, sebenarnya para ulama Salaf sendiri menganjurkan untuk memperdalam Ilmu Kalam, terlebih untuk tujuan membantah berbagai faham firqahfirqah di luar Ahlussunnah.

Masih dalam tulisan al-Hâfizh al-Bayhaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman, beliau juga mengemukakan bahwa ada pendapat lain dari para ulama tentang alasan mengapa para ulama Salaf melarang terjun dalam kajian Ilmu Kalam; ialah karena di kalangan ulama Salaf sendiri saat itu, -dalam menetapkan keyakinan-, sudah lebih dari cukup dengan hanya melihat bukti-bukti nyata dari mukjizat-mukjizat Rasulullah. Di masa Salaf, seorang yang biasa menyibukan diri dalam mencari-cari “kebenaran” dengan mengutak-atik Ilmu Kalam sebagai medianya, adalah orang-orang ahli bid’ah atau Ahl al-Ahwâ’ , karena itulah para ulama Salaf di atas melarang keras mengkaji Ilmu Kalam yang digeluti oleh para ahli bid’ah tersebut.

Kemudian dari pada itu, Ahl al-Ahwâ’ telah mengklaim bahwa ajaran-ajaran Ahlussunnah tidak sejalan dengan akal sehat. Dasar inilah yang kemudian mendorong sebagian ulama Salaf untuk memperdalam Ilmu Kalam dengan menetapkan secara rinci argumen-argumen logis bahwa ajaran-ajaran Ahlussunnah sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah, juga sejalan dengan landasan-landasan akal sehat. Oleh karenanya tidak sedikit dari para ulama Salaf yang ahli dalam permasalahan-permasalahan Ilmu Kalam, dan ahli dalam mambantah faham-faham Ahl al-Ahwâ’ di luar Ahlussunnah.

Suatu ketika al-Imâm Abu Hanifah ditanya; Mengapa kalian bergelut dengan Ilmu Kalam, sementara para sahabat tidak pernah memperdalam ilmu tersebut?! Beliau menjawab: “Perumpamaan para sahabat tersebut adalah laksana orang-orang yang hidup di zaman yang tidak ada musuh, dengan demikian mereka tidak butuh untuk mengeluarkan senjata. Sementara kita adalah orang-orang yang hidup di zaman yang banyak musuh, maka kita sangat butuh untuk mengeluarkan senjata”[15].

Catatan kaki

[1] Ibn Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 337 dengan berbagai jalur sanad.

[2] Kajian konprehensif tentang firqah-firqah dalam Islam lihat al-Farq Bayn al-Firaq karya Abu Manshur al-Baghdadi (w 429 H), al-Milal Wa an-Nihal karya Abu al-Fath asy-Syahrastani  (w 548 H), at-Tabshîr Fî ad-Dîn karya Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini (w 471 H), dan lainnya

[3] Tabyîn Kadzib al-Mutftarî, h. 339

[4] Manâqib asy-Syâfi’i karya ar-Razi, h. 194-195. Lihat juga al-Asmâ’ Wa ash-Shifât karya al-Bayhaqi, h. 252

[5] Lihat Tabyîn Kadzib al-Mutftarî,, h. 334

[6] Ibid, h. 354

[7] Târîkh Baghdâd, j. 13, h. 333

[8] Lihat Mukadimah Isyârât al-Marâm karya al-Imâm al-Bayyadli yang ditulis oleh al-Imâm asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari mengutip dari kitab Manâqib al-Imâm Abî Hanîfah.

[9] Kitâb Ushûliddîn, h. 308

[10] at-Tabshîr Fî ad-Dîn Fî Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn, h. 113

[11] Lihat matan al-‘Aqîdah at-Thahâwiyyah dalam Izhâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah at-Thahâwiyyah, karya al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Habasyi, h. 341

[12] Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, j. 2, h. 13

[13] Tasynîf al-Masâmi’ Syarh Jama’ al-Jawâmi’, h. 395

[14] Syu’ab al-Îmân, j. 1, h. 95-96

[15] Lihat al-Bayyadli dalam Isyârât al-Marâm Min ’Ibârât al-Imâm, h. 33

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here