Beliau adalah Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dikenal dengan al-Imâm as-Sajjâd Zain al-‘Abidin. Al-Husain; cucu Rasulullah yang telah meninggal secara syahid di Karbala tidak memiliki keturunan kecuali dari satu jalur Ali Zain al-Abidin ini. Baliau lahir hari Jum’at tahun 38 Hijriah. Ibunya bernama Ghazalah, juga dikenal dengan nama Sulafah; adalah seorang budak perempuan.
Dalam kitab Wafayât al-A’yân, Bin Khallikan menyebutkan bahwa ibunya tersebut adalah Sulafah binti Yazdajir; artinya anak dari raja persia terakhir. Ketika ayah beliau; Imam al-Husain terbunuh, Ali Zain al-Abidin sudah berumur 23 tahun, saat itu beliau dalam keadaan sakit. Orang-orang Yazid bin Mu’awiyah berkata: “Kita harus membunuh anaknya ini!”. Namun beberapa orang dari mereka menolak, seraya mereka berkata: “Bagaimana kita membunuh seorang anak yang sedang sakit! Kita tinggalkan kaum perempuan dan anak sedang sakit semacam ini!”.
Tentang sifat-sifat Ali Zain al-Abidin, az-Zuhri berkata: “Saya tidak pernah melihat dari turunan Bani Hasyim yang lebih utama dan lebih alim dari Ali Zain al-Abidin”. Diriwayatkan bahwa apa bila beliau telah wudlu hendak shalat maka wajahnya akan terlihat memucat. Ketika ditanya apa penyebabnya, beliau menjawab: “Tidakkah kalian tahu di hadapan siapa saya hendak berdiri?!”.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika rumah yang ditempati Ali Zain al-Abidin terbakar, sementara beliau sedang dalam keadaan sujud yang panjang. Orang-orang di sekitarnya berteriak mengingatkannya agar ia segera keluar dari rumah tersebut. Namun hingga api padam ia masih tetap dalam keadaan sujudnya. Ketika ditanya apa yang membuat tidak takut dari api tersebut, beliau menjawab: “Aku dilalaikan oleh api yang lebih besar (api neraka) dari pada api itu”.
Dalam kitab al-Ma’ârif, Bin Qutaibah meriwayatkan bahwa Ali Zain al-Abidin suatu ketika memerdekakan seorang budak perempuan miliknya sendiri, setelah itu kemudian beliau mengawini budak tersebut. Ketika Abd al-Malik bin Marwan -sebagai khalifah saat itu- mengetahui peristiwa ini, ia menulis surat kepadanya berisikan ejekan dan cacian. Ali Zain al-Abidin kemudian menjawab surat tersebut mengatakan bahwa pada diri Rasulullah terdapat teladan yang patut kita tiru. Rasulullah telah memerdekakan budaknya sendiri yang bernama Shafiyyah binti Huyay binti Akhthab, setelah itu beliau kemudian mengawininya. Rasulullah juga telah memerdekakan Zaid bin Haritsah yang kemudian beliau kawinkan dengan anak bibinya Rasulullah sendiri yang bernama Zainab binti Jahsy.
Di antara sifat dermawan Ali Zain al-Abidin, dalam kitab Shifat al-Shafwah Bin al-Jauzi meriwayatkan bahwa penduduk Madinah tidak pernah tahu dari mana rizki yang datang kepada mereka. Ketika Ali Zain al-Abidin meninggal mereka semua kehilangan rizki yang selalu mereka dapatkan dalam setiap malam di hadapan pintu-pintu rumah mereka. Diriwayatkan bahwa jumlah mereka di Madinah saat itu ada sekitar seratus keluarga. Juga diriwayatkan bahwa bila datang kepadanya seorang yang meminta-minta, ia berkata: “Selamat datang wahai orang yang akan membawakan bekalku ke akhirat!”.
Salah seorang anak ‘Ammar bin Yasir meriwayatkan bahwa suatu ketika sekumpulan orang sedang berkumpul di rumah Ali Zain al-Abidin. Kemudian beliau memerintah salah seorang budaknya untuk cepat melayani mereka. Saat itu budak tersebut sedang berada di tempat pembakaran, maka secara tergesa budak tersebut datang menghadap ‘Ali, dan dengan tanpa di sengaja masih ada besi pada dirinya. Tiba-tiba besi tersebut jatuh hingga ke tangga bawah dan menimpa persis di kepala salah seorang anaknya yang masih bayi hingga bayi tersebut meninggal saat itu juga. Namun reaksi yang ditunjukkan Ali Zain al-Abidin sama sekali tidak mengandung kemarahan. Bahkan beliau berkata kepada budaknya tersebut: “Engkau aku merdekakan, karena engkau melakukan itu tanpa sengaja”.
Dalam riwayat lain disebutkan, suatu ketika Ali Zain al-Abidin mengunjungi Muhammad bin Usamah bin Zaid yang tengah dalam keadaan sakit. Setibanya di rumah Muhammad, Ali Zain al-Abidin mendapatinya dalam keadaan menangis. Ketika Ali Zain al-Abidin bertanya apa yang membuatnya menangis, Muhammad menjawab bahwa ia tengah memiliki hutang yang khawatir tidak terbayarkan. Ali Zain al-Abidin berkata: “Berapa hutangmu?” Muhammad menjawab: “Lima belas ribu dinar”. Ali Zain al-Abidin berkata: “Hutangmu akan aku bayar!”.
Di antara sifat-sifat kepribadiannya, diriwayatkan bahwa beliau sangat menghormati dan sangat banyak berbuat baik terhadap ibunya. Hingga beliau tidak berani makan bersama ibunya tersebut karena khawatir tangannya mendahului untuk meraih makanan yang telah terlebih dahulu dilihat oleh mata ibunya. Diriwayatkan pula bahwa dalam sehari semalam, Ali Zain al-Abidin shalat seribu raka’at shalat sunnah yang karenanya beliau digelari dengan as-Sajjâd (banyak sujud).
Imam Ali Zain al-Abidin wafat tahun 94 Hijriah. Satu pendapat mengatakan wafat tahun 99 Hijriah. Pendapat lain tahun 92 Hijriah. Dimakamkan di pemakaman Baqi’, di Madinah, dekat dengan makam pamannya sendiri; al-Hasan bin ‘Ali di bawah sebuah kubah yang juga di bawahnya terdapat makam al-’Abbas bin Abd al-Muththalib; paman Rasulullah.
Amaddanâ Allah Min Amdâdih.
__________________
[1] Biografi ‘Ali Zain al-Abidin lebih lengkap lihat asy-Sya’rani, ath-Thabaqât , j. 1, h. 54-55, Abu Nu’aim, Hilyah, j. 3, h. 133-145.