Rabu, Mei 1, 2024
spot_img
BerandaAllah Ada Tanpa TempatDear, Kemenag RI! Tafsir Istawa Yang Harus Dikoreksi

Dear, Kemenag RI! Tafsir Istawa Yang Harus Dikoreksi

Terjemah Dan Tafsir Istawa Versi Kemenag RI Yang Harus Dikoreksi

Dalam Al-Qur’an penyebutan kata Istawa dengan disandarkan kepada Allah berulang dalam tujuh surat, sebagai berikut:

ثُمَّ اسْتَــــوَى عَلَى الْعَرْشِ (الأعراف: 54). ثُمَّ اسْتَـــــــوَى عَلَى الْعَرْشِ (يونس: 3). ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (الرعد: 2). الرّحْمنُ  عَلَى  العرْش اسْتَوَى (طه: 5). ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (الفرقان: 59). ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (السجدة: 4). ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (الحديد: 4)

Ayat-ayat tersebut wajib kita imani tanpa dengan memahami kata Istawa dalam makna duduk, bertempat atau bersemayam, atau dalam makna membayangi ‘Arsy, karena makna-makna semacam itu merupakan sifat-sifat benda. Kita wajib berkeyakinan bahwa kata Istawa dalam ayat-ayat tersebut sebagai sifat yang Allah yang sesuai bagi keagungan-Nya, bukan merupakan sifat-sifat benda. Inilah penafsiran Istawa yang sejalan dengan firman Allah: “Laysa Kamitslihi Syai’” (QS. Asy-Syura: 11). Artinya bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya. Firman Allah dalam QS. Asy-Syura: 11 ini adalah ayat yang paling jelas dalam pembahasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Kecusian-Nya di sini secara mutlak, artinya Dzat Allah bukan benda, sifat-sifat-Nya bukan sifat-sifat benda, dan segala perbuatan-Nya bukan perbuatan-perbuatan benda. Ayat ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Allah maha suci dari segala sifat benda; seperti duduk, bergerak, diam, berada pada suatu tempat atau arah, warna, dan lain sebagainya. Makna Istawa akan kita bahas secara komprehensif dalam catatan tentang Istawa ini. In sya Allah.

Makna Istawâ Versi Kemenag RI

Berikut ini adalah Terjemah dan Tafsir versi Kemenag terhadap ayat-ayat tentang Istawa tersebut, diikutkan dengan sedikit analisa dari penulis:

Q.S al-A’raf: 54

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ  ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ (سورة الأعراف: 54)

Terjemah :

Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam[1].

Tafsir Ringkas Kemenag

Sungguh, Tuhanmu, Pemelihara dan Pembimbingmu, adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa atau periode, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya. Dia menutupkan malam dengan kegelapannya kepada siang yang mengikutinya dengan cepat sehingga begitu siang datang, ketika itu juga malam pergi. Semua makhluk-Nya termasuk matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan, yakni menetapkan ukuran tertentu bagi ciptaan dan segala urusan, menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.[2]

Analisa:

  • Kata Istawa dalam Q.S al-A’raf: 54 di atas diterjemahkan oleh pihak Kemenag RI dengan “bersemayam”, sehingga terjemah ayat menjadi: “Dia bersemayam di atas ‘Arsy”. Terjemahan ini memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat, karena makna bersemayam adalah bertempat (lihat KBBI)[3]. Dan bertempat adalah sifat benda. Makna demikian ini tidak layak bagi kesucian Allah karena Allah bukan benda. Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
  • Dalam tafsir ringkas Kemenag ada penambahan kalimat, menjadi: “Dia bersemayam di atas ‘Arsy sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya”. Kalimat ini kontradiktif, karena setelah menetapkan adanya sifat bersemayam atau bertempat bagi Allah yang notabene sifat benda lalu diikutkan dengan kalimat “sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya”, sehingga dipahami darinya makna yang rusak (batil), yaitu adanya sifat benda yang sesuai bagi keagungan Allah. Na’ûdzu billâh.
  • Kemudian kata “tsumma” dalam ayat di atas diterjemahkan oleh pihak Kemenag dengan “lalu”. Terjemahan demikian itu memberikan kesan makna ketersusunan pekerjaan dan keterikatan waktu. Hal itu dapat dirasakan dengan redaksi terjemahan ayat menjadi: “Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy”. Karena kata “lalu” adalah kata sambung yang berarti “kemudian” atau “lantas” (Lihat KBBI)[4]. Tentu pemahaman demikian tidak sesaui bagi kesucian Allah, karena Allah suci dari waktu dan zaman.
  • Ada makna kontradiktif lainnya. Dalam tafsir ayat di atas pihak Kemenag menuliskan: “Ingatlah! Segala penciptaan, yakni menetapkan ukuran tertentu bagi ciptaan dan segala urusan, menjadi hak-Nya”, ini bertentangan dengan tafsir di atasnya “bersemayam di atas ‘Arsy”. Karena secara logika bersemayam atau bertempat adalah menetapkan adanya ukuran dan bentuk. Artinya, setiap yang bertempat itu pasti memiliki bentuk dan ukuran. Lalu, bagaimana dikatakan; Allah yang menciptakan segala bentuk dan ukuran, lalu Allah sendiri juga memiliki bentuk dan ukuran dengan dikatakan bersemayam?!
  • Penjelasan komprehensif makna “tsumma” lebih luas dengan referensi standar kitab-kitab para ulama akan dibahas di buku ini. 

Q.S Yunus: 3

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْاَمْرَۗ مَا مِنْ شَفِيْعٍ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ اِذْنِهٖۗ ذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْهُۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ  (سورة يونس: 3)

Terjemah :

Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?[5]

Tafsir Ringkas Kemenag

Kalau orang kafir merasa heran atas diturunkannya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, maka apakah mereka tidak merasa heran dengan penciptaan langit dan bumi serta segala isinya? Tuhan Mahakuasa menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, sebagaimana Dia Mahakuasa menciptakan langit dan bumi. Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi yang terbentang luas, dalam enam masa untuk memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu perlu proses, melalui perencanaan yang matang dan dikerjakan secara maksimal. Jika Allah menghendaki, maka Dia Mahakuasa menciptakan keduanya dalam sekejap. Setelah sempurna masa penciptaan langit dan bumi, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, singgasana untuk mengatur segala urusan makhluk-Nya. Tidak ada yang dapat memberi syafaat, yakni pertolongan pada Hari Kiamat untuk mendapat keringanan atau terbebas dari azab Allah kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Zat yang Mahaagung, Tuhanmu yang memelihara dan membimbingmu, maka sembahlah Dia, karena hanya Dia yang berhak disembah, jangan mempersekutukan Dia dengan apa pun. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran dari kesempurnaan penciptaan langit dan bumi beserta isinya? Semuanya tunduk, patuh, dan bertasbih kepada Allah, Tuhan Pengatur segala urusan[6].

Analisa:

  • Dalam Q.S Yunus: 3 ini pihak Kemenag menerjemahkan kata Istawa sama dengan sebelumnya dalam Q.S al-A’raf: 54, yaitu dengan “bersemayam”. Sehingga terjemah ayat Istawa ini menjadi “Dia bersemayam di atas ‘Arsy”. Hanya kemudian setelah penyebutan kata ‘Arsy ada tambahan kata dalam kurung, yaitu (singgasana).
  • Kata “tsumma” dalam Q.S Yunus: 3 ini oleh pihak Kemenag diterjemahkan dengan “kemudian”, berbeda dengan terjemahan Q.S al-A’raf: 54 yang dengan menggunakan kata “lalu”. Namun demikian menurut KBBI penggunaan dua kata ini adalah sebagai kata sambung yang merupakan partikel (kelas kata yang meliputi kata depan, kata sambung, kata seru, kata sandang, ucapan salam)[7]. Dengan demikian penggunaan kata “kemudian” sama dengan makna “lalu”; memberikan kesan makna ketersusunan pekerjaan dan keterikatan waktu. Tentu penggunaan kata dengan makna demikian ini tidak layak bagi kesucian Allah, karena Allah tidak disibukan oleh satu urusan dengan urusan yang lain, dan juga tidak tidak terikat oleh waktu dan zaman.
  • Kemudian kalimat “Yudabbir al-‘amr” dalam Q.S Yunus: 3 di atas diterjemahkan oleh pihak Kemenag dengan: “untuk mengatur segala urusan”. Terjemahan Kemenag ini memberikan kesan; Allah bertempat di atas ‘Arsy, dan dari sana Dia mengurusi segala urusan makhluk-Nya”. Tentu pemahaman demikian itu tidak dapat diterima oleh para Ahli Tauhid, karena Allah tidak disifati dengan bertempat atau memiliki arah.
  • Kemudian kalimat “Yudabbir al-‘amr” yang oleh pihak Kemenag diterjemahkan “untuk mengatur segala urusan” ini berarti dalam versi Kemenag dalam redaksi ayat tersebut terdapat lam ta’lil dan an (mudlmarah) yang disembunyikan. Pemahaman demikian itu tidak dapat diterima oleh karena redaksi ayatnya dengan dlammah pada huruf ra’ (yudabbiru), bukan yudabbira.
  • Kaedah Nahwu menyebutkan bahwa apabila ada jumlah fi’liyyah yang datang setelah nakirah maka ia adalah sifat, dan yang datang setelah ma’rifat adalah hal[8].  Merujuk kepada kaedah ini maka kedudukan I’rab kalimat yudabbir adalah hal, bukan sifat. Sehingga bila diterjemahkan dengan “untuk” itu tidak sesuai dengan konteks ayat, akan lebih baik jika diterjemahkan dengan; “halnya mengatur segala urusan”, bukan “untuk mengatur segala urusan”.

Q.S ar-Ra’d: 2

اَللّٰهُ الَّذِيْ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّــــمْسَ وَالْقَمَرَۗ  كُلٌّ يَّجْرِيْ لِاَجَلٍ مُّسَــــــمًّىۗ يُدَبِّرُ الْاَمْرَ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَاۤءِ رَبِّكُمْ تُوْقِنُــــوْنَ (سورة الرعد: 2)

Terjemah :

Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan (makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu[9].

Tafsir Ringkas Kemenag

Setelah pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah benar dari-Nya, lalu pada ayat ini Allah membuktikan kebenarannya melalui keunikan penciptaan alam semesta. Hanya Allah yang meninggikan langit tanpa tiang penyangga sebagaimana yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menundukkan matahari dan bulan di bawah aturan hukum alam-Nya; masing-masing dari keduanya beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan makhluk-Nya, baik yang di bumi maupun di langit, dan Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu kelak di akhirat[10].

Analisa:

  • Dalam Q.S ar-Ra’d: 2 ini pihak Kemenag memaknai Istawa dengan “bersemayam”, sama persis dengan terjemahan di Q.S Yunus: 3 dan Q.S al-A’raf: 54. Sehingga terjemah ayat menjadi “Dia bersemayam di atas ‘Arsy”. Dan pemahamannya sama dengan dua ayat sebelumnya memberikan kesan bahwa Allah bertempat dan memiliki arah. Makna tersebut jelas menyalahi Tauhid.
  • Kata “tsumma” dalam Q.S ar-Ra’d: 2 ini juga diterjemahkan dengan “kemudian”. Penggunaan kata ini sama dengan dua ayat sebelumnya memberikan pemahaman makna ketersusunan pekerjaan dan keterikatan waktu. Dan kesan ini semakin kuat di bagian tafsirnya.
  • Kata “di atas ‘Arsy” oleh pihak Kemenag dijadikan akhir kata, sehingga diletakan tanda titik (.) setelahnya. Kemudian kalimat “wa sakh-skara asy-syams” dijadikan kalimat baru, tanpa menerjemahkan huruf ‘athaf wa, yang bermakna “dan”. Sehingga terjemah versi Kemenag: “Dia menundukkan matahari dan bulan”; sebagai kalimat baru. Ini ditulis di bagian terjemah dan tafsirnya.
  • Di bagian tafsir, pihak Kemenag menuliskan: “… pada ayat ini Allah membuktikan kebenarannya melalui keunikan penciptaan alam semesta”. Ini sebenarnya kontradiktif dengan terjemah “Dia bersemayam di atas ‘Arsy”. Karena makna alam adalah segala sesuatu selain Allah. Termasuk ‘Arsy adalah bagian dari alam, ia diciptakan oleh Allah. Artinya, tidak logis bagaimana dikatakan Allah sebagai Pencipta ‘Arsy lalu Dia bertempat pada ciptaan-Nya tersebut?!

Q.S Thaha: 5

اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى  (سورة طه: 5)

Terjemah :

(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy[11].

Tafsir Ringkas Kemenag

Tuhan yang menurunkan Al-Qur’an ini adalah Yang Maha Pengasih terhadap semua makhuk tanpa terkecuali; yang bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur semua urusan makhluk-Nya[12].

Tafsir Kemenag

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Pencipta langit dan bumi itu, adalah Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy. Allah bersemayam di atas ‘Arsy, janganlah sekali-kali digambarkan seperti halnya seorang raja yang duduk di atas singgasananya, karena menggambarkan yang seperti itu, berarti telah menyerupakan Khaliq dengan makhluk-Nya. Anggapan seperti ini, tidak dibenarkan sama sekali oleh ajaran Islam, sesuai dengan firman Allah: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat. (asy-Syura/42: 11) Ibnu Kasir berkata di dalam kitab tafsirnya, bahwa cara yang paling baik dalam memahami ayat ini ialah cara yang telah ditempuh oleh Ulama Salaf, yaitu mempercayai ungkapan sebagaimana tercantum di atas ‘Arsy (duduk di atas tahta) tetapi cara atau kaifiatnya (duduk di atas tahta) tidak boleh disamakan dengan cara duduknya makhluk, seperti seseorang yang duduk di atas kursi. Hal itu sepenuhnya adalah wewenang Allah semata-mata, manusia tidak dapat mengetahui hakikatnya[13].

Analisa:

  • Dalam tafsir ringkas ayat Q.S Thaha: 5 di atas pihak Kemenag menuliskan: “yang bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur semua urusan makhluk-Nya”. Setidaknya ada dua makna rusak (batil) dari tafsir ini; [1]; kalimat itu menetapkan ‘Arsy sebagai tempat bagi Allah. [2]; kalimat itu memberikan makna bahwa tujuan Allah bertempat di atas ‘Arsy adalah untuk mengatur para makhluk-Nya, oleh karena dalam tafsir tersebut diungkapkan dengan kata “untuk”.
  • Dalam bagian Tafsir Kemenag dituliskan: “Allah bersemayam di atas ‘Arsy, janganlah sekali-kali digambarkan seperti halnya seorang raja yang duduk di atas singgasananya”. Kalimat ini sangat kontradiktif dan rusak. Dengan alasan sebagai berikut; [1]. Kata “bersemayam” dalam KBBI itu tidak memiliki makna padanan kata (sinonim) apapun kecuali semua maknanya memberikan pemahaman bertempat. Sehingga kalimat berikut: “janganlah sekali-kali digambarkan seperti halnya seorang raja yang duduk di atas singgasananya” adalah kalimat yang tidak memberikan bekas apapun untuk mensucikan Allah, oleh karena kata “bersemayam” itu sudah jelas maknanya adalah “bertempat”. Artinya, akal sehat kita tidak dapat menerima jika dikatakan: “Allah bertempat, tetapi tidak seperti bertempatnya manusia”. Karena bertempat itu hanya berlaku bagi benda, sementara Allah bukan benda. [2]. Timbul pertanyaan: “Jika bersemayam pada hak Allah tidak sama dengan bersemayam pada hak manusia, atau makhluk lainnya; maka bagaimana anda memahami makna bersemayam?”, sementara dalam KBBI sudah jelas makna bersemayam adalah bertempat. [3]. Pihak Kemenag terkesan tidak memahami makna bersemayam. Tentu, jika demikian adanya maka itu sangat fatal, karena bila demikian maka berarti pihak penerjemah memaknai [menerjemahkan] ayat dengan sesuatu yang ia sendiri tidak paham apa maknanya.
  • Tafsir Istawa Kemenag kemudian mengutip firman Allah Q.S asy-Syura: 11, diterjemahkan menjadi: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”. Padahal ayat ini adalah ayat yang sangat jelas dalam mensucikan Allah dari menyerupai ciptaan-Nya, dipahami darinya bahwa Allah bukan benda, maha suci dari segala bentuk dan ukuran; kecil maupun besar, serta maha suci dari segala sifat-sifat benda. Sementara bersemayam atau bertempat adalah salah satu sifat yang khusus bagi benda. Maka sangat aneh, jika dikatakan; “Allah tidak menyerupai suatu apapun”, lalu di saat yang sama dikatakan pula: “Allah bersemayam atau bertempat”.
  • Tafsir Kemenag kemudian menuliskan: “Ibnu Kasir berkata di dalam kitab tafsirnya, bahwa cara yang paling baik dalam memahami ayat Istawa ini ialah cara yang telah ditempuh oleh Ulama Salaf, yaitu mempercayai ungkapan sebagaimana tercantum di atas ‘Arsy (duduk di atas tahta) tetapi cara atau kaifiatnya (duduk di atas tahta) tidak boleh disamakan dengan cara duduknya makhluk”. Ini tulisan rusak dan batil, dengan koreksi sebagai berikut: [1]. Yang tercantum dalam Tafsir Ibnu Katsir jauh berbeda dengan kesimpulan catatan Tafsir Kemenag. Redaksi dalam tafsir Ibnu Katsir sebagai berikut[14]: وأن المسلك الأسلم في ذلك طريقة السلف، إمرار ما جاء في ذلك من الكتاب والسنة من غير تكييف ولا تحريف، ولا تشبيه، ولا تعطيل، ولا تمثيل [Dan sesungguhnya metode yang paling selamat dalam [memahami Istawa] itu adalah metode Salaf, yaitu; memberlakukan apa yang datang dalam demikian itu dari Al-Qur’an dan Sunnah dari tanpa takyif (sifat benda), tanpa tahrif (reduksi), tanpa tasybih (menyerupakan), tanpa ta’thil (mengingkari), dan tanpa tamtsil (mencontohkan)]. [2]. Ibnu Katsir menafikan “kaifiyyah” dari Allah, sementara tafsir Istawa Kemenag menetapkan “Kaifiyyah” bagi-Nya. Ini sangat fatal, karena “Kaifiyyah” itu artinya sifat benda. [3]. Kesimpulan tulisan Tafsir Istawa Kemenag dalam menetapkan “Kaifiyyah” bagi Allah adalah penyimpangan (tahrif) terhadap catatan Ibnu Katsir. [4]. Tidak ada seorangpun dari ulama Salaf yang menetapkan “Kaifiyyah” bagi Allah, sebaliknya mereka semua menafikan “Kaifiyyah” (sifat-sifat kebendaan) dari Allah. Seperti perkataan al-Imâm Malik ibn Anas: “Wa Kaifa ‘Anhu Marfu’[15]. [4]. Tafsir Kemenag semakin fatal, dan semakin jelas batilnya, mengatakan: “(duduk di atas tahta)”. Kesimpulan Tafsir Kemenag; tidak hanya menetapkan sifat bersemayam bagi Allah, dan atau bertempat, bahkan juga menetapkan sifat duduk bagi-Nya. Lalu catatan itu diperparah lagi dengan disandarkan kepada Ibnu Katsir dan ulama Salaf.

Q.S al-Furqan: 59

اَلَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۚ  اَلرَّحْمٰنُ فَسْـَٔلْ بِهٖ خَبِيْرًا (سورة الفرقان: 59)

Terjemah :

yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pengasih, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada orang yang lebih mengetahui (Muhammad)[16].

Tafsir Ringkas Kemenag

Dialah Tuhan yang menciptakan langit yang tujuh beserta benda-benda angkasa lainnya dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya yaitu segala benda yang kita tidak mengetahui secara pasti dalam enam masa. Dua masa pertama untuk menciptakan badan bumi, dua masa berikutnya untuk menciptakan langit dan dua masa terakhir untuk mengisi bumi dengan segala kandungannya. Kemudian Allah bersemayam dengan cara yang sesuai dengan sifat keagungan-Nya di atas singgasana-Nya yaitu ‘Arsy. Dialah Yang Maha Pengasih yang demikian besar dan luas sehingga tercurahkan kepada seluruh makhluknya tanpa kecuali. Maka tanyakanlah olehmu wahai Nabi tentang ciptaan Allah yang disebutkan di atas, kepada yang lebih mengetahui yaitu Allah sendiri. Dialah yang paling tahu tentang ciptaan-Nya[17].

Analisa:

  • Sama dengan terjemah pada ayat-ayat sebelumnya, kata Istawa dalam Q.S al-Furqan: 59 ini diterjemahkan dengan bersemayam, yang berarti bertempat. Hasbunallah.
  • Demikian pula dengan kata “tsumma” diterjemahkan menjadi “kemudian”. Terjemahan yang sangat fatal, karena memberikan kesan kebaharuan bagi Allah.
  • Dalam Tafsir ringkas Kemenag terhadap QS. al-Furqan: 59 ini ditetapkan adanya “kaifiyyah” (cara/sifat benda) bagi Allah, sama persis dengan tafsir terhadap Q.S Thaha: 5. Pihak Kemenag menuliskan: “Kemudian Allah bersemayam dengan cara yang sesuai dengan sifat keagungan-Nya di atas singgasana-Nya yaitu ‘Arsy”. Pernyataan demikian ini tidak ada dalam tafsir apapun dari ulama Salaf. Ungkapan demikian itu hanya dikatakan oleh golongan Musyabbihah Mujassimah.

Q.S as-Sajdah: 4

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ مَا لَكُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا شَفِيْعٍۗ  اَفَلَا تَتَذَكَّرُوْنَ (سورة السجدة: 4)

Terjemah :

Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Bagimu tidak ada seorang pun penolong maupun pemberi syafaat selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?[18]

Tafsir Ringkas Kemenag

Nabi Muhammad diutus untuk mendakwahkan ajaran tauhid dan dibekali dengan bukti-bukti nyata tentang hal itu. Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa contoh dan tidak pernah ada sebelumnya, dalam enam masa, meski sesungguhnya Dia mampu menciptakannya dalam waktu sekejap. Hal ini bermaksud mendidik manusia bersabar dalam menangani semua urusan. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy yang tidak diketahui hakikatnya oleh selain Allah, namun wajib kita imani sesuai dengan kebesaran dan kesucian-Nya. Bagimu tidak ada seorang pun penolong maupun pemberi syafaat selain Dia. Tanpa izin Allah, tidak ada yang mampu menolongmu, baik itu para rasul maupun orang-orang tertentu, meringankan azab atau bebanmu di akhirat. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan dan mengambil pelajaran dari hal ini sehingga kamu beriman dan mengeesakan-Nya?[19]

Analisa:

  • Terjemah Kemenag terhadap kata Istawa dalam Q.S as-Sajdah: 4 ini juga sama dengan beberapa ayat Istawa lainnya dengan makna “bersemayam”.
  • Dalam Tafsir Ringkas Kemenag terhadap Q.S as-Sajdah: 4 ini semakin nyata indikasi faham tasybih. Selain menetapkan ‘Arsy sebagai tempat bagi Allah, juga menetapkan sifat baharu bagi-Nya. Setelah menjelaskan proses penciptaan langit dan bumi lalu mengatakan: “Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy”.

Q.S al-Hadid: 4

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ

Terjemah :

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan[20].

Tafsir Ringkas Kemenag

Dialah yang menciptakan langit dan bumi beserta semua yang ada di dalam dan di antara keduanya dalam enam masa; kemudian setelah penciptaan itu Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur urusan makhluk-Nya. Apa saja yang terjadi pada ciptaan-Nya tidak pernah luput dari pengetahuan-Nya. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, seperti hewan yang menyusup, dan apa yang keluar dari dalamnya, seperti tanaman yang tumbuh. Dia mengetahui pula apa yang turun dari langit, seperti air hujan, dan apa yang naik ke sana, seperti kebajikan dan doa manusia. Wajib diyakini bahwa Allah itu ada dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan; tidak ada yang tersembunyi dari-Nya.5. Allah adalah Pencipta semua makhluk, karena itu milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Semua berasal dari-Nya dan hanya kepada Allah segala urusan yang terkait dengan makhluk dikembalikan[21].

Analisa:

  • Kata Istawa dalam Q.S al-Hadid: 4 juga diterjemahkan oleh pihak Kemenag dengan bersemayam, sehingga kesimpulan terjemah Istawa tersebut bahwa Allah bertempat di ‘Arsy. Terjemah fatal, rusak dan batil.
  • Demikian pula kata “tsumma” diterjemahkan dengan “kemudian”, sehingga memberikan kesan bahwa Allah baharu dalam perbuatan-Nya, berlaku secara tertib dari satu kepada lainnya, dan seakan Allah terikat oleh waktu dan zaman.
  • Di bagian Tafsir Ringkas Kemenag telihat lebih ambigu lagi. Setelah menetapkan Allah bertempat di atas ‘Arsy, bahkan di bagian lain dikatakan duduk di atasnya, lalu menuliskan: “Wajib diyakini bahwa Allah itu ada dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada”. Sehingga dipahami dari tulisan rusak ini; bahwa Allah bertempat di ‘Arsy, lalu di saat yang sama juga bersama setiap orang. Na’ûdzu billâh. Padahal kata “ma’a” dalam beberapa ayat Al-Qur’an yang disandarkan bagi Allah memiliki makna banyak, sebagaimana penjelasan ahli tafsir, di antaranya dalam makna “ma’iyyah al-‘ilm”, artinya bahwa Allah mengetahui keadaan setiap orang, siapapun, kapanpun, di manapun, dan apapun yang ia kerjakannya. 

Makna Bersemayam Dalam KBBI

Verba (kata kerja); [1].  Duduk. Contoh: baginda pun bersemayam di atas singgasana dikelilingi oleh para menteri dan hulubalang. [2]. Berkediaman. [3]. Tinggal. Contoh: sultan iskandar muda pernah bersemayam di kotaraja. [4]. Tersimpan. [5]. Terpatri (dalam hati). Contoh: sudah lama cita-cita itu bersemayam dalam hatinya, keyakinan yang bersemayam dalam hati[22].

Makna Bertempat Dalam KBBI

Verba (kata kerja); [1]. Menggunakan tempat. [2]. Mengambil tempat. Contoh: Peringatan maulid Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alayhi Wasallam bertempat di balai prajurit. [3]. Mempunyai tempat. [4]. Duduk (diam, terjadi dan sebagainya di.). Contoh: ia belum bertempat tinggal tetap[23].

________________________
[1] https://quran.kemenag.go.id/sura/7/54
[2] https://quran.kemenag.go.id/sura/7/54, dengan huruf miring adalah teks terjemah, dan huruf tegak adalah tafsirnya.
[3] https://kbbi.web.id/semayam
[4] https://kbbi.web.id/lalu
[5] https://quran.kemenag.go.id/surah/10/3
[6] https://quran.kemenag.go.id/sura/10/3, dengan huruf miring adalah teks terjemah, dan huruf tegak adalah tafsirnya.
[7] Lihat https://kbbi.web.id/lalu
[8] Lihat Ibnu Hisyam, Mughni al-Labib
[9] https://quran.kemenag.go.id/surah/13/2
[10] https://quran.kemenag.go.id/surah/13, dengan huruf miring adalah teks terjemah, dan huruf tegak adalah tafsirnya.
[11] https://quran.kemenag.go.id/surah/20/5
[12] https://quran.kemenag.go.id/surah/20/5, dengan huruf miring adalah teks terjemah, dan huruf tegak adalah tafsirnya.
[13] https://quran.kemenag.go.id/surah/20/5
[14] Lihat https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura20-aya5.html#katheer
[15] Bahasan bahwa Allah maha suci dari “kaif” (sifat benda) kita kupas lebih detail dalam buku ini.
[16] https://quran.kemenag.go.id/surah/25/59
[17] https://quran.kemenag.go.id/surah/25/59, dengan huruf miring adalah teks terjemah, dan huruf tegak adalah tafsirnya.
[18] https://quran.kemenag.go.id/surah/32/4
[19] https://quran.kemenag.go.id/surah/32/4, dengan huruf miring adalah teks terjemah, dan huruf tegak adalah tafsirnya.
[20] https://quran.kemenag.go.id/surah/57/4
[21] https://quran.kemenag.go.id/surah/57/4
[22] Lihat https://kbbi.web.id/semayam
[23] Lihat https://kbbi.web.id/tempat


 

Kholil Abou Fatehhttps://nurulhikmah.ponpes.id
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Tangerang
RELATED ARTICLES

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments

Abou Qalby on Cahaya di Kegelapan
×

 

Assalaamu'alaikum!

Butuh informasi dan pemesanan buku? Chat aja!

× Informasi dan Pemesanan Buku